• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBEDAAN QIRÂ`ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RELASI GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH PERBEDAAN QIRÂ`ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RELASI GENDER"

Copied!
255
0
0

Teks penuh

(1)

PENGA RUH PERBEDAA N

Q IR

Â

`

Â

T

DA LA M PENA FSIRA N A YA T-A YA T

TENTANG RELA SI G ENDER

Disajikan oleh:

ALI FAHRUDIN

NIM: 03.200.1.05.01.0081

Program Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis

U niversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

(2)

PENGARUH PERBEDAAN Q IR

Â

`

Â

T D ALAM PENA FSIRAN AYAT-AYA T TENTANG RELASI GEN DER

Tesis

Diajukan kepada Program Pascasarjana untuk M emenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Magister

Oleh:

ALI FAHRUDIN NIM: 03.200.1.05.01.0081

Di Bawah Bimbingan:

Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA NIP. 1 5 0. 2 2 1. 9 8 0

Program Pascasarjana Konsentrasi Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(3)

1427 H / 2006 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul PENGARUH PERBEDAAN QIRÂ`ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG RELASI GENDER telah diujikan dalam sidang munaqasyah Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 2 (S2) pada Konsentrasi Tafsir Hadis.

Jakarta, 19 Mei 2006

Sidang Munaqasyah

Tim Penguji

DR. Yusuf Rahman, MA Prof. DR. Musdah Mulia, MA.APU

Tgl. Tgl.

Pembimbing

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan anugerah-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Selawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadirat Rasulullah Saw., hamba terpilih yang telah membawa manusia ke pintu hidayah dengan memeluk agama yang lurus sehingga dapat mengantarkan mereka untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Karya ini hanyalah setitik ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hambanya yang dha’if ini untuk menyelesaikan studi S2 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga karya tulis ini bukan sumbangan terakhir penulis dalam khazanah ilmiah Islam di Indonesia ini. Kupersembahkan karya ini untuk kedua orang tua, H. Marsetyo dan umi Jaziroh Afif, yang senantiasa mendidik dan memberikan doa agar anaknya senantiasa memperoleh keberhasilan dan kesuksesan di dunia dan di akherat kelak. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan melapangkan rizkinya.

Terima kasih tak terhingga juga kepada istriku, adinda Asmaul Hanik SS., yang senantiasa memberikan motifasi, membantu tenaga dan pikiran untuk tercapainya cita-cita penulis. Disela-sela waktu senggangnya dalam mendidik buah hati kami, Qanita Aqila Hurul Jannah dan Zhorifa Nadiya Ulyani, dia sempatkan untuk mengetik karya tulis ini. Terima kasih saya sampaikan juga kepada kedua orang tua istri, H. Asy’ari dan Hj. Munawarah, yang telah memberi bantuan doa maupun finansial kepada kami. Semoga Allah Swt. mengampuni dosanya dan memberkahi rizkinya.

(5)

MA dan Bapak Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA. yang berkenan membimbing saya untuk menyelesaikan tesis ini. Kepada keduanya saya haturkan terima kasih. Semoga Allah Swt. memanjangkan umur mereka dan meridhai setiap langkah mereka. Juga kepada Bapak Prof. DR. Agil Husain al-Munawwar, MA yang telah memberikan beasiswa kepada saya selama 2 semester. Semoga Allah Swt. menerangi hatinya untuk senantiasa bersabar menghadapi cobaan yang sedang dijalaninya dan segera membebaskannya dari penderitaan yang sedang dialaminya. Juga kepada Bapak DR. Ahsin Sakho Muhammad, MA yang telah memberikan banyak nasehat dan bimbingannya kepada saya.

Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada pimpinan civitas akademika Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, selaku Rektor UIN dan Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Direktur Pascasarjana UIN dan semua dosen yang telah memberikan ilmunya dengan penuh keikhlasan kepada saya. Secara khusus saya ucapkan terima kasih juga kepada tim penguji tesis ini, Bapak DR. Yusuf Rahman, MA dan Ibu Prof. DR. Musdah Mulia, MA.APU. terima kasih atas kritik dan sarannya.

Terima kasih juga kepada teman seperjuangan di PSQ: Shahrullah, Mas’ud, dan Wahyu Widayana serta staf PSQ, terutama kak Edi, Mukhtar dan mbak Tika. Teman-teman seperjuangan di kampus: Irwansyah, Fakhrur Rozi dan lainnya yang telah ikut membedah proposal tesis ini dalam seminar kelas.

Kepada Allah saya mohon agar kiranya mereka yang telah membantu saya dalam penulisan tesis ini diberikan balasan yang terbaik, di dunia maupun di akherat. Amin ya

(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB LATIN ARAB LATIN

ء

`

(apostrof)

ض

dl

ب

b

ط

th

ت

t

ظ

zh

ث

ts

ع

'

(petik satu)

ج

j

غ

gh

ح

h

ف

f

خ

kh

ق

q

د

d

ك

k

ذ

dz

ل

l

ر

r

م

m

ز

z

ن

n

س

s

و

w

ش

sy

h

ص

sh

ي

y

ة

h (waqaf)

لا

al-(ta'rîf)

Untuk Tanda Panjang

(7)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah……… 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………... 10

D. Kajian Pustaka……….. 11

E. Metodologi Penulisan………... 14

F. Sistematika Penulisan………... 15

BAB II ILMU QIRÂ'ÂT DAN TAFSIR AL-QURAN A. Pengertian Ilmu Qirâ'ât……….... 18

B. Sumber Ilmu Qirâ'ât dan Periwayatnya………... 20

C. Validitas Qirâ'ât sebagai Bagian dari al-Qur'an... 29

1. Status Qirâ'ât Shahih dan syâdzât………... 32

2. Al-Qur`ân dan Qirâ`ât di Mata Orientalis... 38

D. Nilai Qirâ'ât sebagai Hujjah dalam Penafsiran………. 45

(8)

2. Corak Penafsiran dengan Qirâ'ât:bi al-ma’tsûr atau bi

al-ra’yi……… 50

BAB III DIMENSI KESETARAAN GENDER DALAM AL-QURAN A. Pengertian dan Hakikat Gender 1. Pengertian Relasi Gender……….... 58

2. Sekilas tentang Sejarah Istilah Gender……… 59

3. Bahasa-Bahasa al-Quran tentang Relasi Gender………... 65

B. Kesetaraan dalam Mengesakan Allah………... 81

C. Kesetaraan dalam Etika dan Tanggung Jawab………... 91

D. Kesetaraan dalam Melaksanakan Hukum Agama... 106

BAB IV IMPLIKASI RAGAM QIRÂ'ÂT DALAM PENAFSIRAN AYAT- AYAT TENTANG RELASI GENDER A. Studi Kritis Ragam Qirâ'ât dalam Penafsiran Ayat-Ayat tentang Hukum dalam Rumah Tangga: 1. Menyentuh Perempuan dan Berjabatan Tangan dengan Lain Jenis……… 132

2. Aktivitas Perempuan di Sektor Domestik... 141

3. Kriteria Istri yang Shalehah………... 147

4. Menampakkan Perhiasan kepada Pekerja Rumah Tangga... 152

(9)

B. Studi Kritis Ragam Qirâ'ât dalam Penafsiran Ayat-Ayat Perceraian:

1. Hak Cerai bagi Istri………. 176

2. Perceraian sebelum Hubungan Seksual dan Pemberian Pesangon setelah Bercerai …... 184

3. Sumpah Îlâ: Bentuk Pelecehan terhadap Istri………. 192

4. Zhihâr: Bentuk Pelecehan terhadap Istri Adat Jahiliyah…. 198 C. Studi Kritis Ragam Qirâ'ât dalam Penafsiran Ayat-Ayat tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-Anak 1. Larangan Mewarisi Perempuan dan Menyakitinya... 208

2. Larangan Menelantarkan Anak-Anak ………. 216

D. Studi Kritis Ragam Qirâ'ât dalam Penafsiran Ayat Waris... 223

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 232

B. Saran... 233

BIBLIOGRAFI... 235

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`ân memiliki nilai kehujjahan dalam segala aspeknya. Nilai kehujjahan

al-Qur`ân itu terkandung pada setiap ayat-ayatnya, atau bahkan di setiap huruf-hurufnya. Setiap ayat terkadang mengandung penafsiran yang sangat beragam dan juga dipengaruhi oleh latar keilmuan seseorang yang menafsirkannya. Tidak berlebihan jika sebagian ulama tafsir sering menyebut Hadis Nabi:

ﻭﹶﻟ

Seorang hamba tidak dikatakan paham benar tentang Al-Qur`ân sehingga ia

dapat mengetahui banyak ragam penafsiran di dalamnya.1

Hadis ini, menurut al-Zubaidî, mauqûf sampai sahabat Abû Dardâ`. 2 Meskipun begitu, pernyataan ini menguatkan pendapat bahwa al-Qur`ân itu memang

multiple meaning atau yahtamil wujûh al-ma'nâ, mengandung banyak kemungkinan

makna, sehingga membatasi makna atau menafsirkan ayat dengan satu pengertian atau satu model paradigma saja merupakan bentuk reduksi dari keluasan kandungan makna al-Qur`ân itu sendiri.3

Apalagi jika dalam ayat yang ditafsirkan itu mengandung versi bacaan yang berbeda yang berimplikasi pada perbedaaan makna, maka tentu dengan penafsiraan semacam ini seharusnya semakin kaya. Dan ini merupakan salah satu kemukjizatan

1

Muhammad al-Husaini al-Zubaidî, Ittihaf al-Sâdah al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ 'Ulûm al-Dîn,

(Bairut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 4, h. 527

2

Al-Zubaidî, Ittihaf…., h. 527

3 Abd al-Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, (Yogyakarta: Sabda Persada,

(11)

al-Qur`ân dimana ia senantiasa dapat dipahami oleh para penafsir al-Qur`ân di masanya (shâlih li kulli zamân wa makân).

