• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Ilmu Qirâ`ât dan Para Periwayatnya

ﹶﺔﻐﱡﻠﻟﺍﻭ ﻮﺤﻨﻟﺍ ﺝﺮﺧ ِﺔﹶﻠِﻗﺎﻨﻟﺍ ِﻭﺰﻌِﺑ ﺎﻬِﻓﹶﻼِﺘﺧﺍﻭ ِﻥَِﺍﺮﹸﻘﻟﹾﺍ ِﺕﺎﻤِﻠﹶﻛ ِﺀﺍﺩﹶﺍِِﺕﹶﺎﻴِﻔﻴﹶﻜِﺑ ﻢﹾﻠِﻋ

ﺎﻣﻭ ﺮﻴِﺴﹾﻔﺘﻟﺍﻭ

ﻚِﻟﹶﺫ ﻪﺒﺷﹶﺍ

.

27

Ilmu yang mengungkapkan cara-cara membaca kalimat-kalimat al-Qur`ân dan perbedaannya dengan periwayatan yang mengecualikan ilmu nahwu, bahasa, tafsir dan lain-lain.

Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu qirâ`ât adalah ilmu yang mengungkapkan tentang cara-cara membaca al-Qur`ân yang dianut oleh para Imam Qurrâ` (pakar qirâ`ât) dan perbedaan-perbedaanya yang semuanya itu melalui jalan periwayatan yang bersumber dari Rasulullah Saw.

B. Sumber Ilmu Qirâ`ât dan Para Periwayatnya

Al-Qur`ân adalah kitab berbahasa Arab. Bahasa Arab sendiri mempunyai logat atau dialek pengucapan, seperti bahasa Jawa memiliki dialek Jawa Timur, Jawa Tengah, Cirebon dan lain-lain, yang masing-masing itu berbeda pengucapannya tetapi maknanya sama. Demikian pula dengan al-Qur`ân, memiliki banyak logat seperti: Quraisy, Hawazin, Tamim, Bani Darim, Hudzail dan lain-lain.28 Karena itu, ketika Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan satu "huruf", maka beliau meminta untuk ditambahkan. Tujuannya adalah memudahkan pembacaan, terutama bagi orang-orang Arab yang memiliki bermacam-macam logat, memberi kelonggaran untuk memilih qirâ`ât yang sesuai dengan lisannya, sebagai rahmat dan keutamaan

27 Muhammad Abû al-Khair al-Jazarî, Munjid al-Muqri`în wa Mursyid al-Thalibîn, (Kairo: Maktabah al-Tijariayah al-Kubra, tth), h. 3.

28

Imam al-Wasîthi, sebagaimana dikutip oleh al-Zarqâni, menyatakan bahwa al-Qur`ân ini mengandung 40 jenis dialek bahasa Arab, antara lain: Quraisy, Hudzail, Kinanah, Khats'am, Khazraj, Asy'ar, Numair, Qais, 'Ailan, Jurhum, al-Yaman, Adzsyamu'ah, Kindah, Tamim, dan lain-lain. Lihat selengkapnya dalam al-Zarqani, Manâhil…, Jilid I, h. 181.

al-Qur`ân untuk umat Nabi Muhammad Saw. baik dalam cara membacanya maupun aspek-aspek lain yang menjadi faidah dari adanya tujuh huruf ini.29 Belakangan diketahui bahwa tujuh huruf ini mengandung makna penafsiran yang memungkinkan untuk pengambilan istinbâth hukum yang berbeda atau saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu dengan tujuh huruf, maka beliau mengajarkannya langsung kepada para sahabat ra. sesuai dengan kemampuan dan lisan mereka. Di antara mereka ada yang mempelajarinya satu huruf saja, ada juga yang mampu dua huruf, dan ada yang lebih dari itu.30 Di antara para sahabat yang terkenal dalam penyebarluasan al-Qur`ân, baik kepada sahabat lain maupun kepada generasi berikutnya adalah 'Usman ibn ’Âffan, Âli ibn Abû Thâlib, Ubay ibn Ka'âb, Zaid ibn Tsâbit, Abdullah ibn Mas'ûd, Abû Dardâ', dan Abû Mûsâ al-Asy'arî.31

