• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA

D. Analisa Putusan Pengadilan

Dalam perkawinan ada istilah akad yakni, suatu perbuatan hukum yang sangat penting dalam perkawinan dengan adanya akad, perkawinan akan menjadi sah. Oleh sebab itu jika persyaratan dari akad tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam dan dapat dinyatakan batal. Dalam hukum Islam dan hukum positif terdapat alasan-alasan mengenai pembatalan perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70-76, dan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22-28. Dari kedua hukum ini terdapat penjelasan mengenai perkara Pembatalan Perkawinan, mulai dari alasan, siapa saja yang dapat melakukan pembatalan dan tata cara pembatalan. Dan khususnya pada Pasal 71 huruf f disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Mengenai putusan Nomor 530/Pdt.G/2008/PA.JT yang memutuskan perkara permohonan pembatalan perkawinan dari Pemohon bernama Temmy Bin Tomi dengan Termohon Nia Bin Anwar. Didalam surat putusannya Pemohon menyatakan yang menjadi alasan pembatalan perkawinan adalah Pemohon tidak mencintai Termohon dan Pemohon menikahi Termohon karena dipaksa oleh pihak Termohon dan pernikahan terlaksana tidak berdasarkan suka sama suka

9

(ridho bin ridho) melainkan dipaksa dan diancam dengan pengancaman penghancuran karir dan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh.

Menurut penulis masalah yang mendasar dalam perkara ini adalah kawin paksa yang dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, hal ini merupakan permohonan yang beralasan dan dibenarkan secara hukum karena didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 16, menjelaskan bahwa perkawinan dilakukan didasarkan oleh persetujuan calon mempelai.

Menurut ketentuan Pasal 28 KUHPer, bahwa kebebasan memberikan kesepakatan merupakan hakikat dari perkawinan, bila hal tersebut tidak ada, misalnya karena salah satu pihak dalam keadaan gila atau adanya paksaan, maka menurut ketentuan Pasal 87 KUHPer keabsahan dari perkawinan tersebut dapat dibatalkan, yang berbunyi:

Keabsahan suatu perkawinan yang berlangsung tanpa kebebasan kata sepakat suami istri atau salah satu dari mereka, hanya dapat ditentang oleh suami-istri itu sendiri, atau oleh salah satu dari mereka, yang secara tak bebas telah memberikan kata sepakatnya. 10

Salah satu hak yang dibutuhkan oleh manusia adalah hak untuk menikah dan berkeluarga, dan hak tersebut harus dihormati dan dilindungi.11 Oleh sebab itu kawin paksa dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak manusia. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan

10

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 125

11

hidupnya masing-masing dan jika orang tua ingin menjodohkan alangkah baiknya

jika ditempuh jalan ta’aruf terlebih dahulu.12

Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan suami istri, akan tetapi suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial dari anggota-anggota keluarganya bahkan jaringan yang lebih besar yakni mayarakat, dan perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan, karena seorang pemuda dan pemudi secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan kewajiban yang baru,13 yakni berupa seorang pemuda berubah peran menjadi suami dan seorang pemudi berubah peran menjadi istri, dan apabila telah memiliki anak maka namanya akan berubah menjadi ayah dan ibu, maka akan terlihat apakah kedua dapat menerapkan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan syariat. Karena pandangan suatu perkawinan dari segi agama dianggap suatu lembaga yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri dengan mempergunakan nama Allah.14

Disamping itu pula kawin paksa yang terjadi pada perkara ini lantaran sang bapak dari pihak perempuan merasa takut jika laki-laki (Temmy) akan meninggalkan anak perempuannya. Dan paksaan tersebut berupa ancaman berupa penghancuran karir dan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh. Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sesuatu yang merugikan pihak lain untuk

