• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Metanol Daun Sikkam Menggunakan Metode Cakram Kertas

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.2.5 Hasil Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Metanol Daun Sikkam Menggunakan Metode Cakram Kertas

Pengujian aktivitas antijamur bertujuan untuk mengetahui potensi aktivitas antijamur pada sampel uji. Metode pengujian antijamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakram kertas. Pada metode ini aktivitas antijamur terhadap sampel uji ditunjukkam dengan terbentuknya zona hambat disekitar kertas cakram. Kertas cakram yang telah berisi agen antijamur diletakkan pada media agar yang telah ditanami jamur yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area yang tidak ditumbuhi oleh jamur akan tampak dengan jelas pada permukaan media agar yang disebut sebagai daerah penghambatan (Pratiwi, 2008). Pada penelitian ini agen antijamur yang digunakan yaitu ekstrak metanol daun sikkam dan jamur yang digunakan adalah jamur yang diisolasi langsung dari tanaman padi yaitu jamur Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa ekstrak metanol daun sikkam memiliki aktivitas antijamur terhadap jamur Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani (Tabel 4.4). Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya zona hambat (daerah yang tidak ditumbuhi jamur) disekitar kertas cakram (Lampiran 5). Zona hambat yang dihasilkan dari ekstrak metanol daun sikkam terhadap jamur uji Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani memiliki

53

digunakan dalam penelitian ini mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum yaitu sebesar 2,20 mm, sedangkan untuk jamur Rhizoctonia solani yaitu sebesar 2,47 mm.

Aktivitas antijamur dikategorikan lemah apabila memiliki diameter zona hambat kurang dari 10 mm, dikategorikan sedang apabila diameter zona hambat 10-15 mm dan kuat apabila diameter zona hambat 16-20 mm. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa ekstrak metanol daun sikkam memiliki kemampuan daya hambat yang lemah terhadap jamur Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani (Tabel 4.4). Hal ini diduga karena meskipun didalam ekstrak metanol daun sikkam terdapat beberapa senyawa atau zat aktif seperti flavonoid, terpenoid, tanin dan saponin, keberadaan zat aktif tersebut sedikit atau tidak banyak, sehingga kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani. Seperti kita ketahui bahwa uji pendahuluan atau skrining fitokimia hanya untuk memgetahui ada atau tidaknya kandungan senyawa aktif di dalam suatu bahan simplisia sehingga tidak diketahui apakah keberadaan senyawa aktif tersebut banyak atau sedikit karena tidak menentukan nilai secara kuantitas.

Besar atau kecilnya zona hambat yang terbentuk dari pengujian aktivitas antijamur bergantung pada tinggi rendahnya zat aktif yang terkandung didalam ekstrak. Sedangkan terbentuk atau tidaknya zona hambat disekitar kertas cakram bergantung ada tidaknya senyawa aktif didalam ekstrak. Zona hambat yang besar mungkin disebabkan oleh tingginya zat aktif yang ada di dalam ekstrak. Tidak terbentuknya zona hambat disekitar kertas cakram pada konsentrasi tertentu disebabkan oleh kecilnya konsentrasi zat aktif sehingga belum mampu menghambat pertumbuhan mikroba disamping itu juga dipengaruhi oleh jenis jamur yang dihambat. Karena pada dasarnya masing-masing jamur dari jenis yang berbeda memiliki daya tahan yang berbeda pula terhadap zat antijamur/antifungi.

Antimikroba dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap mikroba apabila nilai konsentrasi minimumnya rendah tetapi mempunyai daya hambat yang besar.

