• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1.1.5 Alat-alat Pertanian

Peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani padi baik usahatani padi sehat metode SRI maupun padi konvensional, pada umumnya tidak jauh berbeda. Alat-alat yang digunakan meliputi cangkul, parang, handsprayer, lalandak, garpu, dan garukan. Metode yang digunakan dalam perhitungan penyusutan alat pertanian adalah metode penyusutan garis lurus. Biaya penyusutan peralatan pertanian dimasukan ke dalam biaya yang diperhitungkan. Nilai penyusutan peralatan pertanian dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14 Nilai Penyusutan Peralatan Pertanian Usahatani Padi Per Hektar Per Tahun di Desa Kebonpedes, Tahun 2012

No. Jenis Alat Jumlah (Buah) Nilai Pembelian (Rp) Estimasi Umur Ekonomis (Tahun) Biaya Penyusutan (Rp) 1. Cangkul 4 200.000 3 66.667 2. Clurit 4 100.000 3 33.333 3. Caplakan 2 100.000 5 20.000 4. Lalandak 4 140.000 5 28.000 5. Garokan 1 50.000 8 6.250 6. Handsprayer 1 450.000 10 45.000 7. Parang 2 40.000 3 13.333

Total Biaya Penyusutan/Tahun 212.583

Sumber : Data Primer diolah (2013)

Dalam usahatani padi sehat metode SRI, alat pertanian yang digunakan dalam membajak lahan sudah tidak lagi menggunakan mesin traktor, melainkan menggunakan tenaga manusia, maupun tenaga hewan. Sedangkan untuk usahatani padi konvensional, dalam membajak lahan mereka terbiasa dengan menyewa mesin traktor atau membayar jasa tenaga mesin dengan sistem borongan. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam sistem borongan tersebut tergantung pada jumlah luasan lahan yang akan digarap. Namun, sebagai perbandingan untuk lahan dengan luas 1 hektar, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 700.000/hektar.

Output Usahatani

Output dalam kegiatan usahatani padi di Desa Kebonpedes, yaitu gabah. Gabah merupakan bulir padi yang dirontokan melalui kegiatan panen, baik menggunakan mesin maupun dipukul-pukul pada sebuah alas kayu (dikepruk). Di Desa Kebonpedes, para petani padi umumnya menjual gabah tersebut dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP), yaitu gabah hasil dari panen tanpa adanya proses pengeringan terlebih dahulu. Kemudian hasil panen petani padi khususnya SRI di Desa Kebonpedes dijual kepada Gapoktan Mekartani di Desa Jambenenggang, yang kemudian oleh Gapoktan tersebut dilakukan pengolahan menjadi beras untuk disalurkan ke PT MEDCO.

  Gambar 9 Beras Hasil Pengolahan Padi Sehat SRI di Gapoktan Mekartani Desa

Jambenenggang Kabupaten Sukabumi

Sedangkan untuk padi konvensional mereka tidak menjual semua hasil panennya,namun terdapat bagian yang mereka gunakan untuk kebutuhan hidup dengan jumlah yang tidak menentu tergantung kebutuhan hidup dan harga jual gabah pada saat itu. Oleh karena itu,dalam perhitungan analisis pendapatan pada padi konvensional tidak digunakan penerimaan yang diperhitungkan tetapi diasumsikan seluruh hasil panen padi konvensional dijual.

Berdasarkan data yang diperoleh dari petani diketahui bahwa jumlah hasil panen petani padi sehat metode SRI memiliki hasil panen yang lebih tinggi dari hasil panen petani padi konvensional. Besar rata-rata gabah kering panen yang dihasilkan petani padi sehat metode SRI per hektar untuk satu musim tanamnya sebesar 7.531 Kg. Sedangkan rata-rata hasil panen berupa gabah kering panen pada petani padi konvensional sebesar 5.448 kg

Tabel 15 Perbandingan Output Usahatani Padi Sehat SRI dan Konvensional Per Hektar pada Satu Musim Tanam di Desa Kebonpedes, Tahun 2012

Jenis Usahatani Output (Kg)

A. Padi Sehat SRI 7.531

B. Padi Konvensional 5.448

Analisis Perbandingan Tingkat Pendapatan Petani Padi Sehat Metode SRI Dengan Petani Padi Konvensional

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan total biaya usahatani. Analisis perbandingan tingkat pendapatan dalam penelitian ini adalah membandingkan tingkat pendapatan antara petani padi sehat sistem SRI dengan petani padi konvensional, yang terdiri dari tingkat pendapatan rata-rata atas biaya tunai dan tingkat pendapatan atas biaya total.

