• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan dan Metode Tafsir

TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI AL-SYAUKĀNĪ DAN TAFSIR FATḤ AL-QADĪR

3. Pendekatan dan Metode Tafsir

Nama tafsir al-Syaukānī ialah Fatḥ al-Qadīr: al-Jāmi Bāina Fannī

al-Riwāyah wa al-Dirāyah min ‘Ilmu al-Tafsīr. Berdasarkan dari nama

tafsirnya saja sudah bisa diketahui bahwa pendekatan (manhāj) yang dipakai oleh al-Syaukānī dalam tafsirnya menggunakan dua pendekatan yaitu: bi al-riwāyah dan bi al-dirāyah.

Tafsir al- riwâyah atau dalam sebutan lain tafsir bi al-ma’sur ialah

tafsir yang berdasarkan pada al-Quran atau pun riwayat yang sahih. Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran (ayat dengan ayat), al-Quran dengan sunah, perkataan sahabat,24 atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in. Pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat.25

Dalam al-Tibyan karya Muhammda Ali al-Sahabuni dikatakan bahwa tafsir al-riwāyah ialah tafsir yang terdapat dalam al-Quran atau pun sunah atau pun pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah tentang penafsiran al-Quran berdasarkan

sunnah nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bil al-ma’sur adalah

menafsirkan al-Quran dengan al-Quran atau pun menafsirkan al-Quran

23 Syaih Muhammad al-Jamal, Biografi Sepuluh Imam Besar, 262.

24 Karena mereka yang paling dekat kehidupannya dengan Nabi Muhammad SAW. Lihat di Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), 424.

25 Manna’ al-Qattan, Mabahitsfi’Ulum al-Quran, terj. Anur Rafiq al-Mazni, cet. XIV (Jakarta: Al-Kausar, 2014), 434.

dengan sunah nabawiyyah, atau pun menafsirkan al-Quran dengan yang dikutip pendapat sahabat.26

Sedangkan tafsir bi dirayāh atau pun dalam istilah lainnya bi

al-ra’yi. Secara bahasa al-ra’yu berati al-i’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu

(akal). Ahli fikih yang sering berijtihad, biasa disebut ashab al-ra’yu. Karena itu tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan tafsir bi al-‘aqly dan

bi al-ijtihadi, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.27

Menurut isilah, tafsir bi ra’yi adalah upaya untuk memahami al-Quran atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir yang memahami betul Bahasa Arab dari segala sisinya, memahami betul lafaz-lafaznya, dan dalalahnya, mengerti syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbabunnuzul, mengarti naskh mansuh, dan menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufasir.28

Secara selintas tafsir yang menggunakan pendekatan dirayāh lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat ‘aqli dengan

menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa ulama berbeda-beda pendapat dalam penilaian tafsir bi al-ra’yi. Begitu juga hanya dengan ijtihad dan tafsir al-ra’yi yang memungkinkan akan hasil benar dan salah.

Penulis menarik kesimpulan bahwa al-Syaukānī menggunakan kedua pendekatan ini, yaitu pendekatan al-riwāyah dan al-dirayāh, yaitu memadukan antara teks dan akal atau ijtihad yang mana ini akan membuat Tafsir Fatḥ al-Qadīr semakin mapan atas kajian yang dilakukan al-Syaukānī. Untuk teknis penafsirannya Muhammad Ihsan

26 Muhammad ‘Alī al-Sabuni, al-Tibyān fî ‘Ulūm al-Qur’ān (Damsyik: Maktabah al-Ghazāli, 1981),63.

27 Anshori, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), 174. 28 Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid, I (al-Qāhirah: Maktabah Wahbah, 2003), 183.

dalam jurnalnya yang berjudul Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani

dalam Kitab Tafsir Fatḥ al-Qadīr menggunakan teknis penafsiran

tekstual, teknik penafsiran secara sistematis, teknik penafsiran linguistik, teknik penafsiran kultur, dan terakhir teknik penafsiran secara logis.29

Di dalam pendahuluan Tafsir Fatḥ al-Qadīr terdapat perkataan yang membuat penulis semakin yakin tujuan dan manfaat al-Syaukānī menggunakan dua pendekatan ini. Ia mengatakan:

“... pada dasarnya para mufasir berbeda pendapat pada dua masalah, mereka mengambil jalan atas dua cara: Golongan yang pertama adalah para mufasir yang memakai pendekatan riwāyah, kedua adalah ulama yang memakai pendekatan dirayāh yang membahas hanya sebatas telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya dan kalaupun mereka mencantumkan hanya sebagai pelengkap, masing-masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan adalah benar, padahal menurut hemat saya kedua metode di atas bisa saling melengkapi satu sama lain”.30

Dalam perkataannya bisa dipahami bahwa ketika menafsirkan al-Quran kemudian menggunakan kedua pendekatan tersebut akan menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, harapan inilah yang al-Syaukānī pakai selama ini yaitu dengan cara meneliti buku-buku tafsir yang bertentengan satu sama lain mulai dari segi makna,

i’rab, dan balagahnya. Selain itu berusaha untuk menunjukkan

penafsiran-penafsiran yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in, dan imam-imam yang dapat dipercaya.

Adapun dengan metode al-Syaukānī dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr, ialah menggunakan metode tahlîlî. Para ulama tafsir membagikan

29 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Syaukānī dalam Kitab Tafsir Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol. 5, no. 2, (Agustus, 2008): h. 210-213.

30 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Penerjemah Pustaka Azzam, cet. I, jilid II, 45-46.

metode tafsir menjadi empat bagian: tahlīlī31, ijmali32, muqaran33, dan

mauḍhū’i.3435

Penulis bisa katakan bahwa al-Syaukānī menggunakan dua pendekatan, yaitu riwâyah dan dirayâh seperti yang ditulis dalam nama tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari penafsiran al-Syaukānī di atas, adalah lebih kepada metode tahlīlī. Dikatakan

tahlīlī karena al-Syaukānī melakukan penafsiran dari awal surah,

sampai surah terakhir, indikasi lain adalah karena ia menggunakan penelaahan secara bahasa, munasabah ayat ataupun surah, dan asbabunnuzul.36

31 tahlīlī yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam al-Quran, mulai dari mengemukakan arti kosakata, munasabah (persesuaian), antar ayat, antar surah, asbabunnuzul, dan lainnya. Lihat Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 208.

32 Ijmali adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara global atau general (garis besar), berdasarkan urutan bacaan dan susunan al-Quran. Lihat Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 207.

33 Muqaran yaitu membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Lihat Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 216.

34 Mauḍhū’i yaitu metode yang menjelaskan permasalahan atau problematika yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam masalah akidah, aktivitas sosial, atau fenomena alam yang dipaparkan oleh ayat-ayat al-Quran. Lihat Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 210.

35 Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2001, al-Quran Kita, cet. III (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 226.

36 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani dalam Kitab Tafsir Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol.5, no.2, (Agustus, 2008): 208.

29

BAB III

Dokumen terkait