• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zakat Barang Tambang dan Mineral

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 196-200)

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA

C. Klasifikasi Pendapatan Negara

5. Zakat Barang Tambang dan Mineral

Zakat atas barang tambang dan mineral seperti emas, perak, besi, tembaga, timah dan sebagainya di kalangan di kalangan fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Abu Yusuf menyarankan agar seperlima dianbil dari berapapun jumlah mineral.672 Abu Yusuf dan para fuqaha’ Hanafiyah serta Abu Ubaid

menganggap mineral sebagai ghanimah (harta rampasan) dan, karenanya mereka menetapkan jumlah seperlima.673

Menurut Syafi’i, zakat atas mineral seperti zakat atas emas dan perak,

serta barang dagangan. Karenanya, ia menetapkan jumlah 21/2% dari seluruh penghasilan. Menurut al-Mawardi, mengutip pendapat fuqaha adalah bahwa jumlah zakatnya bisa berubah (dari 20% hingga 21/2%) sesuai dengan kondisi di mana mineral tersebut digali. Semakin besar jumlah pekerjaan dan modal yang dibutuhkan dalam memperolehnya, semakin kecil jumlah zakatnya (yaitu, 21/2%) dan sebaliknya.674

Perbedaan mengenai ketepatan di atas sesuai dengan ketentuan makna

rikaz di mana perintah yang jelas tentangnya dalam hadis Nabi adalah

seperlima.675 Kata rikaz yang berarti setiap harta yang terpendam di dalam tanah, yaitu harta karun.676 Para fuqaha Hanafiyah menganggap mineral sebagai

rikaz dan, karenanya memberikan ketentuan 20%. Yang lain melihat rikaz

berbeda dengan mineral.677 Jumlah zakat tertinggi atas mineral tampaknya tidak rasional karena penggalian mineral berbeda dengan penemuan harta karun. Mengingat yang pertama membutuhkan kerja dan modal yang besdar, jumlah zakat (atas mineral) harus lebih rendah ketimbang zakat atas harta karun, di mana pekerjaan yang diperlukan tidak banyak. Yusuf al-Qardhawi, seorang penulis kontemporer, menegaskan bahwa jumlah zakat atas mineral harus benal-benar sesuai dengan pekerjaan dan modal yang diperlukan untuk menggalinya.678

670Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 495.

671Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 390.

672Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,21.

673Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 349.

674Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,120.

675Abu Ubaid, Kitab al-Amwal,349.

676Abu Ubaid, Kitab al-Amwal,349.

677Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, vol. I, 442-443.

187 Dari uraian di atas terlihat bahwa pada masa awal Islam, individu berhak mengemukakan klaimnya atas mineral dan sumber alam lainnya sejauh ia dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan syarat ia mengeluarkan beban yang sudah semestinya kepada negara. Namun, jika praktik ini mendorong pada akumulasi kekayaan pada segelintir orang dan kemaslahatan umum terancam, negara sendiri dapat mengelola sumber-sumber alam ini. Salah seorang sahabat Nabi, meminta Abyaz Ma’arib yang merupakan danau garam. Nabi memenuhi permintaan tersebut, tetapi setelah mengetahui bahwa danau tersebut adalah danau garam, Nabi menolak memberikan kepadanya.679 Ini mengisyaratkan bahwa jenis sumber alam semacam itu tidak boleh diberikan kepada seseorang individu jika kemaslahatan umum masyarakat terancam. Akan tetapi, jika sumber-sumber kekayaan ini diberikan kepada seorang individu, ia wajib membayar seperlimanya kepada negara sebagai zakat.

Secara khusus, al-Mawardi memberikan bahasan khusus terkait dengan pengelolaan zakat oleh petugas yang berwenang dan ditetapkan oleh pemerintahan Islam. Secara rinci, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh petugas zakat adalah berstatus meredeka, muslim, bersikap adil, dan mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum zakat bila ia berada pada lingkup kementerian tafwidh (perdana menteri), sedangkan bila berada pada lingkup kementerian tanfiz (menteri eksekutif), maka tidak diperlukan pengetahuan tentang hukum-hukum zakat, sebab ia telah ditugaskan secara khusus untuk mengambil harta zakat dengan jumlah yang ditetapkan.680

Abu Yusuf681 menekankan pentingnya pengelolaan zakat secara amanah dalam pengumpulan zakat. Ia mensyaratkan pula kejujuran, loyalitas kepada penguasa dan rakyat, mampu mengawasi pengumpulan shadaqah, dan mengangkat para amil yang amanah setelah menyelidiki perilaku dan kejujuran mereka dalam pengumpulan shadaqah.

