• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II – LANDASAN TEORITIS

C. REMARRIAGE

C.2. Alasan Melakukan Remarriage

Orang melakukan remarriage kebanyakan untuk cinta, practical matters seperti keamanan finansial, bantuan membesarkan anak, keluar dari kesepian dan penerimaan sosial (Berk, 2007).

Berikut ini adalah beberapa alasan yang menyebabkan seorang individu memutuskan untuk melakukan remarriage (dalam Dariyo, 2004). Alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan cinta dan persahabatan.

Ada beberapa pernikahan kembali dikatakan menikah bukan untuk cinta, tetapi lebih untuk alasan finansial, untuk membantu membesarkan anak dan untuk mengurangi kesepian yang dirasakan seseorang (Santrock, 2009).

2. Pemenuhan kebutuhan biologis.

Dari segi pemenuhan faktor biologis, menikah lagi dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara sah dengan pasangan hidup yang baru tanpa melanggar norma sosial, apalagi untuk individu yang masih berada dalam usia reproduktif

3. Faktor kebutuhan ekonomi/keuangan.

Seseorang juga memilih untuk menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi untuk diri sendiri maupun untuk anak-anaknya.

4. Etika, moral, dan norma sosial.

5. Faktor pemeliharaan atau pendidikan anak .

Selain itu, bagi individu yang memiliki anak dari pernikahan sebelumnya akan mendapatkan bantuan dalam mengurus, memelihara ataupun mendidik anak-anaknya dengan menikah lagi

6. Untuk memperoleh status sosial.

D. WANITA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) D.1. Definisi ODHA

ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV/AIDS, dalam hal ini orang yang di dalam tubuhnya terdapat HIV (orang terinfeksi), setelah dilakukan pemeriksaan darahnya baik dengan test Elisa maupun Western Blot(Mudjahid,2000). ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang yang telah terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala AIDS. Rentang waktu dari seseorang

terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa sangat bervariasi antara delapan sampai sepuluh tahun, yang disebut sebaga masa inkubasi, yang dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut sebagai window period (Klatt, 2006).ODHA adalah singkatan orang dengan HIV/AIDS, yaitu setiap orang yang di dalam tubuhnya telah beredar virus HIV, yang diketahui dengan pemeriksaan antibodi dalam darahnya(Zein, 2006).

Melihat definisi yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa ODHA adalah singkatan atau istilah yang dipakai bagi orang – orang yang terinfeksi HIV yang diketahui melalui pemeriksaan darahnya.

D.2. Penyakit HIV/AIDS

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dinyatakan oleh Blalock & Campos (2003), merupakan penyakit yang disebabkan kuman virus menyebar oleh darah yang terinfeksi, cairan sperma, atau sekresi cairan vagina; penyakit ini menghancurkan sistem imun normal tubuh. AIDS disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang memiliki potensi untuk menghancurkan bagian dari sistem imun. HIV menyerbu sel darah putih dan memproduksidirinya sendiri. HIV kemudian menghancurkan sel darah putih, sel yang mengatur kemampuan sistem imun untuk melawan penyakit infeksi (dalam Matlin, 2008).

Di dalam tubuh kita terdapat sel darah putih yang disebut sel CD4.Fungsinya seperti sakelar yang menghidupkan dan memadamkan kegiatan sistem kekebalan tubuh, tergantung ada tidaknya kuman yang harus dilawan.HIV

yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, „membajak‟ sel tersebut, dan kemudian

menjadikannya „pabrik‟ yang membuat miliaran tiruan virus. Ketika proses

tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati.Jika sel-sel ini hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi tubuh kita dari serangan penyakit. Keadaan ini membuat kita mudah terserang berbagai penyakit (dalam Spiritia, 2009)

Siapapun yang terlibat dalam perilaku seksual beresiko dengan orang terinfeksi dapat mengidap AIDS. Berdasarkan survey, orang-orang percaya bahwa mereka dapat menilai teman seksual yang terlihat terinfeksi HIV. Sayangnya, bagaimanapun, mustahil untuk memberitahu apakah seseorang itu terinfeksi hanya dengan melihat saja (dalam Matlin, 2008).

Individu-individu yang menderita HIV positif tidak mengalami simptom-simptom pada awalnya, bahkan beberapa orang tidak mengalami gejala-gejala infeksi hingga sepuluh tahun. Simptom-simptom yang selanjutnya akan berkembang, yakni kelenjar getah bening yang bengkak, kelelahan, rashes, demam yang tidak jelas, kehilangan berat badan, dan diare (L.L. Alexander et al., 2004; Kalichman, 2003). Pria dan wanita mengalami gejala-gejala tersebut jika menderita HIV positif (dalam Matlin, 2008).

