BAB IV MUSLIM TIONGHOA DI BATAVIA
C. Dampak Konversi
Orang Cina merupakan suatu komunitas yang keberadaannya di Indonesia memiliki karakteristik yang khas.Kekhasan dari komunitas Cina ini menurut
64 Skinner sangat menonjol berkait dengan kuat melekatnya ciri budaya yang dibawanya dari negeri asalnya. Meskipun di Indonesia telah banyak orang Cina yang menganut agama Islam namun sangat terbatas pengetahuan yang berkait dengan proses penyatuan komunitas dan budaya melalui konversi agama. Demikian pula pandangan mereka tentang konflik yang mereka alami sebagai
akibat konversi mereka menjadi Muslim.122
Ketika melakukan konversi agama, etnis atau agama apapun akan berinteraksi dengan keluarga lama yang mempunyai keyakinan berbeda dengan dirinya. Sehingga diperlukannya adaptasi yang baik agar komunikasi dan interaksi
tetap terjalin.Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap
lingkungan.Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial.Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, atau dapat berarti mengubah lingkungan sesuai
dengan keadaan pribadi.123 Begitu juga halnya dengan etnis Tionghoa muslim
ketika berhadapan dengan keluarganya yang non muslim. Adaptasi sosial sangat
diperlukan mengingat ketika seseorang melakukan konversi agama
(meninggalkan agama yang lama) biasanya akan dikucilkan oleh lingkungan keluarganya. Hal ini juga terjadi kepada etnis Tionghoa yang melakukan konversi agama memeluk agama Islam, mereka mendapatkan diskriminasi dari keluarganya.
122Pandangan Skinner tersebut dikutip oleh Sanjatmiko dalam “Orang-orang Keturunan Cina di Tangerang: Suatu Kajian tentang Faktor-faktor yang Mendorong dan Menghambat Proses Asimilasi Antara Penduduk Golongan Etnik Keturunan Cina Terhadap Penduduk Golongan Etnik Pribumi”dalam Makara, No. 3, Seri C Agustus 1999. Hal 71.
123
65 Karena selama ini penilaian orang yang muncul pada saat etnis Tionghoa memeluk agama Islam, maka otomatis etnis Tionghoa muslim tersebut akan meninggalkan budaya lamanya. Bedahalnya apabila mereka melakukan konversi agama ke agama selain Islam, keluarga tidak akan mendiskriminasi orang Tionghoa tersebut.
Berikut adalah dampak konversi yang terjadi pada muslim Tionghoa. 1. Dampak Sosial
Sejarawan Denys Lombard menunjukkan banyak bukti sebelum JP Coen tiba di Pulau Jawa, masyarakat Tionghoa di Jawa terdiri dari dua kelompok pemeluk Islam dan memegang kepercayaan leluhur. Di Banten, Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di permukiman eksklusif. Muslim Tionghoa
berbaur dengan penduduk lokal demi kenyamanan beribadah.124
Pada dekade berikutnya, situasi serupa berkembang di sepanjang pantai
utara Pulau Jawa dan membentuk Sino-Javanese Muslim Culture.Sepanjang abad
16 sampai 17, populasi Tionghoa Muslim terus meningkat dan memainkan peran penting.Di kota-kota pelabuhan, Muslim Tionghoa menjadi syahbandar, pengoleksi cukai pelabuhan, dan pengatur lalu lintas kapal atas nama penguasa. Beberapa di antaranya memperoleh gelar kebangsawanan dan menikahi wanita elite lokal.125
Situasi ini berlangsung terus sampai akhir abad 17, memasuki abad ke-18, kemesraan Tionghoa-Jawa mengalami penurunan. Beberapa sejarawan Barat, seperti Salmon dan Lombard, mencatat sejumlah faktor penyebab semua ini.
124
Hendrik E. Niemeijer,BATAVIA Masyarakat Kolonial Abad XVII, Terj. Jakarta: Masup Jakarta 2012.
125
66 Pertama, ketegangan yang muncul di dalam komunitas Tionghoa, Muslim dan non-Muslim yang dipicu oleh menurunnya populasi Tionghoa Muslim secara drastis.Kedua, perubahan politik di daratan Cina, Dinasti Ming berakhir, dan Manchu menguasai Cina.Ketiga, kebijakan Belanda yang mengarahkan Islam
menjadi lebih ortodoks.126
Muslim Cina juga dilarang keluar kota.Imigran dari daratan Cina yang datang ke Jawa pada tahun-tahun berikutnya tidak lagi didominasi Muslim, tapi orang-orang Hokian dari Amoy di Fukian, Kwang Fu (Kanton) dan Macau. Pada saat yang sama, Belanda mengubah kebijakannya menempatkan Tionghoa
sebagai middleman dan mencegah mereka berbaur dengan pribumi.127
Dampak buruk kebijakan ini adalah terus membanjirnya pendatang ke Jawa. Di banyak kota, Belanda menikmati ketegangan Tionghoa-pribumi. Di Batavia, kebijakan itu memperlihatkan dampak buruknya dengan pembantaian 1740.Dari 25 ribu penduduk Batavia saat itu, 20 ribu adalah Tionghoa.Kulit putih dan Belanda hanya sekitar 2000, lainnya adalah budak dari berbagai etnis. Ketika terjadi pemberontakan Tionghoa, Belanda menggunakan pribumi dari luar dan dalam kotauntuk melawan Tionghoa.Sekitar 10 ribu etnis Tionghoa tewas, lainnya melarikan diri ke wilayah lain di sekitar Batavia, atau melanjutkan
perlawanan di Semarang, Surakarta, dan Solo.128
Dari peristiwa ini, menurut F de Haan, muncul istilah peranakan, sebutan untuk mereka yang memeluk Islam akibat trauma oleh pembantaian dan hidup
126
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Trans Media, 2002. Hal 52.