Pada masa khalifah 'Usmân, setelah terjadinya pembakuan penulisan mushaf yang dikenal dengan istilah rasm 'Utsmânî, maka khalifah memerintahkan para sahabat qurrâ` itu untuk menjadi maha guru al-Qur`ân di seluruh negeri yang telah dikuasai pemerintahan Islam, terutama daerah-daerah yang dikirimkan mushaf rasm 'Utsmâni. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa khalîfah mengirimkan mushaf itu dengan suatu persyaratan, yakni bagi umat Islam yang belajar membaca al-Qur`ân itu harus dengan cara talaqqî dan musyâfahah (yakni pengajaran langsung oleh seorang

29 Faidah perbedaan qirâ`ât ini antara lain: 1) menunjukkan terjaganya al-Qur`ân dari perubahan dan penyimpangan dengan adanya beberapa versi bacaan. 2) meringankan umat dalam membacanya. 3) kemukjizatan al-Qur`ân dari segi ringkasnya bacaan, tetapi mengandung makna yang berbeda tanpa adanya pengulangan. 4) menerangkan bacaan lain yang mengandung arti umum.

30 Al-Zarqâni, Manâhil…, Jilid I, h. 413.

31

guru kepada murid dengan cara berhadapan) untuk menghindari kesalahpahaman dalam cara membaca. Hal ini karena, sebagaimana telah diketahui bahwa rasm 'Utsmâni disebarkan tanpa adanya tanda baca dan tanpa titik sehingga sangat memungkinkan terjadinya salah baca jika dipelajari tanpa seorang guru.

Demikianlah al-Qur`ân diajarkan dari generasi ke generasi yang lain dengan cara talaqqi dan riwayat, dari orang yang tsiqah kepada orang yang tsiqah lainnya, dan dari imam-imam kepada imam-imam berikutnya dan seterusnya sehingga validitas teksnya benar-benar terjaga.32 Dan satu hal yang menarik bahwa penyebaran mushaf ke berbagai wilayah itu ternyata memiliki keistimewaan tersendiri, yakni para sahabat yang dikirim untuk menjadi maha guru bagi daerah yang ditujunya itu menyesuaikan versi qirâ`ât mushaf yang dibawanya karena ternyata antara satu mushaf dengan mushaf yang lainnya memiliki perbedaan penulisan walaupun tidak terlalu signifikan.33

Pada periode-periode berikutnya muncullah para ahli-ahli qirâ`ât (qurrâ`)

yang banyak tersebar di negeri-negeri Islam, di antara mereka ada yang diakui kepakarannya dalam semua bidang qirâ`ât, baik yang shahih maupun yang syâdz, ada

32

Al-Zarqani, Manâhil..., Jilid I, h. 413.

33

Contoh perbedaan penulisan seperti:

ُﷲﺍ ﹶﺬﺨﺗﺍ ﺍﻮﹸﻟﺎﻭﹶﻗ

(al-Baqarah/ 2: 116) dengan menghilangkan huruf waw, menjadi

ُﷲﺍ ﹶﺬﺨﺗﺍ ﺍﻮ ﹶﻗﹸﻟﺎ

dan kalimat

ِﺏﺎِﻜﺘﹾﻟﺍﻭ ﺑِﺮﺰﻟﺎِﺑ

(Ali Imran/ 3: 184) dengan menetapkan huruf ba, menjadi

ِﺏﺎِﻜﺘ ِﺑﹾﻟﺎﻭ ﺑِﺮﺰﻟﺎِﺑ.

