• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akulturasi Tionghoa-Batavia

Dalam dokumen Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia (Halaman 51-58)

BAB III MASYARAKAT TIONGHOA DI BATAVIA

B. Akulturasi Tionghoa-Batavia

Akulturasi dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai proses

pencampuran dua kebudayaan atau lebih.77Koentjaraningratmengatakan di dalam

bukunya Pengantar Ilmu Antropologi bahwaacculturation atau culture contact

diartikan oleh para sarjana antropologi sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.78

Pengertian proses akulturasi dalam buku Komunikasi Antarbudaya

merupakan suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya

yang baru.79Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat

mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat Pribumi.Potensi

akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut.80

a. Kemiripan antar budaya asli (imigran) dan budaya Pribumi.

b. Usia pada saat berimigrasi.

c. Latar belakang pendidikan.

d. Beberapa karakteristik kepribadian seperti sukan bersahabat dan toleransi.

77

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, Surabaya: Gitamedia Press, 2006. Hal 21.

78

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1981. Hal 247-248.

79

Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005. Hal 140.

80

43

e. Pengetahuan tentang budaya Pribumi sebelum berimigrasi.

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain misalnya, melalui media masa. Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu saja kultur tuan rumah berubah juga. Tetapi pada

umumnya, kultur imigranlah yang lebih banyak berubah.81

Menutut Young Yun Kim, seperti yang dikutip Joseph A. Devito, penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula, mereka yang lebih muda dan terdidik lebih cepat terakulturasi ketimbang mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan.Faktor kepribadian juga berpengaruh, orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, misalnya lebih mudah terakulturasi. Akhirnya orang yang terbiasa dengan kultur tuan rumah sebelum berimigrasi, apakah melalui kontak antarpribadi ataupun

melalui media masa, akan tetapi lebih mudah terakulturasi.82

Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi migrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Selatan, yaitu ke wilayah Asia Tenggara termasuk Nusantara. Kejadian itu disebabkan adanya perang saudara dan kemarau berkepanjangan di sana. Pada saat bersamaan, VOC sedang berkuasa di Batavia.Untuk memperlancar

81

Joseph, A. Devito, Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books, 1997. Hal 479.

82

44 pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Karena itu mereka

mengambil tenaga kerja asal Tiongkok yang dinilai ulet dan rajin.83

Sejak itu kebudayaan Tionghoa banyak bercampur dengan kebudayaan dari berbagai daerah termasuk dengan budaya Betawi, dan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya bahasa, nama tempat, arsitektur, kesenian, dan kuliner. Bisa dimaklumi kalau Batavia menjadi kota yang multietnis. Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, kota Batavia awalnya berada di sekitaran pelabuhan Sunda Kalapa. Banyak orang dari berbagai suku dan ras datang untuk berdagang, termasuk orang-orang dari daratan Tiongkok.

Dibawah ini adalah hasil akulturasi Tionghoa-Batavia adalah sebagai berikut. 1. Seni

Kesenian Gambang Kromong merupakan perpaduan yang cukup harmonis antara unsur-unsur Pribumi dan Tionghoa.Secara fisik unsur Cinanya tampak pada alat musik geseknya, yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong.Sedangkan alat musik lainnya yaitu Gambang, Kromong, Gendang, Kecrek dan Gong merupakan unsur Pribumi.Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya.Lagu-lagu yang menunjukan unsur Pribumi seperti Jali-jali, Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya. Sementara itu terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama, melodi maupun liriknya

seperti Sipatmo, Kong Jilok dan lain sebagainya.84

83

http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/10/menelusuri-jejak-tionghoa-di-jakarta-363698.html (diakses pada hari rabu, 3 Desember 2014).

84

Rachmat Syamsudin dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1996. Hal 5.