Rasulullah Saw. dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah yang berada di tengah-tengah kaumnya, tentu melihat banyak persoalan yang terjadi disana. Bahkan beliau mampu memprediksi bagaimana umat-umatnya di akhir zaman kelak, apakah mereka masih melaksanakan ajaran-ajarannya dengan baik atau tidak. Jika mereka mampu menjalankan ajarannya dengan baik, maka tidak perlu hukum alternatif, tetapi jika mereka sekiranya diterapkan hukum itu merasa berat, maka pasti Rasulullah Saw. akan mengambil langkah alternatif untuk meringankan beban yang dipikul umatnya karena prinsip dalam beragama adalah mengambil yang mudah, sebagaimana firman Allah berikut ini:

Dan Allah tidak menjadikan kepadamu kesempitan dalam beragama. (Q.s.

al-Hajj/ 22: 78)

Salah satu cara dalam menafsirkan al-Qur`ân adalah dengan mengkaji dari segi bahasa al-Qur`ân itu sendiri yang dalam hal ini erat kaitannya dengan ilmu

qirâ`ât (ilmu tentang cara membaca al-Qur`ân). Para ulama mazhab empat termasuk

para mufassir acapkali mengambil istinbâth hukum melalui metode ini. Ilmu qirâ`ât

(12)

Sebagian ulama beranggapan bahwa perbedaan qirâ`ât itu tidak berpengaruh sama sekali pada makna maupun hukumnya.4 Sementara itu, sebagian lain justru menjadikan perbedaan qirâ`ât ini menjadi sumber utama penafsiran al-Qur`ân dengan al-Qur`ân. Pendapat ini didukung oleh Imam Mujâhid yang pernah menyatakan:

ﹶﻟﻮ

Kalau saya telah membaca qirâ`ah Ibn Mas'ûd sebelum bertanya kepada Ibn 'Abbas, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan

kepadanya.5

Karena itulah, para ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan suatu kaidah yang terkenal:

Perbedaan qirâ`ât menyebabkan tampaknya perbedaan dalam hukum 6

Argumen lain yang mendasari perbedaan qirâ`ât ini memiliki konsekuensi pada perbedaan makna atau hukum itu berkaitan dengan permohonan Rasulullah agar bacaan al-Qur`ân ditambahkan dari satu menjadi tujuh huruf:

Pertama, Al-Qur`ân itu berbahasa Arab yang turun di kalangan mereka, maka

mustahil di antara mereka ada yang tidak mampu membacanya dengan satu huruf

4

(13)

(satu ragam bacaan),7 sedangkan orang dari luar Arab pun mampu membacanya dengan baik kalau mereka mau belajar.8 Karena itu, kalau faidah tujuh huruf tersebut hanya untuk memudahkan bacaan saja, tidaklah mungkin.

Kedua, Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana berikut:

ﹸﺃﻧ

Hadis ini menyatakan bahwa setiap “huruf” memiliki makna lahir dan makna batin. Jika dalam satu ayat memiliki bacaan yang variatif, tentu akan berimplikasi pada penafsiran yang variatif pula, baik lahir maupun batinnya.

Ketiga, Setiap kali minta tambahan huruf, Rasulullah Saw. senantiasa

menyertainya dengan ucapan

ﻚ

ِﻟ

ﹶﺫ

ﻖ

ِﻄﻴ

ﺗ

ﹶﻻ

ﻰ

ﻣِﺘ

ﹸﺃ

ِﺍﱠﻥ

ﻭ

ﺗﻪ

ِﻔﺮ

ﻣﻐ

ﻭ

ﻪ

ﹶﻓﺎﺘ

ﻌ

ﻣ

َﷲﺍ

ﹶﺎﹸﻝ

ﺳ

ﹶﺃ

10atau meskipun kedudukannya ada yang hanya setingkat Hadis ahâd. Dikutip dari pernyataan Ibn Qudamah oleh Hasanuddin Af, Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur`ân, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h. 224.

8

Pernyataan ini diperkuat dengan ungkapan Ibn Jarir yang mengatakan bahwa mushhaf yang sekarang ada ini hanya mencakup satu huruf saja, yakni huruf bahasa Quraisy. Begitu pula qirâ’ât

yang ada sekarang ini hanya qirâ’ât dengan logat Quraisy saja. Ini mengindikasikan bahwa meskipun dibaca dengan satu huruf umat Islam di seluruh dunia mampu membacanya dengan baik tanpa harus

“diringankan” dengan enam huruf yang lain. Lihat: Abû Syuhbah, al-Madkhal…., h. 193.

9

Hadis ini shahih diriwayatkan oleh Ibn Hibban dari Ibn Mas'ûd dalam Shahih Ibn Hibbân.

Lihat: 'Alâ` al-Din ibn Balibân al-Fârisî, Al-Ihsân bi Tartîb Shahih Ibn Hibbân, (Bairut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1996), jilid 1, h. 146

10

Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud dari Ubay ibn Ka'ab. Abû Daud, Sunan Abî Daud bâb al-Shalâh, No. 1263 (CD al-Kutub al-Tis'ah)

11

(14)

huruf dalam membacanya dan juga dalam penerapan hukum-hukumnya. Kalau hanya satu huruf saja (tidak ada pilihan lain), maka pasti umatnya tidak mampu melaksanakannya dengan baik sehingga banyak menimbulkan dosa dan kesalahan. Karena itu, beliau memintakan ampunan untuk umatnya.

Keempat, Dalam Hadis lain dikatakan bahwa alasan beliau adalah: “Aku

diutus untuk umat yang buta huruf, di antara mereka ada yang tua, anak-anak,

wanita, dan orang-orang yang tidak mampu membaca sama sekali.”12 Maksudnya,

dalam umatku terdapat orang yang tidak mampu membaca dan lemah fisiknya. Seandainya yang dimaksud dengan penambahan huruf itu hanya untuk mempermudah kesulitan membacanya saja, maka tentunya Rasulullah tidak perlu menyebutkan alasan yang panjang ini. Bukankah penambahan ini untuk meringankan umat, padahal ada aspek lain yang lebih penting diperlukan untuk melakukan substansi diturunkannya al-Qur`ân. Sementara alasan ketidakmampuan umat tidak mampu membaca dengan satu huruf dapat dibantah bahwa jika mereka mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, tentulah mereka mampu, tetapi kalau belum mampu juga, mereka akan mendapatkan dua pahala.13 Bukti lainnya bahwa saat ini yang berkembang di seluruh dunia hanya satu qirâ`ât, yakni riwayat Hafsh

12

Hadis ini diriwayatkan dari al-Tirmidzi dalam kitabnya Beliau mengatakan bahwa hadis ini

shahih. al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî bâb al-Qirâ`ât, No. 2868

13

Ungkapan ini berdasarkan Hadis Nabi yang bertujuan untuk merespon umatnya yang kurang dapat membaca dengan baik tetapi ada keinginan yang besar untuk membacanya, yaitu:

ﻢﻠﺳﻭ

ﻪﻴﻠﻋ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻝﻮﺳﺭ

ﻝﺎﻗ

ﺖﻟﺎﻗ

ﺎﻬﻨﻋ

ﷲﺍ

ﻲﺿﺭ

ﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻦﻋ

:

ﻪﺑ

ﺮﻫﺎﻣ

ﻮﻫﻭ

ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ

ﺃﺮﻘﻳ

ﻱﺬﻟﺍ

ﻥﺍﺮﺟﺃ

ﻪﻠﻓ

ﻪﻴﻠﻋ

ﺪﻳﺪ

ﻮﻫﻭ

ﻩﺅ

ﺮﻘﻳ

ﻱﺬﻟﺍﻭ

ﺓﺭ

ﻟﺍ

ﻡﺍﺮﻜﻟﺍ

ﺓﺮﻔﺴﻟﺍ

.

(15)

dari Imam 'Âshim, sementara qirâ`ât lainnya kurang digunakan, meskipun di negara-negara Arab.

