• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konversi agama Muslim Tionghoa di Batavia"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ABSTRAK

NURRICA WULANSARI

Konversi Agama Muslim Tionghoa di Batavia.

Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui perkembangan Muslim Tionghoa di Batavia beserta faktor-faktornya.

Adapun identifikasi dan rumusan masalah ini lebih terfokus pada faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya konversi dan bagaimana perkembangan Muslim Tionghoa di Batavia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode historis. Metode historis ialah sebuah penelitian yang tujuannya mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau yang bertumpu pada empat langkah kegiatan di antaranya metode heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

Etnis Tionghoa merupakan suatu komunitas yang keberadaannya di Indonesia memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan dari etnis Tionghoa ini sangat menonjol berkaitan dengan melekatnya ciri budaya yang dibawanya dari negeri asalnya. Meskipun di Indonesia telah banyak etnis Tionghoa yang menganut agama Islam namun sangat terbatas pengetahuan yang berkaitan dengan proses penyatuan komunitas dan budaya melalui konversi agama. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kolonial Belanda yang melarang etnis Tionghoa berhubungan dengan masyarakat pribumi khususnya masyarakat Muslim. Tetapi dengan adanya organisasi seperti PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) etnis Tionghoa muslim lebih mendapat arahan serta pengetahuan tentang islam secara lebih luas, sehingga mereka semakin yakin untuk memeluk agama islam.

(4)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT

yang selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada kita semua. Shalawat

serta salam senantiasa kita persembahkan kepada junjungan Nabi besar kita

Muhammad SAW, semoga kita sebagai umatnya selalu mendapat pertolongannya,

Aamiin

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata

Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah adalah membuat karya

tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis menyusun skripsi

ini dengan judul : “ KONVERSI AGAMA MUSLIM TIONGHOA DI

BATAVIA”.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, begitu banyak rintangan dan

hambatan yang penulis hadapi. Alhamdulillah atas kerja keras dan semangat serta

dukungan dari semua pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.Oleh karena itu izinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih

serta penghargaan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan

dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

tanpa kendala yang berat.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku Pembimbing I dan Bapak Drs.

(5)

ii

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak H. Nurhasan, M.A selaku Ketua

Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku

Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.

3. Pimpinan Perpustaakan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan

Humaniora yang telah memberikan fasilitas berupa buku untuk menambah

daftar kepustakaan bagi penulis.

4. Kepada semua dosen Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah

mendidik dan membimbing dari awal perkuliahan sampai sekarang penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

5. Mamah yang selalu memberi nasehat, bimbingan, dukungan, dan doa sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, dan terima kasih juga

untuk Bapa yang rela banting tulang untuk membiayai penulis sampai

sekarang penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih karena Mamah dan

Bapak tidak pernah mengeluh selalu bersabar dalam mendidik penulis, berkat

doa, nasihat, dan bimbingan mamah dan bapa penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

6. Kepada Ramdhoni Tiara Putra adik tercinta yang selalu memberi dukungan,

dan doa kepada penulis. Kepada Vinza yang selalu membuat penulis tertawa

(6)

iii

7. Kepada kakak, sahabat, partner Damar Aji Asmara, S. Kom yang selalu

memberikan perhatian, motivasi, semangat dan selalu mau berbagi ilmunya

serta waktunya untuk sharing dengan penulis.

8. Kepada Sanak Keluarga yang turut memberikan motivasinya kepada penulis.

9. Kepada Keluarga Besar SKI 2010 yang selama ini sudah menjadi keluarga,

terima kasih atas canda tawanya dan supportnya terhadap penulis. Khususnya

untuk Janah yang rela dan ikhlas meluangkan waktunya untuk menemani

penulis dalam melakukan penelitian.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis memahami bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat

kepada siapa saja yang menjadikan ini sebgai bahan bacaan mereka dan data

menjadikan skripsi ini sebagai referensi.

Jakarta, Juli 2015

Nurrica Wulansari

(7)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan... 7

1. Identifikasi Masalah ... 7

2. Pembatasan Masalah ... 7

3. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 8

1. Heuristik ... 9

2. Kritik Sumber ... 9

3. Interpretasi ... 9

4. Historiografi ... 10

F. Riset Terdahulu ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II MASYARAKAT BATAVIA ... 15

A. Kehidupan Sosial Masyarakat Batavia... 15

B. KehidupanPolitik Masyarakat Batavia ... 22

C. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Batavia ... 28

BAB III MASYARAKAT TIONGHOA DI BATAVIA ... 37

A. Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ... 37

B. Akulturasi Tionghoa-Batavia ... 42

1. Seni ... 44

(8)

v

3. Adat istiadat ... 46

4. Pakaian Adat ... 47

5. Makanan ... 48

C. Aktifitas Ekonomi ... 49

BAB IV MUSLIM TIONGHOA DI BATAVIA ... 57

A. Faktor Konversi Masyarakat Tionghoa ... 57

B. Konversi Dalam Angka Masyarakat Tionghoa ... 59

C. Dampak Konversi... 63

1. Dampak Sosial ... 65

2. Dampak bagi Keluarga ... 69

a. Dampak Positif ... 69

b. Dampak Negatif ... 70

D. Asosiasi Muslim Tionghoa ... 70

BAB V PENUTUP ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

A. Buku ... 76

(9)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkembangan jumlah orang Cina di Pulau Jawa ... 39

Tabel 3.2 Penduduk Batavia dan Sekitarnya ... 41

Tabel 4.1 Periode tahun 1997-2003... 62

Tabel 4.2 Periode Tahun 2004-2009 ... 63

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia yang terdiri dari banyak suku, budaya dan bahasa mampu

membentuk identitas nasional yang merekatkan warganya ke dalam satu

kepentingan bersama.Indonesia membuka diri terhadap para imigran yang datang

dengan model Pluralitas budaya yang terkadang menimbulkan persoalan identitas

dan pengakuan terhadap kehadiran mereka. Masyarakat etnis Tionghoa

sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur menjadi warga

setempat yang memiliki pasang-surut sejarah panjang. Warga etnis Tionghoa

adalah pendatang. Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai

bagian integral kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia.

Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan kelompok minoritas terbesar di

Indonesia. Pada tahun 1961 mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2.450.000

orang atau kurang lebih dari 2,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada

waktu itu.1

Awal kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia bermula pada masa

kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman Kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang

daerahnya kaya akan hasil tambang emas. Etnis ini memang dibutuhkan sebagai

pandai perhiasan (emas). Karena kebutuhan terhadap pandai emas semakin

meningkat, maka didatangkan pandai emas dari Cina Daratan. Ikut dalam

1

(11)

2 kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan.

Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan

daerah sekitarnya.2

Gelombang kedua kedatangan Etnis Tionghoa ke Indonesia ialah pada

masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan

mereka di bawah armada tentara laut Khubilai Khan atau juga sering disebut

sebagai Jhengis Khan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun

utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini dikarenakan

ditolaknya utusan tersebut oleh Raja.3

Awal abad ke 19, VOC bangkrut, sebagai gantinya Belanda mendirikan

Pemerintahan Hindia-Belanda dengan Ibu Kota Batavia. Tahun 1740, Pemerintah

Belanda melakukan larangan bagi para imigran Tiongkok untuk datang ke

Indonesia, dan mereka segera dideportasi ke Ceylon dan Semenanjung

Harapan. etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia melalui Tiongkok Selatan ke

Pulau Jawa adalah orang-orang yang tidak puas karena Rezim Ching dari Dinasti

Manchu.4 Akibat buruknya perlakuan tentara Belanda terhadap etnis Tionghoa

kala itu, mereka pun pindah ke wilayah Timur Laut Jawa Tengah.