12

Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011 13

William J Googde, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), cet. 1, h. 63-64 14

memuaskan/memenuhi kebutuhan pribadi berupa ancaman. Ancaman adalah suatu perbuatan yang dapat merugikan orang lain sehingga menyebabkan orang tersebut melakukan perbuatan yang semestinya tidak dilakukan lantaran takut terjadi sesuatu pada dirinya, hal ini sama dengan tindak pidana, dan dalam Buku Kedua KUHP Pasal 368 disebutkan:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan. 15

Akan tetapi pada perkara ini tidak tertulis bahwa pihak yang dirugikan (Bakhtiar) tidak menuntut tentang perbuatan pidana tersebut, pihak Bakhtiar hanya menuntut pernikahan itu dibatalkan dan tidak mengancam balik kepada pihak perempuan.

Menurut penulis dari perkara ini terlihat jelas bahwa kawin paksa (dijodohkan) itu kurang dianggap baik, dan selama ini biasanya yang selalu menjadi korban kawin paksa biasanya terjadi pada diri perempuan, akan tetapi setelah melihat, membaca dan memahami perkara ini dapat diambil kesimpulan bahwa paksaan itu juga bisa terjadi oleh pihak laki-laki.

Dan dapat dilihat pada perkara ini bahwa setelah melangsungkan perkawinan kedua belah pihak tidak tinggal dan hidup bersama serta tidak terjadi hubungan selayaknya suami istri. Hal ini membuktikan bahwa kawin paksa

15

merupakan suatu hal yang jika dilakukan hanya mendatangkan kemudharatan bagi kedua belah pihak (suami istri). Mengingat perkawinan merupakan ibadah dan salah satu sunah Rasul akan tetapi jika perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang baik dan mengharapkan ridha Allah SWT maka perkawinan tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Dan terdapat beberapa pengaruh kawin paksa terhadap keharmonisan rumah tangga, yakni

1. Tidak dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. 2. Tidak dapat memenuhi hak dan kewajiban suami istri dengan baik.

3. Tidak dapat menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul SAW sesuai dengan syariat Islam.

Pengaruh kawin paksa dalam keharmonisan rumah tangga itu sangat besar karena menyatukan kedua hati yang tidak mencintai kemudian dipaksa kawin itu berdampak negatif untuk keduanya lantaran perkawinan yang atas dasar suka sama suka saja sering ada pertengkaran apalagi atas dasar keterpaksaan.16 Meskipun dalam hukum Islam tidak dibenarkan menjalin hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebelum nikah tapi hukum Islam membenarkan mengenal calon pasangan hidup untuk membina rumah tangga dan kawin paksa bukan termasuk dalam kategori hukum Islam, hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat

an-Nisa:19



















16

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”. .

Mengenai pembuktian Pemohon mengajukan bukti surat berupa akta nikah Nomor 466/37/III/2008 dan dua orang saksi dari keluarga Pemohon dan Termohon, dan keterangan dari saksi Pemohon berupa saksi sama sekali tidak mengetahui pernikahan antara Pemohon dan Termohon dan selang beberapa hari Termohon dan Ayahnya datang ke rumah saksi untuk mencari Pemohon dan dari hal itu saksi mengetahui bahwa Pemohon dan Termohon telah menikah, dan Pemohon akhirnya mengaku dan pada saat itu pula saksi marah karena menikah dengan cara diam-diam, akan tetapi pernikahan Pemohon dan Termohon dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Sementara kesaksian dari pihak Termohon berupa saksi tidak menyangkal adanya paksaan dan ancaman yang dilontarkan kepada Pemohon, hal ini dikarenakan saksi takut jika suatu hari nanti Pemohon akan meninggalkan Termohon.

Dari keterangan diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa seorang ayah dapat memaksa orang lain untuk menikahi anaknya dikarenakan merasa takut jika laki-laki tersebut meninggalkan anak perempuannya, mungkin niat dari saksi Termohon baik akan tetapi cara yang ditempuh salah karena memaksakan kehendak untuk kepentingan anaknya tidak harus mengorbankan perasaan orang lain. Sebenarnya memilih jodoh atau pasangan hidup itu adalah hak asasi setiap orang, meskipun ada istilah wali mujbir akan tetapi pada hakikatnya kebahagiaan

itu datang dari keikhlasan dan kerelaan orang untuk melakukan setiap keputusan yang akan diambil.