Kelima, Kata-kata Jibril setelah ungkapan, al-Qur`ân diturunkan dengan tujuh

huruf, selanjutnya beliau berkata:

ﻤٍﺔ

ﺣ

ﺭ

ﻳﹸﺔ

ﹶﺃ

ﻭ

ٍﺔﹶﺃ

ﻤ

ﺣ

ﺮ

ِﺑ

ٍ

ﹶﺬ

ﻋ

ﻳﹸﺔ

ﹶﺃ

ﹸﻠ

ﺗ

ﻢ

ﹶﻟﺎ

ﻣ

ٍﻑﺎ

ﺎﻬ

ﹸﻛ

ِﺑﻌ

ﹶﺬ

ٍ

(semua itu dapat diterima selama tidak tercampur antara ayat azab dengan

rahmat atau ayat rahmat dengan azab)14 dan kata-kata Ubay ibn Ka’ab:

ﻤﺎ

ِﻠﻴ

ﻋ

ﻌ

ِﻤﻴ

ﺳ

-

atau

-

ﻴﻤ

ِﻜ

ﺣ

ﺰ

ِﺰﻳ

ﻋ

selama tidak campur antara ayat azab dengan rahmat dan ayat

rahmat dengan azab.15 Begitu juga Hadis senada yang diriwayatkan oleh Abû

Hurairah, dan 'Umar ibn Khaththâb. Ungkapan-ungkapan ini mengandung arti yang mendalam yaitu semua huruf yang berbeda itu dapat diterima tetapi jangan sampai memutarbalikkan ayat rahmat menjadi ayat azab dan ayat azab menjadi ayat rahmat.16 Seandainya yang dimaksud hanya perbedaan cara membacanya saja dengan maksud sama, maka tidak perlu diberi rambu-rambu di atas. Sementara kalau yang dimaksud itu perbedaan makna atau hukum, maka kekhawatiran ini sangat penting dan wajar diungkapkan karena konsekuensi hukum itu kadangkala menyalahi aturan, yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal.

Keenam, Sebagaimana diketahui bahwa dalam bahasa Arab itu

kadang-kadang perbedaan harakat saja menjadikan makna yang berbeda, apalagi jika itu berbeda sama sekali dalam segi penulisannya. Meskipun dikatakan lafal itu

14

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Musnad Ahmad Kitâb Musnad al-Bashriyyîn, No. 19529 (CD al-Kutub al-Tis'ah)

15

Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud, Sunan Abî Daud Kitâb al-Shalâh, No. 1262 (CD al-Kutub al-Tis'ah)

16

(16)

persamaan katanya, tetapi kemungkinan ada penafsiran lain dari kata tersebut masih terbuka lebar. Karena itu, dalam perbedaan qirâ`ât memiliki implikasi hukum yang berbeda, walaupun sedikit ada yang berhampiran.

Kemudian ketika terjadi standarisasi rasm mushhaf yang dilakukan oleh Khalifah 'Utsmân ibn 'Affân, dilakukan penyelekesian terhadap beberapa versi qirâ`ât

dalam al-Qur`ân. Hal ini mengundang kontroversi di kalangan ulama tentang apakah

rasm 'Utsmâni yang sekarang ada ini masih tetap mengandung tujuh huruf atau makin

berkurang. Sebagian besar di antara mereka masih menganggap masih tetap ada, sementara yang lain, seperti imam al-Thabari menganggap sudah berkurang. Para ulama yang menganggap sudah banyak berkurang menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang dibacakan oleh shahabat ahli Qurrâ`, seperti Ibn Mas'ûd dan Ubay ibn Ka'ab yang menyalahi rasm 'Usmâni juga merupakan bagian dari tujuh huruf. Begitu juga, tidak menutup kemungkinan qirâ`ât yang dianggap syâdz oleh sebagian jumhur ulama, asalnya merupakan bagian dari tujuh huruf. Karena itu, meskipun qirâ`ât

tersebut tidak diakui kerena tidak sesuai dengan rasm 'Utsmâni, tetapi secara penafsiran masih sah untuk dijadikan hujjah, jika sanadnya shahih. Alasannya karena semua bacaan itu pernah berkembang di masa Nabi, sedangkan Beliau sendiri tidak menyalahkan bacaan tersebut.17

Setelah terjadinya pembakuan rasm mushhaf dengan ditetapkannya rasm

'Utsmâni sebagai satu-satunya penulisan al-Qur`ân yang diakui oleh umat Islam,

17 Ulama Hanafiah dan Hanâbilah menyatakan bahwa

qirâ`ât syâdzdzah ini boleh dijadikan

(17)

selanjutnya terjadi pembakuan qirâ`ât yang dipilih sesuai dengan penulisan rasm

'Utsmâni tersebut. Maka Ibn Mujâhid menyeleksi dari sekian qirâ`ât yang pernah

beredar hanya tujuh qirâ`ât saja yang dianggap mutawâtir,18 sedangkan Ibn al-Jazarî menyatakan ada sepuluh qirâ`ât yang dianggapnya mutawâtir.19 Selanjutnya dengan berjalannya waktu dan kurangnya sosialisasi ilmu qirâ`ât di kalangan umat Islam, maka saat ini hanya satu qirâ`ât saja yang dikenal oleh masyarakat awam, yakni

qirâ`ât yang melalui riwayat Hafsh dari Âshim, sementara qirâ`ât lain sangat sedikit

dari kaum muslimin yang menggunakannya dalam bacaan mereka sehari-harinya, bahkan orang-orang Arab sendiri.

Proses standarisasi al-Qur`ân sehingga menjadi satu macam bacaan ini tentunya berimplikasi terjadinya penafsiran yang hanya tertuju pada bacaan yang berkembang saat ini. Dan ini tentunya menjadikan hukum yang dikeluarkan darinya semakin sempit, sehingga ada kalangan tertentu yang berpendapat bahwa proses standarisasi itu menjadikan penafsiran terhadap teks ini memiliki bias gender, terutama yang menyudutkan kaum wanita.20

Kaum wanita yang sepatutnya mendapatkan perlakuan yang setara dengan kaum pria, seolah termarjinalisasi dengan kelemahannya dan doktrin agama yang keliru sehingga muncul anggapan bahwa ajaran Islam telah menyudutkan mereka, padahal Islamlah yang sangat menghargai kaum wanita. Al-Qur`ân adalah sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan gender. Di antara kebudayaan

18 Ibn Mujâhid,

Kitab al-Sab'ah fi al-Qirâ`ât, tahqiq Dr. Syauqi Dhif, (Mesir: Dâr al-Ma'arif, 1972), h. 53-87.

19

Ibn al-Jazari, Taqrīb al-Nasyr fi al-Qirâ`ât al-'Asyr, tahqiq Ibrahim 'Athwah 'Iwadh, (Mesir: Dâr al-Hadis, 1992), h. 32.

20 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`ân, (Jakarta:

(18)

dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya al-Qur`ân, seperti Yunani

(Greek), Romawi, Yahudi, Persia, China, India , Kristen, dan Arab pra-Islam, tidak

ada satu pun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat daripada nilai-nilai yang telah diperkenalkan oleh al-Qur`ân.21

Sementara itu, ada pihak lain yang beranggapan bahwa sub-ordinasi penafsiran kaum perempuan ini disebabkan karena para mufassir kitab suci ini didominasi oleh ideologi patriarkhi, karena kebanyakan para mufassir adalah kaum laki-laki sehingga mereka kurang mengakomodir kepentingan perempuan. Karena itu, diperlukan semacam rekonstruksi, bahkan dekonstruksi paradigmatik terhadap model tafsir patriarkhis yang cenderung meminggirkan kaum perempuan.

Dari sinilah, perlunya mengkaji ulang penafsiran al-Qur`ân dari sudut qirâ`ât

tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan gender. Diharapkan nantinya ada alternatif hukum yang mungkin dapat dikeluarkan dari al-Qur`ân sehingga penafsiran di satu ayat yang terkesan “rigid” setelah dikaji, misalnya, dalam versi qirâ`ât lain ternyata penafsirannya agak lebih “fleksibel”. Demikian pula, tidak mustahil dapat memberikan penyegaran paradigma baru terhadap konsepsi-konsepsi yang terbangun begitu kokoh yang ada dalam tradisi Islam pada umumnya.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan pada pokok pemikiran yang telah diungkap dalam latar belakang di atas, maka ditentukan rumusan masalah dari rencana penelitian ini sebagai rujukan pembahasan selanjutnya, yaitu:

21 Umar, Bias Gender dalam al-Qur`an, Makalah seminar nasional Bias Gender dalam

(19)

Ayat-ayat yang mengandung perbedaan qirâ`ât mengindikasikan adanya perbedaan pemahaman penafsiran. Bagaimana pengaruh perbedaan qirâ`ât terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang relasi gender?

Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan diteliti pada masalah di atas, kiranya perlu dikemukakan batasan masalah sebagai berikut:

1. Qirâ`ât yang digunakan mengacu pada qirâ`ât mutawâtirah yang berjumlah

sepuluh qirâ`ât dan qirâ`âtsyâdz yang dianggap shahih sanadnya.

2. Masalah yang berkaitan dengan gender dibatasi pada: (a) hukum seputar rumah tangga, (b) perceraian, (c) kekerasan terhadap perempuan dan anak serta (d) pembagian warisan.

3. Pembahasan difokuskan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan tema di atas, antara lain ayat-ayat berikut ini: Q.s. al-Baqarah/ 2: 226, 229, 233, dan 236 ; Q.s. al-Nisâ`/ 4: 19, 12, 24, 34, 43; Q.s. al-Nûr/ 24: 31; Q.s. al-Ahzâb/ 33: 33; dan Q.s. al-Mujâdilah/ 58: 2

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bahwa ilmu qirâ`ât bukan hanya sebatas ilmu untuk membaca al-Qur`ân saja, melainkan ilmu ini juga dapat digunakan untuk menafsirkan al-Qur`ân. Bahasa Arab, sebagaimana dimaklumi, mempunyai keragaman makna, terlebih lagi kalau sudah berbeda penulisan, baik harakat maupun lafadznya. Sementara itu, ulama mutaqaddimîn belum mengambil sepenuhnya

(20)

sebagian ayat yang berbeda qirâ`âtnya memiliki implikasi hukum yang sama, sedangkan sebagian lainnya ada yang berbeda penafsirannya.

