• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA

B. Saran-saran

1. Perlu disosialisasikan melalui pidato, khutbah jum’at dan ceramah Agama,

mengenai betapa pentingnya menjaga ikatan perkawinan, sehingga tidak terjadi perceraian dan sebaiknya orang tua tidak selalu memaksakan kehendak

terhapad anaknya, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, alangkah baiknya orang tua itu mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya.

2. Bagi Pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, baik itu berupa syarat, rukun atau persetujuan para pihak. Sehingga adanya peningkatan wawasan terhadap masyarat tentang hukum Islam, sehingga masyarakat lebih terarah sehingga tidak perlu terjadi lagi fenomena pembatalan perkawinan.

3. Di dalam materi Pembatalan perlu dikaji lebih luas lagi kepada mahasiswi dengan cara diskusi perkuliahan di dalam kelas.

69

A. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah penulis berikan tentang pembahasan skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Mengenai pertimbangan dan dasar hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa, yakni sangat sesuai dengan hukum berlaku, baik itu Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan melihat bukti-bukti, mendengar keterangan kedua belah pihak dan Putusan disertai dengan alasan-alasan hukum. Hakim juga menggunakan Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 huruf (f) yang menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”, dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 27 ayat 1 yakni “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.

B. Saran-Saran

1. Perlu disosialisasikan melalui pidato, khutbah jum’at dan ceramah Agama,

mengenai betapa pentingnya menjaga ikatan perkawinan, sehingga tidak terjadi perceraian dan sebaiknya orang tua tidak selalu memaksakan kehendak

terhapad anaknya, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, alangkah baiknya orang tua itu mendukung apa yang menjadi pilihan anaknya.

2. Bagi Pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, baik itu berupa syarat, rukun atau persetujuan para pihak. Sehingga adanya peningkatan wawasan terhadap masyarat tentang hukum Islam, sehingga masyarakat lebih terarah sehingga tidak perlu terjadi lagi fenomena pembatalan perkawinan.

3. Di dalam materi Pembatalan perlu dikaji lebih luas lagi kepada mahasiswi dengan cara diskusi perkuliahan di dalam kelas.

71 Al-Qur’an al-Karim

Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antara Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006.

al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah. Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr,1994.

al-Abyani, Muhammad Zaid. al- Ahkam as-Syakhsiyat, Beirut: Baghdad. J. I.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo,

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999

at-Tamimi, Abdullah bin Abdurohman bin Fadli Bahrom bin Abdu Somad. Sunan Darimi, Darul Fikri, tt, Juz. II.

ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

an-Ni’man, Imam al-A’zam Abi Hanifah. al-Ahkam as-Syar’iyyah, Maktabah wa

Mutbi’ah Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965.

Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, Cet. 1.

ash-Shabbag, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993.

al-Ghazali, Imam. Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.

al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004.

al-Hadad, Al-Thahir. Wanita-wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, cet. 4.

Anas, Malik Ibnu. al-Muatho, Magrib: Darul Ifaqil Jadidah, tt.

Bago, Musthofa Dzaibul. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, Yamamah, 1999

Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah. Fatwa-fatwa Terkini, Jakarta: Daruk Haq, 2003.

Djalil, Ahmad Basiq. Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007, cet-1.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Yayasan Penerjemah al-Qur’an, 1

993.

Dimyati, Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho. I’antul

Tholibin, Darul Ibnu Ubud: 1997, cet. I, J. IV.

Fachruddin, Fuad M. Filsafat dan Hukum Syariat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981. J. I.

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989

Faridl, Miftah. Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet.1.

Googde, William J. Sosiologi Keluarga, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985. Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Bogor: Kencana 2003.

Huda, Miftahul. Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009.

Hasabillah, Ali. al-Furqan Baina Zaujaini, Kairo: Darul Fikri, 1969, cet.1

Hasan, Muhammad Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2003.

Husain, Imam Takiyuddin bin Abu Bakar bin M. Kifayatul Akhyar, Darul Fikri, tt , juz I-VI.

Ikhwan, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Logos, 2004.

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,c.I. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008

Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama 1996

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana 2008

Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999

Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006.

Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1993. Rahman, Abdur. Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1992. Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004. Safuri, Rafy. Psikologi Islam (Tuntutan Jiwa Manusia Modern), Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2009

Shomad, Muhiyuddin Abdush. Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan, dan Keluarga, Jakarta: Rahima, 2008

Saleh, K. Wantjik . Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indo, 1978. Sosroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang 1981. Soekanto, Soerjono. pengantar penelitian hukum, Jakarta: Universitas Indonesia

1986.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: eLSAS, 2008.

