• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Konversi

Dalam dokumen Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia (Halaman 72-79)

BAB IV MUSLIM TIONGHOA DI BATAVIA

C. Dampak Konversi

Orang Cina merupakan suatu komunitas yang keberadaannya di Indonesia memiliki karakteristik yang khas.Kekhasan dari komunitas Cina ini menurut

64 Skinner sangat menonjol berkait dengan kuat melekatnya ciri budaya yang dibawanya dari negeri asalnya. Meskipun di Indonesia telah banyak orang Cina yang menganut agama Islam namun sangat terbatas pengetahuan yang berkait dengan proses penyatuan komunitas dan budaya melalui konversi agama. Demikian pula pandangan mereka tentang konflik yang mereka alami sebagai

akibat konversi mereka menjadi Muslim.122

Ketika melakukan konversi agama, etnis atau agama apapun akan berinteraksi dengan keluarga lama yang mempunyai keyakinan berbeda dengan dirinya. Sehingga diperlukannya adaptasi yang baik agar komunikasi dan interaksi

tetap terjalin.Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap

lingkungan.Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial.Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, atau dapat berarti mengubah lingkungan sesuai

dengan keadaan pribadi.123 Begitu juga halnya dengan etnis Tionghoa muslim

ketika berhadapan dengan keluarganya yang non muslim. Adaptasi sosial sangat

diperlukan mengingat ketika seseorang melakukan konversi agama

(meninggalkan agama yang lama) biasanya akan dikucilkan oleh lingkungan keluarganya. Hal ini juga terjadi kepada etnis Tionghoa yang melakukan konversi agama memeluk agama Islam, mereka mendapatkan diskriminasi dari keluarganya.

122Pandangan Skinner tersebut dikutip oleh Sanjatmiko dalam “Orang-orang Keturunan Cina di Tangerang: Suatu Kajian tentang Faktor-faktor yang Mendorong dan Menghambat Proses Asimilasi Antara Penduduk Golongan Etnik Keturunan Cina Terhadap Penduduk Golongan Etnik Pribumi”dalam Makara, No. 3, Seri C Agustus 1999. Hal 71.

123

65 Karena selama ini penilaian orang yang muncul pada saat etnis Tionghoa memeluk agama Islam, maka otomatis etnis Tionghoa muslim tersebut akan meninggalkan budaya lamanya. Bedahalnya apabila mereka melakukan konversi agama ke agama selain Islam, keluarga tidak akan mendiskriminasi orang Tionghoa tersebut.

Berikut adalah dampak konversi yang terjadi pada muslim Tionghoa. 1. Dampak Sosial

Sejarawan Denys Lombard menunjukkan banyak bukti sebelum JP Coen tiba di Pulau Jawa, masyarakat Tionghoa di Jawa terdiri dari dua kelompok pemeluk Islam dan memegang kepercayaan leluhur. Di Banten, Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di permukiman eksklusif. Muslim Tionghoa

berbaur dengan penduduk lokal demi kenyamanan beribadah.124

Pada dekade berikutnya, situasi serupa berkembang di sepanjang pantai

utara Pulau Jawa dan membentuk Sino-Javanese Muslim Culture.Sepanjang abad

16 sampai 17, populasi Tionghoa Muslim terus meningkat dan memainkan peran penting.Di kota-kota pelabuhan, Muslim Tionghoa menjadi syahbandar, pengoleksi cukai pelabuhan, dan pengatur lalu lintas kapal atas nama penguasa. Beberapa di antaranya memperoleh gelar kebangsawanan dan menikahi wanita elite lokal.125

Situasi ini berlangsung terus sampai akhir abad 17, memasuki abad ke-18, kemesraan Tionghoa-Jawa mengalami penurunan. Beberapa sejarawan Barat, seperti Salmon dan Lombard, mencatat sejumlah faktor penyebab semua ini.

124

Hendrik E. Niemeijer,BATAVIA Masyarakat Kolonial Abad XVII, Terj. Jakarta: Masup Jakarta 2012.

125

66 Pertama, ketegangan yang muncul di dalam komunitas Tionghoa, Muslim dan non-Muslim yang dipicu oleh menurunnya populasi Tionghoa Muslim secara drastis.Kedua, perubahan politik di daratan Cina, Dinasti Ming berakhir, dan Manchu menguasai Cina.Ketiga, kebijakan Belanda yang mengarahkan Islam

menjadi lebih ortodoks.126

Muslim Cina juga dilarang keluar kota.Imigran dari daratan Cina yang datang ke Jawa pada tahun-tahun berikutnya tidak lagi didominasi Muslim, tapi orang-orang Hokian dari Amoy di Fukian, Kwang Fu (Kanton) dan Macau. Pada saat yang sama, Belanda mengubah kebijakannya menempatkan Tionghoa

sebagai middleman dan mencegah mereka berbaur dengan pribumi.127

Dampak buruk kebijakan ini adalah terus membanjirnya pendatang ke Jawa. Di banyak kota, Belanda menikmati ketegangan Tionghoa-pribumi. Di Batavia, kebijakan itu memperlihatkan dampak buruknya dengan pembantaian 1740.Dari 25 ribu penduduk Batavia saat itu, 20 ribu adalah Tionghoa.Kulit putih dan Belanda hanya sekitar 2000, lainnya adalah budak dari berbagai etnis. Ketika terjadi pemberontakan Tionghoa, Belanda menggunakan pribumi dari luar dan dalam kotauntuk melawan Tionghoa.Sekitar 10 ribu etnis Tionghoa tewas, lainnya melarikan diri ke wilayah lain di sekitar Batavia, atau melanjutkan

perlawanan di Semarang, Surakarta, dan Solo.128

Dari peristiwa ini, menurut F de Haan, muncul istilah peranakan, sebutan untuk mereka yang memeluk Islam akibat trauma oleh pembantaian dan hidup

