• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akumulasi Kasus Kekerasan pada PRT Migran Indonesia tahun Per

Dalam dokumen Peran ILO di Indonesia dalam Perlindunga (1) (Halaman 103-152)

BAB IV PERAN ILO DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH

Diagram 3.7 Akumulasi Kasus Kekerasan pada PRT Migran Indonesia tahun Per

Sumber: Migrant Care. 2007. Data KekerasanTerhadap Buruh Migran Indonesia Tahun 2007. Diakses pada 13 Januari 2013.

Dari diagram tersebut, sebagian besar kasus kekerasan terhadap PRT migran Indonesia yang terdata terjadi di Malaysia dan Saudi Arabia. Dengan persentase sebesar 39 persen, Malaysia menempati urutan tertinggi kasus kekerasan terhadap PRT. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai pemberitaan mengenai kasus TKI khususnya TKW yang pulang dalam keadaan luka-luka, cacat, ataupun tewas. Salah satunya kasus di mana tiga orang polisi Malaysia memperkosa seorang PRT migran Indonesia bernama Siti ketika Siti ditahan di kantor polisi karena tidak membawa paspor. Hal ini terjadi karena paspor Siti

ditahan oleh majikannya152. Serangkaian penembakan mati 151 orang PRT migran

Indonesia juga terjadi di Malaysia sejak tahu 2007 hingga tahun 2012 dan tidak satupun kasus tersebut yang ditangani secara adil oleh aparat penegak hukum

Malaysia153.

Sementara itu, kasus-kasus serupa juga terjadi di Saudi Arabia pada para PRT migran Indonesia. Sehingga tidak heran jika Saudi Arabia menempati urutan kedua negara dengan kasus kekerasan terhadap PRT migran Indonesia dengan selisih hanya satu persen dengan Malaysia, yaitu 38 persen. Dari seluruh kasus yang terdata, dan jumlah awal PRT yang diberangkatkan ke luar negeri, sekitar

      

152 

Migrant Care. 2012. Mengutuk Kebrutalan 3 Polisi Malaysia yang Memperkosa PRT Migran  Indonesia. Diakses pada 13 Januari 2013. 

<http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1548>. 

153 

Migrant Care. 2012. Mengutuk Kebrutalan 3 Polisi Malaysia yang Memperkosa PRT Migran  Indonesia. Diakses pada 13 Januari 2013. 

2.782.249 orang telah pulang ke Indonesia, dengan sebanyak 13.6 persen

diantaranya merupakan TKI bermasalah154.

Dari seluruh data tersebut, penulis melihat bahwa kasus-kasus para PRT migran memang sangat serius karena sebagaian besar telah merenggut nyawa mereka dan melanggar hak mereka sebagai manusia. Dibutuhkan koordinasi dan sistem perlindungan yang baik agar para PRT migran tidak mengalami nasib buruk lagi di negara tempat mereka bekerja. Oleh karena itu sangat penting bagi pemerintah untuk membuat peraturan yang jelas mengenai perlindungan para pekerja migran agar proses perlindungan mereka berjalan dengan baik.

      

154 

BNP2TKI. 2012. Rekapitulasi Kepulangan TKI (2006‐2012). BNP2TKI. Diakses pada 13 Januari  2013. < http://www.bnp2tki.go.id/statistik‐mainmenu‐86/kepulangan/6771‐rekapitulasi‐ kepulangan‐tki‐2006‐31‐mei‐2012.html>. 

BAB IV

PERAN ILO DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA MIGRAN DAN LOKAL DI INDONESIA DARI TAHUN 2008 HINGGA

TAHUN 2011

Pada tahun 2008 sebuah proyek dilaksanakan ILO bertujuan untuk memperbaiki nasib para Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu penyalur PRT rutin ke luar negeri, terutama negara seperti Malaysia dan Arab Saudi. Meskipun begitu, pemerintah Indonesia hingga kini belum meratifikasi Konvensi ILO untuk Pekerja Rumah Tangga serta belum memiliki perangkat peraturan yang signifikan untuk PRT. Keadaan ini menyebabkan tidak adanya hukum yang melindungi para PRT migran dan lokal. Meskipun begitu, bagi para PRT migran, pemerintah Indonesia baru saja

meratifikasi konvensi ILO untuk Pekerja Migran pada tanggal 12 April 2012155.