Harga jual GKP antara petani padi sehat SRI dengan konvensional tentu berbeda. Pada padi sehat metode SRI, harga jual GKP rata-rata yang diterima petani adalah sebesar Rp 3.400 per kilogram. Sehingga penerimaan yang didapatkan responden petani padi sehat metode SRI dengan rata-rata produksi 7.531 Kg/Ha adalah sebesar Rp 25.606.305,95 untuk satu musim tanam. Sedangkan pada responden petani padi konvensional, harga jual GKP rata-rata yang diterima petani adalah sebesar Rp 3.000 per kilogram. Sehingga penerimaan yang didapatkan dengan hasil GKP rata-rata sebesar 5.448 kg/ha adalah Rp 16.344.070 untuk satu musim tanam.

Dalam komponen biaya, baik usahatani metode SRI maupun konvensional terdapat dua kriteria yaitu sewa dan pemilik. Hal tersebut dikarenakan, di Desa Kebonpedes, petani yang berstatus sewa lahan hanya membayar biaya sewa per tahun saja, pajak lahan ditanggung oleh pemilik lahan. Sedangkan pada petani yang berstatus sebagai pemilik lahan membayar biaya pajak lahan per tahun. Biaya sewa dan biaya pajak termasuk kedalam biaya tunai dan telah dikonversikan untuk masa satu kali tanam. Biaya tunai dan biaya total yang dibutuhkan dalam melakukan usahatani padi metode SRI dengan sewa lahan sebesar Rp 14.067.707,79 dan Rp 15.354.311,34 sedangkan biaya tunai dan biaya total yang dibutuhkan usahatani SRI sebagai pemilik lahan sebesar Rp 8.567.707,79 dan 9.854.311,34. Rincian komponen biaya usahatani padi sehat SRI dan konvensional dapat dilihat pada lampiran 1.

Pada usahatani padi konvensional, bagi petani dengan status sewa membutuhkan biaya tunai sebesar Rp 14.625.727,81 dan biaya total Rp 15.308.711,14 sedangkan untuk status pemilik adalah membutuhkan biaya tunai sebesar Rp 9.125.727,81 dan biaya total Rp 9.808.711,14. Maka besarnya

pendapatan yang didapatkan masing-masing kegiatan usahatani baik metode SRI dan konvensional dapat dilihat pada tabel 16.

Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa pendapatan atas biaya tunai yang memiliki nilai tertinggi di masing-masing jenis usahatani, yaitu usahatani padi sehat SRI dengan status lahan pemilik sebesar Rp 17.038.598,16 dan padi konvensional dengan status lahan pemilik sebesar Rp 7.218.342,71. Pada status sewa lahan dimana usahatani padi sehat SRI memiliki nilai yang lebih besar yaitu Rp 11.538.598,16 dibandingkan dengan usahatani padi konvensional baik dengan status kepemilikan ataupun dengan status sewa lahan yang pendapatannya sebesar Rp 1.718.342,71. Pendapatan atas biaya total berbanding lurus dengan pendapatan atas biaya tunai, dimana usahatani padi sehat SRI memiliki nilai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pendapatan usahatani padi konvensional.

Tabel 16 Analisis Perbandingan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Padi Sehat SRI dan Konvensional Per Hektar pada Satu Musim Tanam di Desa Kebonpedes, Tahun 2012

Pendapatan Usahatani

Usahatani Padi SRI (Rp) Usahatani Padi Konvensional (Rp)

Sewa Pemilik Sewa Pemilik A. Pendapatan atas Biaya Tunai 11.538.598,16 17.038.598,16 1.718.342,71 7.218.342,71 B. Pendapatan atas Biaya Total 10.251.994,61 15.751.994,61 1.035.359,37 6.535.359,37

Sumber : Data Primer diolah (2013)

Hal tersebut menunjukan bahwa baik usahatani padi sehat metode SRI ataupun usahatani konvensional di Desa Kebonpedes layak untuk dijalankan dan memberikan keuntungan. Namun, usahatani padi sehat metode SRI di Desa Kebonpedes dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani padi konvensional di Desa Kebonpedes.

Analisis Efisiensi R/C Ratio

Analisis efisiensi R/C rasio digunakan untuk melihat tingkat efisiensi dan kelayakan suatu kegiatan usahatani serta apakah kegiatan tersebut

menguntungkan. Dengan membandingkan tingkat penerimaan usahatani dan biaya usahatani maka didapatkan nilai R/C rasio, yang memiliki arti untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya, maka akan mendapatkan penerimaan sebesar nilai R/C rasio.

