• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA

B. Alasan, Tata Cara dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan yakni sebagai berikut: a. Karena adanya balak (penyakit belang kulit).

b. Karena gila.

c. Karena penyakit kusta.

d. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, dan lain-lain.

e. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).

f. Karena unnah, yakni impoten.

Disamping itu pembatalan juga dapat terjadi karena,

8

Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Amrico, 1984), h. 80

a. Nikah Syigar, misalnya seorang ayah berkata kepada seorang laki-laki:

“Aku nikahkan anak gadisku dengan engkau, dan sebagaimana maharnya

engkau nikahkan pula putrimu dengan aku”.

b. Nikah Mut’ah (nikah kontrak).

c. Nikah Muhrim (dalam keadaan muhrim).

d. Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali yang berjauhan tempat. Jika diketahui mana yang lebih dahulu, maka akad yang terdahulu yang dianggap sah. Dan bilamana tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka kedua akad nikah itu dianggap batal.

e. Nikah wanita yang sedang beriddah.

f. Nikah laki-laki muslim dengan wanita non muslim, yang beragama Majusi, Yahudi ataupun Nasrani (yang tidak asli sebagai ahlu kitab). g. Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, karena wanita

muslimah tidak dihalalkan menikah dengan non muslim. 9

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan diatur dalam BAB IV Pasal 22 sampai dengan 28 , dalam bab ini dijelaskan alasan-alasan perkawinan, dan para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari pembatalan perkawinan.

9

Adapun pada Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan diatur dalam BAB XI Pasal 70 sampai dengan 76, materi rumusannya hampir sama dengan materi yang dirumuskan dalam BAB IV Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Alasan pembatalan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 22 adalah:

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Demikian pula dalam pasal 24 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan dapat diajukan dengan ketentuan,

“Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini”.

Dalam pasal 26 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan tentang pembatalan perkawinan karena wali atau saksi yang tidak sah, yakni:

1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai

suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Dalam pasal 27 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pembatalan perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya, yakni:

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

3. Apabila ancaman telah berjenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 70 perkawinan batal apabila, a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i;

b. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;

c. Seseorang telah menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut

dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974:

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya;

Dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila,

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;

Dalam pasal 72 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pembatalan perkawinan karena adanya unsur ancaman didalamnya, yakni:

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

2. Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Mengenai tata cara pengajuan pembatalan perkawinan, yakni pada dasarnya pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama halnya dengan pengajuan perceraian pada umumnya,10 hal ini terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 TAhun 1974 tentang Perkawinan Adalah sebagai berikut:

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (PP No. 9/1975 Pasal 37). Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (PP. No. 9/1975 Pasal 38

10

(1) ). Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (PP. No. 9/1975 Pasal 38 (2) ).

Dalam pasal 23 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yakni:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. b. Suami atau istri.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belumdiputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan

setiap orang mempunyai kepentingan secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Dalam pasal 25 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan tatacara pembatalan perkawinan, yakni:

“Permohonan pembatalam perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri”.

Dalam pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan pembatalan perkawinan adalah:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri.

b. Suami atau istri.

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Dalam pasal 74 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan tentang tatacara pembatalan perkawinan, yakni:

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Hanya pengadilan yang berwenang membatalkan perkawinan

Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagian Ke-Enam, Pasal 85, yakni Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim.11

b. Pemohon atau kuasa hukum mendatangi Pengadilan Agama (UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), Kemudian semua gugatan/permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugat/pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan

11

R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2004), h. 21

Agama.12 Sebagimana tertulis dalam HIR pasal 118 ayat 1 dan pasal 142 ayat 1 R.B.g.

c. Gugatan pembatalan perkawinan harus memuat, identitas para pihak yang berperkara, posita (alasan yang berdasarkan fakta dan hukum) dan petitum(tuntutan yang diminta oleh penggugat/pemohon).

d. Penetapan Majlis Hakim e. Pemanggilan f. Pemerikasaan g. Upaya damai h. Pembuktian i. Putusan hakim j. Biaya perkara

k. Berlakunya putusan hakim, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan pasal 28 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Ada beberapa hal yang membuat pernikahan menjadi batal,. pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Talak itu ada

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 40

dua, raj’i dan bain. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan bain mengakhiri ikatan seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat atau rukun yang tidak terpenuhi, maka berakhir perkawinan tersebut seketika itu. Pisahnya suami dengan istri karena Fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, dansuami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.13

Sementara iddah bagi pembatalan perkawinan secara umum tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan masalah iddah, golongan Zhahiri tidak mewajibkan iddah bagi perempuan yang dicerai

karena perkawinan fasid (fasakh) meskipun sudah terjadi hubungan (ba’da

dukhul) karena tidak ada dalilnya didalam al-Qur’an ataupun sunnah.14 Sementara ada yang menyatakan istri yang dicerai dengan keputusan fasakh oleh pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang apabila menghendaki membina rumah tangga kembali sesudah habis masa iddah.15 Menurut Muhammad Satho Dimyati iddah diwajibkan karena dicerai oleh

13

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 314 14

Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009), h. 82

15

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995),c.I, h. 143

suami (yang pernah digauli qubul atau dubur) baik dengan cara talak atau memfasakhkan nikah.16

Dan demikian pula dalam kitab karangan Imam al-A’zam Abi

Hanifah An-Ni’man menjelaskan bahwa iddah merupakan bagian dari perkawinan yang mengharuskan kepada setiap perempuan untuk menjalani

masa iddah baik perceraian karena talak ataupun fasakh (ba’da dukhul). 17

Dan dalam pasal 155 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan,

“Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,

fasakh dan li’an berlaku iddah talak”.

Adapun masa tunggunya adalah sebagai berikut.18

a. Iddah untuk perempuan yang cerai mati, masanya adalah 4 bulan 10 hari. b. Iddah untuk perempuan yang cerai hidup, masanya adalah 3 quru (suci),

menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Akhwal al-Syaksiyah menjelaskan bahwa iddah bagi perempuan yang fasakh perkawinannya yakni

selayaknya iddah talak (tiga kali haid) dengan ketentuan ba’da dukhul.19

c. Iddah untuk perempuan yang belum baligh atau menopose, masanya 3

bulan.

16 Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho Dimyati, I’antul Tholibin, (Darul Ibnu Ubud: 1997), cet. I, J. IV, h. 46

17

Imam al-A’zam Abi Hanifah an-Ni’man, al-Ahkam as-Syar’iyyah, (Maktabah wa Mutbi’ah Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965), h .49

18

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), h.171-172

19

d. Iddah untuk perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil, masanya sampai melahirkan.

Dalam pasal 28 Undang-undang Perkawinan No.1 1974 tentang Perkawinan menerangkan:

a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

b. Keputuan tidak berlaku surut terhadap:

- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

- Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali

terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terlebih dahulu.

- Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum

keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. Pihak ketiga sapanjang mereka memperoleh hak-hak denga beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

Demikian pula dalam pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menerangkan, Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Dokumen terkait