127
Laode, Tiga Muka Etnis Cina. Hal 97.
128
67 berdam pingan dengan pribumi.Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Chinezen, atau Tionghoa non-Muslim.Dunia baru yang bernama Muslim Peranakan muncul di Batavia.VOC merespons kecenderungan ini dengan
mengeluarkan kebijakan passenstelsel.129
Passenstelsel berkembang menjadi politik segregasi.Tionghoa ditempatkan sebagai kelompok eksklusif.Penduduk lokal yang telah berbaur dengan orang Tionghoa atau orang Tionghoa yang telah berbaur dengan orang lokal dipisahkan.Tionghoa harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah memeluk Islam
diidentifikasi Belanda sebagai pribumi.The Encyclopedia of Chinese
Overseas mencatat konversi ke Islam terus terjadi sampai pengujung abad ke-18. Di Batavia, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa potong taucang
(kuncir), menanggalkan celana komprang, dan mengenakan pakaian
pribumi.Akibatnya, pendapatan pajak kepala ke kas pemerintah kolonial menurun.Belanda bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang
melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.130
Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindari pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya.Etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari
permukiman pribumi dan dikembalikan ke permukiman
129
surat jalan bagi penduduk Tionghoa yang hendak ke luar kota untuk mengontrol aktivitas Tionghoa dan menghentikan pembauran dengan penduduk lokal.
130
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia.Semarang:Tanjung Sari, 1979.Hal 32.
68
Tionghoa. Wijk (permukiman) Tionghoa dipecah menjadi dua yaitu Muslim dan
non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.Politiek Verslag
Madoera 1865 mencatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa di Madura memeluk Islam.Mereka tersebar di Sumenep, Sampang, dan Pamekasan.Residen Madura saat itu terpaksa mengangkat dua kapten untuk Muslim dan
non-Muslim.131
Di Batavia, Belanda mengangkat Kommandant der Parnakkans
Chineezen atau komandan kapten Tionghoa Peranakan. Kapten pertama adalah Dossol.Lalu, diteruskan oleh anaknya Tamien Dossol dan kapten ketiga adalah Aleimuddin.Ada pula yang mengatakan kapten ketiga Muslim Tionghoa di Batavia adalah Mohamad Japar.Beberapa tahun sebelum Perang Jawa, populasi Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat Perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim
Tionghoa.132
Situasi menjadi lebih sulit bagi etnis Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis Tionghoa.Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau bukan.Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi Belanda dan harus dihancurkan. Strategi yang berjalan nyaris sempurna.Namun,
131
Skinner, G. William. Golongan Minoritas Tionghoa, hal. 110.
132
Johan Fabricius,Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19. Terj, Mansup Jakarta 2008.Hal 105.
69 Pangeran Diponegoro tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa.Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa.Peter Carey menolak bukti ini, tapi Ong Tae Hae seorang petualang Cina abad ke-19 dalam laporannya menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran.Carey justru melihat Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali
ke kepercayaan leluhur.133
Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar.Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya. Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, menurut The Siauw
Giap dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, mereka
tidak lagi disebut peranakan, tapi mualaf.Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka, bahkan, mualaf menjadi abusive word karena pribumi tetap
mencurigai mereka.134
2. Dampak bagi Keluarga
Orang-orang Tionghoa yang sudah konversi agama ke Islam ada yang merasa senang karena keluarga mendukung, tapi ada pula yang merasa gelisah karena dikucilkan dari keluarga.
a. Dampak Positif
1) Orang-orang Tionghoa yang konversi agama merasa tenang dan damai jiwa
karena meyakini agama yang sekarang yaitu agama Islam
133
Raffles, Thomas Stanford. The History of Java.Singapore : Oxford University Press, 1988. Hal 250.
134
70
2) Hidup menjadi lebih terarah karena selalu menjalankan apa yang
diperintahkan agama Islam
3) Dalam menghadapi masalah lebih tenang dan tidak emosi
b. Dampak Negatif
1) Masyarakat Tionghoa yang konversi agama tidak percaya diri karena berbeda
agama dengan keluarganya.
2) Dalam keseharian ada yang dikucilkan dan ada yang tidak.
3) Dalam hal pekerjaan penghasilan sedikit menurun dibandingkan sebelum
konversi.