Persaingan perdagangan juga mulai memanas, mana kala pihak Belanda

menjadi pihak golongan kelas atas, etnis Tionghoa golongan kelas menengah

bawah dan orang Pribumi menempati kelas menengah bawah. Hal inilah yang

2

http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnis-tionghoa-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/(diakses pada hari Sabtu, 17 Januari 2015.

3

Amen Budiman,Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979. hal 78.

4

(12)

3 memicu persaingan antar Orang Pribumi dengan Orang Tionghoa yang

menjadikan Belanda sebagai mitra dalam perdagangan Candu.Munculah

kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1912.

Keadaan mulai berubah mana kala Indonesia merdeka pada tahun 1945,

tepatnya pada tanggal 17 Agustus. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi para

tentara Belanda yang tinggal di Indonesia, apakah mereka akan kembali ke negara

asal mereka, atau tetap tinggal di Indonesia menjadi warga negara. Tentara

Belanda memilih kembali ke negeri Belanda. Bangunan-bangunan kolonial

Belanda mulai diambil oleh pihak Pemerintah Indonesia dan dipergunakan

sebagai bangunan kantor pemerintahan, bangunan militer, bangunan sekolah dan

yang lainnya dibiarkan kosong begitu saja.5

Kondisi ini menguntungkan pihak Tionghoa yang mengambil alih

perdagangan pihak Belanda, termasuk perdagangan ekspor dan impor,

berasimilasi dengan kebudayaan penduduk Pribumi. Joel Kotkin mengatakan

dalam bukunya “Tribes, How Race and Religion, and Identity Determine Success

in the New Global Economy”(Suku, Ras dan Agama, dan Identitas dalam

menentukan keberhasilan Ekonomi Global) bahwa pada awal tahun 1990-an jumlah masyarakat Tionghoa mencapai 5% dari jumlah penduduk Indonesia

secara keseluruhan. Tetapi jumlah yang kecil ini menguasai aset ekonomi

nasional sebesar 75% dan Pecinan selalu menjadi pusat kota dimana daerah

perdagangan berada.6

5

Jean Gelman Tailor, Kehidupan Sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur, hal. 63.

6

(13)

4 Menurut pendapat beberapa ilmuan, di kalangan orang Indonesia muncul

anggapan bahwa etnis Tionghoa Indonesia adalah orang asing yang memiliki gaya

hidupnya sendiri serta kebiasaan yang berbeda. Contohnya, etnis Tionghoa di

Indonesia dianggap suka hidup berkelompok, menjauhkan diri dari pergaulan

sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri.Mereka juga dianggap selalu

berpegang teguh pada kebudayaan negeri leluhur mereka sehingga kesetiaan

mereka kepada bangsa dan Negara Indonesia diragukan. Di mata orang Indonesia,

setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh pemerintah Hindia Belanda,

etnis Tionghoa lalu mendominasi ekonomi Indonesia dan menghalang-halangi

kebangkitan golongan pengusaha Indonesia. Citra itu muncul dalam tulisan dan

ucapan orang Indonesia tentang etnis Tionghoa Indonesia.7

Pada masa kolonial Belanda, para pedagang Tionghoa memegang peranan

penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha kolonial untuk

memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang

Tionghoa tersebut. Akibatnya, colonial Belanda merasa terancam karena

keberadaan etnis Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi

di Indonesia, dan jika etnis Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan,

colonial Belanda akan kewalahan. Karena itulah, colonial berusaha mengadu

domba pribumi dan etnis Tionghoa.8

Selain itu pemerintah Belanda membuat peraturan dan membagi-bagi

penduduk di Indonesia ke dalam tiga golongan rakyat, masing-masing golongan

7

Charles Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, hal. 26.

8

(14)

5 rakyat Eropa, golongan rakyat Timur Asing, dan golongan rakyat Pribumi.

Golongan pertama antara lain terdiri dari orang Belanda, orang-orang berkulit

putih lainnya dan orang Jepang, yang semuanya merupakan warga Negara kelas

satu, yang kedua antara lain terdiri dari orang India, Arab, dan Tionghoa, sedang

yang terakhir terdiri dari orang-orang pribumi yang merupakan warga Negara

kelas tiga.9

Dari ketiga klasifikasi tersebut orang Eropa menganggap dirinya lebih

hebat dari etnis Tionghoa, sedangkan etnis Tionghoa juga menganggap dirinya

lebih hebat dari orang Pribumi. Klasifikasi tersebut menjadikan orang Pribumi

jelek di mata etnis Tionghoa, akibatnya terlihat pada berbagai bidang kehidupan

di antaranya keseganan etnis Tionghoa untuk memeluk Agama Islam yang

mereka pandang bisa menurunkan harkat diri mereka. Selain itu mereka juga

menganggap bahwa agama Islam tidak memberikan kebebasan pada etnis

Tionghoa untuk meneruskan adat istiadat leluhur mereka.

Di Batavia cukup banyak etnis Tionghoa yang menjadi pemeluk agama

Islam, termasuk tokoh-tokoh cendikiawan dan pengusaha Tionghoa, seperti Junus

Jahja, Moh.Budyatna, Jusuf Hamka dan masih banyak lagi.10

Junus Jahja giat menganjurkan memeluk Islam sebagai satu-satunya cara

untuk berasimilasi total bagi etnis Tionghoa, di samping itu beliau juga berupaya

untuk mendirikan Yayasan Haji Karim Oei di tengah-tengah pemukiman orang

Tionghoa Batavia. Junus Jahja dan kawan-kawannya berupaya untuk mendorong

9

Amen Budiman,Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia.Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1979, h. 46.

10

(15)

6 penyebaran agama Islam di kalangan etnis Tionghoa non-muslim, seperti yang

tercantum dalam tulisan Leo Suryadinata, yayasan ini mempunyai target ingin

mengislamkan 50.000 orang Tionghoa dalam jangka waktu 10 tahun.11

Junus Jahja juga mengatakan didalam bukunya Leo Suryadinata12 bahwa

apabila etnis Tionghoa memeluk agama Islam, segalanya akan terasa lebih ringan.

Karena Islam memberikan identitas dan kepribadian yang mantap kepada

pemeluknya. Islam juga menuntut umatnya untuk berikhtiar dan membina diri

menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang selalu dalam keadaan serasi dan

seimbang dalam hubungan dengan Tuhannya, dalam hubungan sosial dengan

masyarakat sekelilingnya, dan juga dalam hubungan dengan alam sekitarnya.

Hingga ia hidup damai dan penuh kepercayaan terhadap dirinya. Hal inilah yang

merupakan landasan bagi etnis Tionghoa dalam menjalani kehidupan mereka

sebagai seorang Muslim.

Saat ini, posisi Tionghoa Batavia Muslim dalam masyarakat Indonesia

dapat dikatakan tidak mengalami hambatan yang berarti. Memang pada awalnya

beberapa dari mereka mengalami sedikit kendala dalam menjalani hubungan

dengan orang-orang sekitar. Namun seiring berjalannya waktu, hubungan mereka

menjadi kembali membaik seperti biasa. Keadaan ini menunjukkan

kecenderungan masyarakat Batavia yang toleran dalam mengayomi etnis

Tionghoa di Batavia yang memeluk agama Islam. Hal inilah yang akan penulis

teliti dalam sebuah karya tulis.

