• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

MALIK BIN ANAS

B. Penerapan Metode Istishhab al-Ghazali

Al-Ghazali tidak dikenal seorang mujtahid mutlak, namun ia juga menggagas metode ijtihad tersediri. Hal itu dilakukan setelah ia melanglang untuk mengkaji ushul fikih yang telah ada, menyebabkan metode ijtihad yang ditempuhnya bercorak ekslusif, namun tetap dalam bagian dari sistematika ijtihad yang mu’tabar, yaitu berpegang pada al-Qur`an dan sunnah sebagaimana yang

118

Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. IV; Jakarta: UI Press, 1985, 57.

119

144

dipraktikkan sahabat.120 Al-Ghazali melangkah berijtihad diinspirasi oleh Q. S. al-Nisa (4): 59 - terjemahnya - sbb:... jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasulullah (hadis), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.121

Al-Ghazali yang dikenal sufi besar, ia memperlihatkan karakternya itu dalam berijtihad dengan menyatakan, ijtihad itu harus menggunakan pendekatan yang bersifat menggali nilai-niai yang tersirat dalam

syara’, bukan hanya yang tersurat. Seseorang yang sifat penggaliannya hanya berhenti pada bunyi nas dan terikat pada arti simboliknya, tanpa memerhatikan nilai-nilai kontekstual, ia akan terjebak kekeliruan dakam berijtihad. Apabila berijtihad, seharusnya memerhatikan arti ayat secara kontekstual dan secara komprehensif.

Al-Ghazali juga menggunakan metode tarjih dengan catatan, apabila terdapat hal-hal berikut: 1. Kesetaraan validitas (tsubut) dan dalil, seperti antara satu ayat dengan ayat yang lain, dan antara satu hadis ahad dengan hadis yang lain. 2. Kesetaraan dalam kekuatan, sehingga tidak ada tarjih antara hadis ahad dengan ayat

120

Lihat ibid., h. 185.

121

Lihat al-Ghazali, al-Mushtashfa min ‘ilm al-Ushul, disyarah oleh al-Syaikh Muhibbullah Abd. al-Syakur; Beirut: Dar al-Fikr, t. th., h. 112-113.

145

al-Qur`an. 3. Mengacu pada satu sasaran hukum yang desertai kesamaan waktu dan tempat.122

Al-Ghazali pun menggunakan metode istishhab. Wahbah al-Zahaili merumuskan sbb:

Istishhab ialah apa yang telah ditetapkan hukumnya pada masa lalu, masih dapat diberlakukan pada masa sekarang dan pada masa akan datang, selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.123

Al-Zuhaili mengemukakan, metode yang diperpegangi al-Ghazali dalam menetapkan hukum syara’

adalah al-Qur`an, sunnah. ijma dan dalil nalar (istishhab).

Istishhab dibaginya ke dalam 4 (empat) macam, yaitu (1)

istishhab al-khashshah, (2) istishhab al-‘ammah, (3)

istishhab al-nash dan (4) istishhab al-ijma. Akan tetapi Istishhab al-ijma tidak boleh diperpegangi karena tidak ada dalil yang menguatkannya.124

Sementara pendekatan akal, al-Ghazali berpandangan bahwa ia hanya digunakan untuk hukum lama yang diberlakukan sebelum datangnya syariat. Hukum lama yang diperpegangi dengan berdasarkan akal terhapus dengan sendirinya oleh hukum Islam yang

122

Lihat Wahbah al-Zuhaili, ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II, Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1986, h. 408.

123

Lihat ibid., h. 409.

124

146

berdasarkan al-Qur`an dan hadis, kecuali mengenai hal-hal yang dinyatakan secara tegas oleh syariat akan keberlakuannya.125

Al-Ghazali pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan ulama-ulama mujtahid sebelumnya yang memperpegangi al-Qur`an, sunnah, qaul sahabat,

istishhab dan akal. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan istishhab. Al-Ghazali membaginya ke dalam beberapa macam dan memberi pengertian yang lebih luas. Selain itu, dalam memahami nas, ia sangat menekankan pemahaman maknawi (apa yang tersirat)

sekaligus mengaitkan dengan nilai-nilai kontekstual.