Disamping itu, penelitian ini juga ingin membuktikan tesis Hasanuddin AF yang menyatakan bahwa perbedaan qirâ`ât sebagian berimplikasi pada perbedaan

istinbath hukum sedangkan yang lainnya tidak demikian dan tesis Nasaruddin Umar

yang menyatakan bahwa dari perbedaan qirâ`ât ini memunculkan bias gender.

Kegunaan penelitian ini di samping membuktikan pentingnya pengaruh

qirâ`ât dalam penafsiran, juga berusaha meng-istinbâth-kan (mengeluarkan) hukum yang berkenaan dengan wanita dari ayat-ayat yang memiliki perbedaan qirâ`ât

terutama dalam masalah-masalah tertentu yang telah kami sebutkan di atas.

D. Kajian Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah mengenai qirâ`ât ini belum ada yang mengkaji khusus berkenaan dengan masalah gender. Karya-karya qirâ`ât yang pernah dikaji oleh penulis tesis atau disertasi terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Hasanuddin AF., Perbedaan Qirâ`ât dan Pengaruhnya terhadap Istinbath

Hukum dalam al-Qur`ân, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1994)

2. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur`ân, (Jakarta: Paramadina, 1999)

3. Muhammad al-Habsy, al-Qirâ`ât al-Mutawâtirah wa Atsaruhâ fi al-Rasm

(21)

4. Syar’i Sumin, Seni Bacaan al-Qur`ân dan Qirâ`ât Tujuh serta Pelaksanaannya

dalam Kurikulum STAI-PIQ Sumatra Barat, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,

1998).

5. Syar'i Sumin, Qira'ât al-Sab'ah Menurut Perspektif para Ulama, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005)

Karya pertama, membahas tentang kajian tentang pengaruh qirâ`ât terhadap

istinbath hukum yang dianalisas secara umum. Tulisan ini menyimpulkan bahwa

ayat-ayat al-Qur`ân yang memiliki ragam qirâ`ât itu ada yang memiliki perbedaan pengaruh dalam istinbâth hukum dan ada pula tidak sama sekali. Dalam tulisan ini juga memaparkan bahwa qirâ`ât syâdz kadang-kadang itu dapat berpengaruh pula dalam istinbâth hukum.

Penelitian yang penulis lakukan berusaha mengambil pijakan dari disertasi ini. Kajian-kajian yang dilakukan oleh Hasanuddin ini belum final sehingga perlu diteliti lebih lanjut hasil kesimpulannnya ini. Apakah benar ayat-ayat yang memiliki perbedaan versi qirâ`ât ada yang tidak menghasilkan pengaruh berbeda dalam istinbath hukumnya? Beberapa contoh yang dikemukakan dalam buku ini yang berkaitan dengan relasi gender berusaha kami teliti, baik yang menurutnya dapat menghasilkan implikasi hukum atau yang tidak, contohnya ayat yang berkaitan dengan zhihar.

(22)

dengan rasm `Usmâni, dimungkinkan memiliki bias gender. Penulis ingin mendalami pernyataan ini dengan mengkajinya lebih mendalam dengan mengumpulkan semua ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi gender yang terdapat perbedaan versi qirâ`ât. Kemudian menelitinya, apakah benar perbedaan qirâ`ât ini memiliki bias gender?

Karya ketiga, buku ini merupakan karya yang paling sesuai sebagai rujukan dalam pembuatan tesis kami. Di dalamnya dijelaskan tentang pengaruh perbedaan

qirâ`âtmutawâtir yang berimplikasi kepada rasm mushhaf al-Qur`ân yang sekarang ini berkembang dan perbedaannya dalam hukum syari'at. Hanya saja, hukum yang diporeleh dari perbedaan qirâ`ât ini tidak semua diungkapkan, terutama karena memang yang diungkap hanya dari qirâ`ât mutawâtir saja. Sementara dalam tesis ini diungkap juga tentang segi hukum yang mungkin dapat di-istinbath-kan melalui

qirâ`ât syâdz karena ia juga merupakan “salah satu bagian” dari al-Qur`ân yang pernah ada di zaman Rasulullah.

Karya keempat, apa yang tertera dalam tesis ini jauh dari pembahasan apa yang akan diuraikan dalam tesis ini. Di dalam karya ini memang menyinggung masalah qirâ`ât, tetapi obyeknya lebih difokuskan kepada pembahasan tentang pengajaran qirâ`ât dalam perguruan tinggi al-Qur`ân di Sumatera Barat.

(23)

demikian, tentunya apa yang diungkap dalam buku ini berbeda obyek kajiannya dengan apa yang penulis teliti dalam tesis ini, meskipun sama-sama mengakaji tentang segi ilmu qirâ`ât. Perbedaannya, jika disertasi ini menjadikan qirâ`ât sab’ah

sebagai obyek kajiannya, sementara penulis menjadikan qirâ`ât ini sebagai alat untuk membedah penafsiran yang terdapat dalam perbedaan qirâ`ât tersebut. Bahkan, bukan hanya qirâ`ât sab’ah saja yang dijadikan acuan melainkan semua qirâ`ât yang dianggap shahih, meskipun kualitasnya syâdz (tidak terkenal karena diriwayatkan perawi secara perorangan).

E. Metodologi Penulisan

Fokus penelitian tesis ini ditujukan pada ayat-ayat suci al-Qur`ân. Karena itu, pendekatan utama yang digunakan adalah ilmu Tafsîr. Dalam ilmu Tafsîr ini, dikenal beberapa metode dan corak penafsiran yang masing-masing memiliki keistimewaan dan teori tersendiri. Terkait dengan penulisan tesis ini, penulis hanya memilih dua metode, yaitu: metode tafsîr tahlîlî dan metode tafsîr maudlû'î.

Metode tafsîr tahlîlî ialah metode pembahasan secara kronologis berdasarkan urutan ayat. Metode ini berusaha menjelaskan kandungan setiap ayat dari berbagai segi dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana dalam mushhaf.

Metode tafsîr maudlû'î, yakni memahami dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur`ân dengan cara menghimpun ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan satu topik, lalu dianalisis kandungannya hingga menjadi satu kesatuan konsep yang utuh.22

22

(24)

Dalam tulisan ini, Penulis menjadikan kedua metode ini sebagai referensi dalam membahas ayat-ayat al-Qur`ân yang dikaji. Metode tahlîlî digunakan saat membedah kalimat, i'rab, munasabah ayat, dan konteks ayat. Sedangkan metode

maudlû'i digunakan untuk menjelaskan ayat secara tematik dengan mencantumkan

ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema ini.

Dalam menganalisa data, kami juga menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat umum kemudian prinsip-prinsip tersebut diterapkan kepada persoalan-persoalan yang lebih khusus. Adapun metode induktif digunakan untuk menganalisis persoalan-persoalan khusus lalu menjadikannya sebagai prinsip-prinsip yang bersifat umum.

Adapun metode penulisan ini menggunakan pendekatan library research

(penelitian kepustakaan). Mengingat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini banyak menyangkut kajian tentang kata atau bahasa yang terdapat perbedaan versi qirâ`âtnya, maka analisis yang digunakan dalam pembahasan masalah dengan metode semantik.23

Sebagian penelitian tentang ayat-ayat hukum yang di-istinbath-kan dari keragaman versi qirâ`ât telah dibahas oleh ulama dahulu. Karena itu, penulis juga menggunakan analisis perbandingan untuk memaparkan pendapat yang lebih unggul dan patut diimplementasikan pada masa sekarang.

23

Metode semantik adalah suatu bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 2. Dalam bahasa Arab, metode semantik ini membutuhkan beberapa ilmu tata bahasa, antara lain: ilmu isytiqaq (etimologi), ilmu mu'jam (tenteng perkamusan), ilmu bayan yang mencakup

(25)

Karena penelitian ini bersangkut-paut dengan tafsir, qirâ`ât, hadis, bahasa, serta hukum, maka referensi yang penulis gunakan adalah kitab-kitab masyhur kualitasnya dalam masalah ini. Juga menggunakan CD hadis untuk memudahkan kami dalam melacak kitabnya. Kadangkala kami mencantumkan sumber dari cdnya, dengan asumsi bahwa apa yang tertera di dalamnya sama dengan apa yang tertulis dalam kitab aslinya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memperjelas pembahasan tesis ini, selanjutnya penulis memaparkan rencana sistematika penulisan yang akan dijabarkan berikut ini:

BAB I: pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kajian pustaka, kerangka teoritik, metodologi penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II: ilmu qirâ`ât dan tafsîr al-Qur`ân yakni suatu pemaparan tentang seluk beluk qirâ`ât dan implikasinya terhadap penafsiran al-Qur`ân termasuk juga tanggapan orientalis tentang keberadaan perbedaan qirâ`ât ini. Lengkapnya, bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu qirâ`ât, sumber ilmu qirâ`ât dan periwayatnya, validitas qirâ`ât sebagai bagian dari al-Qur`ân, dan nilai qirâ`ât sebagai hujjah dalam penafsiran.

(26)

Perbedaan penetapan hukum bagi keduanya semata-mata karena menyesuaikan peran dan sifat biologis mereka, di mana Allah dalam hal ini lebih mengetahui hikmahnya. Lengkapnya, bab ini mencakup tentang pengertian dan hakekat relasi gender, tuntutan untuk mengesakan Allah, kesetaraan dalam etika dan tanggung jawab, dan kesetaraan dalam melaksanakan hukum agama.

