• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas antihiperglikemik dari biomasa Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Aktivitas antihiperglikemik dari biomasa Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus

Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja

penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dipilih obat Acarbose sebagai kontrol positif yang merupakan obat standar oral pada penderita diabetes melitus tipe-2.

Mekanisme obat Acarbose adalah melalui inhibisi secara reversible yang kompetitif terhadap enzim sukrase. Obat Acarbose menghambat hidrolisis karbohidrat pada usus halus, berkompetisi dengan sukrosa atau karbohidrat lain untuk berikatan pada sisi aktif enzim sehingga absorbsi glukosa ke dalam darah menurun seiring tidak terbentuknya D-glukosa bebas (Info Obat Indonesia 2009).

Pengukuran kadar glukosa darah pada penelitian ini menggunakan metode Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Model hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibuat DM permanen, sehingga metabolisme karbohidrat seluruh hewan coba dianggap normal tanpa adanya defisiensi insulin, sehingga yang diharapkan terjadi adalah hambatan naiknya kadar glukosa darah setelah diberi perlakuan.

Pengujian kadar glukosa darah dilakukan setelah tikus dipuasakan selama 18 jam agar pada saat perlakuan, metabolisme yang terjadi merupakan metabolisme normal tanpa adanya defisiensi insulin serta untuk mendapatkan kadar glukosa darah puasanya. Sampel darah diambil sebelum perlakuan dan pada setiap ½, 1, 2, dan 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa dan bahan uji per oral. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk perlakuan dosis biomasa

Spirulina fusiformis

Perlakuan Rata-rata nilai kadar glukosa darah tikus (mg/dl) 0 jam ½ jam 1 jam 2 jam 3 jam Kontrol negatif (sukrosa) 72,8

±0,837 116,4 ± 2,702 133,8 ± 0,837 107,8 ± 1,643 72,8 ± 0,837 Kontrol positif (Acarbose

0,001 mg/g BB + sukrosa) 72,6 ±0,849 84,2 ± 1,095 94,4 ± 0,548 88,4 ± 0,548 72,8 ± 0,837 B1 (0,15 mg/g BB tikus + sukrosa) 73,4 ±0,548 97,6 ± 0,548 112,8 ± 1,304 80,0 ± 0,707 73,4 ± 0,548 B2 (0,30 mg/g BB tikus + sukrosa ) 73,4 ±0,548 91,8 ± 0,447 99,8 ± 0,447 86,0 ± 1,000 72,8 ± 0,837

Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus pada jam ke-0 berkisar antara 72,8-73,4 mg/dl. Pengamatan selanjutnya adalah pada nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus ½ jam setelah perlakuan berkisar antara 116,4-84,2 mg/dl dan nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus 1 jam setelah perlakuan berkisar antara 133,8-94,4 mg/dl. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus selanjutnya, yaitu, 2 jam setelah perlakuan berkisar antara 107,8-80,00 mg/dl dan 3 jam setelah

perlakuan nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus berkisar antara 72,8-73,4 mg/dl.

Tikus-tikus yang telah diadaptasikan dan dipuasakan tidak diberikan perlakuan apapun setelahnya, sehingga yang terukur pada jam ke-0 adalah kadar glukosa darah puasa tikus. Hal ini didukung oleh pernyataan Malole dan Pramono (1989) bahwa kadar glukosa darah tikus berkisar antara 50-135 mg/dl.

Produksi dan sekresi insulin dipacu oleh jumlah glukosa dalam darah. Jika jumlah glukosa telah mencapai kadar tertentu, insulin akan disekresikan dan “membuka” sel-sel dalam hati, otot, dan lemak sehingga memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel-sel tersebut. Dengan demikian, glukosa tidak menumpuk dalam darah dan kadar glukosa tetap normal (Wijayakusuma 2006).

Pemberian sukrosa pada tes toleransi glukosa oral akan meningkatkan glukosa darah hingga puncaknya dalam waktu 60 menit (Gibney et al. 2008). Kadar glukosa darah tikus meningkat sejak ½ jam perlakuan dan mencapai nilai kadar glukosa tertinggi pada 1 jam setelah pemberian sukrosa. Rata-rata kadar glukosa darah tikus meningkat dari 72,8 mg/dl menjadi 133,8 mg/dl untuk kontrol negatif dengan hanya pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Hal ini didukung oleh pernyataan Mridha et. al (2010) bahwa pencernaan sukrosa (karbohidrat) terjadi di dalam usus halus tikus, yaitu memecah karbohidrat menjadi molekul glukosa dan fruktosa.

