• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI AL-SYAUKĀNĪ DAN TAFSIR FATḤ AL-QADĪR

2. Aktivitas Keilmuan

Pada awal belajarnya, ia banyak menelaah kitab-kitab sejarah dan adab. Setelah itu ia menempuh perjalanan mencari riwayat hadis dengan sima’ dan talaqi kepada para ulama hadis hingga ia mencapai derajat imamah dalam ilmu hadis.11 Ia senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari urusan dunia. Selain sosok ayah yang cukup memberi pengaruh, lingkungan atau wilayahnya cukup memberi sumbangan besar pula dalam proses pergulatannya dalam mencari ilmu, al-Syaukānī menceritakan:

8 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, 55.

9 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 28.

10 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, 52.

11 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam”, h. 31.

“Dusun Hijrah ini sangat makmur dan dimakmurkan oleh orang-orang mulia lagi saleh dari sejak lama, di mana darinya senantiasa lahir orang ulama pada setiap generasinya dan berpengaruh dalam setiap wilayah yang mereka tempati. Mereka sangat memuliakan para ulama pendahulu mereka, di kalangan mereka ada pula yang menjadi pemimpin besar, pembela para pemimpin, khususnya ketika pecahnya peperangan melawan Turki, tangan mereka mematuhi dalam peperangan tersebut, di antara mereka yang ikut berperang adalah para ulama yang mulia, mereka terkenal di kalangan Kaum

Khaulān sebagai seorang hakim yang adil.”12

Seperti yang telah digambarkan di atas wajar jika al-Syaukānī menempuh pendidikan dengan baik kepada para ulama-ulama di Yaman, melihat banyaknya para ulama terkemuka di sana.

Dari ayahnya, ia mempelajari Syarah al-Azhar dan Syarah al-Nazir ala Mukthasar al-Usaifiri, ia juga belajar al-Quran di bawah asuhan beberapa guru dan dikhatamkan di hadapan para al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habi dan ia perdalam kepada para masyayikh al-Quran di San’a. Kemudian ia menghafal berbagai matan dan berbagai disiplin ilmu: Matan al-Azhar karya al-Imam al-Mahdi, Mukthasar al-Faraid karya al-Usaifiri, Malhatul Haram, al-Kafiyah al-Syafiayah karya ibn al-Hajib, al-Tazhib karya al-Tifazani, al-Talkhis fi Ulum al-Balagah karya al-Qazawani, al-Gayah karya ibn al-Imam, Muzumah al-Jazari fi Qara’ah, ManzumahJazzar fi Arudh, Adab Bahs wa

al-Munazarah karya Imam al-Adud, dan lainnya.13

Ketekunan al-Syaukānī dalam belajar dan membaca telah dapat mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usianya yang sangat muda, kurang dua puluh tahun, ia telah diterima oleh masyarakat Kota San’a dan sekitarnya untuk memberikan fatwa dalam

12 Mukarramah Ahmad, “Fath al-Qadīr Karya Imam al-Syaukānī: Sebuah Kajian Metodologi”, 66.

13 Untuk mengetahui guru-guru al-Syaukānī, lebih lengkapnya baca; Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ Qadīr Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam”, 38-42.

masalah berbagai keagamaan, sementara waktu itu guru-gurunya masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu melakukan ijtihad secara mandiri, terlepas dari ikatan Mazhab Zaidiyah yang dianutnya sebelum itu.14

B. Karakteristik Tafsir Fatḥ al-Qadīr 1. Pengenalan Tafsir Fatḥ al-Qadīr

Tafsir Fatḥ al-Qadīr merupakan salah satu sumber utama dan menjadi referensi penting, dikarenakan tafsir ini menggabungkan antara riwâyah dan dirayâh. Dalam pendahuluan tafsirnya, dijelaskan bahwa tafsir ini disusun pada Bulan Rabi’ul al-Awāl tahun 1223 H dan selesai pada tahun 1229 H15. Rujukan yang digunakan oleh al-Syaukānī dalam penyusunan tafsirnya ialah: melalui kitab Abu Ja’far

al-Nuhs, Atiyyah al-Dimasyqi, ibn Atiyyah al-Andalusi, Qurthubi,

Zamarkazy, dan ulama-ulama lainnya.16

Sosok al-Syaukānī tidak bisa terlupakan dari perhatian kita terhadap kitab Tafsir Fatḥ al-Qadīr: al-Jāmi Bāina Fannī al-Riwāyah

wa al-Dirāyah min ‘Ilmu al-Tafsīr sebagai karya terbesarnya dalam

bidang tafsir. al-Syaukānī merupakan salah satu ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadis, ushul fikih, sejarah, ilmu kalam, filsafat, balaqah, mantik, dan lainnya. Dalam kata pengantarnya sebagai berikut:

“Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Quran sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencangkup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadikan rujukan bagi para cendekiawan ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban penting bagi penentang,

14 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, 58.

15 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani dalam Kitab Tafsir Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol.5, no.2, (Agustus, 2008): 207.

16 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, Jilid I,

obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang berpegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siap yang mengikutinya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus.”17

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa al-Syaukānī amat bersemangat untuk menuangkan pemikirannya melalui tafsir, karena melihat kemuliaan dan keagungan akan al-Quran sebagai firma Allah. al-Syaukānī mengandalkan tafsirnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika ia senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk mempergunakan kitabnya sebagai acuan dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian hukum.

Tafsir Fatḥ al-Qadīr merupakan salah satu kitab tafsir yang cukup penting dan tafsir ini juga salah satu kitab muktabar di zaman sekarang, tak hanya di kalangan Syiah Zaidiyah, namun juga di kalangan ahlusunah wa al-jama’ah. Meskipun al-Syaukānī menganut Syiah Zaidiyah18, namun buku-bukunya dijadikan rujukan oleh para penulis modern khususnya dalam bidang tafsir, hadis, dan ushul fikih.

17 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 2.

18 Disebut Syiah Zaidiyah karena sekte ini menganut Zaid bin Ali Sebagai imam kelima, putra imam ke empat, ‘Ali Zainal ‘Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal ‘Abidin yang lainnya, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiyah ini diambil. Syiah Zaidiyah merupakan sekte yang moderat, Abu Zahra menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan Suni, yaitu firqah Syiah yang paling dekat kepada ahli sunah dan paling lurus. Mereka tidak mengangkat imam-imamnya sampai kepada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya kepada martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam mereka sebagai manusia biasa. Hanya saja mereka adalah seutama-utamanya sesudah Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak mengafirkan seseorang pun di antara sahabat-sahabat nabi dan terutama orang (Abu Bakar, Umar, dan Usman) yang dibaiat oleh Ali dan mengakui keimanannya. Lebih lengkapnya lihat di buku: Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam, 44-54.

Dokumen terkait