• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.3 Aktivitas Petani Akar Wangi

Petani akar wangi di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Bayongbong, Samarang, Cilawu, Leles, dan Pasir Wangi. Karakteristik petani akar wangi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu petani individu dan petani kelompok. Petani ada yang bertindak sebagai penyuling yang disebut petani/penyuling dan petani murni. Rata-rata petani hanya bekerja sebagai petani saja, walaupun tidak hanya akar wangi yang diusahakan. Ada beberapa petani yang juga melakukan budidaya sayuran berupa kol, tomat, kentang, kubis, cabai, dan singkong.

Petani individu relatif lebih sedikit dibandingkan petani yang berkelompok, petani kelompok sebesar 72 persen dan petani individu sebesar 28 persen. Bentuk usaha dari 72 persen petani kelompok tersebut adalah Persekutuan Komanditer (CV) sebesar 32 persen dan 40 persen tidak berbadan hukum. Jumlah kelompok tani yang tidak berbadan hukum lebih besar daripada kelompok tani dengan bentuk CV, hal tersebut menunjukkan bahwa struktur kelembagaan petani masih belum tersusun secara rapi.

Menurut data Dinas Perkebunan (2010), kegiatan pengembangan akar wangi melibatkan 1.203 orang sebagai pemilik (Kepala Keluarga) dan 52.717 orang tenaga kerja. Mereka tergabung dalam 33 kelompok tani yang tersebar di Kecamatan Samarang sebanyak 9 (sembilan) kelompok tani, di Leles terdapat 12 kelompok tani, di Cilawu terdapat 10 kelompok tani dan di Bayongbong terdapat 2 (dua) kelompok tani.

Jumlah anggota kelompok tani paling banyak adalah Sinar Wangi yaitu sebanyak 200 anggota. Satu kelompok tani diketuai oleh seorang penyuling yang berperan sebagai pemberi modal dan pembina teknik budidaya bagi anggotanya. Anggota kelompok tani menyediakan sarana produksi tanaman seperti pupuk, bibit, dan tenaga kerja. Kesepakatan antara petani dan penyuling adalah petani harus menjual hasilnya kepada pemberi modal (penyuling). Namun, ada beberapa penyuling yang memberi kebebasan kepada anggotanya untuk menjual

hasil panen

petani dapat membayar pinjaman modal yang diberikan. Status

persen), sewa budidaya ya luas lahan budida 5 sampai 10

10 Ha (Gambar 8). Hal adalah petani

memproduksi sebesar 3 (tiga)

panen lebih dari 3 (tiga) kali.

Gambar 8.

Rata lebih dari 10 Gambar 9.

berdasarkan warisan dari orang tua mereka secara turun menurun.

Gambar 9. Lama

Budidaya monokultur sari sebesar

panen kepada penyuling atau pengumpul lain, dengan petani dapat membayar pinjaman modal yang diberikan.

Status kepemilikan lahan budidaya ada yang milik persen), sewa (4 persen), milik sendiri dan sewa (8 persen). budidaya yang dimiliki petani bervariasi, 40 persen petani

lahan budidaya dibawah 5 Ha, 36 persen memiliki lahan sampai 10 Ha, dan hanya 24 persen yang memiliki luas 10 Ha (Gambar 8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa rata adalah petani berskala kecil. Satu hektar lahan rata memproduksi 10 – 21 ton akar wangi dengan kapasitas satu sebesar 3 (tiga) ton. Oleh karena itu satu hektar lahan panen lebih dari 3 (tiga) kali.

Gambar 8. Luas lahan budidaya petani akar wangi (Sumber: Primer, diolah)

Rata-rata petani menjalankan usaha budidaya akar dari 10 tahun. Lama usaha petani dapat dilihat secara Gambar 9. Para petani umumnya melakukan budidaya berdasarkan warisan dari orang tua mereka secara turun menurun.