Pencernaan karbohidrat terjadi dengan bantuan enzim sukrase. Sukrosa dihidrolisis oleh enzim sukrase menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa diserap ke dalam darah untuk diedarkan ke seluruh sel dalam tubuh sebagai energi. Oleh karena itu, jika asupan karbohidrat meningkat, maka kadar glukosa dalaam darah juga meningkat (Gibney et al. 2008).

Kadar glukosa darah tikus meningkat hingga setelah 1 jam perlakuan. Peningkatan kadar glukosa darah tikus mampu dicegah oleh insulin secara normal

(tanpa penambahan obat antidiabetes) pada kontrol negatif. Rata-rata kadar glukosa darah tikus kontrol negatif setelah 1 jam pemberian sukrosa oral meningkat hingga 45,6% dari kadar glukosa normalnya (0 jam), sedangkan kadar glukosa darah tikus kontrol positif hanya meningkat 23,1% dari kadar glukosa darah normalnya (0 jam) setelah 1 jam pemberian obat Acarbose 0,001 mg/g BB tikus dan sukrosa. Persentase peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar

glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Kadar glukosa darah tikus B1 (73,4 mg/dl menjadi 112,8 mg/dl) juga meningkat sebesar 34,9% dari kondisi awal setelah pemberian 0,15 mg/g BB biomasa Spirulina dan sukrosa, sedangkan kadar glukosa darah tikus dosis B2 (73,4 mg/dl menjadi 99,8 mg/dl) hanya meningkat sebesar 26,5% dari kadar glukosa darah normalnya setelah 1 jam pemberian 0,30 mg/g BB biomasa

Spirulina dan sukrosa (Tabel 6 dan Lampiran 5). Pemberian biomasa Spirulina

0,15 mg/g BB tikus, setelah 1 jam, ternyata mampu mencegah kenaikan kadar glukosa darah tikus sebesar 65,1% (Lampiran 5).

Sebelum perlakuan (jam ke-0), perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa

Spirulina fusiformis, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus dari hasil analisis sidik ragam (ρ<0,05). Perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis, yaitu dosis

0,15 mg/g BB tikus, 0,30 mg/g BB tikus dengan kontrol negatif (sukrosa 80% b/v), dan kontrol positif (Acarbose 0,001 mg/g BB)setelah ½, 1, dan 2 jam,

menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus dari hasil analisis sidik ragam (ρ<0,05), sedangkan setelah 3 jam perlakuan, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p<0,05) terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus (Lampiran 7, 8, 9, 10, dan 11). Perbedaan signifikan antar perlakuan, sebagai hasil uji lanjut Duncan, dapat dilihat pada histogram rata- rata kadar glukosa darah tikus pada Gambar 7.

Keterangan: Huruf superscrift yang berbeda (a,b,c,d) pada diagram batang menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 7 Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N (sukrosa 80% b/v) ( ); kontrol positif, kelompok P (Acarbose 0,001 mg/g BB) ( ); dan pemberian oral biomasa

Spirulina fusiformis kelompok B1 dosis 0,15 mg/g BB ( ); kelompok B2 dosis 0,30 mg/g BB ( )

Perbedaan signifikan (p<0,05) terlihat pada diagram batang untuk kelompok B1 dan B2 setelah ½, 1, dan 2 jam perlakuan (Gambar 7, Lampiran 8, 9, dan 10). Kadar glukosa darah menurun pada selang 2 jam setelah perlakuan dan kembali rendah seperti pada awal perlakuan setelah 3 jam (Tabel 6). Nilai kadar glukosa darah tikus setelah 2 jam perlakuan berturut-turut adalah 107,8 mg/dl, 88,4 mg/dl, 80,0 mg/dl (B1), dan 86,0 mg/dl (B2). Penambahan dosis biomasa menjadi dua kali lipatnya (0,30 mg/g BB tikus), setelah 1 jam, menunjukkan kemampuan lebih baik dan berbeda signifikan (p<0,05) dalam mencegah kenaikan kadar glukosa tikus kelompok B2, sebesar 73,5% (Gambar 7, Lampiran 5 dan 9).

