• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Aktor Perubahan Penggunaan Lahan

Hasil survei lapangan dengan metode sampling transek 8 arah menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Lima jalur pengambilan sampel dari pusat kota ditetapkan pada penelitian ini dengan total jumlah sampel adalah 72 responden. Responden terdiri dari pemilik lahan dan responden yang mengetahui informasi penggunaan lahan yang dilewati oleh jalur pengambilan sampel (Gambar 16). Jumlah titik pengambilan sampel yang melewati lima jalur sebanyak 62 responden. Sepuluh responden lainnya terdiri dari lima responden di kantor camat dan lima responden diambil secara acak diantara lima jalur Gambar 15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di

Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan).

pengambilan sampel. Perubahan penggunaan lahan terjadi atas kendali aktivitas manusia menjadi pusat perhatian dalam bagian ini. Hubungan perubahan penggunaan lahan dengan aktor perubahan penggunaan lahan ditelaah menggunakan analisis deskriptif.

Gambar 16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara.

Data ini menyajikan informasi status responden terhadap lahan di titik-titik wawancara. Distribusi responden menyajikan informasi bahwa pemanfaatan sumberdaya lahan di wilayah peri-urban sebagian dilakukan untuk aktifitas pemiliknya sehari-hari dan sebagian lagi untuk kepentingan investasi. Dari 72 titik pengambilan sampel, terdapat 18 titik responden dengan status bukan pemilik lahan yang berada pada penggunaan lahan pertanian.

Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Etnis/Suku

Etnis/suku yang diasumsikan berperan dalam perubahan penggunaan lahan terlihat bersifat heterogen (Gambar 17). Pola distribusi sampel etnis/suku cenderung mengelompok pada lokasi yang jauh dari pusat kota. Tingginya keragaman etnis/suku dipicu oleh migrasi masyarakat luar Sulawesi ke Kota Makassar. Pola distribusi sampel yang mengelompok menjadi indikasi ketidaktergantungan suatu kelompok etnis/suku terhadap jarak ke pusat kota. Namun demikian, dalam penelitian ini pola etnis/suku yang mengelompok di wilayah peri urban Kota Makassar tidak dikuatkan oleh sampel di kecamatan tetangga yang berbatasan dengan Kota Makassar, mengingat keterbatasan ruang lingkup penelitian. Wilayah sampling hanya dilakukan pada lima kecamatan di Kota Makassar.

Gambar 17 menyajikan informasi pola distribusi sampel di wilayah penelitian. Kecenderungan sampel yang mengelompok terdapat pada wilayah yang jauh dari pusat kota. Faktor etnis/suku yang masih cenderung berkelompok adalah Makassar dan Tionghoa, serta fasilitas Milik Pemerintah. Etnis/suku yang

Pemilik Lahan 58% Bukan Pemilik Lahan 42% Status Responden

mengelompok secara spasial berada pada bagian Timur Laut, Tenggara, dan Selatan. Kecenderungan untuk mengelompok bagi etnis/suku Makasar terdapat pada arah transek arah Timur Laut dan Tenggara. Etnis/suku yang cenderung mengelompok di arah selatan yaitu Tionghoa. Fenomena ini dapat dijadikan indikasi adanya ekspansi penguasaan lahan oleh etnis/suku Tionghoa. Wilayah ini merupakan kawasan pengembangan bisnis di Kota Makassar. Etnis/suku yang lain terdistribusi pada lima jalur transek.

Informasi distribusi responden berdasarkan etnis suku secara proporsional disajikan pada Gambar 18. Distribusi responden memperlihatkan tidak adanya salah satu etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan. Gambaran distribusi responden dapat dijadikan indikasi tingkat heterogenitas masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan. Komposisi masyarakat yang beragam menyajikan informasi terkait karakter masyarakat yang sifatnya terbuka. Orientasi berbagai etnis/suku dapat digambarkan dari hubungan antara aktor dan pola perubahan penggunaan lahan. Namun demikian kajian ini membatasi diri pada kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan dengan identitas etnis/suku. Distribusi aktor perubahan penggunaan lahan tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19 menunjukkan bahwa semua etnis/suku berkontribusi dalam perubahan penggunaan lahan. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan menyajikan informasi bahwa tidak ada etnis/suku yang dominan melakukan perubahan penggunaan lahan. Namun demikian, etnis/suku Tionghoa dan Bugis cenderung memiliki kontribusi lebih tinggi dari sisi proporsi diikuti etnis/suku Makassar, Non-Etnis/suku (Milik Pemerintah), dan etnis/suku lainnya seperti Toraja dan dari luar Sulawesi. Kejadian sengketa lahan mempunyai proporsi yang setara dengan etnis/sukToraja dan etnis/suku dari Luar Sulawesi. Hasil wawancara di lapangan menemukan informasi bahwa sengketa lahan umumnya terjadi antara sesama etnis/suku Makassar. Sengketa lahan muncul saat etnis/suku lain, utamanya Tionghoa, bersedia membeli lahan tersebut. Titik lahan sengketa cenderung terfokus pada wilayah dengan perubahan penggunaan lahan empang/tambak menjadi TPLK. Kejadian sengketa lahan umumnya terdapat di wilayah Kecamatan Tamalate, yang merupakan kawasan pengembangan bisnis di Kota Makassar.

Gambar 17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar.

Gambar 18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku. Non-Etnis/suku (Pemerintah) 22% Makassar 31% Bugis 15% Toraja 4% Tionghoa 20% Bima 2% Jawa 4% Batak 1% Sengketa 1% Etnis/suku Responden

Gambar 19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar.

Perubahan penggunan lahan pada periode tahun 2001 ke tahun 2010 memperlihatkan bahwa semua etnis/suku berperan menjadi aktor perubahan penggunaan lahan. Konversi penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian dilakukan oleh berbagai etnis/suku yang bermukim di Kota Makassar. Orientasi perubahan penggunaan lahan khususnya untuk kepentingan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis.

Tabel 14 menyajikan informasi kecenderungan etnis/suku melakukan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dominan terjadi pada jalur 1, jalur 5, dan pengambilan sampel acak. Pembangunan sarana industri umumnya dilakukan oleh etnis/suku Tionghoa pada jalur 1. Bentuk sarana industri yang dibangun adalah pabrik pengepakan dan gudang hasil bumi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebutuhan padat modal yang hanya dimiliki oleh beberapa kalangan tertentu. Orientasi pengadaan sarana bisnis ditemukan pada jalur 5. Etnis/suku dari Luar Sulawesi merupakan aktor yang mendominasi perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan pembangunan sarana bisnis. Bentuk sarana bisnis yang telah dibangun saat ini adalah Mall GTC dan Trans Studio. Satu titik pada jalur ini menjadi lahan sengketa antara sesame etnis/suku Makassar pada saat dilakukan survei lapangan. Lahan sengketa tersebut merupakan konversi empang/tambak menjadi TPLK. Perubahan penggunaan lahan juga dilakukan oleh pemerintah, yaitu untuk penyediaan sarana pelayanan publik. Pembangunan Kantor Camat Biringkanaya dan Kantor Camat Tamalate adalah beberapa contoh bentuk pengadaan sarana

Non-Etnis/suku(P emerintah) 14% Makassar 14% Bugis 22% Toraja

Dokumen terkait