• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas dan Kerjasama Ekonomi serta Hierarki Manusia

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 45-48)

FILSAFAT EKONOMI DAN NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM EKONOMI ISLAM

A. Filsafat Ekonomi

4. Aktivitas dan Kerjasama Ekonomi serta Hierarki Manusia

Al-Mawardi, sebagaimana para filosof Muslim, al-Ghazali dan Ibn

Miskawaih, memandang bahwa manusia tidak dapat menyediakan seluruh

104 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, 134-135. Kebajikan yang terdapat dalam sifat dermawan antara lain murah hati (al-karam), mementingkan orang lain (al-ithar), rela (al-nail), berbakti (al-muwasah),

tangan terbuka (samahah). Baca pula Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), 48-49.

105 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, 135-136, dan Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr,

1998), vol. III, 200-205.

106Al-Mawardi hanya memberikan kemungkinan-kemungkinan tentang keutamaan dan keburukan

harta tanpa memberikan solusi yang berarti bagi keduanya. Namun, ia mengungkap motif-motif

membelanjakan harta benda. Lebih lanjut baca Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, 137-139.

36

kebutuhannya sendirian, termasuk kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, kerjasama sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu “idza tabayanu wa ikhtalafu, syar’u mu’talifin bi ma’unah mutawashilin bi

al-hajah, li anna dza al-hajah wasul wa al-muhtaj ilaih mawshul.”108Kebutuhan

akan kerjasama mengarah pada pembentukan masyarakat. Dalam masyarakat inilah manusia bertanggungjawab untuk menyediakan salah satu dari kebutuhan masyarakat tersebut, termasuk kebutuhan ekonomi.

Fungsi tertentu individu dalam masyarakatnya ditentukan oleh watak alamiahnya. Oleh karena itulah, manusia ditakdirkan memiliki pembawaan yang berbeda agar dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh masyarakat. Dengan kata lain, secara ekonomi setiap individu dapat melakukan kerjasama dalam memenuhi kebutuhannya, melalui penyediaan barang dan jasa, pertukaran barang, dan aktivitas ekonomi lainnya.

Dalam memperkuat argumentasinya, al-Mawardi menukil ayat al-Qur’an tentang penciptaan manusia dalam beberapa tingkat kejadian (Q.S. Nuh, 71:14). Al-Mawardi109 menafsirkan bahwa kata “athwaran” pada ayat tersebut berarti perkembangan sementara dan merujuk pada perbedaan tingkatan, kekuatan, aspirasi, sikap, kekayaan dan kemiskinan, watak dan perbuatan. Al-Zamakhshari, al-Baidhawi dan Ibn Katsir menginterpretasikan kata tersebut sebagai perkembangan sementara, yaitu ciptaan Allah berkembang dari yang sederhana kemudian menjadi substansi gabungan.110 Al-Raghib al-Isfihani111 memandang frase “athwaran” sebagai perbedaan manusia, baik secara fisik

maupun moral.

Al-Mawardi memberikan landasan filosofis tentang perbedaan manusia

dari segi pendapatan dilihat dari keunggulan seseorang dibandingkan dengan yang lain (Q.S. al-Zukhruf, 43:32). Dalam penafsiran al-Mawardi,112 perbedaan manusia tersebut mencakup: (1) perbedaan moral, contohnya ada yang fadhil

dan ada yang mafdhul, (2) perbedaan pada kebebasan dan perbudakan, dan (3) perbedaan pada kekayaan dan kemiskinan. Bagi al-Baidhawi,113 perbedaan anugerah Allah adalah dalam hal pendapatan dan hal lain yang tidak pasti. Bagi Ibn Katsir, berbeda dalam hal kekayaan, pendapatan, kecerdasan, pemahaman,

108 Para filosof Muslim kurang tertarik untuk mengkaji stratifikasi sosial itu sendiri. Mereka lebih berminat untuk menyingkap prinsip rasional yang mengatur alam dan seluruh manusia. Baca Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Penerjemah: F. Rosenthal (New York: Princeton, 1967), vol. II, 271-278, Ikhwan al-Shafa’,

Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1957), vol. III, 495, dan Al-Mawardi, Adab Dunya wa al-Din, 94.

109 Al-Mawardi, al-Nukat wa al-’Uyun fi Tafsir Al-Mawardi (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006), vol. VI, 102.

110 Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhshari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil, vol. IV, 163, Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, vol. II, 359, dan Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, vol. VII, 124.

111 Al-Raghib al-Isfihani, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 528.

112 Al-Mawardi, al-Nukat wa al-’Uyun, vol. V, 223-224.

113 Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa-Asrar al-Ta’wil, vol. II, 238 dan Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, vol.

37 dan bidang eksternal dan internal lainnya. Jadi, pelapisan sosial muncul berdasarkan kondisi alamiah manusia yang berbeda-beda dan diterapkan pada

konteks sosial-ekonomi yang spesifik.

Di samping itu, al-Mawardi menjelaskan pula tentang tingkat stratifikasi

sosial masyarakat. Allah memberikan ujian atas nikmat (baca: pendapatan) yang telah diberikan, sehingga seseorang memiliki keunggulan dari segi ekonomi dibandingkan dengan orang lain (Q.S. al-An’am, 6:165). Dalam pandangan al-Mawardi,114 Allah membedakan manusia dari segi kekayaan, kebangsawanan nenek moyang mereka, serta kekuatan badannya.

Adapun menurut al-Thabari,115 Allah telah meninggikan sebagian manusia di atas yang lain, dengan menganugerahkan kepada mereka pendapatan (baca: rezeki), harta benda dan kekayaan, atau kekuatan. Menurut Fakhruddin al-Razi,116 Allah meninggikan mereka dalam hal kebangsawanan, kecerdasan, tingkatan, dan pendapatan. Menurut al-Zamakhsyari,117 Allah meninggikan manusia di atas yang lain dalam hal kebangsawanan dan rezeki, untuk menguji rasa syukur mereka atas karunia yang telah dianugerahkan. Sedangkan menurut Al-Baidhawi,118 Allah meninggikan sebagian manusia di atas yang lain dalam hal kebangsawanan dan kekayaan, sehingga Dia dapat menguji mereka pada peringkat dan kekayaan yang telah dianugerahkan kepada mereka.

Dengan demikian, para mufasir klasik mendukung adanya sistem

stratifikasi sosial, bukan sekedar realitas empirik yang memang dibutuhkan

dalam keberlangsungan dan dinamika sosial masyarakat, bahkan lebih jauh merasionalisasi perbedaan tersebut berdasarkan agama.

Dalam analisis Kingsley Davis dan Wilbert Moore,119 fungsi-fungsi dari

stratifikasi sosial antara lain: 1) menjelaskan kepada seseorang

“tempat’-nya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan, sehingga diketahui efek serta sumbangannya kepada masyarakat; 2) peranan seseorang dari setiap tugas yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan persyaratan dan tuntutan atas prestasi kerja, sehingga terjadi distribusi penghargaan yang sekaligus

membentuk stratifikasi sosial; dan 3) penghargaan yang diberikan biasanya

bersifat ekonomis, berupa pemberian status sosial atau fasilitas-fasilitas yang berbeda sehingga membentuk struktur sosial.

Usaha ini dilakukan untuk menunjukkan kebajikan masyarakat, di wilayah yang terlihat telah menyimpang dari prinsip etika Islam, berhubungan dan sezaman dengan keinginan mereka, untuk menciptakan legitimasi pemerintahan yang tampaknya tidak memadai.

114 Al-Mawardi, al-Nukat wa al-’Uyun, vol. II, 197.

115 Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Takwil Al-Qur’an, vol. XII, 287-289.

116 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, vol. XIV, 13.

117 Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil, vol. II,, 65.

118 Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa-Asrar al-Ta’wil, vol. I, 317.

38

Dalam mendukung perbedaan status dan peranan di kalangan manusia, al-Mawardi sering membela hierarki dengan mengombinasikan perbedaan

fitrah manusia dengan kenyataan sosial bahwa manusia harus bekerja sama

agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat yang begitu kompleks. Bagi Talcott Parsons,120 seorang sosiolog, stratifikasi sosial diperlukan dan

juga dikehendaki pada suatu masyarakat kompleks yang berorientasi pada

kemajuan. Pentingnya stratifikasi terletak pada penempatan atau penentuan

alokasi imbalan serta hubungan dengan posisi-posisi, sesuai dengan tanggung jawab kolektif yang dibebankan atau dipercayakan, sehingga seluruh sistem berjalan secara fungsional dan efektif.

Jadi, perbedaan di kalangan manusia adalah sebagai akibat dari perbedaan aspirasi yang diciptakan oleh Allah.121 Aspirasi yang berbeda-beda ini mengarahkan setiap manusia kepada satu pekerjaan. Jika demikian, kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dapat terpenuhi. Di samping itu, penentuan aspirasi manusia ini merupakan pertanda kebijaksanaan Allah karena telah menjadikan mereka bebas memilih pekerjaannya. Oleh karena itu, perbedaan manusia tidak dapat dihindari, penting dan telah ditakdirkan Allah.

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 45-48)