Dalam usahatani padi sehat SRI dapat diketahui bahwa penerimaan yang didapatkan dari satu hektar per satu musim tanam sebesar Rp 25.606.305,95. Pada status lahan sewa, biaya tunai yang dibutuhkan Rp 14.012.246,52 dan biaya total yang dibutuhkan Rp 15.298.850,07 sehingga nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,82 yang artinya untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan maka akan mendapatkan penerimaan sebesar 1,82. Sedangkan R/C rasio atas biaya total yaitu 1,67. Pada status lahan pemilik, biaya tunai yang dibutuhkan sebesar Rp 8.567.707,79 sehingga nilai R/C rasionya, yaitu 2,99 sedangkan biaya total yang dibutuhkan sebesar Rp 9.854.311,34 sehingga akan didapatkan nilai R/C rasio, yaitu 2,60.

Dalam usahatani padi konvensional, didapatkan data bahwa penerimaan yang dihasilkan dari satu hektar per satu musim tanam padi sebesar Rp 16.344.070,51. Pada status lahan sewa, biaya tunai yang dibutuhkan sebesar Rp 14.625.727,81 sehingga didapatkan R/C rasio, yaitu 1,12 sedangkan biaya total yang dibutuhkan sebesar Rp 15.308.711,14 dengan R/C rasio sebesar 1,07. Pada status lahan pemilik, biaya tunai yang dibutuhkan sebesar 9.125.727,81 sehingga R/C rasio didapatkan sebesar 1,79 sedangkan biaya total yang dibutuhkan sebesar Rp 9.808.711,14 dengan R/C rasio, yaitu 1,67.

Tabel 17 Perbandingan R/C Rasio Usahatani Padi Sehat SRI dan Usahatani Padi Konvensional di Desa Kebonpedes, 2012

R/C rasio Padi Sehat SRI Padi Konvensional

Pemilik Sewa Pemilik Sewa

A. Atas Biaya

Tunai 2,99 1,82 1,79 1,12

B. Atas Biaya

Total 2,60 1,67 1,67 1,07

Berdasarkan hasil R/C rasio yang didapatkan dapat kita ketahui bahwa usahatani padi sehat SRI maupun usahatani padi konvensional telah efisien (R/C rasio >1) dan layak untuk dijalankan. Namun, apabila melihat dari segi

keuntungan yang didapatkan, usahatani padi sehat SRI lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. Hal tersebut terlihat dari nilai R/C rasio yang didapatkan baik keadaan status pemilik maupun sewa, usahatani padi sehat SRI memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan konvensional sehingga penerimaan untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan akan lebih tinggi.

Keputusan Penentuan Pemilihan Kegiatan Usahatani Padi

Berdasarkan hasil perbandingan tingkat pendapatan antara kegiatan usahatani padi sehat metode SRI dengan usahatani padi konvensional dapat diketahui bahwa pendapatan usahatani padi sehat metode SRI memiliki nilai yang lebih tinggi baik atas biaya tunai maupun atas biaya total dengan selisih masing- masing sebesar Rp 9.820.255,45 dan Rp 9.216.635,24, artinya usahatani padi sehat metode SRI lebih menguntungkan. Selain itu, berdasarkan hasil analisis efisiensi dengan menggunakan R/C rasio, dapat diketahui bahwa usahatani padi sehat metode SRI memiliki nilai R/C rasio yang lebih tinggi, yaitu 2,61 dibandingkan dengan usahatani padi konvensional yang sebesar 1,67, dimana artinya usahatani padi sehat metode SRI di Desa Kebonpedes efisien dan layak untuk dijalankan. Oleh sebab itu, tentu kegiatan usahatani padi sehat metode SRI sangat dianjurkan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani di Desa Kebonpedes.

Namun, fakta dilapangan berbanding terbalik, dimana masih terdapat petani konvensional yang tidak dan belum mau berpindah kepada kegiatan usahatani padi sehat SRI. Mereka lebih memilih untuk tetap melakukan kegiatan usahatani padi secara konvensional seperti biasa yang mereka lakukan hingga saat ini. Oleh sebab itu, hal tersebut terkait kepada keputusan dalam pemilihan jenis kegiatan usahatani padi di Desa Kebonpedes. Berdasarkan hasil analisis di lapangan, terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam menentukan pilihan kegiatan usahatani padi.