Shomad, Abdul. Hukum Islam (Panorama Prinsip Syari’ah Dalam Hukum

Indonesia), Jakarta: Kencana 2020

Saukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nailul Authar, Darul Fikri, 1655, juz.V Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr,1983, cet-4, juz II.

Subekti, R. dan R. Tjirosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2004.

Sitompul, Anwar. Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, Bandung: CV. Amrico, 1984.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008.

Taimiyah, Syaikh Islam Ahmad. Majmu Fatawa Nikah wa Ahkamihi, Kairo: al-Dar al-Masriah al-Lubnaniah, 1992.

Tihami, dan Sohari Sahrani. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, Undang-Undang N0.1 Tahun 1974, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991, cet-11

Wahyudi, Muhammad Isna. Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan

Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996,cet-15.

Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2005.

Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Zahrah, Abu. al-Ahwal al-Syaksiyah, Darul Fikri al-Arabi, 1957.

http://www.Google.com/kawin/paksa, diakses Jum’at, 11 Maret 2011

http: www. Pengadilan Agama Jakarta Timur.ac.id, diakses pada Senin, 14 Maret 2011

Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa

Nama Hakim : Hj. Yustimar B. S.H

Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Timur Hari/Tanggal : Jum’at/18 Maret 2011

1. Sudah berapa lama Ibu menjabat sebagai Hakim?

- Saya Sudah menjabat sebagai Hakim 14 Tahun, sejak Tahun 1997. 2. Apakah Ibu Pernah Menangani Perkara Pembatalan Perkawinan?

- Pernah, saya pernah menangani perkara pembatalan perkawinan dan saya sendiri yang menjadi Hakim Ketuanya.

3. Selama Ibu menjadi Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Perkara Perceraian atau Pembatalan yang paling banyak Ibu tangani?

- Saya lebih sering menangani perkara perceraian baik itu cerai talak atau cerai gugat dibandingkan dengan perkara pembatalan perkawinan

4. Menurut Ibu apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?

- Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau

dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.

5. Apa yang menjadi kendala Ibu dalam menangangi perkara pembatalan perkawinan?

- Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami itu masih jejaka sehingga perkawinan itu disahkan di KUA, dan adanya kesulitan untuk memutuskan perkara lantaran hati nurani merasa tidak tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan. 6. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?

- Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008.

- Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut. 8. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya

oleh laki-laki?

- Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.

9. Menurut Ibu seberapa besar pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan rumah tangga?

- Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.

10.Menurut Ibu, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak asasi manusia untuk memilih jodoh?

- ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan

- Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan halnya perceraian pada umumnya.

12.Bagaimana menurut Ibu, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan dalam itu tidak tertera, bagaimana memutuskan perkara tersebut?

- Meskipun tidak tertera dalam Undang-undang 1 Tahun 1974 tentang pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera didalamnya.

Hakim Ketua

Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa

Nama Hakim : H. Abdillah, S.H

Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Timur Hari/Tanggal : Senin, 20 Juni 2011

1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?

- Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.

2. Apa yang menjadi kendala Bapak dalam menangangi perkara pembatalan perkawinan?

- Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami

tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan. 3. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?

- Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008 4. Bagaimana cara Bapak membuktikan pembatalan perkawinan karena suami

menikah dengan cara dipaksa?

- Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut. 5. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya

oleh laki-laki?

- Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.

- Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.

7. Menurut Bapak, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak asasi manusia untuk memilih jodoh?

- ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan

alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu.

8. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

- Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan halnya perceraian pada umumnya.

9. Bagaimana menurut Bapak, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan

pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera didalamnya.

Hakim Anggota

Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa

Nama Hakim : Drs. H. Fauzi M Nawawi

Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Timur Hari/Tanggal : Senin, 20 Juni 2011

1. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Pembatalan Perkawinan?

- Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami ataupun istri, seperti suami beristri lebih dari satu dan perkawinan yang kedua itu tidak memperoleh izin dari istri pertama (pengadilan), atau salah satu rukun dan syarat perkawinan itu tidak terpenuhi atau perkawinan tersebut tidak mendapat izin dari orang tua misalnya anak dibawah umur. Dan semua itu tertera dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70- 76 dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Pasal 22-28.

