MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
I. METODE WAHYU NABI MMUHAMMAD SAW
Q. S. al-Maidah (5): 49: َِن أ و َ مُك ۡحٱ َ َ ل زن أَ ا مِبَمُه نۡي ب ََُّللٱ َ َ وَ ۡمُه ء ا وۡه أَ ۡعِبَّت تَ لَّ و َۡمُه ۡر ذ ۡحٱ َ َ ِضۡع بَ ۢن عَ كوُنِتۡف يَن أ َ ل زن أَ ا م ََُّللٱ َ َ فَْا ۡوَّل و تَنِإ فَ ٞۖ كۡي لِإ َۡم ل ۡعٱ َ َُدي ِرُيَا مَّن أ ََُّللٱ َ ََّنِإ وَهۡمِهِبوُنُذَ ِضۡع بِبَمُه بي ِصُيَن أ َ نِ مَا ريِث ك َ َ ِساَّنلٱ َ َ نوُقِسَٰ ف ل ٤٩ َ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik (49).
***
106
Zaman Nabi Muhammad saw. merupakan periode pertama dalam sejarah pembinaan hukum Islam (tasyri’), yang dimulai sejak kenabian Muhammad saw. tahun 610 M hingga wafatnya pada tahun 632 M.76 Sumber kekuasaan tasyri’ dipegang langsung Nabi saw. sendiri. Tak seorang pun dari kaum muslim yang boleh memberi ketetapan hukum pada suatu masalah, baik untuk diriya sendiri maupun untuk orang lain.
Kehadiran Nabi saw. di tengah-tengah kaum muslim dan mudahnya tiap individu dari kaum muslim untuk menanyakan setiap permasalahan kepada beliau, menyebabkan tidak seorang pun dari kaum muslim, termasuk kalangan ulama yang berani berijtihad lalu berfatwa tentang suatu permasalahan, baik yang tergolong kecil maupun yang besar, seperti persengketaan genting di antara mereka. Semua permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan mereka, mereka langsung menanyakan kedudukan hukumnya kepada beliau.
Athiyyah Masyrifah mengemukakan, sumber penetapan hukum pada zaman Nabi saw. ada 3 (tiga), yaitu (1) al-Qur`an al-Karim sebagai wahyu yang diturunkan langsung Allah dengan sempurna lafazh dan jelas maksudnya, (2) al-sunnah, yaitu yang disandarkan
76
Lihat Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum Dalam Islam, Cet. I; Bandung: Al-Ma’arif, 1981, h. 33.
107
kepada Nabi saw. berupa perkataan (qauliyyah),
perbuatan (fi’liyyah) dan restu (taqrir)-nya, dan (3)
ijtihad, yaitu yang disandarkan pada qiyas (ra`yu).77
Penjabaran atas ketiga sumber penetapan hukum Islam tersebut adalah sbb:
a. Nabi saw. berpegang pada ayat-ayat al-Qur`an yang diturunkan Allah dengan membatalkan masalah-masalah tertentu dari tradisi jahiliah, lalu menetapkan hukum (ketentuan Allah) atas masalah-masalah itu. b. Bila ada permasalahan yang menghendaki penetapan
hukum, Nabi saw. menunggu wahyu turun dan setelah wahyu turun, permasalahan yang ada, ditetapkan berdasarkan kehendak wahyu yang turun.
c. Kalau tidak ada wahyu yang turun memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang ada, maka Nabi saw. berijtihad untuk menetapkan hukum tentang permasalahan yang ada itu.
d. Nabi saw dalam berijtihad mengutamakan kemaslahatan umat dengan berpedoman pada ruh
tasyri’ dan di samping itu, beliau seringkali
bermusyawarah dengan para sahabat.78
77
Lihat Athiyyah Masyrifah, al-Qadha` fi al-Islam, Cet. I; Mesir: Dar al-Kutub al Hadits, 1966, h. 22.
78
Lihat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam - Departemen Agama R. I., Agama, Perkembangan Pikiran dan Pembangunan; Jakarta: Proyek Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN Pusat, 1982/1983, 23.
108
Masalah yang diijtihadkan Nabi saw., hanyalah yang berhubungan dengan keduniaan. Proses ijtihadnya, senantiasa mendapat pemeliharaan dari Allah. Jika ijtihadnya benar, maka Allah mengukuhkannya, sedangkan jika salah, maka Allah membetulkannya. Pada haikatnya hasil ijtihad Nabi saw. bernilai wahyu pula. Pemahaman ini didasarkan pada Q. S. al-Najm (53): 3-4:
ا م و
َ
َ ِن عَُقِطن ي
َ َٰى و هۡلٱ
َ
٣
ََ
َ َٰى حوُيَ ٞي ۡح وَ َّلَِّإَ وُهَ ۡنِإ
٤
َ
َ
Dan tiadalah yang diucapkan (oleh Nabi Muhammad saw.) itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya (3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya (4).