Ini memberikan harapan ke depannya bagi para PRT migran untuk mendapatkan perlindungan kerja yang lebih maksimal.

Seperti yang telah disebutkan dalam Bab I, penulis mengkaji peranan ILO sebagai organisasi internasional dalam perlindungan PRT migran dan lokal

melalui sebuah proyek. Proyek ini berjudul “Combating Forced Labour and

Trafficking of Indonesian Migrant Workers”. Proyek yang dilaksanakan dari 1 November 2008 hingga 31 Maret 2012 ini merupakan kelanjutan dari proyek

      

155 

Migrant Care. 2012. Indonesia: Parliament Approves Migrant Workers Convention. Migrant  Care. Diakses pada 13 Januari 2013. 

dengan judul sama pada tahun 2006-2008156. Penulis akan berfokus pada kegiatan proyek hingga tahun 2011 saja sesuai pembatasan masalah. Dalam proyek ini, ILO sebagai organisasi internasional memiliki mandat untuk mengajak pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam membuat standar pekerja yang lebih baik, merumuskan kebijakan, dan mendesain program. Proyek ini juga berkontribusi dalam mencapai salah satu tujuan dalam agenda ILO pada Program Kerja Layak untuk Negara di Indonesia yaitu “Menghentikan Eksploitasi dalam Kerja”157.

Proyek ini memiliki tujuan utama yaitu:

1. Mengurangi risiko para pekerja rumah tangga (migran maupun non-migran)

dari ancaman perdagangan manusia dan kerja paksa dengan cara meningkatkan kepedulian masyarakat, mengadakan advokasi bertarget dan kerjasama teknis untuk mempengaruhi adopsi dan implementasi dari kebijakan dan dasar hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga migran;

2. Menyediakan jasa perlindungan, jasa-jasa komprehensif, serta jasa-jasa

reintegrasi untuk para pekerja rumah tangga migran yang menjadi korban perdagangan manusiadan kerja paksa; dan

3. Membangun kapasitas pejabat pemerintahan dan pemegang kepentingan

lainnya untuk meningkatkan efektivitas dalam membasmi perdagangan

manusia dan kerja paksa pada pekerja rumah tangga158.

      

156 

ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant  Workers, Phase II. Op. cit. Hal. 1. 

157 Ibid. Hal. 1.  158 

Proyek ini menangani berbagai permasalahan pekerja rumah tangga khususnya pekerja rumah tangga migran baik di negara asal yaitu Indonesia maupun di negara tujuan seperti Malaysia, Hongkong, Singapura, serta negara-negara di Timur tengah. Penulis hanya akan berfokus pada wilayah penanganan di Indonesia sebagai negara asal.

4.1 Strategi Proyek

ILO telah melakukan sejumlah strategi untuk meningkatkan kondisi PRT baik itu PRT yang bekerja di dalam negeri, maupun PRT yang bekerja di luar negeri. ILO bekerjasama tidak hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan sejumlah organisasi masyarakat. Dengan strategi seperti ini, ILO mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi PRT kemudian dapat mencapai sasaran strategis dari proyek. Adapun sasaran strategis dari proyek yang dilaksanakan ILO terdiri dari 5 (lima) sasaran strategis, diantaranya:

1. Memperkuat Kerangka Kebijakan dan Regulasi serta Mekanisme Implementasi untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dari Perdagangan Manusia dan Kerja Paksa.

Pada sasaran strategis ini, ILO bekerja untuk menangani kesenjangan antara kerangka kebijakan dan legislatif, yang mengelola migrasi pekerja, struktur, dan intervensi untuk pengaturan yang lebih baik terhadap migrasi pekerja dan meningkatkan perlindungan terhadap PRT migran di negara asal maupun negara tujuan. ILO menjalankan fungsi organisasi internasional sebagai pembuat

dan pelaksana aturan melalui penguatan kerangka kebijakan dan regulasi159. ILO juga menjalankan fungsi sebagai pengaplikasi peraturan melalui mekanisme

implementasinya160. Dasar pemikiran yang menyertai pembuatan dan

pengaplikasian aturan ini mengandung nilai-nilai dasar ILO bahwa pekerja

bukanlah komoditas161. Oleh karena itu fungsi organisasi internasional sebagai

penyebar norma juga terkandung dalam sasaran strategis ini162.