Individu yang menderita HIV positif, meskipun pada tahap awal, sangatlah bersifat menular. Infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih. Diagnosa AIDS akan dibuat ketika tingkat

imunitas seseorang menurun hingga batas tertentu. HIV juga dapat merusak sistem saraf pusat yang dimana akan menimbulkan gangguan psikologis, seperti kehilangan memori, masalah kognitif, dan depresi. Drug therapies telah dikembangkan untuk memperpanjang hidup individu yang menderita HIV positif (dalam Matlin, 2008)

D.3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS

HIV sepenuhnya adalah penyakit yang dapat dicegah. Cara pencegahannya secara langsung berkaitan dengan cara penularannya (dalam Gallant, 2010). Cara penularan yang pertama adalah penularan seksual. Tidak ada yang lebih aman dari tidak berhubungan seksual, tapi tidak semua orang dapat menerimanya. Alternatif yang terbaik adalah dengan membatasi jumlah pasangan seksual, melakukan aktivitas seksual kecuali di lubang anus atau vagina, menggunakan “pengaman”, serta tidak memasukkan air mani, cairan pra-semina, maupun cairan vagina ke dalam mulut atau mata. Alat konrasepsi dapat membantu membatasi penyebaran AIDS (dalam Matlin, 2008). Namun, survey menunjukkan kurang dari 40% wanita menyatakan bahwa mereka menggunakan alat kontrasepsi selama melakukan hubungan seksual. Suatu masalah yang penting dalam penggunaan alat kontrasepsi adalah bahwa pria merupakan pihak yang sering mengontrol keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi atau tidak. Pria dan wanita dalam hubungan seksual kebanyakan tidak mendapatkan power yang setara. Akibatnya,

wanita merasa tidak aman untuk memaksa pasangan mereka menggunakan “pengaman”.

Pada kenyataannya, penggunaan alat kontrasepsi secara teratur tidak menjamin proteksi terhadap AIDS karena “pengaman” dapat rusak. Seks yang sempurna aman tidaklah tersedia, hanya seks yang lebih aman yang tersedia. Maka, alat kontrasepsi pastilah lebih baik daripada tidak ada proteksi sama sekali (dalam Matlin, 2008).

Cara pencegahan yang kedua menurut Gallant (2010) adalah melakukan pencegahan penularan dari pengguna narkoba adalah dengan mencari pengobatan dan berhenti menggunakan narkotika tersebut. Tetapi bila pemakaian tersebut tidak dihentikan, jangan menggunakan jarum suntik yang sama dengan orang lain. Bila penggunaan jarum suntik bersama – sama tersebut tidak dapat dihindari, pastikan untuk membersihkan jarum suntik tersebut. Cara yang terakhir adalah mencegah lewat penularan kepada bayi.Semua perempuan hamil lebih baik mengikuti tes untuk infeksi HIV.Pengobatan selama kehamilan hampir 100% efektif untuk mencegah penularan kepada bayi.Perempuan yang positif tidak dianjurkan untuk menyusui bayinya (Gallant, 2010).

D.4. Wanita dengan HIV/AIDS

Wanita lebih mudah diserang oleh penyakit menular seksual daripada pria. Perkiraan saat ini, wanita yang melakukan hubungan seksual tanpa alat “pengaman” dengan pria terinfeksi HIV adalah sekitar 2/8 lebih mungkin tertular

HIV.Mayoritas wanita terinfeksi HIV karena mereka menggunakan narkoba atau karena mereka berhubungan seksual dengan pria yang terinfeksi HIV. Observasi penting yang dilakukan adalah penularan HIV melalui hubungan heteroseksual, yaitu hubungan antara laki – laki dan perempuan, ditemukan lebih banyak terjadi pada wanita yang ditularkan oleh pria daripada pria yang ditularkan oleh wanita (dalam Matlin, 2008).

Estimasi terbaru memperlihatkan bahwa wanita yang tidak terproteksi saat sexual intercourse dengan laki – laki yang terinfeksi HIV, 2 sampai 8 kali lebih beresiko tertular daripada saat seorang laki – laki melakukan sexual intercourse dengan wanita yang terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena konsentrasi HIV lebih tinggi pada cairan sperma daripada cairan vagina (dalam Matlin, 2008)

Individu yang menderita HIV positif cenderung untuk mengalami depresi, kecemasan, kemarahan, dan ketakutan. Beberapa wanita mengalami perspektif hidup yang baru yang lebih penuh harapan. Orang-orang yang menderita AIDS sering menyatakan bahwa mereka terperangah dengan reaksi yang tidak sensitif dari orang lain bahkan anggota keluarga sendiri. Beberapa orang lainnya merasa terkejut dengan pesan-pesan yang penuh dengan dukungan. (dalam Matlin, 2008)

Menurut Herbert & Bachnas (2002) wanita yang menderita HIV positif juga memiliki kemungkinan untuk mengalami infeksi vagina dan kanker serviks. Komunitas medis yang cenderung beroperasi atas norma pria, kedua simptom tersebut tidak tercantum dalam daftar diagnostik gejala-gejala AIDS. Akibatnya,

wanita sering menerima diagnosa yang salah dan tidak menerima treatment lebih awal (dalam Matlin, 2008).

