• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA

1. Alih Kode…

berlangsung dalam suatu kalimat atau beberapa kalimat. Misalnya, seseorang penutur yang sedang berbicara menggunakan bahasa lain tiba-tiba karena suatu hal dia berganti menggunakan bahasa jawa ragam krama. Pergantian itu hanya berlangsung dalam satu kalimat atau beberapa kalimat, kemudian pembicaraan kembali lagi ke dalam bahasa Indonesia. Alih kode sementara dapat terjadi dengan frerkuensi tinggi rendah.

2) Alih kode permanen ialah pergantian kode bahasa yang berlangsung cukup lama. Namun peristiwa alih kode ini jarang terjadi. Hal ini mencerminkan pengertian status penutur dan sifat hubungan antar penutur. Pergantian ini biasanya berarti adanya sikap relasi terhadap O2 secara sadar.

Sedangkan Djajasudarma dalam Lia Rusmiyati (2012:19-20) membagi jenis alih kode berdasarkan asal bahasanya, antara lain alih kode intern dan ekstern.

1) Alih kode intern

Alih kode intern adalah kode yang terjadi antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah atau antar ragam dan gaya bahasa tang terdapat dalam satu dialek. Dalam suatu wilayah tertentu biasanya penutur mempunyai kemampuan menggunakan lebih dari satu variasi bahasa. Bahasa-bahasa tersebut akan digunakan pada

saat tertentu apabila diperlukan. Kenyataan ini dapat ditemukan menggunakan ragam karama apabila berkomunikasi dengan orang yang lebih dihormati atau orang yang baru dikenal. Alih kode intern juga dapat terjadi antara Jawa dan bahasa Sunda. Alih kode intern dapat terjadi dari bahasa nasional ke bahasa daerah atau juga sebaliknya (Subekti, 1998:17). Misalnya, penuturnya mula-mula menggunakan kode bahasa Indonesia laliu ia berganti menggunakan kode bahasa Jawa.

2) Alih kode ekstern

Alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antar bahasa. Didalam masyarakat Indonesia sering terjadi alih kode ekstern, terutama bagi penutur yang menguasai bahasa asing disamping menguasai bahasa Indonesia. Perpindahan tersebut bergantung situasi dan yang sesuai untuk memakai atau menggunakan bahasa asing tersebut.

b. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Alih Kode

Suwito (1983: 72-74) menjelaskan alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosio-situasional. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode sebagai berikut.

1) Penutur

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud.

Biasanya usaha tersebut dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu dari situasi resmi ke situasi tak resmi.

2) Lawan tutur

Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode karena setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. 3) Hadirnya penutur ketiga

Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang, dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang pertama beralih kedalam bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

4) Pokok pembicaraan (topik)

Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya di ungkapkan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius. Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal di sampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

5) Untuk membangkitkan rasa humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pimpinan rapat atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pimpinan

rapat bangkitnya rasa humor diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan mulai lesu.

6) Untuk sekadar bergengsi

Sebagian penutur yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topic dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode.

Senada dengan Suwito, Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 108) juga menyatakan bahwa faktor penyebab alih kode adalah siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang melatarbelakangi terjadinya alih kode adalah adanya penutur yang terkadang mempunyai maksud tersendiri melakukan alih kode, lawan tutur yang ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya, hadirnya penutur ketiga yang berbeda latarbelakang kebahasaannya, pokok pembicaraan yang merupakan faktor dominan dalam menentukan terjadinya alih kode, membangkitkan rasa humor yang diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasa mulai lesu, dan untuk sekedar bergengsi. Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya alih kode adalah siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.

c. Fungsi Alih Kode

Suwito (1983: 69) menyatakan bahwa alih kode masing-masing bahasa mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Alih kode menunjukkan suatu gejala saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan fungsi relefansial didalam pemakaian satu bahasa atau lebih.

Fungsi atau tujuan penggunaan alih kode dalam penelitian ini lebih secara kebahasaan dan tidak terlepas dari faktor yang melatarbelakangi terjadinya sebagai suatu hasil dari proses sosio-situasional. Jadi fungsi alih kode adalah lebih persuasif mengajak atau menyuruh, lebih argumentatif, lebih komunikatif, dan lebih prestis. 5. Campur Kode

a. Pengertian campur kode (code mixing)

Chaer dan Agustina (2010: 114), peristiwa campur kode adalah apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase-frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi sendiri. Campur kode merupakan percampuran unsur-unsur frasa atau klausa suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Kedudukan fungsi-fungsi klausa atau frasa tersebut sudah bergabung menjadi satu kesatuan fungsi dalam percampuran tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut, Chaer dan Agustina (2010: 114) mengatakan bahwa di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai kode. Misalnya seorang penutur yang berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan. Jadi, fungsi keotonomian sebuah kode dalam campur kode tidak ada. Maksudnya frasa dan klausa yang merupakan wujud campur kode memiliki struktur gramatikal yang sudah bergabung dengan bahasa yang dicampurinya.

