• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UMUM TENTANG RISYWAH

A. Pengertian Risywah

Budi Irawan dalam tulisannya yang berjudul ‘Rasuah’ mengatakan bahwa risywah jika di Indonesiakan kata ‘rasuah’1. Kata risywah jika diindonesiakan menjadi ‘rasuah’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan, rasuah adalah korupsi. Jadi risywah bisa juga dikatakan korupsi, meskipun risywah adalah salah satu dari beberapa modus di dalam korupsi itu sendiri. Dalam KBBI korupsi adalah penyelewengan atau penyalah gunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi ataupun orang lain2. Jadi kata

risywah dalam KBBI berubah atau diindonesiakan menjadi kata ‘rasuah’

Sedangkan, KPK menjelaskan bahwa risywah (suap-menyuap) adalah bagian dari korupsi itu sendiri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, membagi tindak pidana korupsi ke dua kelompok. Pertama, kejahatan korupsi itu sendiri. Kedua, kejahatan lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kejahatan dalam kelompok kedua sebenarnya bukan korupsi. Akan tetapi, karena berkaitan dengan korupsi, maka juga dianggap sebagai pidana korupsi.3 Tindak pidana korupsi dalam kelompok pertama dibagi menjadi tujuh bagian, yakni tindakan; merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, ‘suap-menyuap’, penggelapan dalam

1 Budi Irawanto, “Rasuah,” Majalah Tempo, 24 Februari 2013, 10.

2 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. V (Jakarta: Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, 2016), 305.

3 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi (Jakarta: Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2016), 22

jabatan, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, dan gratifikasi.4

Dalam al-Quran tidak ada term secara khusus yang menerjemahkan arti risywah, hanya saja ada yang agak bersentuhan atau maknanya bermuatan risywah atau suap menyuap, yaitu di dalam Surah al-Baqarah ayat 188, al-Māʹidah ayat 42, dan Surah an-Naml ayat 35-36.

Sedangkan dalam Bahasa Arab risywah sebagai berikut. Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab “

َ وَ شَ يَ ر-ََا َ رَ ش

yang masdar atau verbal naoun-nya bisa dibaca

َ ة َ شَ وَ ر

”َ”

َ وَ ة َ رَ ش

atau

َ وَ ة َ رَ ش

(hurufnya ra’-nya dibaca kasrah, fathah atau ḍammah) berarti

َ لَ عَ لا

yaitu upah, hadiah, komisi atau suap. Ibn Manzur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat

َ وَ خَ فلاا َ رَ ش

yaitu, anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya atau disuapi.5

Adapun secara terminologi, risywah adalah suatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil atau salah atau menyalahkan yang benar.6

Dalam sebuah kasus, risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu pihak pemberi (al-rasyī), pihak penerima pemberian (al-murtasyī), dan barang bentuk jenis pemberian yang diserahterimakan. Akan tetapi, dalam kasus risywah tentu boleh jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi, penerima, dan barang sebagai objek risywah-nya, melainkan juga melibatkan pihak ke empat sebagai broker atau perantara antara pihak

4 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi, 22. 5 ibn Manzhūr, Lisānul al-‘Arab, jilid XIV (Bairūt: Darul Sadīr, t. t), 322. 6 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Anti Korupsi Untuk Pemeluk Agama Islam (Jakarta: KPK, t. t), 32.

pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima. Misalnya, pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak yang dimaksud.

Di antara definisi risywah, definisi buku Kasyf al-Qanna ‘an Matn

al-Iqna’, Mansur bin Yusuf Idris al-Bahuti, menurut penulis cukup menarik

sebab ia mengemukakan bahwa jika pihak pertama memberikan sesuatu kepada pihak kedua dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihak kedua dan agar pihak kedua mau melaksanakan kewajiban maka pemberian semacam itu tidak dianggap risywah yang dilarang dalam agama.7