11

Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia; 1988, h. 97.

12

(16)

7

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, penulis melihat bahwa ada

sejumlah masalah yang bisa di identifikasi antara lain:

a) Faktor konversi muslim Tionghoa;

b) Organisasi muslim Tionghoa;

c) Statitiska muslim Tionghoa;

d) Pola penguatan identitas baru muslim Tionghoa;

e) Perubahan status sosial muslim Tionghoa;

f) Perubahan status ekonomi muslim Tionghoa;

g) Afiliasi politik muslim Tionghoa;

h) Program pendidikan muslim Tionghoa.

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah diatas, hanya beberapa yang penulis

batasi antara lain:

a) Faktor konversi masyarakat Tionghoa di Batavia;

b) Perkembangan muslim Tionghoa di Batavia.

3. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah yang disebutkan, penulis membuat pertanyaan

untuk menjawab semua permasalahan yang penulis batasi.Adapun sub pertanyaan

pokok adalah sebagai berikut:

a) Faktor apa saja yang menjadi penyebab perpindahan Muslim Tionghoa di

(17)

8

b) Bagaimana gambaran Muslim Tionghoa di Batavia?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang diinginkan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui seberapa jauh ketertarikan orang Tionghoa terhadap Islam,

sehingga ingin menjadi muslim.

2. Untuk mengetahui bagaimana Konversi Agama muslim Tionghoa di Batavia.

D. Manfaat Penulisan

1. Diharapkan bisa menambah referensi untuk penulisan tentang muslim

Tionghoa.

2. Dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menarik peneliti lainya

sehingga penulisan tentang Cina Muslim ini dapat dikembangkan, dari segi

metode, sumber, kajian, serta analisis.

3. Dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan bisa menjadi penimbang untuk

mengembangkan organisasi-organisasi Muslim Cina lainnya.

E. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode

historis.Metode historis ialah sebuah penelitian yang tujuannya mendeskripsikan

(18)

9 langkah kegiatan di antaranya metode heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan

historiografi.13

Ada pun sistematika yang dilakukan dalam metode historis, di antaranya

sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan

sumber.Pengumpulan sumber dilakukan penulis, melalui survei lapangan, data

tertulis berupa dokumen, buku-buku, majalah, jurnal dan wawancara.

Pengumpulan sumber-sumber dilakukan penulis dengan menggunakan metode

Library Research (Penelusuran Kepustakaan), yakni penelusuran data-data tertulis, berupa buku-buku dan skripsi-skripsi yang terkait dengan tema yang

serupa melalui Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Universitas Indonesia,

ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), Perpustakaan Umum Daerah Nyi

Ageng Serang.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber merupakan tahap yang kedua setelah melakukan

pengumpulan data.Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkiritisi

sumber-sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap sumber-sumber-sumber-sumber

yang didapat agar mendapatkan sumber yang valid dan relevan dengan tema yang

dikaji penulis.

3. Interpretasi

13

(19)

10 Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan

selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber

yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh

penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya.

4. Historiografi

Terakhir penulis menuliskan pemikiran dari penelitian serta memaparkan

hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman

skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga baik

dalam metode penulisannya.Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.14

Dalam melakukan penulisan ini penulis melakukan pendekatan

sosiologi.Menurut Dudung Abdurrahman, pendekatan sosiologi ialah

penggambaran peristiwa masa lalu yang di dalamnya akan terungkap segi-segi

sosial, yakni pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis

hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan

status sosial, dan sebagainya, oleh karenanya metode historis dengan pendekatan

sosiologi dapat dikatakan sebagai sejarah sosial.15

F. Riset Terdahulu

Banyak studi yang berkenaan dengan komunitas Tionghoa di Batavia,

akan tetapi sejauh yang penulis amati belum ada yang membahas tentang

“Konversi Agama Muslim Tionghoa di Batavia”, Ada pun buku dan laporan

14

Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995, h. 109

15

(20)

11 penelitian berupa skripsi yang menjadi rujukan oleh penulis, di antaranya sebagai

berikut:

Pertama, Prof. Kong Yuanzhi dalam bukunya Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.16Buku ini membahas mengenai tokoh Muslim Tionghoa Cheng Ho yang melakukan pelayaran ke Nusantara dan

Negara-negara di Asia Tenggara lainnya, selain misi perdagangan Cheng Ho juga

menyiarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Tujuan sebenarnya Cheng

Ho melakukan pelayaran ini selain bersilaturahmi juga ingin menyebarkan dan

memperkenalkan agama Islam kepada penduduk setempat bahwa Islam

merupakan agama yang rasional dan universal.Oleh karena itu, agama Islam dapat

diterima siapa pun. Selain itu, Cheng Ho juga mengajarkan untuk menghargai

agama lain yang dianut penduduk setempat. Dalam setiap pelayarannya, Cheng

Ho pun telah menerapkan manajemen strategi Nabi Muhammad SAW,

manajemen Tao Zhugong, manajemen Confuciusme, dan manajemen

Lautze.Dengan menerapkan beberapa manajemen tersebut, Cheng Ho dapat

mengatur dengan apik sistem kerja dari awak kapalnya sesuai dengan tugas

masing-masing.

Kedua, Charles Coppel dalam bukunya Tionghoa Indonesia dalam Krisis.17Dalam bukunya memaparkan tentang bagaimana kehidupan orang Tionghoa di Indonesia, asal usul nama Tionghoa, definisi tentang

ke-Tionghoa-an, serta budaya yang di gunakan orang Tionghoa di Indonesia. Di dalam buku ini

juga menjelaskan bahwa ada banyak orang Tionghoa yang lahir di Indonesia,

16

Khong Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Jakarta 2005.

17

(21)

12 yang dengan mudah dapat dianggap sebagai orang Indonesa, begitu pula

sebaliknya, ada orang Indonesia yang wajahnya mirip dengan orang Tionghoa

yang turut menjadi korban kekerasan anti Tionghoa. Sebagai akibat dari

perkawinan campur selama beberapa abad ini, maka penampilan fisik tidak dapat

dijadikan tolak ukur dalam menentukan ke-Tionghoa-an seseorang.

Ketiga, Leo Suryadinata dalam bukunya Kebudayaan minoritas Tionghoa di Indonesia,18dalam bukunya menjelaskan tentang asimilasi orang Tionghoa, karena apabila orang Tionghoa memeluk agama Islam segalanya akan terasa lebih

ringan, karena Islam memberikan identitas dan kepribadian yang mantap kepada

pemeluknya, dan juga menganjurkan memeluk agama Islam sebagai satu-satunya

cara untuk berasimilasi total bagi orang Tionghoa Indonesia.

Keempat, karya ilmiah (Skripsi) Mahyudi, Strategi Dakwah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dalam Meningkatkan Ibadah Anggota, UIN

Jakarta, 200819 yang didalam membahas gambaran umum PITI dan stategi

dakwah yang dilakukan PITI terhadap mualaf Tionghoa.

Selain itu ada juga karya Ilmiah (skripsi) Johan Wahyudi, Persatuan Islam

Tionghoa Indonesia (PITI) di Semarang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 201020

yang membahas tentang peran PITI dalam proses Islamisasi masyarakat Tionghoa

di Semarang.

18

Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia; 1988.

19

Mahyudi, Strategi Dakwah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dalam Meningkatkan Ibadah Anggota.UIN Jakarta, 2008.