Habit (Kebiasaan)

SRI (System of Rice Intencification) merupakan teknologi budidaya padi yang terus berkembang dan banyak diterapkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Dalam pelaksanaan di lapangan, banyak petani yang masih ragu dan

enggan untuk menerapkannya di areal persawahan mereka. Keraguan tersebut diyakini karena petani belum paham betul dengan teknologi budidaya SRI yang sangat berbeda dengan kebiasaan budidaya padi sawah yang telah diterapkan selama kurun waktu kurang lebih 3 dasawarsa. Kebiasaan yang membekas dan sulit untuk dirubah adalah kebiasaan menanam padi dengan banyak bibit dalam satu dapuran, yaitu minimal 3-5 anakan. Selain itu, sawah yang digenangi, penggunaan pupuk kimia seperti urea, NPK, KCL, dan lainnya juga penggunaan pestisida berbahan kimia untuk mengatasi hama merupakan hal yang biasa petani lakukan. Dimana, kebiasaan tersebut akan berkembang menjadi adat dan diturunkan secara turun temurun.

Kebiasaan yang berubah menjadi tradisi tersebutlah yang menjadikan para petani enggan untuk beralih kepada usahatani padi metode SRI,sehingga teknologi SRI di Desa Kebonpedes sulit untuk berkembang. Dimana metode SRI berbanding terbalik dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan air yang lebih sedikit dibandingkan konvensional sehingga areal persawahan tidak dibuat tergenang, hanya macak-macak. Menghilangkan penggunaan pupuk kimia serta pestisida yang terbuat dari bahan-bahan kimia beracun, dan penanaman bibit padi yang bersifat tunggal, yaitu satu anakan untuk satu dapuran.

Corak Usahatani

Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat perbedaan corak usahatani yang jelas antara padi konvensional dengan padi sehat metode SRI di Desa Kebonpedes. Pada usahatani padi konvensional cenderung bersifat subsistense, dimana para petani melakukan kegiatan usahatani tersebut guna memenuhi kebutuhan hidup sendiri sehingga kurang dalam memperhatikan kualitas padi yang dihasilkan. Selama hasil pertaniannya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, para petani padi konvensional tetap akan melakukan kegiatan usahatani seperti biasa yang mereka lakukan. Selain itu, beberapa responden petani padi konvensional mengatakan bahwa usahatani padi secara konvensional sangat mudah dilakukan karena mereka sudah terbiasa melakukannya semenjak muda, bahkan terdapat beberapa petani yang mulai sejak kanak-kanak.

Berbeda dengan usahatani padi konvensional, usahatani padi sehat dengan metode SRI menunjukan bahwa corak kegiatan usahatani mereka sudah

komersial, dimana kegiatan usahatani sangat memperhatikan kuantitas dan juga kualitas padi yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan adanya kegiatan kemitraan yang dilakukan oleh Gapoktan Mekartani di Desa Jambenenggang dengan sebuah perusahaan,yaitu PT MEDCO dimana perusahaan tersebut meminta pasokan beras sehat yang dihasilkan para petani padi dengan harga yang bersaing yaitu berkisar Rp 8.800 - Rp 9.000/kg kepada Gapoktan Mekartani. Karena adanya permintaan beras sehat yang tinggi dari PT MEDCO, sedangkan Gapoktan Mekartani belum dapat memenuhi permintaan tersebut maka Gapoktan Mekartani bekerjasama dengan Gapoktan lainnya melakukan usahatani padi sehat salah satunya adalah Gapoktan Sawargi Tani di Desa Kebonpedes. Gapoktan Mekartani menawarkan harga yang bersaing untuk gabah yang dihasilkan dari para petani padi sehat, yaitu berkisar Rp 3.200 - Rp 3.600 per kilogram GKP. Dimana harga tersebut tergantung pada kualitas gabah yang dihasilkan. Petani padi sehat yang tergabung haruslah memperhatikan kualitas dan kuantitas hasil usahatani padi.

Status Lahan

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis di lapangan, status kepemilikan lahan dapat mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk menerapkan teknologi yang akan digunakan pada proses budidaya padi. Pada responden petani padi sehat SRI didominasi dengan status pemilik lahan. Sedangkan untuk petani konvensional didominasi oleh status sewa lahan.

Pada status sewa lahan, para petani tidak memiliki kebebasan penuh dikarenakan status lahan berupa sewa dimana memiliki kemungkinan untuk musim tanam selanjut-selanjutnya ketika masa sewa habis, lahan tersebut tidak lagi disewakan ataupun dapat dijual oleh pemilik lahan, sehingga merekacenderung untuk melakukan kegiatan usahatani padi pada umumnya. Sedangkan pada status pemilik lahan, petani memiliki kebebasan secara penuh karena tidak terikat pada orang lain. Sehingga dalam penentuan keputusan menerapkan teknologi budidaya padi, para petani dapat dengan bebas menentukan untuk mengambil teknologi tersebut atau tidak.

   

Dokumen terkait