• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI HUKUM ISLAM

A. Aliran Ahlul Hadis (tradisionalis/traditionalism)

Ahmad Athiyyatullah dalam kitabnya, Qamus al-Islami merumuskan pengertian Ahlur Hadis sbb:

Ahlul Hadis ialah fukaha yang membina hukum-hukum syara’ atas dasar nas-nas hadis dengan tidak

39

menggunakan qiyas, baik qiyas jali maupun qiyas khafi, selama mereka mendapatkan hadis.6

Asywadie Syukur mengemukakan, aliran yang dikenal dengan nama Ahlul Hadis (L ‘ECOLE DE LA

TRADISIONELLE) adalah aliran yang hanya menetapkan suatu hukum berdasarkan lahirnya ayat atau hadis atau aliran yang sangat membatasi diri mempergunakan rasio.7 Ahlul Hadis muncul atau berpusat di Hijaz (dulu Yatsrib - sekarang Madinah) yang karena itu dijuluki pula dengan Ahlul Hijaz atau Hijazi.8

Adapun sabab-musabab Ahlul Hijaz dijuluki Ahlul Hadis, menurut Abd. al-Wahhab Khallaf adalah sbb:

Ulama-ulama Hijaz berusaha menghapal hadis-hadis dan fatwa-fatwa sahabat. Mereka menetapkan hukum berdasarkan pada fatwa yang mereka peroleh dari sahabat, susunan kata dalam hadis dan pendapat

sahabat dengan tidak membahas ‘illat-‘illat kausalitas

hukum. Karenanya apabila mereka memperoleh sesuatu pengertian dari nas yang tidak sesuai dengan pendapat

6Lihat Ahmad Athiyyatullah, al-Qamus al-Islami, Jilid I; Kairo, Maktabah al-Nahdhiyyah al-Mishriyyah, 1936, h. 120.

7

Lihat Asywadie Syukur, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqhi, Jilid I, Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1982, h. 35.

8

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1971, h. 90.

40

akal, maka mereka pun berkata: Inilah nas; atau tidak berkata: Inilah qiyas.9

T. M. Hasbi As-Shiddieqy dalam buku, Sejarah

Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam

(karangannya) mengemukakan sbb:

Apabila para ulama Ahlul Hadis dihadapkan kepadanya sesuatu masalah, maka mereka mencari penyelesaiannya pada Kitabullah, kemudian pada sunnah Rasul. Kalau mereka mendapatkan hadis berbeda-beda, maka mereka mengambil hadis yang diriwayatkan oleh periwayat- periwayat yang lebih utama. Apabila mereka tidak memperoleh hadis, maka mereka mencari pendapat sahabat. Jika merek tidak memperoleh pendapat sahabat, maka mereka mempergunakan ijtihad atau tidak memberi fatwa.10

Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan pula, bahwa Ahlul Hadis adalah ulama yang dalam menetapan hukum terhadap suatu masalah, hanya lebih berpegang pada hadis-hadis yang diperolehnya sebagai sumber atau dalil penetapan. Mereka cukup hanya berhenti pada hadis yang ada, tanpa ingin menggunakan rasio padanya. Apabila tidak memperoleh hadis, maka mereka mencarikan pendapat sahabat; dan kalau tidak memperoleh pendapat sahabat, maka mereka mendiamkannya.

9

Ibid., h. 90.

10

41 B. Aliran Ahlur Ra`yi (Rasionalis/Rationalism)

Ahmad Athiyyatullah juga dalam kitabnya, al-Qamus al-Islami merumuskan pengertian Ahlur Ra`yi sbb:

Ahlur Ra`yi ialah fukaha yang berpegang pada daya nalarnya dan membadingkan hukum-hukum syara’

dengan dasar qiyas (analogi). Mereka menghasilkan wajah hukum dari qiyas dan pengertian yang diistinbathkan atasnya serta dibinanya hadis-hadis atasnya, namun dengan lebih banyak mendahulukan qiyas dari pada hadis ahad.11

Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan, ulama Ahlur Ra`yi tidak akan menerima sesuatu hadis sebelum memajukan kepada keterangan-keterangan al-Qur`an

yang tidak memerlukan sesuatu pun penjelasan

(muhkam).12 Asywadie Syukur mengemukakan, aliran yang dikenal dengan nama Ahlur Ra`yi (L ‘ECOLE DE LA

RATIONELLE) adalah aliran yang sangat luas mempergunakan rasio dalam membahas hukum dan sedikit mempergunakan al-Qur`an dan hadis.13 Aliran atau madrasah Ahlur Ra`yi muncul atau berpusat di Irak; dan karena itu dijuluki pula dengan Ahlul Irak atau Iraqi.14

11

Lihat Ahmad Athiyyatullah, loc. cit.