2. Apa yang menjadi kendala Bapak dalam menangangi perkara pembatalan perkawinan?

- Adanya ketidak sesuaian status, misalnya pada perkara pembatalan dikarenakan suami melakukan poligami, yang status suami tersebut adalah sudah beristri tapi ada fakta lain yang menyebutkan bahwa suami

tega jika harus membatalkan perkawinan tersebut karena melihat nasib status anaknya, disatu sisi harus membatalkan perkawinan tersebut, tapi disisi lain ada yang dirugikan, dan kendala yang lain berupa Pihak yang bersangkutan itu tidak datang sehingga mempersulit jalanya persidangan. 3. Apakah ada mediasi pada perkara pembatalan perkawinan?

- Ada karena setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama itu harus ditempuh mediasi terlebih dahulu sesuai dengan Perma 1 Tahun 2008 4. Bagaimana cara Bapak membuktikan pembatalan perkawinan karena suami

menikah dengan cara dipaksa?

- Pembuktiannya itu berupa adanya saksi-saksi yang disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan sehingga dapat dibuktikan bahwa Pemohon merasa dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut. 5. Apakah ada masa iddah bagi wanita yang telah dibatalkan perkawinannya

oleh laki-laki?

- Tidak ada karena iddah itu akan ada jika perkawinan tersebut dianggap ada, akan tetapi pada perkara pembatalan, perkawinan tersebut dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.

- Pengaruhnya sangat besar, karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk keduanya, karena perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka saja sering ada pertengkaran, apalagi atas dasar keterpaksaan.

7. Menurut Bapak, Apakah kawin paksa itu bisa disebut dengan mengambil hak asasi manusia untuk memilih jodoh?

- ya, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan

alangkah baiknya jika ditempuh dengan jalan ta’aruf terlebih dahulu.

8. Bagaimana prosedur untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

- Prosedur pengajuan perkara pembatalan perkawinan sama dengan halnya perceraian pada umumnya.

9. Bagaimana menurut Bapak, Dalam Kompilasi Hukum Islam tertera mengenai pembatalan dapat dilakukan lantaran kawin paksa pasal 71 (f) sedangkan

pembatalan dapat dilakukan apabila perkawinan dilakukan dengan paksa akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam itu semua tertera dan kami mengambil keputusan tersebut merujuk pada hukum yang telah tertera didalamnya.

Hakim Anggota

HASIL WAWANCARA PEMOHON

SUMBER : Temmy Bin Tomi (samaran)

TANGGAL : 20 Juni 2011

LOKASI : Kediaman Pemohon

1. Mengapa anda ingin membatalkan perkawinan anda?

Jawaban:

Karena saya mengawini T dengan keadaan terpaksa dan saya mengawininya hanya untuk menutupi aib dia lantaran dia telah berbadan dua dengan orang lain sehingga saya dipaksa kawin dan saya juga merasa terancam nyawa saya jikalau saya tidak mau menuruti keinginan pihak T, mungkin pada awalnya saya memang pernah pacaran dengan T tapi saya sudah putus lama akan tetapi orang tuanya ataupun keluarganya bahkan masyarat dilingkungan rumahnya hanya mengetahui bahwa T hanya dekat dengan saya sehingga sayalah yang diharuskan untuk menikahinya.

2. Kenapa anda tidak mencoba untuk melawan ancaman dan paksaan dari pihak T dengan cara melaporkan ke polisi?

Jawaban:

Mengenai melapor atau tidaknya saya ke polisi, jujur pada waktu itu saya melarikan diri dari rumah dan keluarga saya karena saya malu dan takut. Sebenarnya yang mengurusi semua hal selama saya kabur adalah kakak saya,

dan pada waktu itu saya dapat kabar bahwa rumah yang saya tinggalipun sudah tidak aman karena banyak pansus yang mengawasi dan menunggu kedatangan saya maka dari itu kakak saya tidak memilih untuk melorkan ke polisi karena tidak mau proses yang lama dan membuang waktu sehingga kakak saya menemui pihak keluarga T dan berbicara secara baik-baik. Dan akhirnya niat baik itu membuahkan hasil pihak T setuju kalau perkawinan saya dan T harus dibatalkan dengan syarat keluarga saya mengganti semua kerugian yang dikeluarkan mulai dari biaya perkawinan sampai dengan menyewa pansus.

3. Apakah benar bayi yang dikandung itu bukan anak anda?

Jawaban:

Benar 100% karena saya belum pernah melakukan hal itu dengan T dan sebenarnya saya mempunyai kekurangan yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki yakni saya mempunyai kekurangan di organ vital saya karena saya kurang mengkonsumsi seafood dan itu semua saya ketahui setelah saya menikah dan susah untuk memiliki anak. Dari hal itu saya dapat dibuktikan bagaimana saya dapat membuahi T kalau saya mempunyai kekurangan seperti itu.

Dokumen terkait