Dalam pengumpulan zakat, al-Mawardi berpijak pada sebuah ijma’ di kalangan fuqaha bahwa zakat atas barang yang tampak harus dipungut oleh negara dan semua Muslim harus dipaksa membayarnya secara langsung kepada pemungut.682 Namun, demikian al-Mawardi mencontohkan,683 pembayaran zakat atas barang yang tampak (emas, perak, barang dagangan) diserahkan kepada kebijaksanaan kaum Muslim. Pada masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar, zakat atas barang yang tak tampak dikumpulkan oleh negara. Akan tetapi semenjak ‘Utsman, khalifah ketiga, para pembayar zakat dibebaskan dari kewajiban membayar zakat atas barang yang tak tampak.

679 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal,289.

680 Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,112.

681Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,80.

682Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah, 113.

Dengan demikian, zakat atas bentuk kekayaan yang tak tampak diserahkan kepada kebijaksanaan pemiliknya karena para pemungut tidak dapat menilai kekayaan tersembunyi kecuali diungkapkan secara sukarela. Adapun produksi pertanian dan peternakan, penilaiannya dapat dilakukan dengan mudah. Alasan lainnya yang mungkin adalah bahwa karena melimpahnya kesejahteraan dan kemakmuran selama masa ini, kebutuhan untuk mengumpulkan zakat atas barang yang tak tampak dirasa tidak diperlukan. Jadi, diserahkan kepada individulah untuk membayar dan mengeluarkannya.

Berbeda dengan faqih lainnya, Abu Ubaid berpendapat bahwa hal itu harus dilakukan dalam bentuk kekayaan yang lebih memudahkan para pembayar zakat. Karena itu, ia menyatakan bahwa jika seorang pembayar zakat menginginkan, ia dapat membayar zakat komoditas dalam bentuk komoditas lain atau dengan tunai yang sebanding.684 Adapun untuk kemudahan para pedagang, zakat atas barang dagangan harus dikumpulkan secara tunai.685

Namun, beberapa fuqaha berpendapat bahwa zakat harus dikumpulkan dari aset yang sama yang dibebani zakat dan tidak dibolehkan membayarnya secara tunai atau dengan bentuk lain selain komoditas yang dikenai zakat.

Meskipun demikian, Abu Ubaid686 menegaskan bahwa pengumpulan yang sama boleh diterima selama hal itu lebih memudahkan para pembayar zakat. Ia meriwayatkan bahwa sahabat nabi, Mu’adz, menerima ganti yang sebanding dari zakat atas makanan gandum. Mu’adz mengatakan kepada para pembayar zakat agar membawa pakaian atau kain sebagai ganti shadaqah yang lebih mudah dan lebih baik bagi kaum Muhajirin.687 Prinsip kemudahan bagi para pembayar zakat harus ditaati jika pengumpulan zakat ditangguhkan agar meringankan mereka. Abu Ubaid688 menyatakan pula bahwa ketentuan tersebut harus ditaati jika pengumpulan zakat ditangguhkan agar meringankan mereka. Abu Ubaid menegaskan bahwa ketentuan tersebut harus ditaati hanya dalam kasus zakat atas peternakan. Ia meriwayatkan bahwa khalifah ‘Umar menangguhkan pemungutan zakat atas hewan selama setahun ketika terjadi kelaparan untuk memberi keringanan saat terjadi bencana alam.

Prinsip ini juga ditaati ketika para pengumpul zakat diarahkan agar tidak mengumpulkan komoditas yang terbaik, karena praktik ini akan mengarah pada kerugian para pembayar zakat. Yahya bin Adam689 meriwayatkan sebuah hadis Nabi yang menyatakan, “Janganlah kamu mengambil bagian terbaik dari kawanan hewan, tetapi ambillah dari hewan yang lebih tua, yang muda atau yang memiliki cacat.”

684Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 432.

685Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 433.

686Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 432.

687Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 433.

688 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 585.

189 Dengan demikian, pengelolaan zakat menekankan adanya kemudahan baik dalam pengumpulan maupun pembayaran zakat oleh para muzakki, karena itu diperlukan suatu kompetensi yang profesional bagi pengelola zakat

(‘amilin) sehingga tujuan zakat dapat tercapai.