Berbeda halnya ketika akhir perlakuan (setelah 3 jam). Kadar glukosa darah tikus kembali normal yang disebabkan oleh penggunaan glukosa oleh sel-sel dalam tubuhnya, sedangkan perbedaan dosis biomasa tidak menunjukkan berbeda signifikan (p<0,05) terhadap kadar glukosa darah tikus pada akhir perlakuan (setelah 3 jam). Hal ini dapat dilihat pada histogram (Gambar 7) dan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11).

Pencernaan karbohidrat di usus halus ini yang diduga dihambat oleh adanya komponen aktif dari biomasa Spirulina fusiformis. Komponen aktif dalam

0 20 40 60 80 100 120 140 0 0.5 1 2 3 a a a a a a b b b a a c c c a a d d d a R ata -r ata kad ar g lu ko sa d ar ah ti ku s (m g /d l) Jam ke-

biomasa Spirulina fusiformisdiduga menghambat kerja dari enzim α-glukosidase dalam memutus ikatan α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen sehingga tidak terbentuk glukosa bebas. Hal ini didukung oleh Layam et al. (2007) yang menunjukkan bahwa Spirulina platensis yang diberikan pada tikus mampu menjadi inhibitor dalam pemecahan karbohidrat, yaitu dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase serta merangsang pembetukan insulin dalam tubuh tikus yang dirusak kelenjar pankreasnya secara kimia sehingga mengalami defisiensi insulin.

Biomasa Spirulina fusiformis dicerna terlebih dahulu dalam lambung tikus. Enzim pepsin pada lambung memecah komponen protein yang terdapat pada dinding sel Spirulina fusiformis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chopra dan Bishnoi (2007) bahwa dinding sel Spirulina fusiformis tersusun dari komponen mukoprotein. Dengan demikian, seluruh isi sel Spirulina fusiformis akan keluar dan masuk ke dalam pencernaan di usus halus.

Enzim α-glukosidase merupakan katalis pada langkah akhir pemecahan karbohidrat di usus halus. Enzim ini terlibat dalam degradasi glikogen lanjutan dari glikogen oleh fosforilase yang dapat terjadi hanya setelah kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase dengan mengkatalis dua reaksi. Pada reaksi pertama, enzim glukanotransferase memindahkan tiga dari residu glukosa yang tersisa ke ujung cabang-cabang disebelah luar molekul lain. Enzim α-glukosidase menghidrolisis ikatan α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen dan menghasilkan D-glukosa dan membuat residu glukosa dengan ikatan α-1,4. Pada rantai lanjutan α-1,4 tersebut kini terbuka terhadap kerja glikogen fosforilase yang menghasilkan glukosa-1-fosfat (Lehninger 1982).

Komponen aktif dalam biomasa Spirulina yang berperan sebagai

antihiperglikemik antara lain mineral kromium (Cr) (Belay 2002; Tietze 2004), asam lemak gamma linoleat (Iyer et al. 2007), dan senyawa

flavonoid (Belay et al. 2007). Senyawa fenol termasuk golongan flavonoid dan tanin pada buah mahkota dewa juga dinyatakan sebagai komponen aktif antihiperglikemik sebagai inhibitor α-glukosidase (Sugiwati 2005).

Penapisan flavonoid pada biomasa memberikan hasil positif dengan adanya senyawa flavonoid golongan flavonol dan flavon. Berdasarkan uji kualitatif

ekstrak etanol 70% pada biomasa Spirulina menunjukkan positif terhadap flavonoid dengan intensitas warna jingga yang cukup pekat pada lapisan amil alkoholnya (Gambar 8a).

(a) (b)

Gambar 8 Hasil uji kualitatif senyawa flavonoid dan golongannnya

Uji golongan flavonoid dapat memberikan informasi tentang keberadaan jenis golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak kasar biomasa Spirulina secara kualitatif. Ekstrak etil asetat saat ditambahkan pereaksi CH3COOPb dan NaOH menghasilkan warna krem dan kuning. Ekstrak tersebut menunjukkan positif terhadap senyawa golongan flavonoid, yaitu flavon dan flavonol (Gambar 8b). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Hartika (2009) bahwa komponen teraktif yang memiliki kemampuan sebagai antihperglikemik secara in vitro dari buah mahkota dewa matang adalah golongan flavonoid terutama golongan flavonol dengan inhibisi tertinggi sebesar 41,95%.

4.5 Aktivitas antihiperglikemik dari fikosianin Spirulina fusiformis pada

Dokumen terkait