Proyek yang dilakukan sesuai sasaran ini berbentuk pendampingan teknis dan mendukung pengorganisasian sesi tinjauan dan perencanaan, bersama dengan konsultasi dengan para pemegang kepentingan dan seminar untuk pertukaran informasi untuk membangun dan memperkuat kerangka kebijakan dan regulasi dalam skala nasional maupun lokal. Berkaitan dengan kegiatan besar tersebut, proyek ini mendukung penaksiran, tinjauan ulang kebijakan, tinjauan ulang komparatif, menyoroti kesenjangan pada pengaturan dari migrasi pekerja dan perlindungan pada pekerja migran. Proyek ini juga menyediakan jasa bantuan untuk membuat draft dari makalah dengan berbagai latar belakang legislatif agar persiapan membuat legislasi oleh Pemerintah dan/atau Parlemen menjadi lebih

jelas dan konkret163.

      

159 Clive Archer. Op.cit. Hal. 103.  160 

Ibid. Hal. 104. 

161 

ILO. 1919b. ILO Constitution (Last Amandement in 1972). Diakses pada 27 September 2012.  <http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:62:0::NO:62:P62_LIST_ENTRIE_ID:2453907:NO# A2> 

162 

Clive Archer. Op.cit Hal. 96. 

163 ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant 

2. Meningkatkan Kesadaran para Pemegang Kepentingan Pengambil Keputusan, Pekerja Rumah Tangga Migran dan Keluarganya, serta Publik.

Dalam sasaran strategis yang kedua, Proyek ini membantu para pemegang kepentingan di dalam kegiatan advokasi dan kegiatan peningkatan-kesadaran pada level nasional maupun komunitas di Indonesia. Proyek ini mendukung aktivitas advokasi dan peningkatan kesadaran yang bertujuang untuk mempengaruhi para pemimpin politik, pembuat keputusan, dan pemegang kepentingan utama lainnya, seperti perwakilan pemerintah nasional dan lokal, perwakilan agensi perekrutan dan penyalur dan asosiasi pelatihan yang berkaitan, NGO, serikat buruh, organisasi massa, dan juga para pekerja rumah tangga itu sendiri bersama keluarganya, komunitasnya, dan para pemimpin lokal.

Sesuai fungsi organisasi internasional, sasaran strategis ini merupakan perwujudan fungsi sosialisasi. Sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima nilai-nilai yang disampaikan dalam

proyek164, yaitu hak-hak para PRT. Sosialisasi dilakukan melalui berbagai

media165. Sosialisasi proyek sangat berguna agar para pemegang kepentingan

mengerti mengenai pelaksanaan proyek. Apabila sosialisasi berhasil, maka keberhasilan proyek dapat diprediksi.

Bentuk pelaksanaan sasaran ini adalah melalui media elektronik dan media cetak skala internasional, regional, nasional, dan lokal, melalui penyebaran informasi kepada pemerintah, para duta pekerja migran, pihak-pihak non-

      

164 Clive Archer. Op.cit. Hal. 99.  165 

pemerintah (seperti organisasi pekerja migran, serikat buruh, NGO, dan

komunitas-komunitas), sektor organisasi professional, dan organisasi massa166.

3. Memperkuat Jangkauan, Pengorganisasian, Pendampingan, Reintegrasi, dan Pelayanan Pemberdayaan Ekonomi bagi Pekerja Rumah Tangga Migran dan Keluarga Mereka.

Aktivitas dalam sasaran ini adalah mendukung partner nasional dan lokal untuk menjangkau dan mengatur pekerja rumah tangga migran, juga menyediakan pendampingan, reintegrasi, dan aktivitas pemberdayaan ekonomi untuk pekerja rumah tangga migran dan keluarga mereka di Indonesia dan di negara tujuan. Aktivitas utama dalam sasaran ini termasuk seperti menyediakan asistensi teknis dan pembangunan kapasitas untuk pihak pemerintah level nasional dan lokal, asosiasi agensi perekrutan, serikat buruh, asosiasi pekerja migran, dan jaringan NGO, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan jasa-jasa seperti yang

disebutkan di atas167.