BAB IV: implikasi ragam qirâ`ât dalam penafsiran ayat-ayat tentang relasi gender, yakni suatu uraian tematik dengan mengambil pokok bahasan ayat-ayat tentang relasi gender yang di dalamnya terdapat perbedaan qirâ`ât. Berangkat dari sini, penulis mencoba menguraikan sisi perbedaan qirâ`ât dan implikasinya terhadap hukum-hukum yang berkenaan dengan relasi gender. Ayat-ayat yang dikaji meliputi: ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dalam rumah tangga, perceraian, kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan pembagian warisan.

BAB V: penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian tesis ini dan saran bagi para peneliti berikutnya serta sivitas akademika pascasarjana.

(27)

BAB II

ILMU QIRÂ`ÂT DAN TAFSÎR AL-QUR`ÂN

A. Pengertian Ilmu Qirâ`ât

Kata qirâ`ât

(

ﺕﺍَﺀﺍﺮِﻗ

)

merupakan bentuk jamak dari kata

ﺓَﺀﺍﺮِﻗ

yang diambil dari kata

ﹶﺃﺮﹶﻗ

yang artinya membaca atau

ﹰﺎﻧﹶﺃﺮﹸﻗﻭ

-

ﹰﺓَﺀﺍﺮِﻗ

-

ﺮﹾﻘﻳ

-

ﹶﺃﺮﹶﻗ

yang artinya mengumpulkan. Jadi sesuatu yang dikumpulkan dapat diistilahkan dengan

ﺓَﺀﺍﺮ

ـ

ِﻗ

. Ulama Salaf menjadikan kata ini untuk istilah yang dipakai para pakar di bidang pembacaan al-Qur`ân (qurrâ`) dalam membaca nash al-Qur`ân. Kitab suci kita dinamakan

ﻥَﺁﺮ

ـ

ﹸﻘﹾﻟﺍ

karena ia mengumpulkan banyak kisah, perintah, larangan, janji,

ancaman, dan ayat-ayat lain. Ia merupakan bentuk mashdar seperti kata

ﻥﺍﺮ

ـ

ﹾﻔﹸﻏ

dan

ﻥﺍﺮ

ـ

ﹾﻔﹸﻛ

.

Namun, Imam al-Suyûthi berpendapat bahwa

ﻥﺁﺮ

ـ

ﹸﻘﹾﻟﺍ

bukanlah kata yang diambil dari kata tertentu, tetapi ia merupakan kata jâmid, yaitu suatu kata yang tidak diambil dari kata apapun, tetapi merupakan nama yang digunakan untuk kitab suci ini.24

Istilah qirâ`ât ini dapat diartikan sebagaimana makna bahasanya, yakni bacaan. Istilah ini akan menjadi khusus jika disandarkan kepada salah satu nama ahl

al-Qurrâ` yang menunjukkan kepada suatu metode tertentu yang dipakai salah

seorang qâri` itu dalam menerima atau menyampaikan atau mengungkap perbedaan bacaan al-Qur`ân.

24 Muhammad Habsy, Qirâ`ât Mutawâtirah wa Atsaruhâ fi Rasm Qur`âni wa

(28)

Istilah ini pada periode awal Islam, sering juga digunakan untuk menentukan suatu versi bacaan yang diterima dari para sahabat ahli qurrâ`. Para sahabat yang terkenal menjadi pakar dalam qirâ`ât ini sangat banyak. Adakalanya bacaan mereka sama, namun tidak sedikit yang berbeda sehingga seseorang akan menyebutkan bacaan al-Qur`ânnya sesuai dengan versi qirâ`ât sahabat yang ia pelajari darinya: seperti qirâ`ât Ibn Mas'ûd, qirâ`ât Ubay, qirâ`ât Zaid ibn Tsabit dan lain-lain.

Adapun ilmu qirâ`ât menurut istilah, sebagaimana diungkap oleh Imam al-Zarqânî dalam Manahil al-'Irfân, sebagai berikut:

ِ

ﺎﹶﻔﺗﺍ

ﻣ

ِﻢﻳِﺮﹶﻜﻟﹾﺍ

ِﻥﹶﺃﺮﹸﻘﹾﻟﺎِﺑ

ِﻖﹾﻄ

ﻨﻟﺍ

ﻰِﻓ

ﺮﻴﹶﻏ

ِﻪِﺑ

ﺎﹰﻔِﻟﺎ

ﻣ

ِﺀﺍﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ِﺔﻤِﺋﹶﺍ

ﻦِﻣ

ﻡﺎﻣِﺍ

ِﻪﻴﹶﻟِﺍ

ﻫﹾﺬﻳ

ﻫﹾﺬﻣ

ﻴﻫ

ِﻖﹾﻄﻧ

ﻰِﻓ

ﻡﹶﺍ

ِﻑﻭﺮ

ﹾﻟﺍ

ِﻖﹾﻄﻧ

ﻰِﻓ

ِﺔﹶﻔﹶﻟﺎ

ﺨﳌ

ﹾﺍ

ِ

ِﺬﻫ

ﺖﻧﺎﹶﻛ

ٌ

ﺀﺍﻮﺳ

ﻪﻨﻋ

ِ

ﺮ

ﻄﻟﺍﻭ

ِﺕﺎِﻳﺍﻭﺮﻟﺍ

ﺎﻬِﺗﺎ

.

25

Suatu aliran yang dianut oleh seorang imam ahli qira'at yang berbeda dengan imam ahli qirâ`ât lainnya dalam mengucapkan bacaan Qur`ân al-Karim melalui riwayat-riwayat dan jalan-jalan (sanad-sanad) yang disepakati, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf atau pengucapan cara bacanya.

Menurut Imam al-Zarkasyî:

ﺎﻤِﻫِﺮﻴﹶﻏﻭ

ٍﺪﻳِﺪﺸﺗﻭ

ٍ

ﻴِﻔ

ﺗ

ﻦِﻣ

ﺎﻬِﺘﻴِﻔﻴﹶﻛ

ﻭﹶﺍ

ِﻑﻭﺮﹸﳊﹾﺍ

ﻰِﻓ

ِﺭﻮﹸﻛﹾﺬﹶ

ﹾﺍ

ِﻰﺣﻮﻟﹾﺍ

ِ

ﺎﹶﻔﹾﻟﹶﺍ

ﻑﺎﹶﻠِﺘﺧِﺍ

.

26

Perbedaan lafal-lafal al-Qur`ân yang disebutkan, baik yang menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti sukun, tasydid dan sebagainya.

Menurut Imam Ibn al-Jazarî:

25

Muhammad Abd al- 'Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-'Irfan fi Ulûm al-Qur`ân, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutb al-'Arabiyyah, 1988 M/1408 H), Jilid I, h. 412.

26 Badru al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyî, al-Burhân fi 'Ulûm al-Qur`ân, (Beirut:

(29)

ﹶﺔﻐ

ﻠﻟﺍﻭ

ﻮ

ﻨﻟﺍ

ﺝﺮﺧ

ِﺔﹶﻠِﻗﺎﻨﻟﺍ

ِﻭﺰﻌِﺑ

ﺎﻬِﻓﹶ

ِﺘﺧﺍﻭ

ِﻥَِﺍﺮﹸﻘﻟﹾﺍ

ِﺕﺎﻤِﻠﹶﻛ

ِﺀﺍﺩﹶﺍ

ِِﺕﹶﺎ

ﻴِﻔﻴﹶﻜِﺑ

ﻢﹾﻠِﻋ

ﺎﻣﻭ

ﺮﻴِﺴﹾﻔﺘﻟﺍﻭ

ﻚِﻟﹶﺫ

ﻪﺒ

ﹶﺍ

.

27

Ilmu yang mengungkapkan cara-cara membaca kalimat-kalimat al-Qur`ân dan perbedaannya dengan periwayatan yang mengecualikan ilmu nahwu, bahasa, tafsir dan lain-lain.

Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu qirâ`ât adalah ilmu yang mengungkapkan tentang cara-cara membaca al-Qur`ân yang dianut oleh para Imam Qurrâ` (pakar qirâ`ât) dan perbedaan-perbedaanya yang semuanya itu melalui jalan periwayatan yang bersumber dari Rasulullah Saw.

B. Sumber Ilmu Qirâ`ât dan Para Periwayatnya

Al-Qur`ân adalah kitab berbahasa Arab. Bahasa Arab sendiri mempunyai logat atau dialek pengucapan, seperti bahasa Jawa memiliki dialek Jawa Timur, Jawa Tengah, Cirebon dan lain-lain, yang masing-masing itu berbeda pengucapannya tetapi maknanya sama. Demikian pula dengan al-Qur`ân, memiliki banyak logat seperti: Quraisy, Hawazin, Tamim, Bani Darim, Hudzail dan lain-lain.28 Karena itu, ketika Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan satu "huruf", maka beliau meminta untuk ditambahkan. Tujuannya adalah memudahkan pembacaan, terutama bagi orang-orang Arab yang memiliki bermacam-macam logat, memberi kelonggaran untuk memilih qirâ`ât yang sesuai dengan lisannya, sebagai rahmat dan keutamaan

27 Muhammad Abû al-Khair al-Jazarî,

Munjid al-Muqri`în wa Mursyid al-Thalibîn, (Kairo: Maktabah al-Tijariayah al-Kubra, tth), h. 3.