Pendapat lain, menurut Kridalaksana (2008: 40), campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa kebahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan. Kegunaan campur kode untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tuturan. Wujud campur kode itu berupa pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah menyisipkan suatu unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Adapun masing-masing unsur tersebut tidak lagi mendukung fungsi-fungsi sendiri. Artinya, fungsi

gramatikal unsur yang mencampurinya sudah bergabung dengan unsur yang dicampurinya. Kegunaan campur kode tersebut adalah memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa.

b. Jenis-jenis campur kode

Suwito (1983: 75-76) membedakan campur kode menjadi dua yaitu campur kode ke dalam dan campur kode ke luar.

1) Campur kode ke dalam (inner code mixing) yaitu campur kode bersumber dari bahasa asli dengan berbagai variasinya. Misalnya, apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gaya ke dalam dialeknya. Penyisipan demikian juga dapat menunjukkan identifikasi peranan tertentu, identifikasi register tertentu atau keinginan dan tafsiran tertentu. Campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan si penutur cukup kuat rasa daerahnya atau ingin menunjukkan kekhasan daerahnya. Bercampur kode dengan unsur-unsur dialek Jakarta dapat member kesan bahwa penutur termasuk ‘orang metropolitan’, bukan lagi ‘orang udik’, telah ke luar dari lingkungannya yang sempit.

2) Campur kode ke luar (outer code mixing) yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asing. Misalnya, campur kode dengan bahasa Arab memberi kesan bahwa dia penutur merupakan orang muslim, taat beribadah atau pemuka agama Islam.

c. Ciri-ciri campur kode

Menurut Suwito (1983: 75), terdapat ciri-ciri dari gejala campur kode adalah sebagai berikut.

1) Hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan

Dalam hal tersebut peranan mempunyai maksud siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jika seorang penutur dalam penuturannya bercampur kode, maka perlu dipertanyakan lebih dulu siapakah dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus penutur (misalnya latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan) sangat penting. Di pihak lain fungsi kebahasaan menentukan sejauh mana bahasa yang dipakai oleh penutur member kesempatan untuk melakukan campur kode.

2) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri

Maksud dari unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri adalah unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipi. Dengan kata lain secara keseluruhan unsur tersebut telah mendukung dalam satu fungsi.

d. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode

Suwandi (2008: 95) menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode antara lain: (1) partisipan

mempunyai latar belakang bahasa ibu yang sama, (2) adanya keinginan penutur untuk memperoleh ungkapan yang “pas”, (3) kebiasaan dan kesantaian peserta tindak tutur dalam berkomunikasi. Campur kode dapat terjadi karena antara penutur dan lawan tutur mempunyai bahasa ibu yang sama. Kesamaan bahasa ibu tersebut akan mempermudah dalam komunikasi karena antara penutur dan lawan tutur saling memahami makna tuturannya. Selanjutnya, campur kode terjadi karena tidak ada istilah yang sesuai dengan bahasa yang sedang digunakan. Setelah itu campur kode terjadi juga karena situasi yang santai.

Pendapat lain, menurut Suwito (1983: 77), faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode antara lain identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain, dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya. Oleh karena itu, identifikasi peran meliputi status sosial, pendidikan serta golongan dari penutur bahasa tersebut. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada saat melakukan campur kode, ragam tersebut akan menentukan kedudukan pada status sosial.

Penulis menyimpulkan bahwa campur kode terjadi karena beberapa faktor. Hal ini merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode persamaan bahasa ibu, mendapatkan ungkapan yang sesuai, kebiasaan dan kesantaian peserta tutur, identifikasi peranan, identifikasi ragam, keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.

e. Wujud campur kode

Suwito (1993: 78-80) menjelaskan bahwa wujud campur kode yaitu campur yang berwujud kata, frasa, baster, perulangan kata, idiom, klausa.