12

Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an/Tafsir, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 190.

13

Lihat Asywadie Syukur, op. cit., h. 35.

14

42

Abd. al-Wahhab Khallaf mengemukakan, ulama-ulama Irak dinamai Ahlur Ra`yi, karena dalam menetapkan hukum, mereka menelusuri maksud-maksud

syara’ dan sendi-sendi hukum syara’. Mereka berpandangan bahwa segala hukum syara’ adalah ma’qul

ma’na (terbuka ditelusuri maksudnya); dan maksud

hukum itu sendiri ialah kemaslahatan umum serta semua hukum itu berpegang pada satu prinsip dan satu tujuan. Pandangan itu membuat mereka memahami dan mentarjihkan sebagiannya dan mengistinbathkan sebagian yang tidak ada nas, meskipun kadang-kadang mereka tidak perpegangi nas menurut zhahirnya; atau mentarjihkan suatu nas dengan yang lain berdasarkan pada prinsip-prinsip umum maksud syara’.15

Berdasarkan pengertian dan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan pula bahwa Ahlur Ra`yi adalah ulama yang mengerahkan nalar dalam menganalisis suatu masalah, tanpa terlebih dahulu berusaha mencari hadis yang mungkin dapat menjadi penjelasan bagi ayat. Ia lebih berusaha memahami ‘illat-‘illat ayat dan menyelami keadaan masyarakat dengan mengaitkannya ‘illat-illat

ayat.

Adapun contoh sederhana akan pemikiran keagamaan kedua aliran tersebut pada zaman modern

15

Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 90.

43

sekarang, antara lain misalnya Aliran Ahlul Hadis berpandangan bahwa seseorang azan di Indonesia, ketika sampai pada kalimat hayya ‘alash-shalah seharusnya memalingkan badan ke arah agak kanan (utara) serta ketika melanjutkan dengan hayya ‘alal-falah, seharusnya memalingkan badan ke arah agak kiri (selatan). Ia berpandangan seperti itu, karena memang menurut riwayat seperti itulah Bilal dan Ummi Maktum (dua muazzin pada zaman Nabi saw.) membawakan adzan. Pandangan ini diperpegangi dan dipraktikkan anggota organisasi Wahdah Islamiyah Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Aliran Ahlur Ra`yi berpandangan bahwa seseorang adzan ketika samapi ke hayya ‘alash -shalah tidak perlu memalingkan badan ke arah agak kanan (utara) serta ketika melanjutkan dengan hayya

‘alal-falah, tidak perlu pula memalingkan badan ke arah

agak kiri (selatan). Aliran ini berpendapat bahwa memalingkan badan ke arah agak kanan (utara) dan ke arah agak kiri (selatan) seperti yang dilakukan Bilal dan Ummi Maktum, dimaksudkan agar warga yang berada masing-masing di sebelah utara dan sebelah selatan masjid dapat mendengar adzan dengan baik sekaligus bisa terbangun untuk shalat.

Kalau tidak memalingkan badan seperti itu, sang muadzdzin hanya mengandalkan kekuatan suara sendiri, tanpa alat pengeras suara seperti sekarang, kemungkinan

44

warga di sebelah utara dan selatan masjid tidak dapat mendengar adzan dengan baik, menyebabkan tidak terbangun untuk shalat. Ketersediaan alat pengeras suara

(sound system) yang banyak dan canggih pada zaman modern sekarang, yang jika muadzdzin menggunakannya, maka menghadap kemana saja atau cukup menghadap ke barat, suaranya sudah terdengar sampai jauh ke seluruh penjuru. Di mana pun kawasan kaum muslim berada, pasti dapat mendengar adzan dengan jelas dan terang.

B. Sebab-Sebab Timbul Aliran Ahlul Hadis dan Ahlur