28

(30)

al-Qur`ân untuk umat Nabi Muhammad Saw. baik dalam cara membacanya maupun aspek-aspek lain yang menjadi faidah dari adanya tujuh huruf ini.29 Belakangan diketahui bahwa tujuh huruf ini mengandung makna penafsiran yang memungkinkan untuk pengambilan istinbâth hukum yang berbeda atau saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu dengan tujuh huruf, maka beliau mengajarkannya langsung kepada para sahabat ra. sesuai dengan kemampuan dan lisan mereka. Di antara mereka ada yang mempelajarinya satu huruf saja, ada juga yang mampu dua huruf, dan ada yang lebih dari itu.30 Di antara para sahabat yang terkenal dalam penyebarluasan al-Qur`ân, baik kepada sahabat lain maupun kepada generasi berikutnya adalah 'Usman ibn ’Âffan, Âli ibn Abû Thâlib, Ubay ibn Ka'âb, Zaid ibn Tsâbit, Abdullah ibn Mas'ûd, Abû Dardâ', dan Abû Mûsâ al-Asy'arî.31

Pada masa khalifah 'Usmân, setelah terjadinya pembakuan penulisan mushaf yang dikenal dengan istilah rasm 'Utsmânî, maka khalifah memerintahkan para sahabat qurrâ` itu untuk menjadi maha guru al-Qur`ân di seluruh negeri yang telah dikuasai pemerintahan Islam, terutama daerah-daerah yang dikirimkan mushaf rasm

'Utsmâni. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa khalîfah mengirimkan mushaf itu

dengan suatu persyaratan, yakni bagi umat Islam yang belajar membaca al-Qur`ân itu harus dengan cara talaqqî dan musyâfahah (yakni pengajaran langsung oleh seorang

29 Faidah perbedaan

qirâ`ât ini antara lain: 1) menunjukkan terjaganya al-Qur`ân dari perubahan dan penyimpangan dengan adanya beberapa versi bacaan. 2) meringankan umat dalam membacanya. 3) kemukjizatan al-Qur`ân dari segi ringkasnya bacaan, tetapi mengandung makna yang berbeda tanpa adanya pengulangan. 4) menerangkan bacaan lain yang mengandung arti umum.

30 Al-Zarqâni, Manâhil…, Jilid I, h. 413. 31

(31)

guru kepada murid dengan cara berhadapan) untuk menghindari kesalahpahaman dalam cara membaca. Hal ini karena, sebagaimana telah diketahui bahwa rasm

'Utsmâni disebarkan tanpa adanya tanda baca dan tanpa titik sehingga sangat

memungkinkan terjadinya salah baca jika dipelajari tanpa seorang guru.

Demikianlah al-Qur`ân diajarkan dari generasi ke generasi yang lain dengan cara talaqqi dan riwayat, dari orang yang tsiqah kepada orang yang tsiqah lainnya, dan dari imam-imam kepada imam-imam berikutnya dan seterusnya sehingga validitas teksnya benar-benar terjaga.32 Dan satu hal yang menarik bahwa penyebaran mushaf ke berbagai wilayah itu ternyata memiliki keistimewaan tersendiri, yakni para sahabat yang dikirim untuk menjadi maha guru bagi daerah yang ditujunya itu menyesuaikan versi qirâ`ât mushaf yang dibawanya karena ternyata antara satu mushaf dengan mushaf yang lainnya memiliki perbedaan penulisan walaupun tidak terlalu signifikan.33

Pada periode-periode berikutnya muncullah para ahli-ahli qirâ`ât (qurrâ`)

yang banyak tersebar di negeri-negeri Islam, di antara mereka ada yang diakui kepakarannya dalam semua bidang qirâ`ât, baik yang shahih maupun yang syâdz, ada

32

Al-Zarqani, Manâhil..., Jilid I, h. 413.

33

(32)

pula ulama yang hanya membidangi satu qirâ`ât, dan ada pula yang hanya dua

qirâ`ât sehingga ketika itu lebih banyak terjadi perbedaan daripada kesamaan.34

Dalam masa-masa itu para ulama menetapkan tokoh utama sebagai panutan kaum Muslimin dalam pembacaan al-Qur`ân (qirâ`ât) supaya dengan mudah dapat dibedakan antara riwayat yang shahih dan yang syâdz. Di antara mereka juga ada yang berusaha mengkodifikasi segala jenis qirâ`ât, menerangkan wajah dan riwayatnya, menjelaskan shahih dan syâdz-nya, memerinci qirâ`ât yang diriwayatkan oleh para qurrâ`, baik yang mutawâtir maupun ahâd (perorangan) dan lain-lain.

Ibn Mujâhid dianggap orang yang pertama kali mencetuskan gagasan tentang

kemutawâtiran riwayat dan sanad dari tujuh orang qurrâ`. Beliau memilih hal ini

dengan alasan persyaratan yang amat ketat. Persyaratan itu antara lain:

1. Periwayatannya dari orang yang masyhur tentang kecerdasan, keadilan, dan kepercayaannya.

2. Umurnya dihabiskan untuk menekuni bidang qirâ`ât yang ditekuninya.

3. Kesepakatan dari ulama qurrâ` atas kebolehan mengambil periwayatan dari mereka.35

Setelah beliau meneliti semua qirâ`ât yang beredar ketika itu ternyata hal itu hanya dimiliki oleh Tujuh pakar qirâ`ât, mereka itu ialah:

34 Al-Zarqani, Manâhil …, Jilid I, h. 144. 35

(33)

1. Abû Ruwaim Nâfi' ibn 'Abd al-Rahmân ibn Abû Nu'aim al-Madanî (w. 169). Perawinya adalah Qâlûn yang nama aslinya Abû Mûsâ 'Isâ ibn Minâ an-Nahwî (w. 220) dan Warasy yang nama aslinya 'Utsmân ibn Sa'id al-Mishrî (w. 155).

2. Abû Muhammad 'Abdullah ibn Katsîr al-Darî yang terkenal dengan sebutan Ibn Katsîr (w. 120). Perawinya adalah Qunbul yang nama aslinya Muhammad ibn 'Abd al-Rahmân ibn Khâlid al-Makhzûmi al-Makkî (w. 291 H) dan al-Bazzî yang nama aslinya Abû al-Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah (w. 250)

3. Abû 'Amr yang nama lengkapnya adalah Abû 'Amr Zabbân ibn al-A'la 'Ammar al-Bashrî (w. 154). Perawinya adalah al-Dûrî yang nama aslinya, Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Muqri (w. 246) dan al-Sûsî yang nama aslinya Abû Syu'aib Shaleh ibn Ziyâd (w. 261 H)

4. Abdullah ibn 'Âmir al-Yashhûbi yang terkenal dengan sebutan Ibn 'Âmir (w. 118). Perawinya adalah Hisyâm ibn 'Ammar al-Sulami al-Dimsyaqî (w. 245) dan Ibn Dzakwân yang nama lengkapnya Abû Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Basyâr ibn Dzakwan al-Qurasyi al-Fihri (w. 242 H)

(34)

kealimannya tidak diragukan lagi karena memang senantiasa dalam asuhan ayah tirinya itu. (w. 180). Kedua perawi 'Âshim ini meriwayatkan darinya tanpa perantara.

6. Hamzah, dia adalah Abû 'Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufy (w. 156) perawinya adalah Khalaf, yakni Abu Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn Thâlib ibn al-Bazzâr (w. 229) dan Khallâd yang nama lengkapnya ialah Abû Îsa Khallâd ibn Khâlid al-Ahwal al-Shairafi (w. 220).

7. Al-Kisâ'i, nama lengkapnya ialah Abû al-Hasan 'Alî ibn Hamzah al-Kisâ'î an-Nahwî (w. 189) perawinya adalah ad-Dûri, nama lengkapnya ialah Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Dûrî dan Abû al-Hârits, yakni al-Laits ibn Khâlid al-Marwazî (w. 240).36

Penyeleksian yang dilakukan oleh Ibn Mujâhid itu tidak serta merta disepakati oleh ulama semasanya, meskipun keputusan ini dilakukan oleh pengadilan setempat. Pada tahun 934 M seorang ulama bernama Ibn Miqsam dipaksa untuk menarik pandangannya yang menyatakan bahwa seseorang berhak untuk memilih bacaan apa saja asalkan sesuai dengan tata bahasa dan cukup masuk akal. Keputusan ini penting untuk menegaskan hanya tujuh bacaan saja yang dianggap absah. Pada bulan April 935 M (4 bulan sebelum wafatnya Ibn Mujâhid), seorang ulama lain, Ibn Syanbûdzi, juga dikutuk dan dipaksa kembali menarik pernyataannya bahwa memakai bacaan Ibn Mas'ûd dan Ubay bin Ka'ab (yang syâdz) diperkenankan.37

36

Al-Suyuthi, Al-Itqân…, Jilid 1, h. 206.

37 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur`ân, Terj. Lilian D. Tedjasudhana,

(35)

Pandangan Ibn Mujâhid juga dikritik oleh Ibn al-Jazarî yang menyatakan bahwa ke-mutawâtir-an suatu qirâ`ât tidak terbatas pada tujuh imam itu saja, melainkan ditambahkan dengan tiga orang imam lainnya yang juga memenuhi syarat

mutawâtir. Pandangan beliau ini didasarkan atas persyaratan yang dipeganginya

bahwasanya qirâ`ât itu dapat diterima jika:

1. Qirâ`ât tersebut sesuai dengan salah satu mushaf 'Utsmâni, meskipun hanya

secara perkiraan.