1) Campur kode yang berwujud kata

Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atu dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa, atau deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan mempunyai arti (Chaer, 1994: 164). Kata merupakan susunan dari deretan-deretan huruf yang terletak di antara dua spasi dan deretan tersebut mempunyai makna tertentu yang merupakan hasil perwujudan pikiran dan perasaan penutur. Campur kode berwujud kata merupakan penyisipan unsur kata suatu bahasa ke dalam bahasa lain.

2) Campur kode yang berwujud frasa

Frasa merupakan satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat non predikatif atau gabungan kata yang mengisi

salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994: 222). Frasa merupakan gabungan dari kata yang tidak mengandung unsur predikat. Unsur yang ada dalam frasa tidak dapat mengisi unsur lainnya. Misalnya unsur S saja, unsur O saja, unsur pelengkap saja, atau unsur K saja.

Senada dengan pendapat Kridalaksana (2008: 66), frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang. Jadi, batasan frasa tidak melebihi unsur yang terkandung di dalam klausa. Frasa bisa terbentuk lebih dari dua kata tetapi hal tersebut tidak mengandung unsur predikat.

Berdasarkan pendapat di atas, frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang bersifat non predikatif yang susunannya tidak melebihi batas fungsi klausa. Cmpur kode berwujud kata merupakan penyisipan dua kata atau lebih suatu bahasa satu ke dalam bahasa lainnya yang tidak mengandung unsur predikat. Selain itu tidak melebihi batas fungsi klausa.

3) Campur kode yang berwujud baster

Baster merupakan hasil proses afiksasi suatu bahasa dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa lain. Misalnya afiksasi bahasa Indonesia dengan unsur-unsur bahasa dari bahasa Jawa atau sebaliknya.

Proses afiksasi disebut juga dengan proses imbuhan. Menurut Chaer (1994: 177), Afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) bentuk dasar, (2) afiks atau imbuhan, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan. Proses afiksasi terbentuk jika ada kata dasar yang ditempeli imbuhan baik di depan, tengah atau di belakang dari suatu unsur bahasa ke dalam unsur bahasa lain untuk membentuk suatu kata baru.

4) Campur kode yang berwujud perulangan kata

Campur kode yang berwujud perulangan kata merupakan mengulang kata lebih dari satu kali (reduplikasi). Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2014: 182).

5) Campur kode yang berwujud idiom

Idiom merupakan satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal (Chaer, 2014: 296).

Kridalaksana (2008: 90) mengungkapkan bahwa idiom adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain, konstruksi maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.

Jelaslah bahwa idiom terbentuk dari gabungan beberapa kata untuk membentuk makna yang baru. Masing-masing kata tersebut mempunyai makna yang berbeda.

6) Campur kode yang berwujud klausa

Klausa merupakan satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008: 124). Dapat disimpulkan bahwa klausa tersusun atas predikat. Jika dikembangkan maka klausa akan membentuk suatu kalimat.

Dijelaskan lebih lanjut, menurut Khairah dan Ridwan (2014: 86), klausa mengandung suatu proses, perbuatan, atau keadaan, sedangkan frasa tidak. Jelaslah bahwa susunan kelompok kata yang ada di dalam klausa menggambarkan suatu perpindahan atau perubahan. Hal tersebut merupakan pergerakan suatu perbuatan atau keadaan. 6. Perbedaan dan Persamaan Alih Kode dan Campur Kode

Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi. Sebagai contoh, penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur

menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.

Chaer dan Agustina, 2010: 114-115) membedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Akan tetapi, jika dalam suatu peristiwa tutur klausa dan frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode dan campur kode mempunyai persamaan ialah menggunakan dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur, sedangkan perbedaan alih kode dan campur kode ialah jika terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain maka disebut alih kode dan apabila masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri maka disebut campur kode.

7. Radio

Menurut Sunarjo (1995: 277), radio adalah keseluruhan sistem gelombang suara yang dipancarkan dari satu stasiun dan kemudian dapat diterima oleh berbagai pesawat penerima seperti rumah, kapal, dan mobil. Media radio banyak dipilih masyarakat karena dalam kenyataannya mendengarkan radio tidak menyita waktu. Radio merupakan media massa

yang mudah dan murah, karena hanya dengan membeli perangkat radio tanpa harus membayar iuran, hiburan dan informasi bisa didapatkan.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Sunarjo (1995: 278) bahwa radio juga memiliki kekuatan yaitu:

a. radio memungkinkan partisipasi audience atau seolah-olah audience menyaksikan sendiri suatu kejadian yang sedang disiarkan,