Zakat sebagai ibadah sosial mengandung makna kepemilikan dan nilai surplus atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam konsep ekonomi modern, zakat mendorong penggunaannya pada tujuan produktif yang pada gilirannya meningkatkan kekayaan ekonomi, di samping berdampak secara ekonomis pada masyarakat kalangan bawah (mustahiq). Abu Ubaid meriwayatkan sebuah hadis Nabi di mana Nabi mendorong pemelihara harta seorang anak yatim agar menginvestasikannya agar tidak termakan oleh zakat.690

Riwayat lain menyebutkan bahwa, ’Aisyah biasa menginvestasikan kekayaan anak-anak yatim yang ditanganinya dan membayar zakat dari keuntungannya.691

Dalam peristiwa lain, Khalifah ‘Umar menyerahkan kekayaan seorang anak yatim kepada seseorang sehingga kekayaan itu dapat diinvestasikan.692

Dengan demikian, prinsip pengelolaan zakat telah menunjukkan adanya dimensi sosial yang dikenal sekarang ini dengan prinsip-prinsip perpajakan modern. Zakat memberikan keadilan melalui distribusi pendapatan secara merata bagi mereka yang memiliki nilai surplus dalam kekayaan yang dimilikinya. Bagi muzakki sendiri, zakat mengantarkan tujuan ekonomi secara produktif untuk terus meningkatkan pendapatannya dan sekaligus menunaikan kewajibannya dalam bentuk pengeluaran zakat.

d. Sumber-sumber Alam

Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sumber-sumber pendapatan negara dikelompokkan menjadi pendapatan pajak, pendapatan non-pajak, dan pendapatan yang bersumber dari pengelolaan kekayaan alam. Sumber daya alam yang dimiliki oleh kaum muslimin dapat digunakan untuk menunjang pemerintahan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dalam konsep ekonomi Islam, sumber-sumber tersebut mencakup ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati) dan pelembagaan iqta’.

1. Pengelolaan Tanah Mati (Ihya’ al-Mawat)

Tanah mati merupakan “tanah tak bertuan” yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, menurut al-Mawardi,693 siapa saja yang mengelola tanah tersebut berarti menjadi pemiliknya baik dengan ijin kepala negara atau pemerintah, maupun tanpa memiliki izin dalam pengelolaannya, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw.,”Siapa yang mengelola tanah mati, maka tanah itu menjadi

690 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 454.

691 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 456.

692 Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 455.

190

pemiliknya” (HR. Tirmidzi dan Ahmad). Sedangkan bagi Abu Hanifah,694

seseorang tidak boleh mengelola tanah mati, kecuali setelah mendapatkan izin dari kepala negara atau pemerintah, sebagaimana hadits Nabi,”Seseorang boleh memiliki tanah mati jika telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah.”

(HR. Thabrani).

Secara historis, tanah yang dikuasai kaum Muslimin tidak semuanya dimiliki oleh penduduk asal. Karena itu, ada beberapa bidang tanah yang luas di semenanjung Arabia dan wilayah negara lainnya yang tidak dimiliki seseorang. Dari sudut pandang prinsip-prinsip keuangan Islam, kepemilikan tanah yang tak bertuan menjadi milik negara. Hadis Nabi Saw., sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ubaid,695 menetapkan, “Seluruh tanah mati dan tak bertuan pertama-pertama merupakan milik Allah dan Rasul-Nya, setelah itu menjadi milikmu.”

Batas-batas suatu tanah disebut tanah mati diperdebatkan oleh fuqaha’.

Dalam pandangan Syafi’i,696 tanah mati merupakan seluruh tanah yang tidak dikelola dan bukan pinggir tanah yang telah dikelola. Meskipun tanah itu bersambung dengan tanah yang telah dikelola, tanah ini berstatus tanah mati. Abu Hanifah697 menilai bahwa tanah mati adalah tanah yang jauh dari tanah yang telah dikelola dan tidak dicapai oleh saluran air. Abu Yusuf698 berpendapat tanah mati adalah seluruh tanah yang jika seseorang berteriak dengan suara paling kuat di lahan yang paling dekat dengan lahan yang telah dikelola, maka tidak ada orang yang mendengarnya yang berada di tanah yang dikelola itu.

Adapun mengenai pengelolaan tanah mati, al-Mawardi699 memberikan batasan bahwa orang yang dekat dan jauh dengan lahan itu memiliki hak yang sama. Sedangkan bagi Malik,700 orang yang tinggal dekat dengan lahan itu, dari penduduk yang telah mengelola tanahnya, adalah lebih berhak untuk mengelola tanah itu dari orang yang jauh. Menurut Abu Ubaid,701 tanah tak bertuan dan bebas yang tidak dimiliki oleh seseorang, juga tidak dihidupkan oleh seseorang, berada pada otoritas publik (imam). Sedangkan Abu Yusuf702

menilai bawah negara merupakan pemilik seluruh tanah yang jatuh dalam kekuasaannya, baik dengan jalan perang atau diambil melalui damai, dan tidak ditemukan tanda ditanami atau dibangun oleh seseorang, juga bukan tanah umum atau padang rumput desa dan tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak pula dalam kepemilikan seseorang.

694Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,13.

695Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 286

696Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,138

697Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,14.

698Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,14.

699 Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,139

700Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah,139-140.

701Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, 297

Dalam dokumen Keuangan Publik Analisis Sejarah Pemikir (Halaman 196-200)