2. Qirâ`ât itu cocok dengan ketentuan kaidah bahasa Arab meski hanya dari satu

aspek.

3. Sanadnya mutawâtir.38

Bahkan Ibn al-Jazarî seakan-akan masih memberi "kelonggaran", bukan hanya qirâ`ât sepuluh saja yang diterima, melainkan qirâ`ât lain pun seandainya ada yang memenuhi syarat di atas, statusnya dapat dikategorikan sebagai qirâ`âtshahih

dan termasuk tujuh huruf. Namun di masa sekarang, kemungkinan ini kecil. Kalau di masa awal Islam, hal ini sangat mungkin terjadi.39

Adapun nama-nama tiga orang imam qirâ`ât yang melengkapi sepuluh qirâ`ât

ialah sebagai berikut:

38

Muhammad ibn al-Jazarî, Taqrîb an-Nasyr fî al-Qirâ`ât al-'Asyr, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1992), h. 25

39

(36)

1. Abû Ja'far Yazid ibn al-Qa'qa' al-Qaraj (w. 130). Perawinya Abû Mûsâ Îsâ ibn Wardân dan Abû Rabi' Sulaimân ibn Muslim ibn Jammâz.

2. Abû Muhammad Ya'qûb ibn Ishâq al-Hadlrami (w. 205). Perawinya Rauh bin 'Abd al-Mu`min dan Muhammad ibn al-Mutawakkil al-Lulu'i (biasa disebut Ruwais).

3. Abû Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn Tsa'lab (w. 229). Beliau juga salah seorang perawi Hamzah. Perawinya Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Ishâq ibn Ibrâhîm ibn 'Usmân ibn 'Abdullah al-Marwazi dan Abu al-Hasan Idris ibn 'Abd al- Karîm al-Haddâd al-Baghdadi.

Di samping sepuluh Qurrâ` di atas, ada empat Qurrâ` lainnya yang terkenal

qirâ`ât-nya, tetapi masih diperselisihkan ke-mutawâtir-annya. Ada yang mengatakan

qirâ`ât ini shahih dan ada yang mengatakan syâdz. Namun yang jelas, menurut

al-Zarqâni, yang benar adalah pendapat yang dikemukakan Ibn al-Jazarî bahwa yang

qirâ`ât yang mutawâtir itu hanya ada pada qirâ`ât sepuluh. Sementara empat qurrâ`

lainnya, menurut al-Zarqânî, jika qirâ`ât itu memang shahih sanad-nya, cocok dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan rasm 'Utsmâni, maka dapat diterima sebagaimana al-Qur`ân diturunkan dalam tujuh huruf, meskipun dari qirâ`ât empat ini.40

Para imam empat ini tidak memiliki periwayat yang terkenal yang berbeda dengan bacaannya itu. Karena itu, biasan

40

(37)

ya mereka disebutkan tanpa periwayat. Mereka inilah yang melengkapi sepuluh

qirâ`ât lainnya sehingga biasa diistilahkan dengan qurrâ` empat belas. Nama-nama

mereka adalah sebagai berikut:

1. Sayyid Imam Hasan ibn Abâ Hasan Yasâr Abû Sa'id al-Bashrî, yang terkenal dengan nama Hasan al-Bashri (w. 110 H)

2. Ibn al-Muhaishin, beliau adalah Muhammad ibn Abdu al- Rahman al-Sahmi al-Makkî. Seorang Qurrâ` bagi penduduk Makkah selain Ibn Katsîr (w. 123 H).

3. Yahyâ Yazîdî, beliau adalah Yahyâ ibn Mubârak ibn Mughîrah al-Imam Abû Muhammad al-'Adawi al-Bashri, biasa disebut dengan al-Yazîdî (w. 202)

4. Al-Syanbûdzî, beliau adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Yusuf ibn al-''Abbâs ibn Maimun Abû Faraj al-Syanbûdzî al-Syathawi al-Baghdâdi (w. 388).

Di samping empat belas imam ahli qirâ`ât di atas sebenarnya masih banyak lagi versi qirâ`ât, terutama pada masa periode sahabat dan tabi'in. Namun dengan kegigihan para ulama salaf dalam menyeleksi versi qirâ`ât tersebut dengan menyingkirkan qirâ`ât yang syâdz atau bahkan maudlû', maka yang ada saat ini hanyalah qirâ`ât empat belas yang masih dapat diketahui secara lengkap. Sementara

qirâ`ât yang lain tidak disusun secara sempurna dan hanya ada dalam kitab-kitab

(38)

Namun demikian, qirâ`ât syâdz ini tidak serta merta kita nafikan begitu saja keberadaannya dalam penafsiran. Selama sanadnya shahih dan dapat dipertanggungjawabkan, ia dapat digunakan sebagai penafsiran al-Qur`ân. Qirâ`ât

Ibn Mas'ûd, Ibn 'Abbâs, Ubay bin Ka'ab dan sebagainya, yang dinyatakan syâdz pada masa-masa awal justru sering dijadikan rujukan oleh Mufassir dalam menafsirkan al-Qur`ân.

C. Validitas Qirâ`ât sebagai Bagian dari al-Qur`ân

Kerja keras para ulama Qurrâ` dalam penyeleksian qirâ`ât mutawâtir ini tidak terlepas dari kritikan, baik dari dalam (kalangan Muslim) sendiri maupun dari luar (kalangan non-Muslim). Pertanyaan besar yang menjadi perdebatan antara sesama kaum Muslim adalah mengapa hanya tujuh atau sepuluh saja yang dianggap

mutawâtir sementara yang lain tidak? Hal ini mengindikasikan bahwa para ulama

kaum muslimin telah sepakat terhadap adanya perbedaan versi qirâ`ât yang merupakan salah satu rahmat bagi kaum Muslim.

Adapun kebanyakan kritikan dari luar (non-Muslim) atau biasa disebut dengan kaum orientalis, justru mempertanyakan hal sebaliknya. Biasanya pertanyaan mereka ini tidak lepas dari pertanyaan: "Mengapa ada banyak versi qirâ`ât Qur`ân? Bukankah ini menunjukkan ketidakkonsistenan dan tidak terpeliharanya al-Qur`ân dari orang-orang yang ingin merubahnya?" Inilah mengapa kevalidan qirâ`ât

banyak dipertanyakan dan diperdebatkan. Karena itu, pada bagian ini kami ingin melakukan penjelasan tentang hal ini.

(39)

ﻪﻴﻠﻋ

ﷲﺎ

ى

ﻠﺻ

ٍﺪﻤ

ﻣ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹸﻝﺰﻨﻤﹾﻟﺍ

ﻲﺣﻮﹾﻟﺍ

ﻮﻫ

ﹸﻥﹶﺃﺮﹸﻘﹾﻟﺎﹶﻓ

ِﻥﺎﺗﺮِِﻳﺎﻐﺘﻣ

ِﻥﺎﺘَﹶﻘﻴِﻘﺣ

ﺕﺍَﺀﺍﺮِﻘﹾﻟﺍﻭ

ﹸﻥﹶﺃﺮﹸﻘﹾﻟﹶﺍ

sebagai pedoman dan mukjizat, sementara qirâ`ât adalah perbedaan lafaz wahyu itu dalam penulisan huruf atau cara bacanya, seperti takhfif (meringankan bacaan dengan sukun), tasydid (menekankan bacaan), dan

sebagainya 41

Yang membedakan antara al-Qur`ân dan qirâ`ât adalah bahwa al-Qur`ân adalah sisi bagian dalam wahyu yang mengandung pedoman dan kemukjizatan, sementara qirâ`ât itu merupakan sisi bagian luar wahyu yang mengandung ilmu cara membaca dan penulisannya. Ibarat buah, al-Qur`ân adalah isinya yang rasanya sangat lezat dan manis, sementara qirâ`ât adalah kulitnya. Seseorang tidak dapat membuka dan merasakan isi dan kemukjizatan al-Qur`ân tanpa menggunakan ilmuqirâ`ât.

Mengingat kedudukan ilmu qirâ`ât yang signifikan ini, maka para ulama

qurrâ` sangat selektif dalam memilih qirâ`ât yang shahih dan mutawâtir. Jika salah

pilih satu ayat saja yang tidak mencapai derajat mutawâtir, maka akan mengurangi keindahan dan kemukjizatan al-Qur`ân terutama dari aspek uslub bahasanya. Salah satunya adalah qirâ`ah syâdz yang diriwayatkan dari 'Umar bin Khatthab berikut ini:

ﺮﹶﻘﺳ

ﻰِﻓ

ﻚﹶﻜﹶﻠﺳ

ﺎﻣ

ﹸﻥﹶ

ﹸﻓ

ﺎﻳ

ﹶﻥﻮﹸﻟَﺀﺎﺴﺘﻳ

ٍﺕﺎﻨﺟ

ﻰِﻓ

.

42

Sementara qirâ`ât yang masyhur berbunyi:

(40)

Dengan berbagai macam versi qirâ`ât yang tersebar ketika itu, maka para ulama membuat ketetapan pembagian qirâ`ât sebagai berikut:

1. Qirâ`ât yang sanadnya mutawâtir dan diterima umat, baik sebagai bacaan

dalam shalat maupun tidak, dan juga dapat dijadikan tafsir bagi ayat-ayat lain seperti qirâ`ât 'asyr.