b. para pendengar seolah-olah memperoleh suatu acara untuk keperluan pribadi,

c. komunikasi melalui radio seolah-olah mewakili komunikasi tatap muka (face-to-face communication),

d. bahwa radio dapat menyebarkan berita lebih cepat disbanding dengan media massa yang lain (pers, televisi, dan film),

e. setiap pendengar radio mungkin merasa bahwa salah satu dari sekian banyak anggota kelompok pendengar radio yang jumlahnya sangat besar.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa radio adalah sistem gelombang suara yang dipancarkan dari satu stasiun ke berbagai pesawat penerima. Radio juga merupakan media massa yang banyak diminati masyarakat karena penggunaannya yang mudah, harganya murah, tidak menyita waktu dan tempat, serta mempunyai banyak kelebihan seperti memberi hiburan bagi pendengarnya.

8. Iklan

a. Pengertian Iklan

Menurut KBBI (Dendy Sugono dkk, 2008: 521), disebutkan bahwa iklan adalah berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) tentang barang atau jasa yang ditawarkan. Senada dengan pendapat di atas, Mulyana (2005: 64) menjelaskan bahwa umumnya, iklan dipasang di media massa, baik cetak maupun elektronik. Perbedaan antara iklan dengan informasi atau pengumuman biasa terletak pada ragam bahasa, retorika penyampaian, dan daya persuasi yang diciptakan. Pada iklan, bahasanya distrategikan agar berdaya persuasi, yaitu mempengaruhi masyarakat agar tertarik dan membeli.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iklan adalah berita pemasaran dan penyampaian informasi tentang barang dan jasa dengan menggunakan media non personal yang dibayar. Iklan bersifat mengajak, mendorong dan mempengaruhi seseorang agar tertarik dan membeli barang dan jasa yang ditawarkan.

b. Bahasa Iklan

Pada umumnya iklan dirancang untuk menarik perhatian konsumen agar membeli atau menggunakan barang atau jasa yang ditawarkan. Untuk itu, peran bahasa sangatlah penting. Dengan bahasa yang menarik, indah dan sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai akan lebih mudah di mengerti.

Sebagai bentuk wacana, bahasa iklan memiliki ciri dan karakter tertentu. Dalam iklan, penggunaan bahasa menjadi salah satu aspek penting bagi keberhasilan iklan. Oleh karena itu, bahasa iklan harus mampu menjadi manifestasi atau presentasi dari hal yang diinginkan pihak pengiklan kepada masyarakat luas. Tujuannya ialah untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik dengan sesuatu yang diiklankan.

Bahasa iklan memegang peranan sangat vital dalam menyampaikan maksud iklan itu sendiri. Di media elektronik, seperti televise misalnya, terkadang ditemukan iklan yang minim bahasa. Gejala itu tidak dengan sendirinya menafikkan pentingnya bahasa dalam iklan. Persoalan sedikit banyaknya bahasa yang digunakan hanya berkutat pada pemahaman tentang aspek mana yang lebih perlu untuk ditonjolkan dalam iklan, gambar atau bahasa verbal.

Pada kenyataannya, bahasa (iklan) sebagai kenyataan sosial (social reality) telah ikut mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pandangan, gagasan, dan perilaku mereka. Bahasa iklan yang terus-menerus didengar akan merasuk dan mengkristal di dalam pikiran dan jiwa masyarakat. Akibatnya, hal yang diiklankan akan secara otomatis dimunculkan tatkala seorang menghadapi sesuatu persoalan” (Mulyana, 2005: 65).

Di samping bahasa yang wajib mendapat perhatian, ada pedoman kebahasaan yang digunakan untuk bahasa iklan, yaitu:

mudah dipahami konsumen, sederhana bahasanya dan jernih pengutaraannya, tanpa kalimat majemuk, kalimatnya aktif, bukan kalimat pasif, padat dan kuat bahasanya, positif bahasanya, bukan bahasa negatif. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa iklan adalah bahasa yang memegang peranan penting dalam penyampaian maksud dari iklan yang disampaikan/ditawarkan serta dapat mempengaruhi masyarakat luas. Bahasa iklan tersebut harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian “Analisis Alih Kode dan Campur Kode dalam Iklan Radio Merapi Indah 104.9 FM Kabupaten Magelang” adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah suatu proses penelitian yang dialami suatu subjek penelitian yang digambarkan apa adanya dan tidak memanfaatkan perhitungan angka atau dilakukan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata atau bahasa. Ismawati

Dokumen terkait