Sasaran strategis ini juga merupakan perwujudan fungsi organisasi

internasional yaitu operasi168. Sasaran strategis ketiga ini memiliki makna

kegiatan yang bersifat praktis, seperti pendampingan. Pendampingan merupakan aktivitas yang membutuhkan peran langsung di lapangan. Oleh karena itu, sasaran strategis ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan operasi.

      

166 

ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant  Workers, Phase II. Op. cit. Hal. 3‐4. 

167 Ibid. Hal. 4.  168 

Selain itu, sasaran strategis ini juga merupakan perwujudan fungsi pengaplikasian aturan. Aktivitas operasi tentunya didasari dengan seperangkat aturan yang sudah direncanakan terlebih dahulu dalam proses pembuatan aturan169.

4. Memperkuat Kapasitas para Pemegang Kepentingan.

Dalam sasaran ini, ILO bekerja membangun dan meningkatkan kapasitas dari para pemegang kepentingan level nasional dan lokal (seperti agensi pemerintah, serikat buruh, asosiasi pekerja migran, dan organisasi masyarakat), terutama untuk memperluas dan memperpanjang efektifitas respon pada kerja paksa dan perdagangan manusia yang dialami oleh para pekerja rumah tangga

migran, dan untuk mengimplementasikan komponen proyek lainnya170.

Capacity building atau pembangunan kapasitas dapat termasuk kepada fungsi organisasi internasional sosialisasi dan promosi norma. Mengapa dikategorikan ke dalam promosi norma? Dalam upaya pembangunan kapasitas yang baik, tentunya para pemegang kepentingan harus mengenal lebih dahulu nilai-nilai yang hendak disampaikan dalam Proyek. Fungsi ini mirip seperti fungsi sosialisasi hanya lebih berfokus kepada norma dan nilai yang hendak disampaikan

bukan pada cara penyebarannya171. Nilai-nilai tersebut terkait dengan tujuan

Proyek. Nilai dan norma yang disampaikan adalah bahwa PRT juga merupakan

      

169 

Ibid. 

170 

ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant  Workers, Phase II. Op. cit. Hal. 4. 

171 

pekerja, dan hak-hak mereka haruslah diperhatikan karena berdasarkan hak asasi manusia bahwa setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan perlindungan.

5. Dokumentasi dan Koleksi Data, serta Sistem Penyebaran yang Terpadu.

Sasaran ini bertujuan untuk mendukung keempat sasaran sebelumnya (memperkuat kerangka kebijakan dan legislatif, advokasi, peningkatan kesadaran, jangkauan, penyediaan pelayanan, dan peningkatan kapasitas), di mana terjadi kesenjangan informasi. Sasaran ini menyediakan dukungan untuk melakukan penilaian, analisis perbandingan hukum, penelitian sektor mendalam, dan lain sebagainya. Proyek ini juga membangun sebuah kerjasama teknis yang memungkinkan pemerintah nasional dan lokal untuk menggabungkan dan menyebarkan data/informasi sebagai bagian dari mandat proyek yaitu melindungi

pekerja rumah tangga migran172.

Dokumentasi dan penyebaran data merupakan salah satu fungsi sosialisasi juga. Penyebaran data melalui data yang didokumentasikan dengan baik dan

didukung dengan sistem persebaran yang terpadu merupakan bentuk sosialisasi173.

Dengan adanya data yang terdokumentasi, maka masyarakat ataupun pemegang kepentingan dapat mengakses informasi dengan baik, dan mengetahui sejauh mana perkembangan proyek.

      

172 

ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant  Workers, Phase II. Op. cit. Hal. 4. 

173 

Bagan 4.1 Strategi Proyek “Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant Workers, Phase II”.

Sumber: ILO (2012) Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant Workers, Phase II. Multi-Bilateral Programme Of Technical Cooperation. International

Labor Organization, Jakarta. Hal. 5.

Dalam bagan di atas dapat dilihat sasaran strategis proyek dibagi menjadi pencegahan, jangkauan/asistensi, dan kapasitasitasi dan dokumentasi. Sasaran nomor 1 (satu) dan 2 (dua) merupakan bentuk preventif, sementara sasaran nomor 3 (tiga) merupakan tindakan jangkauan dan asistensi, sementara sasaran nomor 4 (empat) dan 5 (lima) adalah tindakan kapasitasi dan dokumentasi. Seluruh elemen ini terhubung dan saling melengkapi satu sama lain dalam pelaksanaan proyek

Adapun strategi lainnya dalam program ini yang mendukung dan berkaitan dengan permasalahan yang ditangani dalam proyek. Strategi-strategi tersebut

diantaranya adalah meliputi aspek gender, HIV/AIDS, dan gender based violence

(GBV). Sesuai dengan topik penelitian ini yaitu PRT, yang didominasi wanita, maka strategi yang sesuai adalah gender. Pengarusutamaan strategi gender ini tidak hanya dilakukan pada para pemegang kepentingan, tetapi juga pada serikat buruh, organisasi komunitas dan partner lainnya, tetapi juga diantara para pekerja migran dan keluarga mereka.

Proyek Pekerja Rumah Tangga dan Pekerja Migran ILO selalu mengusahakan partisipasi aktif dari masing-masing gender, baik pria maupun wanita dalam setiap aktivitas seperti seminar, workshop, pembangunan kapasitas, dan lain sebagainya.Sekitar 42 persen wanita (1.200 orang) dan 52 persen (1.311 orang) pria mengikuti pelatihan yang diatur oleh proyek ini. Para gender spesialis di kantor ILO Jakarta telah membuat peralatan pelatihan di awal proyek dan melatih para pihak yang terlibat dengan pengarusutamaan gender di seluruh fase proyek di leven nasional maupun lokal, di dalam perencanaan, implementasi,

monitoring, dan pelaporan proyek174.

Sebanyak 50 orang pelaksana proyek nasional, ahli/konsultan gender nasional, dan personel program dan proyek ILO telah dilatih sebagai fasilitator gender. Para fasilitator kunci ini kemudian mengimplementasikan audit gender kepada organisasi-organisasi yang mereka tangani. Strategi gender audit ini kemudian merangsang organisasi tersebut untuk menciptakan strategi melalui       

174 ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant 

program-program yang efektif untuk mengarusutamakan gender di dalam

permasalahan migrasi pekerja175. Dalam kegiatan ini, para fasilitator juga

mengadakan beberapa diskusi membahas permasalahan gender dan migrasi, serta mencetak bulletin, dan membuat perangkat pengarusutamaan gender siap pakai

untuk organisasi lokal yang diadopsi dari perangkat ILO176.

Bentuk diskusi yang dilakukan para fasilitator merupakan salah satu

contoh peran ILO sebagai forum177. Seperti yang disebutkan penulis dalam BAB

II, ILO menjadi forum bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam mengatasi masalah melalui dialog sosial. Permasalahan yang dibahas dalam hal ini adalah permasalahan hak-hak para PRT dalam migrasi mereka serta masalah-masalah gender yang menyertainya.

4.2 Kerangka Institusional

Dalam proyek ILO “Combating Forced Labour and Trafficking of

Indonesian Migrant Workers, Phase II” terdapat satu orang Ketua Penasihat Teknis, satu orang Koordinator Proyek Nasional, satu orang Asisten Proyek, dan satu orang Asisten Keuangan dan Administrasi, yang sebelumnya telah bekerja di fase pertama berkantor di Kantor ILO Jakarta. Seluruh pelaksanaan proyek ini diawasi oleh Direktur Kantor ILO Jakarta, dan didukung oleh staf dan bagian

Administrasi dan Keuangan Kantor ILO Jakarta178.

      

175 Ibid. Hal. 35.  176 

Ibid. Hal. 36. 

177 

Clive Archer. Op.cit. Hal. 73. 

178 ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant 

ILO bekerjasama dengan institusi pemerintahan dalam proyek ini diantaranya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Luar Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (BNP2TKI)179.

