• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DAFTAR GAMBAR

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia

Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia (Lechninger 1982). Kadar gula darah normal berkisar antara 60 mg/dl sampai 145 mg/dl. Tanda-tanda lain dari diabetes melitus meliputi poliuria (banyak kemih), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), lemas, berat badan turun, dan kenaikan gula darah puasa ≥140 mg/dl (Gibney et al. 2008).

Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis dan tipe etiologi penyakit diabetes melitus serta kategori hiperglikemia lainnya, antara lain Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Diabetes gestasional, dan sindrom metabolik atau sindrom X, serta golongan resiko statistik, yaitu semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengidap DM (Gibney et al. 2008).

Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT, impaired glucose tolerant) merupakan tahap terjadinya gangguan pada regulasi glukosa karena keadaan ini dapat terlihat pada setiap kelainan hiperglikemia. Meskipun demikian, TGT sangat berpotensi untuk berkembang menjadi pasien DM. Kasus TGT akan menjadi kasus DM hingga 50% dalam waktu 2-12 tahun. Tanda-tanda TGT dapat dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)

dan kepada para penyandang TGT harus disarankan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan (Gibney et al. 2008).

Gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes antara lain disebabkan menurunnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel jaringan perifer dan gangguan fungsi glukostatik dalam hati. Pada keadaan defisiensi insulin, jumlah glukosa yang masuk ke dalam otot rangka, otot jantung, otot polos, dan jaringan lain berkurang. Walaupun pengambilan glukosa oleh hati juga menurun, tetapi hal ini tidak mempunyai efek secara langsung. Absorbsi glukosa dalam usus tidak terpengaruh, demikian pula penyerapan kembali dari urin oleh sel-sel tubuli ginjal. Pengambilan glukosa oleh sel-sel otak dan darah merah juga normal (Pranadji et al. 1999).

Hormon insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk membantu sintesis glikogen dan menghambat output glukosa dari hati. Bila kadar gula dalam darah meningkat, dalam keadaan normal sekresi insulin juga meningkat dan glukoneogenesis akan menurun. Pada keadaan diabetes, fungsi ini tidak terdapat sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa (Pranadji et al. 1999).

Metabolisme glukosa dapat berjalan secara normal melalui mekanisme timbal-balik hormon insulin-gukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang membutuhkan. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai energi, untuk itu glukosa harus ditranfer terlebih dahulu ke dalam sel melalui proses oksidasi dalam sel (respirasi). Kemudian, jika kondisi tubuh sedang lapar, konsentrasi

glukosa darah menurun. Hormon glukagon, yang disekresikan oleh sel α pankreas, glikogen hati akan dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan

kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi darah tetap normal (Wijayakusuma 2006).

2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus

Peningkatan glukosa darah pasca makan (postprandial hyperglycemia) merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe-2. Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang disebabkan toksisitas glukosa dalam otot dan sel beta pankreas juga menginisiasi

perkembangan awal komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular (Lee et al. 2007).

Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa. Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan meningkatkan glukosuria. Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein

endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan (Pranadji et al. 1999).

Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007).

2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam 5 golongan (Subroto 2009), antara lain:

(1) golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel β-pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya

glibenclamide dan glibonuride;

(2) golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin, phenformin, dan buformin.

(3) golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone.

(4) golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia dan kenaikan berat badan.

(5) golongan inhibitor α-glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan

Miglitol.

Acarbose (merek dagang Precose® dan Glucobay®) adalah inhibitor α-glukosidase. Mekanisme kerja inhibitor α-glukosidase adalah dengan memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida (Sugiwati 2005).

Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya. Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek

samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus (Lee et al. 2007).

2.3.3 Tes Toleransi Glukosa

Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus

dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah. Standardisasi kriteria oleh

the National Diabetes Data Group of the USA (NDDG) dan komite pakar organisasi kesehatan dunia (WHO) menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa (Gibney et al. 2008).

Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan (kalori) selama minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar

glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa) ≥200 mg/dL; dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Pada tes toleransi

glukosa oral (TTGO), kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam (Wijayakusuma 2006).

Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara oral dengan dosis tertentu (75 g glukosa) maka gula darahnya akan meningkat lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat. Tes ini disebut sebagai “tes toleransi glukosa oral” (Pranadji et al. 1999).

Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Kurva Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam (Gibney et al. 2008).

Dokumen terkait