Ayat tersebut mengisyaratkan pemahaman pula bahwa ketentuan hukum suatu masalah yang ditetapkan Nabi saw. melalui ijtihad adalah sama kedudukannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan wahyu. Pada dasarnya, hukum yang ditetapkan Nabi saw. melalui ijtihad adalah atas dasar bimbingan Allah juga. Ijtihadnya akan senantiasa sesuai dengan kehendak Allah atau wahyu. Manusia tidak dibenarkan terbesit dalam pikirannya, bahwa hasil ijtihad beliau bersifat mungkin benar dan mungkin salah. Penetapan hukum melalui Ijtihad beliau adalah bersifat mutlak benar sebagaimana benarnya penetapan hukum berdasarkan suatu wahyu.
109 II. METODE MUSYAWARAH ABU BAKAR Al-SHIDDIQ
110
Setelah Nabi saw. wafat, para sahabat besarlah sebagai ahli hukum yang bertugas menetapkan hukum dan memberikan fatwa terhadap permasalahan hukum yang ada berdasarkan al-Qur`an dan sunnah. Salah satu dan yang paling utama dari sahabat besar itu ialah Abu Bakar al-Shiddiq yang sekaligus menjadi Khalifah pertama dengan masa kekhalifahan selama 2 (dua) tahun, yaitu tahun 11 H - 13 H.
Sebagai Khalifah, ia bertanggung jawab untuk menetapkan hukum dan memberikan fatwa tentang masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah umat Islam. Salah satu cara penting yang ditempuh beliau dalam menetapkan hukum ialah melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabat besar lainnya untuk mengambil satu ketentuan hukum. Cara ini kemudian oleh ulama Ushul Fikih disebutnya dengan ijma. Imam al-Bagawi menukilkan sbb:
Jika Abu BAKAR menyelesaikan suatu permasalahan, maka ia mencari hukumnya dalam al-Qur`an. Kalau
menemukan di dalamnya, maka diputuskanlah
dengannya. Kalau ia tidak menemukan, namun mengetahui ada ketentuan hukumnya dalam sunnah, maka ditetapkanlah hukumnya dengannya. Kemudian kalau menemukan kesulitan, maka ia keluar lalu bertanya kepada sahabat-sahabat seraya berkata: Sudah dihadapkan kepadaku permasalahan semacam ini, apakah kalian pernah menyaksikan Nabi saw. memutus permasalahan semacam ini dengan suatu putusan?
111
Kadang-kadang para sahabat besar berkumpul dengan menyebut-nyebut adanya putusan dari Nabi saw., lalu Abu Bakar berkata: Segala puji bagi Allah yang sudah menjadikan di antara kita orang-orang yang menghapal sunnah Nabi kita. Kalaulah ia menemui kesulitan dalam mendapatkan kedudukan permasalahannya dalam sunnah Nabi, maka ia pun mengundang tokoh-tokoh sahabat pilihan dari mereka untuk membicarakannya dan
menetapkan hukumnya. Kalau mereka sudah
menyepakatinya, maka ia menetapkan hukumnya dengannya; dan inilah ijma.79
Penerapan metode musyawarah Abu Bakar al-Shiddiq dapat dicontohkan dengan sebuah riwayat sbb:
Diriwayatkan al-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffazh, bahwa menurut riwayat Ibn Syihab dan dalam Qabishah Ibn Duaib, bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar al-Shiddiq meminta bagian pusaka, Abu Bakar pun berkata: Saya tidak menemukan untuk engkau dalam al-Qur`an sesuatu bagian. Saya pula tidak mengetahui ada dari Rasulullah membagi bagian nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada sahabat-sahabat, lalu al-Mugirah berdiri dan berkata: Saya mendengar Rasulullah memberikan seperenam bagian kepada nenek, lalu Abu Bakar bertanya: Aapakah ada orang lain yang mendengar bersama engkau? Muhammad bin Maslamah
79
Abd. al-Wahhab Khallaf, Khulashah Tasyri’ Islam, diterjemahkan oleh Azizs Masyhuri dengan judul, Ringkasan Sejarah Perundang-Undangan Islam, Cet. I; Semarang: Ramadhani, 1979, h. 4.
112
mengakui ada mendengar juga dari Rasulullah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek itu.80
Abu Bakar memperpegangi Ijma sebagai tugas dan kewajibannya sebagai Khalifah. Ia memperpegangi dan menerapkan Ijma bila permasalahan yang diajukan kepadanya telah dicarikan ketentuan hukumnya, baik di dalam al-Qur`an maupun di dalam sunnah, tetapi tidak ditemukan di dalam keduanya. Ijma adalah sumber terakhir yang dipergunakan dan diterapkannya sesudah
al-Qur`an dan sunnah.
80
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1971, 30.
114 III. METODE RA’YU ( ٌىْأَر : PENDAPAT)