Lembaga pemerintah dan non-pemerintah lainnya yang terlibat dalam proyek ini adalah diantaranya:

1. Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan);

2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM);

3. Pemerintah daerah provinsi Banten, DKI, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra

Selatan, Jambi, Lampung, Kepri, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat;

4. Serikat buruh seperti Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

(KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan asosiasi pekerja lainnya dari para pekerja migran, pekerja rumah tangga migran, dan pekerja rumah tangga lokal;

      

179

ILO. 2011. Project Brief: Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant  Workers.International  Labor  Organization.Diakses  pada  19  September  2012.<http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/‐‐‐asia/‐‐‐ro‐bangkok/‐‐‐ilo‐

5. Organisasi masyarakat seperti Konsorrium Pembela Buruh Migran

Indonesia (KOPBUMI), Migrant Care, Center for Indonesian Migrant

Workers (CIMW), Solidaritas Perempuan, ECOSOC Institute, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Borneo, PPSW Pasoendan, Dian Tama Foundation, Rumah Perempuan Kupang, Jaringan Nasional (Jarnas) Pekabumi, Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI), Serikat

Perburuhan Petani “Qaryah Thayyibah” (SPPQT), Fahmina Institute,

Solodaritas Migran Scalabrini (SMS), Jala-PRT, dan Rumpun Gema Perempuan;

6. Asosiasi agensi perekrutan swasta seperti Asosiasi Pelatihan Dan

Penempatan Pekerja Rumah Tangga Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), dan Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI);

7. Organisasi Massa Religius sepert Nahdlatul ‘Ulama (NU) serta Fatayat

NU180.

Institusi yang terlibat dalam Proyek ini kemudian disebut sebagai pemegang kepentingan. Penulis melihat dengan banyaknya institusi yang terlibat dalam Proyek ini menunjukkan bahwa permasalahan perlindungan PRT merupakan masalah yang serius dan diperhatikan oleh berbagai pihak. Dari kerangka institusional ini, penulis juga melihat bahwa ILO menggunakan prinsip tripartismenya, dengan melibatkan pemerintah (lokal maupun nasional), para pengusaha (agensi penyalur), dan juga pekerja (serikat buruh). Selain itu,       

180 ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant 

keterlibatan masyarakat dalam organisasi massa juga merupakan salah satu wujud

akuntabilitas ILO sebagai organisasi internasional181. Dari kerangka institusional

ini juga dapat dilihat prinsip tripartisme ILO. Perwakilan pemerintah, pengusaha,

dan pekerja terlihat dalam kerangka institusional182. Kesemuanya terlibat dalam

pelaksanaan proyek dan berperan sebagai pemegang kepentingan.

4.3 Pelaksanaan Proyek di Tingkat Nasional Serta Perkembangannya Pekerja migran Indonesia, khususnya Pekerja Rumah Tangga migran telah banyak berkontribusi dalam pendapatan negara. Pada tahun 2011, total pendapatan yang didapat dari para pekerja migran adalah sekitar 6.73 Milyar

Rupiah183. Jumlah mereka yang mendominasi pekerja migran Indonesia

menunjukkan bahwa mereka adalah pahlawan devisa negara. Meskipun mereka berkontribusi dalam jumlah yang sangat banyak terhadap perekonomian negara, tetapi kebutuhan mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia dan di luar negeri tidak terpenuhi, sehingga menyebabkan mereka seringkali menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa.

Sepanjang pelaksanaan proyek dari tahun 2008 hingga akhir proyek pada 2012, telah banyak bukti bahwa strategi dan sasaran proyek yang diimplementasikan ke dalam banyak aktivitas telah berhasil meningkatkan

      

181 Akuntabilitas sebuah organisasi dibuktikan dengan perwujudan nyata visi dan misi dalam 

setiap tindakannya. 

182 

Clive Archer. Op.cit. Hal. 73. 

183 ILO. 2012. Final Report of Combating Forced Labour and Trafficking of Indonesian Migrant 

perlindungan pada para pekerja rumah tangga migran, dan juga efektivitas proyek

serta dampak yang berkelanjutan184.

Pelaksanaan sasaran strategis proyek pertama contohnya yaitu Kerangka Kebijakan dan Legislatif. Pada pelaksanaannya, proyek ini berhasil berkontribusi terhadap pembuatan teks reformasi hukum maupun pembuatan hukum baru. Salah satunya adalah amandemen Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 mengenai

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri185. Undang-Undang

ini sebelumnya dinilai masih kurang berpihak pada perlindungan pekerja karena kurang membahas aspek perlindungan, tetapi lebih berfokus pada penyaluran dan penempatan pekerja seperti yang disebutkan Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX (tenaga kerja dan transmigrasi) pada sebuah wawancara oleh

Dalam dokumen Peran ILO di Indonesia dalam Perlindunga (1) (Halaman 103-152)

Dokumen terkait