20

(22)

13 Dari semua kajian yang disebutkan, bagaimana konversi Agama Muslim

Tionghoa di Batavia belum terungkap dengan jelas.Dengan demikian hal ini yang

menjadi objek dari penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti membagi pembahasan kedalam 5

bab, dimana didalam bab tersebut juga terdapat sub-sub bab. Diantara 5 bab

tersebut adalah

Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan dimana didalamnya terdapat latar belakang masalah, dentifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penulisan, signifikansi penulisan, metodologi penelitian, kajian pustaka, dan

sistematika penulisan.

Bab Kedua, berisikan Masyarakat Batavia, yang didalamnya terdapat sub-sub bab seperti kehidupan Keagamaan, politik, dan Ekonomi di Batavia.

Bab Ketiga, menjelaskan tentang Masyarakat Tionghoa di Batavia, seperti sejarah kedatangan orang Tionghoa di Batavia, proses berkembangnya

orang-orang Tionghoa di Batavia, akulturasi Tionghoa-Batavia, dan aktifitas sosial

ekonomi.

Bab Keempat, merupakan bab inti dari penelitian ini seperti, Faktor Perpindahan Muslim Tionghoa di Batavia, Konversi Dalam Anggota Muslim

Tionghoa di Batavia, Asimilasi, Asosiasi Muslim Tionghoa di Batavia, Dampak

(23)

14 Bab Kelima, adalah bab terakhir dimana didalamnya berisikan kesimpulan dari penelitian ini dan daftar sumber yang peneliti gunakan untuk menulis

(24)

15

BAB II

MASYARAKAT BATAVIA

A. KehidupanSosial Masyarakat Batavia

Batavia adalah sebutan untuk kota pusat perdagangan, pemerintahan,

politik, ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan, dan kekuasaan Belanda di Hindia

Belanda. Perihal yang tidak disukai Coen karena ia ingin menamakan kota

ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai nama kota kelahirannya di Belanda.

Namun penguasa yang lebih tinggi di Belanda menamakan tempat

itu Batavia.Penyebutan tersebut berlaku selama tiga setengah abad, sejak

didirikan Jan Pieterzoon Coen pada 1619 hingga 10 Desember 1942. Nama ini

dipilih untuk mengenang suku bangsa Germania yang disebut oleh C. J. Caesar

dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM) yaitu Batavir yang menghuni daerah di

sekitar mulut Sungai Rhein, yang dianggap leluhur orang Belanda.

Nama Batavia baru disahkan pada 1620, perihal yang tidak disukai Coen karena

ia ingin menamakan kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai nama kota

kelahirannya di Belanda. Namun penguasa yang lebih tinggi di Belanda

menamakan tempat itu Batavia.21

Pada abad ke-17 Batavia menglami perkembangan yang pesat, sehingga

mendapat julukan Ratu Dari Timur, hal itu karena letaknya yang strategis baik

dari segi geografis maupun lalu lintas perdagangan internasional. Pada

perkembangan selanjutnya Batavia mengalami kemunduran terhadap lingkungan

21

(25)

16 fisik perkotaannya, sehingga Batavia yang awalnya mendapat julukan Ratu Dari

Timur kini berubah menjadi Kuburan Orang Belanda.22

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya,

Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan

membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak

dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik

perbudakan.Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali

dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku

bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di

kota ini.23

Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana

pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai

nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya

berbagai suku bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung

Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis

di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada

tahun 1690.Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di

daerah Kota.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA

memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893.Perkiraan ini

didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan

Australia, Lance Castle. Pada zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu

22

Jean Gelman Tailor. Kehidupan Sosial di Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur. Terj, Jakarta: Masup Jakarta, 2009. hal 93

23

(26)

17 melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.Dalam

data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari

berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis

Betawi.Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis

yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa,

Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan

orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini

dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi di Batavia yang kemudian

terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.24

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah

ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut.Jumlah

orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia

waktu itu.Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan,

menyatakan kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok

etnis itu juga belum mengakar.Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering

menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang

Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawa Belong.25

Penduduk lokal di luar Benteng Batavia tersebut sudah menggunakan

Bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan

sebagai bahasa nasional. Sebagai ibu kota negara Indonesia Jakarta menjadi

muara mengalirnya pendatang baru dari seluruh penjuru Nusantara dan dunia.

24

Ensiklopedi Jakarta jilid III, hal 19.

25

(27)

18 Meskipun begitu, etnik Betawi diduga sebagai penduduk yang paling awal

mendiami kawasan ini, paling tidak sejak abad ke 2.

Perubahan lingkungan perkotaan Batavia dari abad 16 – 18 M, menurut

beberapa ahli dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

antara lain disebabkan oleh rekayasa lingkungan alam Batavia yang menggunakan

teknologi Eropa (Belanda), terutama sistem kanal dan parit yang difungsikan

untuk mengeringkan lahan rawa, mencegah banjir, mempertinggi permukaan

lahan, serta sebagai sarana pertahanan dan transportasi. Faktor eksternal lebih

banyak disebakan oleh akibat ikutan yang timbul dari faktor internal.Kota yang

semula berfungsi sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan lokal dan

regional berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, perbentengan dan

pusat pemerintahan kolonial. Perubahan fungsi tersebut menyebabkan Batavia

menjadi lebih terbuka terhadap imigran luar dan asing, sehingga menimbulkan

pertambahan jumlah penduduk yang pada akhirnya juga mendorong perluasan

areal kota. Penduduk kota menjadi lebih heterogen dan muncul

kelompok-kelompok etnis yang berbeda sosio kulturalnya, yang pada akhirnya

memunculkan nilai-nilai baru di Batavia.26

Tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Kota Batavia

pada abad 18 M. F. de Haan memperkirakan jumlah penduduk Kota Batavia pada

tahun 1700 sampai 1730 adalah antara 30.000 – 35.000 jiwa dengan jumlah

10.000 – 15.000 jiwa di antaranya tingal di luar benteng. Sedangkan Valentijn

26

(28)

19 melaporkan bahwa penduduk Kota Batavia pada tahun 1722 sekitar 100.000

jiwa yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa.27

Data kompeni tahun 1779 menyebut jumlah penduduk Batavia sebanyak

172.628 jiwa. Data pada tahun tersebut menggambarkan 89% penduduk tinggal di

luar benteng, dan dari 89% tersebut 59% di antaranya tinggal di bagian depan

sebelah barat kota. Data itu juga menggambarkan bahwa pada abad 18,

pemukiman penduduk terutama berkembang kea rah barat kota.

Seperti lazimnya masyarakat perkotaan, kelompok-kelompok masyarakat

di Kota Batavia menempati daerah-daerah kelompoknya sendiri dan terpisah

dengan kelompok etnis lain. Jejak kehidupan sosial masa itu masih dapat dilihat

melalui sejumlah nama daerah di Jakarta yang menggunakan nama-nama suku

bangsa atau kelompok etnis.

Adapun penduduk Batavia pada abad 18 M terbagi dalam enam kelompok

besar yang terdiri dari orang Eropa, Mestizo atau Eurasia (indo), Timur Asing

(Cina), Mardiker, dan orang pribumi.28

Orang Belanda tidak menempati lokasi khusus untuk tempat tinggalnya.

Mereka dapat tinggal dimana saja, di dalam atau pun di luar benteng, meskipun

gambaran dari data abad 18 M memperlihatkan bahwa orang Belanda di luarkota

lebih banyak bertempat tinggal di depan kota sebelah Timur dan Selatan. Orang

Mestizo dan Eurasia banyak bertempat tinggal di dalam kotasisi Timur dan di

Timur bagian depan kota. Setelah peristiwa kerusuhan tahun 174029, orang-orang

27

Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 tahun.Terj, Jakarta: Masup Jakarta, 2011, hal 47.