Mengingat tujuan dari perkawinan adalah membuat rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah (harmonis) maka untuk mewujudkan hal tersebut harus ada take and give antara kedua belah pihak (suami dan istri) dan hal tersebut harus didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang, oleh sebab itu perkawinan yang dipaksa atau tanpa rasa cinta maka perkawinan tersebut jauh dari kata harmonis dan tidak mustahil hanya perselisihan dan pertengkaran saja yang akan didapat.

Dari berbagai macam bentuk putusan yang diputus oleh Hakim, intinya adalah sama yakni menjadikan perkawinan itu putus, akan tetapi ada perbedaan antara putusnya perkawinan dikarenakan perceraian dengan putusnya perkawinan dikarenakan pembatalan (fasakh). Perbedaannya terletak pada tidak terbatas pada bilangan jatuhnya talaq, hakikat cerai mengharuskan berhentinya hubungan suami istri dan menetapkan hak-hak yang telah ada, thalak hanya terjadi pada pernikahan yang sah dan hak cerai diakui oleh syariat.

Sedangkan pembatalan (fasakh) adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya perkawinan, atau merupakan konsekuensi dari sesuatu yang telah diketahui atau menjadikan akad tersebut tidak sah. Dan akibat hukum dari perkara ini bagi pihak Termohon, dikarenakan Termohon belum melakukan hubungan intim dengan Pemohon maka tidak ada iddah bagi Termohon (sebelum dukhul). Akan tetapi

lain halnya jika ba’da dukhul. Jika Termohon telah berhubungan (ba’da dukhul)

maka ada iddah bagi Termohon. Menurut Abu Zahrah dalam kitab Akhwal al-Syaksiyah menjelaskan bahwa iddah bagi perempuan yang fasakh perkawinannya yakni selayaknya iddah talak (tiga kali haid) dengan ketentuan

ba’da dukhul.17

Mengenai pertimbangan dan dasar hukum tentang perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa, penulis berpendapat bahwa Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur sangatlah benar dalam memutuskan perkara ini karena sesuai dengan prinsip peradilan yakni,

1. Melihat bukti-bukti

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir yakni, menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi.18 Dan dalam hal ini adanya bukti-bukti berupa bukti tertulis dan saksi-saksi yang menerangkan bahwa keterpaksaan pihak Pemohon untuk melakukan perkawinan itu memang benar adanya dan saksi-saksi disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan.19 2. Mendengar keterangan kedua belah pihak

Selama proses persidangan Hakim harus berlaku seadil-adilnya terhadap Pemohon dan Termohon, mendengarkan serta memberi kesempatan

17

Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syaksiyah, (Darul Fikri al-Arabi, 1957), h. 439

18

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 139

19

yang sama kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing yang tertera sesuai dengan Pasal 121 HIR/142 R.Bg. dan baik Pemohon ataupun Termohon tidak menyangkal tentang adanya paksaan tersebut.

3. Putusan harus disertai dengan alasan-alasan hukum

Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-hak yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim, dan putusan harus disertai alasan-alasan sesuai dengan Pasal 179 ayat 1 HIR. Putusan Hakim harus memuat dasar hukum untuk mengadili dan alasan-alasannya (pertimbangan hukum) sehingga putusan itu dijatuhkan.20 Pertimbangan Hakim berupa Pasal 71 huruf f Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila Perkawinan yang

dilaksanakan dengan paksaan”, dan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni “Seorang suami atau istri dapat

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum”.

Maka dengan demikian putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No.530/PDt.G/2008/PA.JT telah sesuai dengan hukum yang berlaku, Singkatnya putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

20

perkawinan dengan menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi pihak-pihak yang berperkara.

69

Dokumen terkait