126

Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Trans Media, 2002. Hal 52.

127

Laode, Tiga Muka Etnis Cina. Hal 97.

128

67 berdam pingan dengan pribumi.Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Chinezen, atau Tionghoa non-Muslim.Dunia baru yang bernama Muslim Peranakan muncul di Batavia.VOC merespons kecenderungan ini dengan

mengeluarkan kebijakan passenstelsel.129

Passenstelsel berkembang menjadi politik segregasi.Tionghoa ditempatkan sebagai kelompok eksklusif.Penduduk lokal yang telah berbaur dengan orang Tionghoa atau orang Tionghoa yang telah berbaur dengan orang lokal dipisahkan.Tionghoa harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah memeluk Islam

diidentifikasi Belanda sebagai pribumi.The Encyclopedia of Chinese

Overseas mencatat konversi ke Islam terus terjadi sampai pengujung abad ke-18. Di Batavia, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa potong taucang

(kuncir), menanggalkan celana komprang, dan mengenakan pakaian

pribumi.Akibatnya, pendapatan pajak kepala ke kas pemerintah kolonial menurun.Belanda bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang

melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.130

Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindari pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya.Etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari

permukiman pribumi dan dikembalikan ke permukiman

129

surat jalan bagi penduduk Tionghoa yang hendak ke luar kota untuk mengontrol aktivitas Tionghoa dan menghentikan pembauran dengan penduduk lokal.

130

Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia.Semarang:Tanjung Sari, 1979.Hal 32.

68

Tionghoa. Wijk (permukiman) Tionghoa dipecah menjadi dua yaitu Muslim dan

non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.Politiek Verslag

Madoera 1865 mencatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa di Madura memeluk Islam.Mereka tersebar di Sumenep, Sampang, dan Pamekasan.Residen Madura saat itu terpaksa mengangkat dua kapten untuk Muslim dan

non-Muslim.131

Di Batavia, Belanda mengangkat Kommandant der Parnakkans

Chineezen atau komandan kapten Tionghoa Peranakan. Kapten pertama adalah Dossol.Lalu, diteruskan oleh anaknya Tamien Dossol dan kapten ketiga adalah Aleimuddin.Ada pula yang mengatakan kapten ketiga Muslim Tionghoa di Batavia adalah Mohamad Japar.Beberapa tahun sebelum Perang Jawa, populasi Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat Perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim

Tionghoa.132

Situasi menjadi lebih sulit bagi etnis Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis Tionghoa.Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau bukan.Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi Belanda dan harus dihancurkan. Strategi yang berjalan nyaris sempurna.Namun,

131

Skinner, G. William. Golongan Minoritas Tionghoa, hal. 110.

132

Johan Fabricius,Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19. Terj, Mansup Jakarta 2008.Hal 105.

69 Pangeran Diponegoro tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa.Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa.Peter Carey menolak bukti ini, tapi Ong Tae Hae seorang petualang Cina abad ke-19 dalam laporannya menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran.Carey justru melihat Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali

ke kepercayaan leluhur.133

Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar.Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya. Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, menurut The Siauw

Giap dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, mereka

tidak lagi disebut peranakan, tapi mualaf.Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka, bahkan, mualaf menjadi abusive word karena pribumi tetap

mencurigai mereka.134

2. Dampak bagi Keluarga

Orang-orang Tionghoa yang sudah konversi agama ke Islam ada yang merasa senang karena keluarga mendukung, tapi ada pula yang merasa gelisah karena dikucilkan dari keluarga.

a. Dampak Positif

1) Orang-orang Tionghoa yang konversi agama merasa tenang dan damai jiwa

karena meyakini agama yang sekarang yaitu agama Islam

133

Raffles, Thomas Stanford. The History of Java.Singapore : Oxford University Press, 1988. Hal 250.

134

70

2) Hidup menjadi lebih terarah karena selalu menjalankan apa yang

diperintahkan agama Islam

3) Dalam menghadapi masalah lebih tenang dan tidak emosi

b. Dampak Negatif

1) Masyarakat Tionghoa yang konversi agama tidak percaya diri karena berbeda

agama dengan keluarganya.

2) Dalam keseharian ada yang dikucilkan dan ada yang tidak.

3) Dalam hal pekerjaan penghasilan sedikit menurun dibandingkan sebelum

konversi.

Dalam dokumen Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia (Halaman 72-79)

Dokumen terkait