Ini terdapat dalam mushaf untuk wilayah Syam, dan firman Allah:

ﺭﺎﻬﹶﺎﻧﹾﻟﺍ ﺎ ﺘﻬﺤ ﺗ ﻯِﺮﺠﺗ

(Taubah/ 9: 100) dengan menetapkan lafadz min, menjadi

ﺭﺎﻬﹶﺎﻧﹾﻟﺍﺎ ﺘﻬﺤﺗﻦِﻤْىِﺮﺠﺗ

terdapat pada mushaf untuk wilayah Makkah dan sebagainya. Lihat: Al-Suyuthi, al-Itqân..., Jilid I, h. 212.

pula ulama yang hanya membidangi satu qirâ`ât, dan ada pula yang hanya dua

qirâ`ât sehingga ketika itu lebih banyak terjadi perbedaan daripada kesamaan.34

Dalam masa-masa itu para ulama menetapkan tokoh utama sebagai panutan kaum Muslimin dalam pembacaan al-Qur`ân (qirâ`ât) supaya dengan mudah dapat dibedakan antara riwayat yang shahih dan yang syâdz. Di antara mereka juga ada yang berusaha mengkodifikasi segala jenis qirâ`ât, menerangkan wajah dan riwayatnya, menjelaskan shahih dan syâdz-nya, memerinci qirâ`ât yang diriwayatkan oleh para qurrâ`, baik yang mutawâtir maupun ahâd (perorangan) dan lain-lain.

Ibn Mujâhid dianggap orang yang pertama kali mencetuskan gagasan tentang kemutawâtiran riwayat dan sanad dari tujuh orang qurrâ`. Beliau memilih hal ini dengan alasan persyaratan yang amat ketat. Persyaratan itu antara lain:

1. Periwayatannya dari orang yang masyhur tentang kecerdasan, keadilan, dan kepercayaannya.

2. Umurnya dihabiskan untuk menekuni bidang qirâ`ât yang ditekuninya.

3. Kesepakatan dari ulama qurrâ` atas kebolehan mengambil periwayatan dari mereka.35

Setelah beliau meneliti semua qirâ`ât yang beredar ketika itu ternyata hal itu hanya dimiliki oleh Tujuh pakar qirâ`ât, mereka itu ialah:

34 Al-Zarqani, Manâhil …, Jilid I, h. 144.

35

1. Abû Ruwaim Nâfi' ibn 'Abd al-Rahmân ibn Abû Nu'aim al-Madanî (w. 169). Perawinya adalah Qâlûn yang nama aslinya Abû Mûsâ 'Isâ ibn Minâ an-Nahwî (w. 220) dan Warasy yang nama aslinya 'Utsmân ibn Sa'id al-Mishrî (w. 155).

2. Abû Muhammad 'Abdullah ibn Katsîr al-Darî yang terkenal dengan sebutan Ibn Katsîr (w. 120). Perawinya adalah Qunbul yang nama aslinya Muhammad ibn 'Abd al-Rahmân ibn Khâlid al-Makhzûmi al-Makkî (w. 291 H) dan al-Bazzî yang nama aslinya Abû al-Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah (w. 250)

3. Abû 'Amr yang nama lengkapnya adalah Abû 'Amr Zabbân ibn al-A'la 'Ammar al-Bashrî (w. 154). Perawinya adalah al-Dûrî yang nama aslinya, Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Muqri (w. 246) dan al-Sûsî yang nama aslinya Abû Syu'aib Shaleh ibn Ziyâd (w. 261 H)

4. Abdullah ibn 'Âmir al-Yashhûbi yang terkenal dengan sebutan Ibn 'Âmir (w. 118). Perawinya adalah Hisyâm ibn 'Ammar al-Sulami al-Dimsyaqî (w. 245) dan Ibn Dzakwân yang nama lengkapnya Abû Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Basyâr ibn Dzakwan al-Qurasyi al-Fihri (w. 242 H)

5. Abû Bakar 'Âshim ibn Abû al-Nujûd al-Asady, dikenal dengan panggilan nama aslinya, 'Âshim (w. 127) perawinya adalah Abû Bakar Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Sâlim Asadî (w. 193) dan Hafsh ibn Sulaimân ibn al-Mughirah al-Bazzâr, beliau adalah anak tiri 'Âshim sendiri sehingga

kealimannya tidak diragukan lagi karena memang senantiasa dalam asuhan ayah tirinya itu. (w. 180). Kedua perawi 'Âshim ini meriwayatkan darinya tanpa perantara.

