• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur`ân dan qirâ`ât nya di mata Orientalis

Sementara qirâ`ât yang masyhur berbunyi:

2. Al-Qur`ân dan qirâ`ât nya di mata Orientalis

Secara umum kajian Orientalis pada ilmu-ilmu pengetahuan keislaman terbagi menjadi dua aliran, yakni mereka yang bertujuan untuk meragukan umat Islam akan kebenaran agamanya dan mereka yang secara obyektif mengkaji apa adanya dengan pisau analisis yang kritis. Kedua golongan ini memberikan pengaruh wacana keislaman yang berbeda. Golongan yang pertama berangkat dari suatu kecenderungan bahwa Islam adalah agama yang salah, maka ia berusaha mengkaji Islam dan berusaha meneliti kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya. Golongan yang kedua meskipun berangkat dari keraguan tetapi mereka berusaha mengkaji dari sisi akademis secara objektif sehingga tidak jarang apa yang diungkapkan oleh pemikir-pemikir golongan pertama dibantah sendiri oleh golongan kedua.

Montgomery watt mengatakan bahwa kajian Barat modern tentang al-Qur`ân tidak banyak mengajukan pertanyaan serius dari sisi keauntetikannya, gayanya yang bermacam-macam, bahkan mereka tidak dapat menyalahkannya. Begitu jelasnya stempel keseragaman yang disandangnya secara keseluruhan sehingga keraguan terhadap keasliannya jarang muncul. Otentisitas beberapa ayat memang pernah

dipertanyakan. Salah satunya adalah Cendekiawan besar Prancis, Silvestre de Sacy yang mengutarakan keraguannya mengenai Q.s. Âli ‘Imrân/ 3: 144

ﺒﹶﻠﹶﻘﻧﺍ ﹶﻞِﺘﹸﻗ ﻭﹶﺃﺕﺎﻣ ﹾﻥِﺈﹶﻓﹶﺃﹸﻞﺳﺮﻟﺍ ِﻪِﻠﺒﹶﻗ ﻦِﻣ ﺖﹶﻠﺧ ﺪﹶﻗ ﹲﻝﻮﺳﺭ ﺎﱠﻟِﺇ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻣﻭ

ﻢﹸﻜِﺑﺎـﹶﻘﻋﹶﺃﻰـﹶﻠﻋ ﻢﺘ

ﻦﻳِﺮِﻛﺎﺸﻟﺍ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻱِﺰﺠﻴﺳﻭ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮﻀﻳ ﻦﹶﻠﹶﻓ ِﻪﻴﺒِﻘﻋ ﻰﹶﻠﻋﺐِﻠﹶﻘﻨﻳﻦﻣﻭ

.

Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad) Barangsiapa berbalik ke Belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Ayat ini berbicara tentang kemungkinan wafatnya Nabi Muhammad Saw. menurut riwayat yang terkenal, ayat ini dikutip oleh Abû Bakar ra., ketika 'Umar bin Khattab ra. menolak mempercayai berita tentang wafatnya Nabi Muhammad Saw. yang baru saja terjadi. Menurut Sacy, ayat ini ditilik secara historis merupakan rekayasa Abû Bakar untuk menenangkan hati 'Umar bin Khattab yang terkenal sangat keras. Di samping itu, karena tidak ada sahabat lain yang meriwayatkan bahwa Nabi pernah membacakan ayat ini kepada mereka. Pertanyaan ini dibantah oleh Watt bahwa Abû Bakar ra. tidak mungkin merekayasa surat ini untuk kesempatan itu. Juga pernyataan 'Umar bin Khattab ra. dan orang-orang lain yang mengaku tidak pernah mendengar ayat ini, sangat sulit diterima. Al-Qur`ân yang tertulis dengan lengkap memang belum beredar sehingga tidak bisa dikaji oleh para sahabat dan ayat yang diucapkan mudah saja terlupakan bersama lewatnya waktu, juga oleh orang yang kebetulan mendengarnya. Kalau ayatnya tidak masuk dengan baik dalam konteks keseluruhan ayat, itu mungkin disebabkan ayat ini merupakan pengganti dari ayat yang berikutnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh berulangnya frase-rima yang sama. Ini sangat cocok dengan situasi sejarahnya, karena merupakan acuan yang

dimuat dalam pidato yang diucapkan dalam perang Uhud dan disampaikan lagi sesuadah kekalahannya untuk meluruskan berita yang menyebar selama pertempuran. Tidak ada alasan untuk mempertanyakan keauntetikan ayat yang begitu cocok dengan situasinya.54