Gambar 9. Lama usaha budidaya petani akar wangi ( Primer, diolah)

Budidaya tanaman akar wangi dapat dilakukan monokultur dan tumpang sari. Petani yang melakukan sistem

sebesar 84 persen dan 16 persen dengan sistem

40% 36% 24% <5 Ha 5 - 10 Ha >10 Ha 12% 40% 32% 12% 4% < 10 tahun 10 - 20 tahun 20 - 30 tahun 30 - 40 tahun > 40 tahun

lain, dengan ketentuan petani dapat membayar pinjaman modal yang diberikan.

ng milik sendiri (88 (8 persen). Luas lahan persen petani memiliki memiliki lahan budidaya memiliki luas lahan di atas gindikasikan bahwa rata-rata petani lahan rata-rata mampu kapasitas satu kali panen hektar lahan memerlukan

wangi (Sumber: Data

ya akar wangi sudah dilihat secara rinci pada budidaya akar wangi berdasarkan warisan dari orang tua mereka secara turun menurun.

wangi (Sumber: Data

dilakukan dengan sistem melakukan sistem tumpang sistem monokultur. 20 tahun

30 tahun 40 tahun

Budidaya akar wangi dimulai dengan pembibitan. Bibit akar wangi diperoleh dengan cara memisahkan daun dan akar, setelah itu diambil bonggol akarnya untuk ditanam. Bibit yang ditanam (bonggolnya) adalah akar yang berasal dari tanaman yang tidak berbunga dengan jarak tanaman biasanya antara 0,5m x 0,75m sehingga untuk 1 Ha lahan diperlukan bibit sebanyak ± 10.000 rumpun. Setelah penyiapan bibit maka dilanjutkan pencangkulan dengan proses manual.

Proses selanjutnya adalah proses penanaman. Setelah 5 bulan penanaman sebaiknya dilkukan pemangkasan daun. Hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan akar. Penyiangan dapat dilakukan sebanyak 3 kali selama musim tanam. Masa penyiangan pertama dilakukan pada saat akar berusia antara 1-2 bulan. Masa penyiangan kedua dilakukan antara usia 3-4 bulan dan masa penyiangan ketiga dilakukan antara usia 4-6 bulan. Penyiangan bertujuan untuk menghilangkan tanaman- tanaman penganggu yang dapat mengurangi nutrisi bagi akar. Penyiangan sangat berpengaruh pada jumlah rendemen minyak akar wangi.

Pemupukan dilakukan hanya sekali dalam satu musim tanam. Pemupukan dilakukan saat akar berusia 2-4 bulan. Walaupun demikian, ada petani yang tidak melakukan pemupukan. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuainya harga beli dan biaya operasional yang dikeluarkan dengan harga jual akar wangi. Menurut sebagian besar petani akar wangi, tanaman akar wangi tetap tumbuh dengan baik walaupun tidak diberi pupuk, terutama untuk sistem tanam monokultur. Sedangakan, sistem tanam tumpang sari pemupukan diutamakan untuk tanaman tumpangnya daripada tanaman akar wangi. Petani akar wangi menggunakan pupuk organik dan anorganik. Jenis pupuk anorganik yang digunakan adalah ZA, TSP, NPK, KCL, kecuali pupuk UREA. Sedangkan pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang.

Setelah tanaman berusia 12 bulan maka tanaman siap dipanen. Sebagian besar petani memanfaatkan tenaga kerja lebih untuk proses pemupukan, penyiangan dan panen. Tenaga kerja yang digunakan

biasanya adalah tenaga kerja harian atau borongan. Tenaga kerja harian dibayar sebesar Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari untuk tenaga kerja wanita dan Rp 25.000 – Rp 35.000 per hari untuk tenaga kerja laki-laki. Besar pembayaran untuk sistem borongan adalah Rp 150.000 – Rp 200.000 untuk satu pemborong dengan jumlah tenaga kerja tidak ditentukan.

Setelah panen petani menjual akar wangi langsung kepada penyuling atau kepada pengumpul akar wangi yang berada di daerah sekitarnya. Petani terkadang mengantarkan hasil panen kepada pembeli atau pembeli datang langsung ke petani atau ke lahan langsung. Apabila petani tersebut tergabung dalam kelompok tani maka hasil tersebut dikumpulkan terlebih dahulu di koperasi Usaha Rakyat (USAR).