6. Hamzah, dia adalah Abû 'Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufy (w. 156) perawinya adalah Khalaf, yakni Abu Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn Thâlib ibn al-Bazzâr (w. 229) dan Khallâd yang nama lengkapnya ialah Abû Îsa Khallâd ibn Khâlid al-Ahwal al-Shairafi (w. 220).

7. Al-Kisâ'i, nama lengkapnya ialah Abû al-Hasan 'Alî ibn Hamzah al-Kisâ'î an-Nahwî (w. 189) perawinya adalah ad-Dûri, nama lengkapnya ialah Abû 'Umar Hafsh ibn 'Umar al-Dûrî dan Abû al-Hârits, yakni al-Laits ibn Khâlid al-Marwazî (w. 240).36

Penyeleksian yang dilakukan oleh Ibn Mujâhid itu tidak serta merta disepakati oleh ulama semasanya, meskipun keputusan ini dilakukan oleh pengadilan setempat. Pada tahun 934 M seorang ulama bernama Ibn Miqsam dipaksa untuk menarik pandangannya yang menyatakan bahwa seseorang berhak untuk memilih bacaan apa saja asalkan sesuai dengan tata bahasa dan cukup masuk akal. Keputusan ini penting untuk menegaskan hanya tujuh bacaan saja yang dianggap absah. Pada bulan April 935 M (4 bulan sebelum wafatnya Ibn Mujâhid), seorang ulama lain, Ibn Syanbûdzi, juga dikutuk dan dipaksa kembali menarik pernyataannya bahwa memakai bacaan Ibn Mas'ûd dan Ubay bin Ka'ab (yang syâdz) diperkenankan.37

36

Al-Suyuthi, Al-Itqân…, Jilid 1, h. 206.

37 W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur`ân, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), h. 42.

Pandangan Ibn Mujâhid juga dikritik oleh Ibn al-Jazarî yang menyatakan bahwa ke-mutawâtir-an suatu qirâ`ât tidak terbatas pada tujuh imam itu saja, melainkan ditambahkan dengan tiga orang imam lainnya yang juga memenuhi syarat

mutawâtir. Pandangan beliau ini didasarkan atas persyaratan yang dipeganginya bahwasanya qirâ`ât itu dapat diterima jika:

1. Qirâ`ât tersebut sesuai dengan salah satu mushaf 'Utsmâni, meskipun hanya secara perkiraan.

2. Qirâ`ât itu cocok dengan ketentuan kaidah bahasa Arab meski hanya dari satu aspek.

3. Sanadnya mutawâtir.38

Bahkan Ibn al-Jazarî seakan-akan masih memberi "kelonggaran", bukan hanya qirâ`ât sepuluh saja yang diterima, melainkan qirâ`ât lain pun seandainya ada yang memenuhi syarat di atas, statusnya dapat dikategorikan sebagai qirâ`âtshahih

dan termasuk tujuh huruf. Namun di masa sekarang, kemungkinan ini kecil. Kalau di masa awal Islam, hal ini sangat mungkin terjadi.39

Adapun nama-nama tiga orang imam qirâ`ât yang melengkapi sepuluh qirâ`ât

ialah sebagai berikut:

38

Muhammad ibn al-Jazarî, Taqrîb an-Nasyr fî al-Qirâ`ât al-'Asyr, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1992), h. 25

39

1. Abû Ja'far Yazid ibn al-Qa'qa' al-Qaraj (w. 130). Perawinya Abû Mûsâ Îsâ ibn Wardân dan Abû Rabi' Sulaimân ibn Muslim ibn Jammâz.