Di sisi lain, orientalis juga gencar mendiskriditkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Seorang cendekiawan Prancis lainnya, Paul Casanova, dalam bukunya Mohammed et la fin du Monde (Paris, 1911-24), mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. tergerak untuk melakukan misinya karena kesan yang diperolehnya bahwa hari kiamat sudah mendekat. Cosanova berpendapat, dia tentunya dipengaruhi oleh sekte Kristen yang sangat menekankan bahwa zaman akhir sudah dekat. Dia menganggap bahwa ini merupakan tema utama pemikiran awal Nabi Muhammad dan ini merupakan bagian penting dari pesan-pesannya dari awal sampai akhir kegiatan kenabiannya, tetapi tatkala tidak terjadi apa-apa untuk membenarkan nubuwatnya, para pemimpin Islam awal lalu memanipulasi al-Qur`ân untuk melenyapkan doktrin tersebut, atau setidaknya menutupinya sehingga tidak menonjol.55

Dalam hal ini, kembali Watt, menepis anggapan ini, bahwa pernyataan ini tidak perlu dibantah secara rinci. Keberatan utamanya adalah bahwa ini tidak disebabkan atas kajian al-Qur`ân, melainkan lebih banyak atas penyelidikan "jalan-jalan simpang" awal. Mengenai tesis utamanya, benar bahwa al-Qur`ân memproklamasikan datangnya hari kiamat dan hari akhir zaman. Benar bahwa al-Qur`ân terkadang menunjukkan bahwa hari-hari itu sudah dekat, misalnya dalam Q.s. al-Anbiya'/ 21: 1 dan Q.s. al-Qamar/ 54: 1. Namun dalam ayat lain, manusia tidak

54 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur`ân…., h. 44-45.

55

mempunyai pengetahuan waktu tersebut. Ini semua sama sekali wajar bila kita menganggap bahwa al-Qur`ân mencerminkan masalah-masalah pribadi Nabi Muhammad dan kesulitan luar yang dihadapinya dalam menjalankan tugasnya. Tesis Casanova kurang memperhatikan perubahan yang tentunya telah terjadi dalam sikap Nabi Muhammad selama dua puluh tahun hidup dalam situasi yang terus berubah.56

Di sisi lain, Watt sebagai cendekiawan yang berusaha obyektif dalam menilai al-Qur`ân mengatakan sebagai berikut:

"Kita menerima keautentikan Qur`ân bukan atas suatu asumsi bahwa al-Qur`ân konsisten di dalam semua bagiannya, karena memang tidak demikian, melainkan atas kenyataan bahwa betapa pun sulitnya memahami secara rinci, al-Qur`ân secara keseluruhan cocok dengan pengalaman sejarah yang sesungguhnya. Lebih dari itu, kita semua melihat suatu kepribadian yang meskipun sukar ditangkap, tetapi dengan cirinya yang menonjol tetap dapat dimengerti."57

Tidak disangsikan lagi bahwa pernyataan Watt yang demikian ini dikarenakan memang dia mengkaji al-Qur`ân dengan pendekatan historisisme dan fenomenologi.58 Al-Qur`ân dibenarkan karena ia cocok dengan kajian sejarahnya. Namun hal itu tidak menunjukkan bahwa pendapatnya itu sama persis dengan apa yang diyakini oleh kaum Muslim pada umumnya. Hal itu terlihat ketika dia berbicara tentang wahyu.

Dia mengatakan bahwa wahyu adalah: Communication from God to men with Muhammad as intermediary (komunikasi dari Tuhan kepada manusia dengan Muhammad sebagai perantara).59 Pengertian ini menunjukkan bahwa wahyu berasal

56 Watt, Richard…, h. 46.

57

Watt, Richard…, h. 47.

58

M. Nasir Mahmud, MA, Orientalisme: al-Qur`ân di Mata Barat, (Semarang: Dina Utama,

1997), h. 128.