Dalam definisi ini dikemukakan sebuah pengandaian, yaitu seandainya pihak kedua melakukan kezaliman terhadap pihak pertama dan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap pihak pertama dan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan terhadap pihak pertama, maka dalam masalah ini boleh diberikan sesuatu berupa suap atau sogok. Menurut penulis, pengataan pengandaian seperti ini tidak wajar sehingga dalam kasus semacam ini tidak diperlukan selain dengan cara menyogok atau menyuap, tetapi justru sebaliknya diperingatkan, dikritik, dan diberikan saran terbaik. Senada dengan pengandai yang diungkapkan oleh al-Bahuti di atas, Syamsul Haq al-Azim mengatakan, sebaiknya pemberian-pemberian dalam kondisi ini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim dalam para penguasa sebab upaya untuk membela pihak yang benar sudah merupakan kewajiban yang harus dilakukan, menolak kezaliman yang dilaksanakan pelaku objek (mazlum) juga wajib dilakukan oleh hakim tersebut, sehingga tidak boleh mengambil atau menerima pemberian ini”.8

7 M. Nurul Irfan, “Gratifikasi dalam Pandangan Hukum Pidana Islam.” Ahkam, vol.11, no.2 (September 2009): 5.

Syamsul Haq al-Anwar Abadi mengemukakan bahwa pemberian yang dilakukan dengan niat agar penyimpangan dan penyelewengan pihak penerima bisa diubah semakin baik, sebaiknya tidak dilakukan dalam masalah peradilan dan pemerintahan (al-qudah wa al-wulan) sebab tanda diberi sogok atau hadiah pun membela dan menegakkan keadilan sudah menjadi tugas hakim dan pemerintah. Maka tidak layak jika dalam membuat adil harus memberi suap.9

Dari uraian tentang risywah di atas, bisa disimpulkan bahwa risywah atau pun suap adalah suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang hakim10 (petugas, pejabat pemerintah, elit politik, dan lainnya) dengan tujuan untuk kepentingan yang terselubung di belakang, yaitu membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Meskipun ada beberapa ulama yang memperbolehkannya melakukan risywah (yang

9 Dalam hal ini al-Syaukānī lebih tegas mengemukakan pendapatnya bahwa diharamkan menyuap seseorang hakim secara ijmak atas dasar Sabda Nabi Muhammad Saw: “Allah melaknat seseorang penyuap dan yang disuap,” Imam Yahya berpendapat bahwa pelaku dianggap telah fasik dengan tujuan untuk mengancam seorang penyuap, jika ia menuntut suatu kebatilan maka termasuk dalam cakupan hadis tersebut. al-Mansur Billah, Abu Ja’far, dan sebagian ulama ashab al-Syafi’īberpendapat bahwa kalau suap diberikan untuk menuntut hak yang disepakati maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi, konon Mazhab al-Syafi’ī tidak memperbolehkan atas dasar keumuman hadis tentang haramnya risywah. bila hal ini masih diperselisihkan maka risywah model ini sama dengan batil yang tidak ada pengaruhnya dari segi hukum. Menurut – saya – kata al-Syaukānī upaya untuk konsep takhsis tentang dibolehkannya menyerahkannya suap kepada hakim dalam rangka menuntut hak, saya tidak mengerti dengan jenis atau metode takhsis apa yang dilakukan, pendapat yang benar adalah tetap haram secara mutlak dengan dasar sifat keumuman hadis. Jadi seseorang yang membolehkan risywah dalam berbagai tipe dan bentuknya bisa diterima diserati dengan dalil yang kuat. Namun, apa bila tidak ada dalil yang kuat maka takhsisnya ditolak. Sebab, pada dasarnya harta orang Muslim haram (untuk saling diganggu), “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid III (Bairūt: Dar al-Fikr, t. t),172.

10 Dalam hal ini al-Syaukānī mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada hakim atau yang serupa dengannya merupakan salah satu bentuk risywah, sebab seseorang yang memberikan hadiah kepada hakim bukan karena terbiasa, maka tidak mungkin ia memberikan hadiah tersebut kecuali dengan maksud atau tujuan tertentu. Hadiah tersebut bertujuan untuk menguatkan (keputusan) batilnya atau dimaksud untuk memenangkan haknya (pemberian hadiah), dan kedua tindakan ini haram dilakukan. Lihat al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid IX (Bairūt, Dar al-Fikr. t. t), 173.

diperbolehkannya dalam Islam) dan ada yang melarangnya, di sini penulis tidak bisa menghakimi apakah risywah itu boleh atau tidak, karena tugas penulis hanya menjelaskan dan menjawab seperti apa itu definisi risywah saja.11

Dokumen terkait