Kandungan senyawa aktif pada ekstrak metanol daun sikkam sesuai dengan hasil skrining fitokimia yaitu flavonoid, terpenoid, tanin dan saponin. Zat aktif tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur. Mekanisme

54

yang terjadi menurut (Febriani A, 2013) yaitu adanya gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel sehingga dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim serta kerusakan fungsi material genetik. Menurut (Griffin, 1981 dalam Nurhayati, 2008) beberapa senyawa antifungi dapat mengganggu metabolisme energi dalam mitokondria yaitu dalam tahap transfer elektron dan fosforilasi. Metabolisme energi dalam mitokondria dihambat dengan terhambatnya transfer elektron. Terhambatnya transfer elektron akan mengurangi oksigen yang masuk dan penurunan produksi energi bebas. Akibat tidak terjadinya tahap fosporilasi menyebabkan terhambatnya produksi ATP dan ADP. Terhambatnya pertumbuhan jamur dalam penelitian ini diduga karena adanya penurunan pengambilan O2 oleh mitokondria yang mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas senyawa antifungi, sehingga menyebabkan energi ATP yang dihasilkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi berkurang sehingga pertumbuhan jamur menjadi terhambat.

Saponin diketahui memiliki efek antibakteri dan antijamur. Saponin memiliki bagian yang dapat berikatan dengan molekul hidrofilik dan molekul-molekul organik nonpolar (lipofilik) yaitu berupa lapisan phospolipid bilayer pada jamur.

Gambar 4.10. Membran Sel dan Dinding Sel Jamur

(www.researchgate.net/fungal-cell-membrane-and-cell-wall-fungal-specific)

55

Lapisan phospolipid bilayer pada membran sel jamur merupakan ergosterol dan sintesis ergosterol. Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Ketika lapisan phospolipid bilayer terganggu maka sintesis ergosterol dalam dinding sel jamur juga akan terganggu, hal ini menyebabkan permeabilitas membran berupa kebocoran yang menyebabkan proses pengangkutan dan biosintesis dinding sel terganggu yang akhirnya akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel jamur bahkan menyebabkan kematian pada jamur.

(Ganiswarna, 1995) mengatakan Saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel mikroba sehingga menyebabkan sel menjadi lisis, jadi mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok antimikroba yang mengganggu pemeabilitas membran sel mikroba, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida.

Senyawa tanin juga dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan jamur dengan cara bereaksi dengan membran sel. Kerusakan pada membran sel maka akan mengganggu proses masuknya bahan-bahan makanan dan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba untuk menghasilkan energi, akibatnya mikroba akan mengalami hambatan pertumbuhan atau bahkan kematian(Volk dan Wheeler, 1998 dalam Manurung, 2016). Selain itu tanin juga dapat menghambat sintesis kitin sebagaimana kita ketahui bahwa kitin merupakan salah satu senyawa penyusun dinding sel jamur. Terhambatnya sintesis kitin menyebabkan pertumbuhan hifa jamur juga akan terhambat (Purwita AA, 2013).

Senyawa flavonoid merupakan golongan fenol yang dapat berfungsi sebagai antifungi. (Volk dan Wheeler, 1998 dalam Manurung, 2016) menjelaskan bahwa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim. (Febriani A, 2013) menyatakan bahwa mekanisme yang terjadi dalam inaktif enzim menyebabkan kerja enzim akan terganggu dalam mempertahankan kelangsungan aktivitas mikroba, sehingga mengakibatkan enzim akan memerlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahankan kelangsungan aktivitasnya. Akibatnya energi yang dibutuhkan

56

untuk pertumbuhan menjadi berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat atau jika kondisi ini berlangsung lama maka akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba terhenti (inaktif). Menurut (Sabir, 2005) senyawa flavonoid dapat merusak permeabilitas dinding sel mikroba, berikatan dengan protein fungsional sel dan DNA sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroba.

Seperti kita ketahui bahwa fungsi utama dari DNA adalah sebagai pengatur aktivitas sel namun DNA tidak melakukannya secara langsung. DNA mentranskipkan dirinya sebagai RNA. RNA ini lah yang akan berperan secara lansung dalam pembentukan protein, RNA di dalam ribosom akan melewati proses translasi yang akan menghasilkan susunan asam amino pembentuk protein. Protein ini dapat berfungsi sebagai protein struktural, protein pengatur, dan protein fungsional. Disinilah diduga flavonoid bekerja sebagai antijamur, yang pada akhirnya menyebabkan proses transfer informasi genetik terganggu dan selanjutnya akan merusak material genetik sehingga terganggunya proses pembelahan sel untuk pembiakan. Apabila terus berlanjut, maka sel mikroba akan mengalami kematian.

57

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait