• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zakat Hasil Pertanian

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 191-194)

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA

C. Klasifikasi Pendapatan Negara

3. Zakat Hasil Pertanian

Hasil pertanian merupakan semua hasil pertanian yang ditanam dengan menggunakan bibit biji-bijian yang hasilnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan serta yang lainnya; atau semua yang ditanam baik hasil, buah, bunga, dan sejenisnya yang memiliki harga dan manfaat secara syar’i.

Zakat hasil pertanian berdasarkan Q.S. al-Baqarah ayat 267 yang mengisyaratkan bahwa hasil pertanian sebagai bagian dari usaha seseorang,

647Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 430

648Yahya bin Adam, Kitab al-Kharaj,145.

649Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 431.

650Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam (Riyadh: Mathba’ah al-Riyadh, 1963), vol. 25, 8, 84.

dan kewajiban menunaikan harta setelah seseorang memetik hasil panennya (Q.S. Al-An’am:141). Sedangkan pada sebuah hadits, Nabi Muhammad mengatur ketentuan zakat pertanian antara hasil pertanian yang diairi dengan hujan atau air sungai sebesar 1/10 (10 %) dan tanah pertanian yang diairi melalui irigasi sebesar 1/20 (5 %).

Al-Mawardi652 membagi zakat hasil pertanian ini menjadi dua kelompok, yaitu pertama, zakat buah-buahan, kurma dan tumbuhan; dan kedua, zakat tanaman. Abu Hanifah menetapkan zakat atas seluruh jenis buah kurma dan

tumbuhan, sedangkan Syafi’i hanya mewajibkan zakat atas buah kurma dan

anggur saja, dan tidak mewajibkan zakat atas seluruh hasil buah-buahan selain kurma dan anggur.

Adapun syarat pengeluaran zakatnya dalam pandangan al-Mawardi,653

yaitu: pertama, telah matang, menjadi buah, dan enak dikonsumsi. Pemiliki buah meskipun telah memetiknya, namun belum matang maka tidak berkewajiban mengeluarkan zakat; dan kedua, hasil buah-buahan telah mencapai jumlah lima watsaq.654 Bagi Syafi’i, bila belum mencapai 5 watsaq

tidak wajib mengeluarkan zakat, sedangkan bagi Abu Hanifah banyak atau sedikit diwajibkan zakat atas seluruh buah-buahan. Di samping itu, Abu Hanifah melarang menaksir hasil buah untuk menentukan kewajiban zakat,

sedangkan Syafi’i membolehkan untuk menentukan nilai zakatnya, dan agar

para mustahiq mengetahuinya.

Adapun zakat atas tanaman, bagi Abu Hanifah dibebankan atas seluruh

jenis tanaman, sedangan Syafi’i membatasi pada jenis tanaman yang

dikonsumsi manusia sebagai makanan pokok. Syarat-syarat pengeluaran zakat dan teknisnya sama dengan zakat pada buah-buahan dan tumbuhan.655

Zakat ditunaikan pada waktu panen dan dibayar dalam wujud benda dari jenis yang dihasilkan, atau uang bila lebih maslahat bagi kaum faqir. Pada zakat pertanian, boleh mengurangkan hutang (pelunasan hutang secara kontan dan jangka pendek), karena ia berhubungan dengan salah satu syarat wajib zakat

Untuk zakat hasil pertanian biasanya dikenakan pada hasil tanah ‘ushr.

Jadi, tanah ‘ushr pada dasarnya dimiliki oleh kaum Muslim yang membayar lahan (sepersepuluh atau seperduapuluh hasil) sebagai beban wajib kepada bendahara. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kategori tanah dalam negara Islam yang termasuk ke dalam kategori ‘ushr656adalah:

652Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,123.

653Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,124

654Watsaq adalah suatu ukuran timbangan dengan berat sekitar 130,6 kg, sehingga 5 watsaq setara dengan

berat 653 kg.

655 Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,125.

183 a) Seluruh tanah Hijaj, Makkah, Madinah dan Yaman adalah tanah ‘ushr. Nabi

sendiri menetapkan status tanah-tanah ini dan tak seorang pun memiliki kewenangan untuk mengubah statusnya.

b) Semua tanah yang pemiliknya dengan tulus memeluk Islam.

c) Tanah yang ditaklukkan melalui penggunaan kekuatan dan didistribusikan di kalangan Muslim sebagai rampasan perang.

d) Tanah mati yang dihidupkan dan dapat ditanami oleh kaum Muslim.

e) Tanah tandus tak bertuan yang diberikan oleh negara kepada seorang Muslim sebagai pemberian.

Bagi al-Mawardi,657 besarnya zakat atas hasil pertanian diambil sebanyak sepersepuluh (10 %), jika diairi dengan pengairan biasa. Namun, bila diairi dengan penyiraman dan menggunakan alat, zakat yang harus ditunaikan adalah seperduapuluh (5 %). Adapun jika diairi dengan kedua cara itu, ada dua pendapat; pertama, penentuan zakatnya sesuai dengan bagian yang diairi dengan suatu macam pengairan; dan kedua, jika penentuan bagian kebun yang diairi dengan suatu macam pengairan berbeda antara pemilik kebun dengan petugas pemungut zakat, perkataan yang dipegang adalah pemilik kebun yang diperkuat dengan sumpah.

Secara teknis, Al-Mawardi, Abu Yusuf, Abu Ubaid, Yahya bin Adam, dan para fuqaha lain berpendapat bahwa hasil pertanian dibebaskan dari zakat hingga lima watsaq (kurang lebih 653 kg). Karena tidak ada yang wajib dizakati jika hasilnya kurang dari ukuran ini.658 Namun, Abu Hanifah menegaskan bahwa tidak ada batas pembebasan zakat dari hasil pertanian dan apapun yang dihasilkan tanah, sedikit atau banyak, zakatnya harus dibayar.659 Abu Hanifah mendasarkan argumennya pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa dari tanaman yang diairi oleh hujan, sepersepuluh dibebankan. Bagi Abu Hanifah, hadis ini bersifat umum dan tidak menyebutkan batas pembebasan. Pernyataan Abu Hanifah tersebut bertentangan dengan hadis Nabi lainnya yang secara tegas mendukung batas pembebasan sebanyak lima watsaq660

Standar minimal zakat bagi hasil pertanian sebesar 5 watsaq cukup rasional, karena ia menjadi sumbangan bagi para petani mikro. Karena itu, pendapat Abu Hanifah tersebut bertentangan dengan sifat zakat, yaitu hak orang-orang tak mampu yang ada pada kekayaan orang-orang kaya. Sifat zakat ini menunjukkan bahwa harus ada keringanan pembebasan dan ini harus dibebankan pada orang-orang yang menghasilkan melampaui kebutuhan mereka. Dengan demikian, pembebasan zakat atas jumlah hasil yang sedikit bertentangan dengan kemaslahatan para petani kecil.

657 Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,118

658Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,118, Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, 52; Abu Ubaid, Kitab al-Amwal,481, dan Yahya bin Adam, Kitab al-Kharaj,135.

659Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,119.

Pada sisi lain, al-Mawardi, Abu Yusuf, Yahya bin Adam, dan Abu Ubaid serta lainnya mendukung standar minimal zakat untuk memberi keringanan bagi para petani kecil. Yahya bin Adam menyatakan bahwa tidak ada zakat yang dibebankan pada hasil kurang dari lima watsaq.661 Bagi Yahya bin Adam, zakat dibebankan pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membayarnya. Ia berpendapat bahwa jika seseorang memiliki hutang dan jumlahnya melebihi hasilnya, ia akan dibebaskan dari zakat. Karena itu, tidak ada manusia yang hutangnya melebihi penghasilannya (dari pertanian) harus dibebani membayar zakat dari pertaniannya.662

Jadi, persyaratan dasar penetapan zakat atas hasil pertanian adalah bahwa hasil tersebut harus melampaui kebutuhan konsumsi pemiliknya. Dalam kaitan ini, Abu Ubaid dan Yahya bin Adam663 berpendapat bahwa berbagai jenis hasil pertanian samasekali tidak harus ditambahkan untuk dibebani. Karena itu, gandum tidak boleh ditambahkan pada gandum untuk membikin bir atau kurma, atau kurma ditambahkan pada kismis, tetapi masing-masing jenis hasil pertanian harus mencapai ukuran lima watsaq tanpa harus menambahkan satu jenis ke jenis lain. Di samping itu, jika seseorang memiliki jenis hasil pertanian yang berbeda, dan tak satu pun dari jenis tersebut mencapai jumlah untuk dizakati, maka ia dibebaskan dari zakat.664

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 191-194)