2. Qirâ`âtahad, yang diriwayatkan secara personal di setiap thabaqat-nya dan

sesuai dengan rasm 'Utsmâni. Qirâ`ât ini, menurut sebagian ulama ada yang membolehkan membacanya di dalam shalat dan di luar shalat dan ada juga ulama yang mengharamkannya. Seperti qirâ`ât empat imam yang melengkapi

qirâ`ât sepuluh.

3. Qirâ`âtshahih tetapi menyimpang dari rasm 'Utsmâni, seperti qirâ`ât yang

mengandung jalur periwayatan yang shahih dan muttashil. Seperti qirâ`ât

yang diusandarkan kepada salah seorang Sahabat. Misalnya qirâ`ât Ibn Masûd, Abu Dardâ, 'Umar bin Khaththâb dan lain-lain.

4. Qirâ`âtMakdzûbah, yakni qirâ`ât yang tidak shahih periwayatannya, meski

sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm 'Utsmâni. Qirâ`ât ini tidak boleh dibaca dalam shalat dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam penafsiran.43

Kedua kelompok di atas (no. 2 dan 3) dikatakan sebagai syâdz. Namun boleh dijadikan tafsir mengingat sanadnya yang shahih.44 Setelah diketahui kedudukan

43

Al-Zarqani, Manâhil….,, Jilid I, h. 467-468.

44 Imam Mujâhid salah seorang tokoh mufassir tabiin mengemukakan bahwa

qirâ'ât

merupakan sumber penting dalam penafsiran al-Qur`ân, beliau mengatakan: "Kalau aku sudah membaca qirâ`ât Ibn Mas'ûd sebelum bertanya kepada Ibn 'Abbâs, maka aku tidak perlu banyak tanya tentang masalah apapun yang berkenaan dengan ayat itu kepadanya.

(41)

qirâ`ât yang boleh dijadikan bacaan “resmi”, maka berikut ini diungkap tentang perbandingan antara qirâ`ât-qirâ`ât yang shahih dan syadz serta pandangan-pandangan para orientalis atas keberadaan disiplin ilmu ini.

1. Status Qirâ`âtShahih dan Syâdzât

Kaidah yang umumnya dipakai dalam menentukan apakah suatu Qirâ`ât

dikatakan shahih ataupun syâdz adalah sebagai berikut:

ﺢـ

ﺻﻭ

ٍﻪﺟﻮِﺑ

ﻮﹶﻟﻭ

ﹶﺔﻴِﺑﺮﻌﹾﻟﺍ

ﺖﹶﻘﹶﻓﺍﻭﻭ

ﺍﺮﻳِﺪﹾﻘﺗ

ﻮﹶﻟﻭ

ِﺔﻴِﻧﺎﻤﹾﺜﻌﹾﻟﺍ

ِ

ِﺣﺎ

َﹾ

ﺪﺣﹶﺍ

ﺖﹶﻘﹶﻓﺍﻭ

ٍﺓَﺀﺍﺮِﻗ

ﻞﹸﻛ

ِﻘﹾﻟﺍ

ﻰِﻬﹶﻓ

ِﺀﺍﺮﹸﻘﻟﺍ

ﻦِﻣ

ِﺓﺮﺸﻌﹾﻟﺍ

ﻮﹶﻓ

ﻦﻤﻋ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﻮﹶﻟﻭ

ﺎﻫﺩﺎﻨﺳِﺍ

ﺎﻫ

ﺩﺭ

ﻮﺠﻳ

ﹶﻻ

ﻰِﺘﱠﻟﺍ

ﹸﺔ

ﻴِ

ﻟﺍ

ﹸﺓَﺀﺍﺮ

ﹸﻥﹶﺍﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ

ﹶﻝ

ّ

ِﺰﻧ

ﻰِﺘﻟﺍ

ِﺔﻌﺒﺴﻟﺍ

ِﻑﺮﺣﹶﺎﹾﻟﺍ

ﻦِﻣ

ﻰِﻫ

ْ

ﻞﺑ

ﺎﻫﺭﺎﹶﻜﻧِﺍ

ﻞِ

ﻳﹶﻻﻭ

.

Setiap Qirâ`ât yang sesuai dengan salah satu mushaf 'Utsmâni, meskipun mirip, cocok dengan kaidah bahasa Arab, walaupun dalam satu sisi, dan shahih sanadnya, meskipun diambil dari selain Qurrâ` yang sepuluh, maka ia merupakan Qirâ`ât shahih yang tidak boleh ditolak dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan ia adalan salah satu tujuh huruf di mana al-Qur`ân

diturunkan dengannya.45

Adapun yang disebut qirâ`âtsyâdz adalah

ﹶﻥﻮ

ـ

ﹸﻜﺗ

ﹾﻥﹶﺍ

ﹸﺫﻭﹸﺬ

ﺸﻟﺍ

ﺎﻬِﻔﺻﻭ

ﻦِﻣ

ﻨﻤﻳﹶﻻﻭ

ِﻡﺎﻣِﻻﹾﺍ

ﻰِﻧﺎﻤﹾﺜﻌﹾﻟﺍ

ﺧ

ِﻟﺎ

ﺗﻭ

ﺍﺩﺎﺣﹶﺍ

ﻱﻭﺮﺗ

ﻰِﺘﱠﻟﺍ

ِﺔﻴِﺑﺮﻌ

ْـ

ﻠﻟِ

ً

ﺔﹶﻘﹶﻓﺍﻮﻣﻭ

ِﺪﻨﺴﻟﺍ

ﹶﺔ

ﻴِ

ﺻ

.

Yaitu Qirâ`ât yang diriwayatkan oleh perorangan dan berbeda dengan tulisan mushaf 'Utsmâni "al-Imam", tidak disifati sebagai syadz jika sanadnya shahih

dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab.46

Syarat yang diutarakan oleh Ibn al-Jazarî yang telah kami sebutkan sebelumnya tentang qirâ`ât yang dinyatakan shahih dan syâdz ternyata mengandung polemik di antara ulama Qurrâ` karena syarat itu seakan-akan mengandung

45

Al-Zarqani, Manâhil…., h. 418.

46 Labib Said, Al-Jam'u al-Shautī al-Awwal aw al-Mushhaf al-Murattal bi Bawâ'itsihi wa

(42)

pengertian bahwa ada qirâ`âh-qirâ`âh lain selain yang sepuluh, yang mungkin dapat dimasukkan dalam kategori shahih.

Pada kalimat terakhir, dinyatakan "baik dari imam tujuh, sepuluh atau imam-imam maqbul lainnya", ini mengandung arti bisa saja dalam qirâ`ât lain, terutama empat qirâ`ât lain yang dianggap syâdz. Dalam qirâ`ât empat (yang melengkapi menjadi empat belas), memang sebagian besar ulama menyatakan bahwa qirâ`ât

tersebut syâdz, namun pendapat ini ditujukan untuk bagian-bagian al-Qur`ân yang memang tidak memenuhi tiga syarat sebelumnya. Adapun bagi qirâ`ât lainnya yang memang shahih dan sama bacaannya seperti imam-imam lainnya, maka dapat diterima dan dianggap shahih. Berikut ini kami ungkapkan contoh bacaan imam empat itu.

Dalam surat al-Fâtihah sebagian besar bacaannya tidak menyimpang dari

rasm 'Utsmâni dan tidak menyalahi kaidah bahasa Arab. Kecuali bacaan berikut ini:

v yang menyalahi Rasm 'Utsmâni:

ﺍﺮ

ّ

ِ

ﻟﺍ

ﺎﻧِﺪﻫِﺍ

ِﻢﻴِﻘﺘﺴﻤﹾﻟﺍ

Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus

Qirâ`ât dari Hasan al-Bashri menyebutkannya tanpa

ﻝﺍ

sehingga berbunyi:

ﺎﻤﻴِﻘﺘﺴﻣ

ﺎﹰ

ﺍﺮِﺻ

ﺎﻧِﺪﻫِﺍ

Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus

v yang menyalahi kaidah bahasa Arab

ِﻟ

ﺪﻤ

ﹾﻟﹶﺍ

ﻦﻴِﹶ

ﺎﻌﹾﻟﺍ

ّ

ِ

ﺭ

ِﻪﹼﻠ

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan melakukan analisis wacana kritis dalam film “Berbagi Suami” dan “Ayat-ayat Cinta” melalui

Dalam ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang yang tertindas baik laki-laki maupun perempuan, atau anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan

mengeluarkan si empunya sehingga ia lupa untuk bersabar dan berserah diri kepada Allah. Baik ar-Rāzi maupun az-Zamakhsyarī memiliki titik perbedaan satu dengan yang lain.

menyusui, yang mana dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada bagian kedua pasal 153 ayat (5) “waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani

1) Perawan tua (al-Anis) yang sudah lama tinggal dengan bapaknya, bersikap mandiri dan mengetahui segala macam kemaslahatan bagi dirinya. 2) Janda yang masih kecil

Kalau pada ayat yang lalu dinyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri, maka ayat ini menyatakan bahwa Allah juga tidak senang

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Qirâ‟ât dan Penafsiran Ayat-ayat Hukum dalam Tafsir al- Jamî li Ahkâm Al-Qur‟an Karya al-Qurthubî Studi

yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." Pemahaman ayat ini dalam konteks kesetaraan gender