59 Watt, Muhammad`s Mecca: History in The Qoran, (Edinburgh: The University Press, 1988), h. 68.

dari Tuhan, Tuhan sebagai penginisiatif wahyu untuk menyampaikan ajaran dan perintah kepada manusia melalui seorang nabi. Watt mengabaikan Malaikat Jibril sebagai instrumen wahyu. Wahyu berasal dari Tuhan kepada Nabi Muhammad tanpa Malaikat Jibril.60

Berkaitan dengan pandangan tersebut, Watt menolak wahyu al-Qur`ân dalam bentuk verbal (bi al-lafzhi), melainkan wahyu yang diterimanya dalam bentuk makna

(non verbal).61 Hal ini jelas berbeda dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Jika apa yang dituduhkan benar, maka akan runtuhlah kemukjizatan al-Qur`ân. Al-Qur`ân bersih dari ucapan manusia, sekalipun itu dari Nabi Muhammad sendiri. Watt seharusnya mampu membandingkan antara al-Qur`ân dengan Hadis qudsi yang keduanya berasal dari Allah Swt. dan redaksinya jelas berbeda. Seandainya al-Qur`ân itu hanya maknanya saja yang sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw., tentu redaksinya tidak jauh berbeda antara keduanya.

Al-Qur`ân, baik makna maupun lafaznya, berasal dari Allah. Tujuan Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perantara Malaikat Jibril adalah untuk menjaga orisinalitas wahyu, baik lafaz maupun maknanya. Ketika wahyu turun dengan satu huruf, lalu Rasulullah meminta tambahan hingga tujuh huruf, maka dimungkinkan Malaikat Jibril juga menyampaikan satu wahyu dengan tujuh huruf tersebut.62

60

Watt juga mengatakan, bahwa wahyu itu adalah penyampaian suatu gagasan dengan isyarat atau petunjuk secara cepat. Sebagaimana nabi-nabi terdahulu juga mendapatkan wahyu dari Allah tidak dalam bentuk verbal, seperti isyarat kepada Nabi Zakaria agar ia senantiasa berdzikir memuliakan Allah setelah ia bisu (surat Maryam/ 19: 11-12). Atau isyarat kepada makhluk selain manusia, seperti lebah yang diisyaratkan agar dia mencari rumah diperbukitan dan pepohonan dan tempat yang dibuat oleh manusia (surat Al-Nahl/ 16: 12-11). Lihat: Watt, Richard…, h. 18.

61

Mahmud, Orientalisme…, h. 139-140.

62 Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, al-Zarkasyî mengambil jalan tengah dalam

Dengan adanya bermacam-macam versi bacaan tersebut, banyak orientalis yang menganggap bahwa al-Qur`ân pada masa awal peredarannya merupakan kitab wahyu yang kacau dan tidak konsisten. Ungkapan ini dinyatakan oleh Ignaz Goldziher.63

Pernyataan ini dibantah oleh Syaikh ’Abd al-Fatah ’Abd al-Ghani al-Qâdli, seorang pakar pakar qirâ`ât:

Mustahil al-Qur`ân terpelihara dari kerancuan, jika ia diturunkan secara kacau. Karena pengertian rancu, kacau dan tidak konsistennya teks al-Qur`ân berarti al-Qur`ân dibaca dengan pola yang berbeda-beda serta bentuk yang bermacam-macam dan pola-pola tersebut saling bertentangan pengertiannya, berlawanan maksud tujuannya serta berlainan sasarannya sehingga tidak diketahui secara pasti mana yang benar dan mana yang salah serta tidak dapat diketahui mana yang konsisten dan mana yang tidak konsisten. Keadaan al-Qur`ân yang seperti itu jelas tertolak."64

Jika dibandingkan dengan kitab wahyu lainnya, Taurat dan Injil, al-Qur`ân justru lebih terjaga dari kerancuan dan ketidakkonsistenan. Dalam kitab Taurat, misalnya, di sana terdapat tiga versi naskah yang sangat berbeda. Demikian pula kitab Injil yang lebih rancu dan tidak konsisten, banyak perbedaan prinsipil sesuai dengan perbedaan periwayatnya dari beberapa murid Îsa yang sempat menuliskan kitab

satu dengan yang lainnya, maka berarti Allah menyampaikan wahyu tersebut langsung dengan beberapa versi. Namun jika tidak ada pengaruh makna dan penafsiran, berarti Allah hanya menyampaikan satu versi lalu memperkenankan Nabi untuk membaca dengan versi lainnya sesuai dengan bahasa kabilah yang belajar kepadanya. Lihat dalam: Zarkasyî, al-Burhân…, Jilid I, h. 326-327.