E. PENGAMBILAN KEPUTUSAN REMARRIAGE PADA WANITA

ODHA

Menurut Janis& Mann (1977) pengambilan keputusan merupakan pemecahan konflik dan perilaku menghindarberdasarkanpada faktor situasional. Definisi pengambilan keputusan oleh Janis and Mann (1977) tersebut merupakan model deskriptif dari proses pengambilan keputusan, dimana mereka mengedepankan ide bahwa kebutuhan untuk membuat suatu keputusan melibatkan konflik dari keadaan stress (de Heredia, 2004). Pengambilan keputusan tersebut, menurut Janis dan Mann (1977) memiliki lima tahapan yaitu: Menilai masalah, menilai alternatif – alternatif yang ada, menimbang alternatif, membuat komitmen, dan tetap melakukan komitmen walau ada umpan balik yang negatif.

Seorang individu harus melakukan pengambilan keputusan pada setiap isu – isu didalam kehidupannya.Salah satu contoh keputusan yang harus diambil adalah Pengambilan keputusan untuk menikah kembali. Pengambilan keputusan untuk menikah kembali ini bukan hanya didasarkan pada keuntungan yang didapat dari pernikahan, seperti memiliki gaya hidup yang lebih sehat; hidup lebih lama; kepuasan relasi seksual yang lebih baik; lebih sejahtera secara ekonomi; anak – anak pada umunya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua lengkap, tetapi

juga konflik serta konsekuensi apa yang dapat ditimbulkan dari keputusan tersebut(dalam Lestari, 2012). Janis dan Mann (1977), menyatakan bahwa pada umumnya individu akan menghadapi konflik dalam mengambil suatu keputusan yang sangat penting. Munculnya konflik membuat pengambil keputusan akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menghadapi risiko yang akan muncul. Konflik-konflik tersebut juga akan mempengaruhi individu untuk menerima atau menolak tindakan yang harus dilakukan sesuai keputusan yang dibuat.

Orang melakukan remarriage kebanyakan untuk cinta, practical matters seperti keamanan finansial, bantuan membesarkan anak, keluar dari kesepian dan penerimaan sosial, lebih ditemukan di pernikahan kedua daripada pertama (Berk, 2007). Berikut ini adalah beberapa alasan yang menyebabkan seorang individu memutuskan untuk melakukan remarriage, yaitu: Mendapatkan cinta dan persahabatan; pemenuhan kebutuhan biologis; faktor kebutuhan ekonomi/keuangan; etika, moral, dan norma sosial; faktor pemeliharaan atau pendidikan anak; serta untuk memperoleh status sosial (dalam Dariyo, 2004).Alasan tersebut juga dimiliki oleh wanita dengan HIV/AIDS tetapi mereka memiliki beberapa perbedaan dalam pengambilan keputusan untuk menikah karena resiko – resiko dari penyakitnya yang dapat ditimbulkan dari pernikahannya seperti yang telah dijabarkan diatas. Hal inilah yang menjadi konflik bagi seseorang wanita ODHA dalam mempertimbangkan pernikahannya,

sehingga wanita ODHA akan lebih berhati – hati saat akanmengambil keputusan melakukanremarriagetersebut.

Wanita dikatakan lebih mudah terserang HIV/AIDS daripada pria. Perkiraan saat ini, wanita yang melakukan hubungan seksual tanpa alat “pengaman” dengan pria terinfeksi HIV adalah sekitar 2/8 lebih mungkin tertular HIV. Individu yang menderita HIV positif cenderung untuk mengalami depresi, kecemasan, kemarahan, dan ketakutan (dalam Matlin, 2008). Untuk pasangan kekasih dan menikah yang mengidap HIV/AIDS, pasti akan ada keputusan yang sulit untuk diambil yaitu apakah pasangan perlu di tes, seks seperti apa yang aman dilakukan, dan sebagainya. Untuk wanita khususnya, akan ada ketakutan kemungkinan menularkan pada bayi mereka bila mereka hamil. Beberapa wanita memutuskan punya anak, dan beberapa lainnya memutuskan untuk tidak punya anak, tapi keputusan manapun yang akan diambil akan menimbulkan kehilangan yang besar(Aggleton, Kim, Ian, 1994).

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa wanita ODHA memiliki pertimbangan serta konsekuensi yang berbeda dengan wanita pada umumnya, yang harus dipikirkan sebelum memutuskan remarriage. Seperti yang dijabarkan diatas, wanita ODHA mungkin akan mengalami ketakutan akan resiko menularkan pada bayi mereka, harus memikirkan bagaimana seks yang aman dilakukan, serta harus memikirkan kemungkinan penularan terhadap suami mereka dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan keputusan untuk menikah kembali adalah keputusan yang penting bagi seorang wanita ODHA. Karena

alasan – alasan tersebut menjadikan wanita ODHA harus melewati tahapan – tahapan pengambilan keputusan yang lebih kompleks dan unik dibandingkan tahapan yang dilewati oleh seseorang normal yang akan memutuskan untuk menikah kembali.

Dokumen terkait