Petani individu menjual bahan baku akar wangi kepada penyuling atau pengumpul yang membeli dengan harga tinggi dibandingkan pembeli lain. Petani yang mempunyai kelompok tani akan menjual hasil panen ke penyuling yang memberikan modal pinjaman untuk budidayanya. Sedangkan petani yang berperan sebagai penyuling juga akan menyuling hasil panen mereka sendiri selain membeli dari petani lain untuk disuling.

Menurut survey ada petani yang juga melakukan penyulingan langsung walaupun tidak mempunyai alat suling. Petani tersebut terkadang menyuling bahan baku dengan menumpang di tempat penyulingan milik pengusaha penyuling dengan ketentuan bahwa produk yang dihasilkan dijual ke pemilik alat suling. Selanjutnya minyak akar wangi tersebut dijual lagi ke pengumpul minyak atau eksportir.

Pemasaran akar wangi tidak mempunyai kendala yang signifikan, karena semua hasil panen pasti terserap pasar. Kerjasama antara petani, pengumpul, dan penyuling sangat berpengaruh dalam pemasaran tersebut. Akar wangi dijual dengan harga berat basah yaitu berkisar antara Rp 1.200 – Rp 3.000 per kg. Sebagian besar petani menjual akar wanginya pada harga Rp 2.000 per kg.

Modal petani kebanyakan adalah modal sendiri atau modal pinjaman dari saudara. Selain itu, sebagian besar petani yang tergabung dalam kelompok tani mendapat pinjaman modal dari ketua kelompoknya. Modal yang dibutuhkan dalam budidaya akar wangi selama satu periode penanaman kurang dari Rp 25.000.000 per hektar. Kendala modal yang sering dihadapi oleh petani adalah lamanya masa tanam, sehingga perputaran modalnya terlalu lama. Hal tersebut membuat sebagian petani yang bermodal kecil menjual akar wangi dengan sistem ijon saat tanaman berumur 8 bulan. Walaupun demikian tanaman akar wangi tetap dipanen setelah berumur 12 bulan.

Petani jarang yang melakukan pinjaman kredit ke bank atau lembaga keuangan lain. Hanya beberapa yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Persyaratan yang rumit dirasa memberatkan petani dalam memperoleh pinjaman modal dari bank. Persyaratan tersebut adalah bunga pinjaman yang harus dibayar dan sistem administrasi yang rumit (misalnya harus menggunakan agunan pinjaman). Menurut survey 84 persen petani mengharap bantuan dari pemerintah, 8 (delapan) persen dari pihak perbankan, 8 (delapan) persen yang lain mengharap bantuan dari kelompok tani dan sistem bagi hasil dengan investor akar wangi.

Petani akar wangi yang melakukan kemitraan sebesar 76 persen dan 24 persen lainnya tidak melakukan kemitraan. Mitra petani antara lain adalah kelompok tani, penyuling, pengumpul bahan baku, dinas perkebunan, dinas perindustrian, perdagangan, dan koperasi Kabupaten Garut. Bentuk kemitraan yang dilakukan antara lain pembelian bibit, pelatihan budidaya akar wangi, pemberian modal, dan pemasaran akar wangi. Selama bermitra, petani memperoleh manfaat lebih. Salah satu contohnya adalah adanya pembinaan budidaya tanaman akar wangi yang mampu meningkatkan hasil budidaya.

Permasalahan yang sering muncul adalah ketersediaan bibit yang tidak konsisten dan mutu bibit tidak sesuai dengan yang diharapkan. Permasalahan lain yang muncul adalah cuaca yang tidak

menentu yang mengakibatkan rendemen minyak akar wangi berkurang. Cuaca yang tidak baik untuk tanaman akar wangi adalah ketika curah hujan meningkat, sehingga kandungan air pada akar berlebih. Selain itu, kosongnya pupuk dan keterampilan pekerja yang rendah juga menjadi kendala dalam budidaya akar wangi.

Harapan petani berdasarkan hasil survey adalah meluasnya pangsa pasar minyak akar wangi Indonesia di dunia dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas. Pangsa pasar diharapkan meluas ke Indonesia. Peningkatan posisi harga, sehingga kesejahteraan petani meningkat. Oleh karena itu, sangat diharapkan peran pemerintah yang tepat guna dalam memberikan bantuan baik fasilitas maupun permodalan.

Dokumen terkait