63

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Elsaq, 2003), h. 4.

64

Syekh Abd al-Fattah Abd al-Ghani al-Qâdhi, Qirâ`ât fi Nadhar Mustasyriqîn wa al-Mulhidîn, Terj. Prof. DR. Said Husain al-Munawar dan Drs. Abdu al-Rahman Umar, (Semarang: Toha Putra, tth), h. 11.

tersebut, seperti halnya dikuatkan dengan hilangnya sebagain besar teks Injil dan Taurat.65

Perbedaan qirâ`ât al-Qur`ân bukan merupakan perbedaan yang saling bertentangan, dan saling berbeda sasarannya, bahkan perbedaan itu saling mendukung dan menguatkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Goldziher dan kebanyakan kaum orientalis lainnya sering beranggapan bahwa kesalahan utama lahirnya bermacam-macam bacaan adalah karena pada periode awal penulisan Rasm 'Utsmâni dibuat tanpa adanya titik (tanda huruf) dan harakat (tanda baca).66

Pernyataan ini sangat berbeda dengan fakta sejarah tentang penulisan Rasm 'Utsmâni. Padahal justru latar belakang prakarsa Khalifah 'Utsmân membuat Rasm 'Utsmâni adalah untuk mengakomordir semua versi qirâ`ât yang shahih dan

mutawâtir dari Rasulullah Saw. Sebelum adanya kodifikasi mushaf 'Utsmâni, terjadi pertentangan yang amat hebat di kalangan kaum muslimin yang masing-masing menganggap benar hafalan atau periwayatan mereka terhadap al-Qur`ân, sementara kaum muslimin belum memiliki standar baku mushaf al-Qur`ân yang benar-benar mutawatir dan diakui ke-Qur`ân-annya. Ketika itu bacaan al-Qur`ân masih disandarkan kepada para sahabat yang meriwayatkannya, seperti: al-Qur`ân versi bacaan Ibn Mas'ûd, atau Ubay bin Ka'ab, atau 'Umar bin Khatthâb dan lain-lain. Jadi, perbedaan qirâ`ât adalah murni karena perbedaan periwayatan.

65

Kata pengantar Arthur Jeffrey dalam Kitab al-Mashâhif karya Abdullah ibn Abi Daud sebagaimana dikutip oleh editor buku Goldziher, Mazhab….., h. 4.

66

Demikian pula standarisasi penulisan Rasm 'Utsmâni, juga berdasarkan periwayatan yang shahih dan mutawâtir. Seandainnya standarisasi itu hanya berdasarkan penulisan rasm 'Utsmâni saja, tentu semua bacaan yang tercakup dalam

rasm 'Utsmâni dapat dibenarkan.67 Misalnya qirâ`ât yang dituduhkan oleh Goldziher sendiri, Q.s. at-Taubah/ 9: 114

ﺎﹶﻛﺎﻣﻭ

ﻩﺎﻳِﺍ ﺎﻫﺪﻋﻭ ٍﺓﺪِﻋﻮﻣ ﻦﻋ ﱠﻻِﺍِﻪﻴِﺑﹶﺎِﻟﻢﻴِﻫﺍﺮﺑِﺍﺭﺎﹶﻔﻐِﺘﺳﺍ ﹶﻥ

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.

Hammad membaca

ﻩﺎﻳﺍِ

dengan

ﻩﺎﺑَﹶﺍ

.68

Seandainya standar utama qirâ`ât itu rasm 'Utsmâni, tentu bacaan ini diterima. Akan tetapi, bacaan ini dinyatakan mungkar karena sanadnya tidak diketahui dan tidak termasuk qirâ`ât tujuh maupun qirâ`ât empat belas.

Demikianlah penjelasan singkat tentang pandangan orientalis terhadap al-Qur`ân dan qirâ`ât nya. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat ditelaah dalam buku-buku yang mengungkap secara mendetil tentang hal ini seperti al-Qirâ`ât fi Nazhr al-Mustasyriqîn wa al-Mulhidîn karya ‘Abd al-Fattah ‘Abd al-Ghani dan Rasm al-Mushaf wa al-Ihtijâj bi hi fi al-Qirâ`ât karya ‘Abd al-Fattah Ismail Syalabi.

Dokumen terkait