28

ibid, hal 56.

29

(29)

20 Cina dilarang tinggal di dalam kota Batavia. Pada tahun 1766, untuk pertama

kalinya diangkat Kapiten dari golongan Cina peranakan. Nama kapiten tersebut

menggunakan nama pribumi. Meskipun begitu, orang Cina peranakan tetap

tinggal terpisah, menyebar di sejumlah kampung dan beribadat menggunakan

rumah ibadat atau masjid di kampung tempat mereka tinggal.Baru pada tahun

1786, orang Cina peranakan membangun masjid di atas tanah milik Kapiten

mereka, di sebelah Timur Molenvliet30.Saat ini masjid Cina peranakan tersebut

dikenal sebagai Masjid Kebun Jeruk.31

Masuk dalam kelompok Timur Asing lainnya adalah orang Moor. Sebutan

Moor pada awalnya digunakan untuk menyebut orang-orang Islam dari Kalingga,

Koromandel, India. Tapi de Haan juga menggunakan sebutan ini untuk menyebut

orang Islam dari daerah lain seperti Gujarat, Benggala, Parsi, dan

orang-orang Arab. Mereka umumnya adalah pedagang tekstil.32

Dalam kelompok orang pribumi, etnis Jawa memiliki jumlah terbesar.

Mereka bertempat tinggal di luar benteng, di sekitar Kali Krukut, dan di sebelah

Utara kota bagian Barat. Orang Bali juga memiliki jumlah yang besar, mereka

bertempat tinggal di sejumlah kampung di luar kota, yaitu Kampung Krukut,

peristiwa kekerasan dikenal dengan Tragedi Berdarah Angke pada 9 Oktober 1740. Peristiwa itu bermula dari kekhawatiran persaingan dagang dan kekhawatiran akan pemberontakan kaum Cina di Batavia terhadap pemerintahan Belanda. Adrian Valckenier selaku Gubernur Jendral VOC yang ke 25 (1737-1741) memerintahkan pembantaian terhadap sekitar 10.000 kaum Cina. Pembantaian mula-mula dilakukan terhadap tahanan di penjara, kemudian di rumah sakit, lalu meluas ke

Peter Carey. 1985. Orang Jawa dan Masyarakat Cina, Terj.Jakarta : Pustaka Azet. Hal 77.

32

(30)

21 Kampung Angke, dan Kampung Pisangan Batu, yang menurut de Haan telah ada

sejak tahun 1687. Satu kampung baru untuk orang Bali adalah Kampung Gusti

yang dibangun pada tahun 1709. Menurut data tahun 1779, Etnis Belanda

bertempat di luar benteng kota, terutama di depan kota bagian Barat dan Timur.

Pada tahun 1715, diberitakan adanya satu masjid di luar pintu gerbang Roterdam

(timur bagian depan kota) sebagai tempat ibadah orang Belanda yang memeluk

agama Islam.33

Meskipun faktor ras, etnis, dan profesi dominan dalam pengelompokan

penduduk dan masyarakat kota pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische

Compagnie), faktor agama pun ikut berperan, baik dalam pengelompokan

penduduk maupun alokasi pekerjaan. Batas-batas wilayah yang didasarkan pada

perbedaan agama, tidak hanya tampak pada kehidupan sosial-ekonomi.Hak-hak

warga masyarakat yang beragama Kristen, termasuk budak, dilebihkan, demikian

juga dalam permukiman. Pada umumnya, banyak penduduk yang beragama Islam

bermukim di sisi depan kota bagian Barat, sedangkan orang Kristen bermukim

atau dimukimkan di sisi depan kota bagian Timur yang tercermin pada sejumlah

peninggalan sejarah dan purbakala berupa gereja dan masjid. Dengan melihat

gambaran heterogennya Batavia di masa lalu, tidak mengherankan jika kondisi

tersebut tetap bertahan pada saat ini.34

33

Ibid. Hal 124.

34

(31)

22

B. Kehidupan Politik Masyarakat Batavia

Pada abad-16 ketika orang Eropa (Portugis) mulai datang ke nusantara,

terdapat penulis Eropa yang memberi nama daerah yang masih asing ini dengan

sebutan Kalapa. Kalapa yang dimaksud persisnya tertuju kepada bandar terbesar

pada jaman kerajaan Hindu yang dikenal dengan nama Sunda yang berada kurang

lebih 40 km di daerah yang masih berupa pedalaman, yang diperkirakan berada di

kota Bogor saat ini.

Ketika pertama kali menjajaki kota Kalapa ini, rombongan orang Eropa

yang merupakan orang Portugis diserang oleh seorang pemuda yang

bernama Fatahillah. Nama ini yang kemudian dijadikan sebuah nama jalan dan

museum yang sangat terkenal bagi penduduk Jakarta. Pemuda ini berasal dari

kerajaan yang berkuasa didaerah Kalapa kemudian merubah sebutan Sunda dan

Kalapa menjadi Jayakarta yang memiliki arti Kemenangan Yang Tercapai pada

tanggal 22 Juni 1527.35

Dengan perkembangan waktu, orang-orang Belanda masuk dan menguasai

Nusantara pada abad-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta

pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat

Kesultanan Banten.Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen

menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan

kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda,

Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan

kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari

35

(32)

23 mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar,

India.36

Pemerintahan kolonial Belanda diawali dengan dibentuknya lembaga

dagang VOC yang memiliki pengurus terdiri atas tujuh belas orang yang disebut

De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas). Lembaga ini berpusat di negeri

Belanda. Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat

Gubernur Jenderal yang didampingi Dewan Hindia 37 . Dewan Hindia ini

beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat Gubernur di daerah

seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama Dewan Hindia

mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak

terbatas. Selain Gubernur Jenderal, diangkat pula seorang Direktur Jenderal yang

bertugas mengurusi perniagaan serta mengurus perkapalan.38

Dalam rangka politik Pax Neerlandica39, Belanda banyak menggunakan

tenaga pribumi yang mampu mengerjakan administrasi pemerintahan, yang

memiliki keterampilan dan latihan kerja yang memadai dalam berbagai jenis

kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pribumi yang memiliki kemampuan

dan keterampilan maka didirikan sekolah untuk mendapat pendidikan yang

36

Lilie Suratminto dan Mulyawan Karim.Kota Tua Punya Cerita. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2012. Hal 91.

37

Dewan Hindia merupakan organisasi pusat bagi pemerintahan kolonial Hindia Belanda diAsia antara tahun 1609-1942, di samping gubernur jenderal. Awalnya, Dewan Hindia didirikan sebagai badan yang memberikan nasihat pada gubernur jenderal.Lebih lanjut, Dewan Hindia juga mengontrol gubernur jenderal yang dicurigai despot, dengan memeriksa dan mengendalikan mereka.Mereka memberi nasihat pada gubernur jenderal untuk pengangkatan pegawai dan pembicaraan masalah ekonomi dan keuangan.

38

Johan Fabricius. Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19, Terj. Jakarta: MAsup Jakarta 2008. Hal 122.

39

(33)

24 terampil dan berpengetahuan, agar nanti dapat dipekerjakan pada kantor-kantor

milik pemerintah kolonial.

Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membutuhkan banyak tenaga

untuk melaksanakan tugas guna mengikat hubungan dengan daerah-daerah di

seluruh wilayah Indonesia.Sementara itu, adanya perluasan hubungan antara

pemerintah kolonial di Batavia dengan negeri induknya, serta dengan

daerah-daerah di seluruh Nusantara, menuntut adanya desentralisasi hubungan.Pemikiran

yang demikian akhirnya mendorong dibentuknya Volksraad40 pada tahun 1918

dengan tujuan agar hubungan dengan rakyat Indonesia semakin lebih baik.

Dalam melaksanakan pemerintahannya, Gubernur Jenderal didampingi

oleh Raad van Indie (dalam prinsipnya terdiri atas enam orang anggota dan dua

anggota luar biasa, di mana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua).

Laporan-laporan mengenai aktivitas VOC secara berkala dikirimkan ke dewan

Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di

Amsterdam.

Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak

melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah

tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah secara langsung oleh VOC. Dalam

sistem seperti ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian

VOC. Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi status

40

(34)

25 mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang

tersebut. Para elit pribumi lebih banyak diperlakukan sebagai mitra kerja demi

kepentingan VOC.41

Pada awal abad ke-18 pengangguran di Batavia meningkat, sementara itu

pendatang dari Cina kian memadati kota tertua di Asia Tenggara itu. Setidaknya

4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota, sedangkan sekitar 10.000

orang berada di luar tembok kota.Gubernur Jenderal VOC Kongsi Dagang Hindia

Timur Adriaan Valckenier, melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan

pengangguran itu ke Sri Langka karena di Pulau Tenggara India itu VOC juga

mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang

berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri

Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas.42

Komunitas Cina di pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk

melakukan pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga

Cina dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa

tempat, seperti Meester Cornelis43telah dikuasai pemberontak Cina.

Pada 9 Oktober 1740, terjadilah huru hara di dalam tembok Kota Batavia.

Para serdadu VOC melakukan perampokan dan pembersihan warga

Cina.Permukiman Cina dibakar. Semua warga Cina dalam tembok kota, baik pria,

maupun wanita, bahkan anak-anak yang lari berhamburan ke jalanan kota itu

dibunuh dengan keji.Bahkan, beberapa ratus orang Cina yang menjadi tahanan di

41

Hendrik E. Niemeijer. BATAVIA Masyarakat Kolonial Abad XVII, Terj. Jakarta: Masup Jakarta 2012. Hal 255.

42

Johannes Theodorus Vermeulen. Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740, Terj. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Hal 65.

43

(35)

26

Stadhuis Balai Kota Batavia44dibebaskan, lalu disembelih di halaman belakang

gedung itu. Diperkirakan antara 5.000 sampai 10.000 warga Cina telah dibantai.45

Rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong yang terletak di Roa Malaka46 dijarah

dan dihancurkan.Sang Kapitan yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas

orang-orang cina itu ditangkap dan akhirnya wafat dalam pembuangannya di

Ambon.47

Sebenarnya VOC sudah tidak ada sejak tahun 1796. Akan tetapi, baru

pada tanggal 1 Januari 1800 setelah masa berlaku oktroi 48-nya berakhir

pembubaran VOC secara resmi diumumkan.Berkenaan dengan hal itu, semua

utang-piutang kongsi dagang itu menjadi tanggung jawab pemerintah

Belanda.Demikian pula dengan daerah kekuasaannya.

Peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintah Belanda sendiri tidak

membawa dampak yang cukup berarti bagi wilayah Hindia Timur. Hal ini antara

lain karena di Negeri Belanda sendiri masih terjadi kekacauan setelah Napoleon

Bonaparte dari Prancis menyingkirkan Raja Willem van Oranje dan

mendudukkan saudaranya, Louis Napoleon, sebagai raja baru Belanda.

Dalam masa peralihan ini, pemerintah Belanda yang baru belum

memperhatikan daerah koloninya sehingga para pejabat di wilayah Hindia Timur

44

Stadhuis Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta.

45

Vermeulen.Tionghoa di Batavia. Hal 72.

46

Roa Malaka adalah dari kata bahasa Portugis Rua Malaka artinya Jalan Malaka, kawasan ini pernah menjadi tempat pemukiman tawanan Portugis di Batavia.Yang sekarang teerletak di kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

47

B. Hoetink. NI HOE KONG Kapitein TIONG HOA di Betawie dalem tahon 1740. Jakarta: Masup Jakarta, 2007. Hal 87.

48

(36)

27 masih dipegang orang-orang lama. Akan tetapi, para pejabat Belanda di Hindia

sendiri dilanda kebimbangan setelah adanya surat edaran dari Raja Willem yang

orang itu kurang cakap. Para mantan pejabat yang dongkol ini kemudian

berkomplot dengan sebuah kelompok istana yang berada di sekeliling putra

mahkota.49

Pada tanggal 27 Februari 1942 terjadi pertempuran di laut di Laut

Jawa.Untuk menduduki Pulau Jawa sebagai tempat terkuat yang dipertahankan

Belanda maka Jepang menggunakan kekuatan yang berlipat ganda.Pada tanggal 5

Maret 1942 Jepang mendarat di Banten. Pemerintah Hindia Belanda dengan

tergesah-gesah mencetak selebaran yang menyatakan bahawa kota Batavia adalah

kota terbuka dan akan menerima kedatangan serdadu utusan Tenno.

Pintu kekalahan bagi Belanda sudah terbuka. Pernyataan kota Batavia

sebagai kota terbuka yang mereka umumkan melalui selebaran tidak menjadi

alasan bagi Jepang untuk tidak melakukan penyerangan. Karena menyadari akan

kekalahannya, maka pada tanggal 8 Maret 1942 Letnan Jendral Ter Poorten

menandatangani penyerahan Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang di

Kalijati.

Pada permulaan Maret 1942 di Kantor Residen Batavia diadakan upacara

penyerahan Batavia ke tangan balatentara Jepang dengan disaksikan oleh ribuan

rakyat Jakarta.Dengan demikian kelihatan dengan jelas betapa tidak mampunya

Belanda manghadapi Jepang.Kenyataan tersebut di atas menunjukan bahwa

zaman penjajahan Belanda yang telah banyak mendatangkan kesengsaraan bagi

49

(37)

28 Bangsa Indonesia umumnya dan rakyat Jakarta khususnya dengan demikian

tamatlah riwayatnya.Dengan demikian Jepang menggantikan peranan Belanda.50

C. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Batavia

Batavia merupakan pusat perdagangan internasional bentukan

Belanda.Sebagai pusat perdagangan yang berskala internasional, banyak

pedagang-pedagang asing yang berdagang di Batavia, salah satunya adalah

orang-orang Cina.Pada awal kedatangannya, banyak diantara orang-orang-orang-orang Cina tersebut

yang hanya berniat untuk berdagang.Namun, seiring berjalannya waktu, mereka

seringkali menetap di Batavia sekedar untuk menunggu iklim yang baik untuk

kembali ke negara asal mereka.Selain itu, tidak sedikit orang-orang Cina yang

merasa nyaman tinggal di Batavia.Selain disebut sebagai kota perdagangan,

Bataviatidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu perbudakan mendapat

tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial.

Penyebabnya pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja

murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.51

Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa

seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti

India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh

tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia

memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari

50

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.Sejarah Daerah DKI Jakarta. Jakarta: Depdikbud 1997-1998.