45 Seiring dengan perkembangannya, setelah orang Tionghoa dan Betawi menyatu dan bercampur baur dalam kehidupan bermasyarakat, kesenian Betawi menjadi kesenian rakyat. Kegiatan kesenian tradisi Betawi terus berkembang, tetapi dalam proses perkembangannya, kesenian Betawi ini mulai terpojokkan setelah keluarnya keputusan Walikota Jakarta, Sudiro tahun 1950-an yang melarang karnaval rakyat berdasarkan tradisi Cina, alasannya adalah untuk

meningkatkan rasa nasionalisme.85

Akhir-akhir ini, wadah seni budaya betawi, seperti LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) dan peran pemerintah DKI melalui Dinas Kebudayaan melalukan berbagai upaya pelestarian dan pengembangan seni Budaya Betawi untuk bisa tetap bertahan.Seni Betawi kembali muncul ke permukaan melalui berbagai festival, lomba, seserahan dan event-event lainnya di Ibukota.

2. Arsitektur

Pengaruh arsitektur Cina terhadap rumah Betawi terlihat pada bagian

depan rumah yang disebut Langkan86 (Lankandalam bahasa Cina). Selain

Langkan ada juga Pangkengyang artinya tempat tidur, serta Tapang yang artinya

ruangan kecil di depan rumah. Biasanya pada rumah adat Betawi terdapat balai-balai sebaguna sebagai tempat bersantai.Di tempat tersebut tersedia kendi dan perabot lainnya, seperti dipan (tempat tidur-tiduran), Paseban atau teras tempat bersantai keluarga.Kebiasaan Betawi mengecat rumah juga merupakan tradisi warga Cina pendatang.Jendela tanpa daun dan hanya diberi jeruji dengan warna

85

Nirwanto Hendrowinoto, dkk, Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI, 1998. Hal 169.

86

Langkan adalah pembatas teras yang terbuat dari kayu dan menyerupai pagar, tetapi berada di atas teras.Langkan ini juga bisa digunakan untuk duduk.

46 kuning dan hijau, demikian pula dengan penambahan motif hias pada tiang, jaang sekali ditemukan rumha Betawi yang tiangnya polos, biasanya selalu diramaikan dengan aneka motif.Penggunaan motif pada tiang tersebut merupakan pengaruh

dari Cina. 87 Pengaruh lainnya terlihat pada konstruksi balok-balok kuda

penyokong yang lazim disebut Sekor Tou-Kung, sebagaimana yang terlihat pada

rumha Betawi di kawasan Pesisir.

Pengaruh arsitektur Cina lainnya terlihat pada bangunan Masjid Angke. Masjid yang resmi beriri pada 2 April 1761 itu dirancang oleh Syaikh Liong Tan serta dibiayai oleh Tan Nio, yang masih saudara dengan Ong Tin Nio (istri dari

Syarif Hidayatullah).88Arsitektur Masjid tersebut memiliki perpaduan corak

antara unsur Jawa dan Tionghoa, karena pendirinya memang berlatar belakang dua etnis tersebut.Hal tersebut terlihat dari pintu masuk dan ujung atap yang mirip Klenteng.Selain itu, desain atap tumpang susun Masjid Angke ini mirip dengan Masjid Demak di Jawa Tengah.

3. Adat istiadat

Kebiasaan menyuguhkan minum teh untuk tamu adalah salah satu pengaruh dari Cina, Kemudian tradisi saling berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan tradisi membakar petasan saat lebaran. Dengan bukti-bukti kekayaan kebudayaan Indonesia hasil akulturasi dengan bangsa Tionghoa serta besarnya kontribusi Bangsa Tionghoa terhadap perjalanan sejarah Indonesia cukup menjadi alasan pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap bangsa Tionghoa. Sebab kini, tidak perlu

87

Doni Swadarma dan Yunus Aryanto, Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup), 2013. Hal 23-24.