2. Abû Muhammad Ya'qûb ibn Ishâq al-Hadlrami (w. 205). Perawinya Rauh bin 'Abd al-Mu`min dan Muhammad ibn al-Mutawakkil al-Lulu'i (biasa disebut Ruwais).

3. Abû Muhammad Khalaf ibn Hisyâm ibn Tsa'lab (w. 229). Beliau juga salah seorang perawi Hamzah. Perawinya Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Ishâq ibn Ibrâhîm ibn 'Usmân ibn 'Abdullah al-Marwazi dan Abu al-Hasan Idris ibn 'Abd al- Karîm al-Haddâd al-Baghdadi.

Di samping sepuluh Qurrâ` di atas, ada empat Qurrâ` lainnya yang terkenal

qirâ`ât-nya, tetapi masih diperselisihkan ke-mutawâtir-annya. Ada yang mengatakan

qirâ`ât ini shahih dan ada yang mengatakan syâdz. Namun yang jelas, menurut al-Zarqâni, yang benar adalah pendapat yang dikemukakan Ibn al-Jazarî bahwa yang

qirâ`ât yang mutawâtir itu hanya ada pada qirâ`ât sepuluh. Sementara empat qurrâ`

lainnya, menurut al-Zarqânî, jika qirâ`ât itu memang shahih sanad-nya, cocok dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan rasm 'Utsmâni, maka dapat diterima sebagaimana al-Qur`ân diturunkan dalam tujuh huruf, meskipun dari qirâ`ât empat ini.40

Para imam empat ini tidak memiliki periwayat yang terkenal yang berbeda dengan bacaannya itu. Karena itu, biasan

40

ya mereka disebutkan tanpa periwayat. Mereka inilah yang melengkapi sepuluh

qirâ`ât lainnya sehingga biasa diistilahkan dengan qurrâ` empat belas. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:

1. Sayyid Imam Hasan ibn Abâ Hasan Yasâr Abû Sa'id al-Bashrî, yang terkenal dengan nama Hasan al-Bashri (w. 110 H)

2. Ibn al-Muhaishin, beliau adalah Muhammad ibn Abdu al- Rahman al-Sahmi al-Makkî. Seorang Qurrâ` bagi penduduk Makkah selain Ibn Katsîr (w. 123 H).

3. Yahyâ Yazîdî, beliau adalah Yahyâ ibn Mubârak ibn Mughîrah al-Imam Abû Muhammad al-'Adawi al-Bashri, biasa disebut dengan al-Yazîdî (w. 202)

4. Al-Syanbûdzî, beliau adalah Muhammad ibn Ahmad ibn Yusuf ibn al-''Abbâs ibn Maimun Abû Faraj al-Syanbûdzî al-Syathawi al-Baghdâdi (w. 388).

Di samping empat belas imam ahli qirâ`ât di atas sebenarnya masih banyak lagi versi qirâ`ât, terutama pada masa periode sahabat dan tabi'in. Namun dengan kegigihan para ulama salaf dalam menyeleksi versi qirâ`ât tersebut dengan menyingkirkan qirâ`ât yang syâdz atau bahkan maudlû', maka yang ada saat ini hanyalah qirâ`ât empat belas yang masih dapat diketahui secara lengkap. Sementara

qirâ`ât yang lain tidak disusun secara sempurna dan hanya ada dalam kitab-kitab yang tersebar, terutama yang menerangkan secara khusus tentang qirâ`ât syâdz, seperti: al-Muhtasib karya Ibn al-Jinni dan sebagainya.

Namun demikian, qirâ`ât syâdz ini tidak serta merta kita nafikan begitu saja keberadaannya dalam penafsiran. Selama sanadnya shahih dan dapat dipertanggungjawabkan, ia dapat digunakan sebagai penafsiran al-Qur`ân. Qirâ`ât

Ibn Mas'ûd, Ibn 'Abbâs, Ubay bin Ka'ab dan sebagainya, yang dinyatakan syâdz pada masa-masa awal justru sering dijadikan rujukan oleh Mufassir dalam menafsirkan al-Qur`ân.

Dokumen terkait