51

(38)

29 pergundikan, kriminal, hingga kekerasan.Kemunculan budak dan pendatang ke

Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot).52

Pada 1602 Belanda mendirikan VOC atau Perserikatan Perusahaan Hindia

Timur atau perusahaan dagang Belanda yang aktif di Asia Tenggara. Sebagai

perseroan terbatas.VOC memperoleh monopoli perdagangan dari pemerintah

Belanda.Artinya, wewenang negara dialihkan kepada perusahaan dagang swasta,

misalnya untuk mengadakan perjanjian perdagangan dan politik, melancarkan

perang, dan membangun pangkalan.53

Kegiatan VOC mulai diorganisasi dan monopoli perdagangan mulai

diterapkan setelah ditetapkannya Gubernur Jenderal yang pertama, yaitu Pieter

Both.Dia menentukan pusat kedudukan VOC di Ambon. Pilihan itu didasari

pertimbangan bahwa dari Ambon kegiatan untuk menerapkan monopoli

perdagangan rempah-rempah di Maluku akan lebih mudah dilakukan. Dalam

perkembangannya Pieter Both memindahkan pusat kedudukan VOC ke Jayakarta

dengan alasan strategis dan akan lebih mudah menyingkirkan Portugis yang

berkedudukan di Malaka waktu itu.

Untuk melaksanakan rencana tersebut, Pieter Both meminta izin kepada

Pangeran Jayakarta untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta, yang termasuk

wilayah kekuasaan Banten. Namun, beberapa tahun kemudian EIC dari Inggris

juga diizinkan mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Akibatnya muncul

persaingan antara VOC dan EIC.Saat terjadi persaingan VOC dan EIC Jan Pieter

52

Ibid. hal 120.

53

(39)

30 Zoon Coen diangkat menjadi gubernur jenderal. Untuk memenangkan persaingan,

ia mendirikan benteng VOC di Jayakarta, yang diberi nama Batavia.54

Kemudian ia menghasut penguasa Banten Ranamenggala, untuk memecat

Pangeran Jayakarta dan sekaligus menutup izin berdagang EIC. Sejak tanggal 31

Mei 1619, VOC memperoleh hak penuh atas Jayakarta. Dan sejak saat itu pula

nama Jayakarta berubah menjadi Batavia. Melalui Batavia VOC memperluas

pengaruhnya ke berbagai wilayah di Indonesia.Perluasan pengaruh itu disertai

penerapan monopoli perdagangan.Dengan kekuatan militer dan keahlian

memecah belah, sejumlah wilayah tunduk pada pengaruh VOC.

Untuk menjalankan monopoli perdagangan VOC membuat peraturan

sebagai berikut55 :

1. Petani rempah-rempah hanya boleh bertindak sebagai produsen, hak jual beli

hanya dimiliki VOC.

2. Panen rempah-rempah harus dijual kepada VOC dengan harga yang ditentukan

oleh VOC.

3. Barang kebutuhan sehari-hari seperti peralatan rumah tangga, garam dan kain

harus dibeli dari VOC dengan harga yang ditentukan oleh VOC.

VOC mempunyai hak ekstirpasi56 dan melakukan pelayaran Hongi57 untuk

mengendalikan monopoli perdagangan.Dua hal itu merupakan strategi VOC

untuk mengendalikan monopolinya.Ambisi besar JP Coen.sang pendiri VOC

Hak ekstirpasi adalah hak untuk menumpas pohon rempah-rempah yang dianggap berlebihan agar harga rempah-rempah di pasar mancanegara tetap tinggi.

57

(40)

31 adalah membuat Batavia menjadi pusat perdagangan Asia yang besar. Dari empat

pusat dagang, yakni Persia, India dan Ceylon, Maluku, dan Jepang, barang-barang

banyak mengalir ke gudang Batavia. Karena maju, para direktur membagikan

rata-rata dividen 10 persen setahun selama 30 tahun pertama keberadaan VOC. Ini

berarti pembagian total 20 Juta gulden. Para pemegang saham tidak tahu bahwa

selama periode itu.

Dengan berdirinya kota Batavia sebagai markas besar VOC, maka

kedudukan VOC semakin kuat. VOC terus mengadakan perluasan wilayah

kekuasaannya.Untuk mendapatkan keuntungan sebasar-besarnya melalui

perdagangan, VOC melaksanakan sistem monopoli.Pelaksanaan sistem monopoli

VOC lebih keras dari pada bangsa Portugis, terutama di Maluku.Untuk mencegah

terjadinya pelanggaran terhadap peraturan monopolinya, VOC melakukan

pelayaran hongi.

Praktik monopoli dan pelayaran Hongi seperti tersebut di atas yang

kemudian menimbulkan kebencian di kalangan rakyat. Rakyat yang hidup

tertekan dan tertindas, akhirnya melakukan perlawanan terhadap VOC.Untuk

melaksanakan kekuasaannya di Indonesia diangkatlah jabatan Gubernur Jenderal

VOC antara lain:

1. Pieter Both, merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah

tahun 1610-1619 di Ambon.

2. Jan Pieterzoon Coen, merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan

pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di

(41)

32 Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan

pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia antara

lain Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa (Makasar) serta Maluku.Akibat

hak monopoli yang dimilikinya, VOC memaksakan kehendaknya sehingga

menimbulkan permusuhan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Untuk

menghadapi perlawanan bangsa Indonesia VOC meningkatkan kekuatan

militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makasar,

Jayakarta dan lain-lain.

Bagaimana cara Belanda memperoleh monopoli perdagangan di

Indonesia? Cara yang dilakukan VOC adalah58:

1. Melakukan pelayaran Hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan

yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual

langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan

Denmark.Hal ini banyak dijumpai di pelabuhan bebas Makasar.

2. Melakukan Ekstirpasi yaitu penebangan tanaman, milik rakyat.Tujuannya

adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil

panen berlebihan (over produksi).

3. Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib

menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan

VOC. Penyerahan wajib disebut Verplichte Leverantien

4. Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan

istilah Contingenten

58

(42)

33 Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari

rempah-rempah ke tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18

VOC mengalihkan perhatiannya untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi

tersebut.Misalnya tebu di Muara Angke (sekitar Batavia), kopi dan teh daerah

Priangan.

Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalamii kemunduran karena

beberapa sebab sehingga dibubarkan.

1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi

2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan

Hasanuddin dari Gowa.

3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan

pegawai yang banyak

4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan

setelah pemasukan VOC kekurangan

5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.

6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang

demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.

Berdasarkan alasan di atas VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember

1799 dengan hutang 136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa

kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia.

VOC dibubarkan dengan alasan :

a. Kesulitan keuangan karena korupsi, banyaknya biaya untuk menggaji

(43)

34 b. Menghadapi persaingan perusahaan dagang asing

c. Berdirinya Republik Bataaf yang menghendaki perdagangan bebas bukan

monopoli

VOC telah berhutang lebih dari 10 juta gulden di Belanda.Akibatnya, para

pemegang saham menerima lebih daripada yang seharusnya.Sampai tahun 1630

keuntungan riil VOC sangat kecil.Barulah setelah itu hingga tahun 1654.menurut

Bernard H.M. Mekke dalam Nusantara, keuntungan mencapai 101 juta

gulden.sementara ongkos yang dikeluarkan adalah 76 Juta gulden. Dengan

demikian masih ada keuntungan sebesar 25 juta gulden.Lalu sebanyak 9.7 juta

gulden dikirim ke Eropa dan sisanya disimpan di Batavia. Pada tahun 1700-an

VOC mulai memonopoli tanaman komersial, khususnya kopi.59

Namun secara sewenangwenang mereka menurunkan harga produk

-mentah di Batavia dari 50 gulden menjadi 12 gulden per pikul. Bahkan untuk

memaksa harga lebih turun, para pejabat VOC memperkenalkan pembedaan

canggih terhadap Pikul Gunung seberat 102 kg dan Pikul Batavia seberat 56 k.