88

47 lagi memperdebatkan dikotomi warga keturunan Tionghoa dengan masyarakat

pribumi, karena mereka adalah satu kesatuan NKRI.89

Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenaning Nagari Betawi, seperti yang dikutip Ridwan Saidi dalam bukunya, adat-istiadat Betawi mirip adat-istiadat Tionghoa. Misalnya, cara orang Betawi memperkenalkan diri juga seperti orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa.Orang

Betawi tidak punya rasa takut, disebabkan pengaruh orang Tionghoa.90

4. Pakaian Adat

Budaya Betawi terus berkembang dari masa ke masa dengan ciri yang mudah dibedakan dengan budaya lainnya.Kebudayaan Betawi pun lambat laun tumbuh spontan dengan kesederhanaanya mengikuti pesatnya perkembangan zaman.Salah satu ciri khas dari kebudayaan Betawi yang dimaksud adalah sisi pakaian.Pakaian khas masyarakat Betawi terdiri atas berbagai jenis, ada pakaian sehari-hari, pakaian formal dan pakaian pengantin.Setiap pakaian tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Apabila ditelusuri, pakaian khas Betawi merupakan akulturasi dari berbagai macam budaya lain seperti Cina, Arab dan Eropa.

Pengaruh budaya Cina yang kental dapat kita lihat lewat pakaian pengantin wanita Betawi.Pakaian yang dipakai oleh mempelai wanita merupakan

89

Damardjati Supadjar, Nawang Sari: Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, dan Budaya, cet. Ke-3. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.Hal 157.

90

Ridwan Saidi, Profil orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat. Jakarta: PT. Gunara Kata. 2004. Hal 43.

48 pakaian yang serupa dengan pakaian putri Cina. Baju pengantin Putri Cina itu terdiri dari serangkaian Kembang Goyang dengan Burung Hong serta penutup wajah pengantin perempuan yang disebut Siangko (Pat-Sian Khou), baju pengantin berpotongan Mancu yang mempunyai bukaan di kanan, yang disebut baju Toaki (Toa-Ki), dan bawahan berupa rok lipit yang disebut Kun. Di bagian bahu dan dadanya pengantin perempuan memakai aksesori yang disebut Terate

(In-Kian).91

Selain pada baju pengantin wanita, adaptasi budaya Cina juga dapat kita lihat pada pakaian sehari-hari yang sering dipakai oleh perempuan Betawi pada umumnya yaitu Kebaya Encim.Pada awalnya, Kebaya Encim merupakan kebaya asli Betawi yang diperuntukkan untuk golongan nyai-nyai.Namun karena harganya mahal, maka masyarakat Betawi yang ekonominya lemah tidak bisa membelinya.Melihat hal tersebut maka orang Cina yang ekonominya lebih baik kemudian mengadaptasi pakaian asli Betawi tersebut dengan harapan mereka bisa diterima dan menjadi bagian dari penduduk asli.Karena banyak orang Cina yang berbusana Kebaya tadi, orang-orang menyebutnya dengan Kebaya Encim atau

Kebaya Nyonya.92

Adapun pengaruh yang ditimbulkan dari akulturasi terhadap masyarakat Pribumi sangat beragam, mulai dari pengaruh positif maupun pengaruh negatif. 5. Makanan

Betawi merupakan sebutan untuk suku asli kota Jakarta. Sejarah betawi yang begitu dinamis mempengaruhi warisan kulinernya.Makanan Khas Betawi

91

Saidi, Profil orang Betawi, Hal 50.

92

49 dipengaruhi oleh budaya Cina, Eropa, dan Arab.Citarasa gurih dan sedap merupakan ciri khas makanan Betawi.

Pengaruh kuat Cina terlihat jelas dalam bahan makanan, seperti bakso dan bakmi.Bak dalam bahasa Cina berarti babi, jadi bakmi adalah mie yang dicampur dengan daging babi, demikian pula bakso yang berarti bulatan daging babi. Karena daging babi haram bagi umat Islam,maka diganti dengan ayam atau daging sapi. Mie atau bihun juga berasal dari Cina yang juga menjadi hidangan istimewa khas betawi, seperti soto mie, taoge goreng, ketoprak, dan pecel bihun. Penggunaan tahu dalam masakan Betawi juga menunjukkan pengaruh Cina.

Dalam dokumen Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia (Halaman 51-58)

Dokumen terkait