Para produsen dipaksa menyerahkan jumiah kopi dalam ukuran Pikul Gunung tapi

dibayar dalam Pikul Batavia. Dengan manipulasi Itu para pejabat VOC tentu saja

memperoleh untung besar.60

Ekonomi Batavia secara kasar dapat dibagi dalam dua kategori: kegiatan

bisnis perdagangan, kerajinan tangan, pasar dan pertokoan di dalam kota, serta

pertanian dan industri pedesaan di kawasan luar kota (Ommelanden). Kegiatan

59

http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/kota-batavia-masa-voc(diakses pada hari Selasa, 10 Maret 2015).

60

(44)

35 perdagangan VOC yang semarak mendukung sejumlah sektor kunci pada

ekonomi kota termasuk pengangkutan barang di pelabuhan, pengelolaan

pergudangan, logistik, perbaikan dan pemeliharaan kapal-kapal di galangan kapal

milik angkatan laut yang terletak di Pulau Onrust.61Beberapa kontrak yang dibuat

antara pemilik kapal swasta dan para investor bercerita tentang jangkauan yang

boleh diarungi dunia usaha maritim swasta.62

Ekonomi dan perburuhan di Batavia sebagian besar bergantung pada

pemanfaatan tenaga kerja paksa yang melibatkan ribuan budak. Separuh

penduduk kota adalah budak yang mayoritasnya didatangkan dari pasar-pasar

budak tradisional di India, Sulawesi dan Bali serta pulau-pulau di Indonesia

bagian timur. Kebanyakan budak merupakan milik pribadi dan sebagian besar

pemiliknya adalah warga Asia serta usahawan kecil di bidang pertanian.

Ekonomi setempat di kawasan luar kota mencakup pula produksi gula,

beras dan sejumlah sayur mayur dan buah-buahan. Ribuan kontrak kecil yang

dibuat antara para pemilik lahan pertanian dan pekerja, antara para pedagang dan

produsen semuanya menjadi saksi betapa rajinnya orang Betawi, yaitu warga

(Muslim) Asia bebas dari berbagai keturunan campuran. Warga Asia bebas yang

beragama Nasrani kebanyakan keturunan India, para Mardiker, mereka

61

Pulau Onrust merupakan bagian dari Kepulauan Seribu Jakarta. Pulau Onrust menjadi salah satu destinasi wisata tempat bersejarah di Kepulauan Seribu.Pada tahun 1615 Belanda membangun Dermaga dan galangan kapal yang tujuannya untuk memperbaiki kapal VOC tentunya dengan izin dari Pangeran Jayakarta. Kemudian pada tahun 1658, Belanda membangun benteng kecil dan pada tahun 1671 Belanda memperluas benteng di Pulau Onrust tersebut menjadi bentuk persegi lima sekaligus membangun gudang serta kincir angin. Kemudian pada tahun 1911 peranan Pulau Onrust beralih menjadi tempat untuk Karantina Jama’ah Haji dengan bangunan

Karantina seperti Rumah Sakit, yang pada waktu itu para jama’ah haji diwajibkan ikut karantina

selama 5 hari di Pulau Onrust. Pada tahun 1972 Pulau Onrust ditetapkan menjadi Suaka Purbakala oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

62

(45)

36 merupakan pemilik lahan dan pedagang yang aktip dan banyak di antara mereka

tinggal di dalam lingkungannya masing-masing di sebelah Timur di luar tembok

kota dan sejumlah lagi di kampong-kampong Tugu dan Depok. Dengan

mempelajari daftar pemilik lahan penulis dapat mengetahui identitas para

penduduk Portugis yang paling awal tinggal di Tugu di akhir abad ketujuhbelas.63

63

(46)

37

BAB III

MASYARAKAT TIONGHOA DI BATAVIA

A. Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa

Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika

kedatangan bangsa Mongolia dibawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah

maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian

memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup

teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin.

Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit.

Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali

tiba di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh,

namun kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring

berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit.64

Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai

Timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para

pedagangini dipimpin oleh Laksamana Mahmud Cheng Ho (yang beragama

Islam), yang mengepalai berbagai ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun

1405-1430. Dalam buku The Overall Survey of the Ocean's Shores, Ma Huan

mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim

Tionghoa di Nusantara dan peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak

buahnya.65 Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa, namun

kemudian belum ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang

64

Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Hal 39.

65

(47)

38 ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah melebur ke

dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara.66

Kegiatan perdagangan dari Utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah

Cina melegalkan perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima

puluh kapal yang berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai

mengalir ke kawasan itu, dimulai dari Jepang, Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan

perdagangan mulai berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan

ke ratusan pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di

Banten.67

Nusantara memiliki daya tarik tersendiri bagi dunia luar, terutama dengan

potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang melimpah.Hal ini

yang mendorong orang-orang Cina dan orang-orang Belanda untuk datang ke

Indonesia.Awal mula keberadaan orang-orang Cina di Nusantara tidak diketahui

secara jelas.68Namun, sejak masa dinasti Han (206 SM-220 M) dan dinasti Jin

(265-420 M) telah terjalin hubungan diplomatik antara Cina dengan

Nusantara.69Hubungan antara Cina dengan Nusantara dapat diketahui dengan

peninggalan benda-benda, seperti guci, keramik, ataupun mangkuk yang memiki

corak Cina.Selain itu, terdapat pula misi perjalanan yang terkenal, dipimpin oleh

pelaut Cina Laksamana Cheng Ho yang melewati beberapa daratan di Nusantara.

66

Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Pergulatan Mencari JatiDiri, Depok: Penerbit Kepik, 2012.Hal 52.

67

ibid. hal 73.

68

Hendrik E. Niemeijer, Batavia; Masyarakat Kolonial Abad XVII. Jakarta: Penerbit Masup, Jakarta, 2012.Hal 59.

69

Gambar

Tabel 4.3 Periode Tahun 2010-2015 ...................................................................
gambaran jumlah orang Cina:
Tabel 3.2 Penduduk Batavia dan Sekitarnya75
Tabel 4.1 Periode tahun 1997-2003
+2

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan adalah metode eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan berbeda yaitu P1 (pakan pelet apung), P2 (pakan pellet tenggelam),

tersebut membuat mahasiswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengisi setiap sel tabel simplek, karena diharuskan menghitung satu per satu sel pada baris

Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia atau Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) adalah komisi yang dibentuk berdasarkan Communications and

terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar dengan tingkat kecemasan. Dengan kata lain masing-masing model pembelajaran akan menghasilkan hasil belajar

Kajian ini sangat perlu dijalankan kerana melalui kajian yang dijalankan oleh pengkaji mendapati pelajar-pelajar sangat memerlukan satu modul asas bahasa Arab untuk digunakan

1. Tercapainya hasil penyelenggaraan Program Studi di bidang Pendidikan Dokter berupa lulusan yang beriman, bertaqwa, berakhlak terpuji, berwawasan biomedik dan

Dalam pembuatan Tugas Akhir ini penulis membutuhkan teori-teori yang dapat mendukung kemudahan dalam mempelajari maupun merangcang sistem aplikasi yang diharapkan

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian nilai rata – rata/mean kompetensi pengetahuan IPA kelompok eksperimen lebih dari kelompok kontrol yakni (80,51 > 71,03), hal