X. METODE SALAFI ( ٌّىِفَلَس ) dan AKAL IBN TAIMIYAH A. Riwayat Hidup Singkat Ibn Taimiyah

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad Abdul Halim bin Abdus-Salam Syihabuddin bin Taimiyah, kemudian terkenal dengan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah lahir di Haran - Turki pada pada tanggal 10 Rabiulawal tahun 661 H bertepatan dengan tanggal 22 Januari tahun 1236 M.126 Pada mulanya keluarga Ibn Taimiyah bermukim di daerah yang terletak di lembah Mesopotamia Utara. Akan tetapi karena pendudukan dan kekejaman bangsa Mongol dengan tentara Tartarnya

125

Lihat ibid.

126

147

atas wilayah Haran, menyebabkan keluarganya hijrah ke Damaskus, ibukota Surya pada pertengahan tahun1260 M.127

Keluarga Ibn Taimiyah tergolong keluarga miskin, tetapi cinta dan kaya ilmu, sehingga tergolong keluarga cendekiawan. Kakeknya, Syaikh Majduddin Abdus-Salam adalah pemuka dalam mazhab Hanbali dan berpegang kuat pada ajaran salaf. Ayahnya adalah, Syihabuddin Abdul-Halim adalah seorang ulama dan ahli hadis terkenal yang mengajar di berbagai perguruan tinggi di Damaskus.128

Pendidikan Ibn Taimiyah dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun dengan belajar al-Qur`an dan hadis pada ayahnya sendiri. Kemudian ia memasuki sekolah di Damsakus dengan mempelajari berbagai ilmu keislaman. Pada usia 10 (sepuluh) tahun ia telah menghapal al-Qur`an dengan sempurna.

Ibn Taimiyah kemudian lanjut mempelajari kitab-kitab hadis induk (Kutubus-Sittah), Mu’jam al-Thabari, Ilmu Hitung dan Bahasa Arab dari Ibn Abdul-Qawi serta termasuk Ilmu Kalam dan Filsafat. Ilmu-ilmu tersebut relatif dikuasainya dengan baik, sehingga mendapat

127

Lihat ibid.

128

148

kekaguman dari penduduk Damaskus.129 Karena kejeniusan dan ketekunannya yang luar biasa menyebabkannya berhasil menamatkan pendidikannya pada usia 20 (dua puluh) tahun; serta setahun kemudian ia diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Hukum Mazhab Hanbali menggantikan kedudukan ayahnya yang telah wafat.130

Pada usia 30 tahun tahun, Ibn Taimiyah sudah diakui kapasitasnya sebagai seorang ulama besar yang menandingi ulama-ulama besar semasanya dan yang membebaskan diri dari ikatan mazhab, meski agak

Hanbaliyyi, yaitu cenderung kepada Imam Hanbali. Ia dikenal sebagai ahli hadis, ahli hukum, ahli fikih, ahli tafsir, ahli filsafat, dan ahli tasawuf. Keulamaannya mencakup seluruh bidang studi keislaman disertai karya-karya yang monumental, sehingga mendapat gelar

Syaikhul-Islam (Gurunnya Umat Islam).131

Ibn Taimiyah tampil sebagai seorang ulama pembaru yang gigih dan konsisten. Ia banyak berbeda dengan ulama yang pro pemerintah, yang nota bene dari ulama pengikut mazhab. Karena kegigihan dan kekonsistenannya sehingga ia keluar masuk penjara dan bahkan wafat dalam penjara di Damaskus pada tanggal

129 Lihat ibid. 130 Lihat ibid. 131 Lihat ibid.

149

10 Zulkaidah 728 H/26 September 1328 M (dalam usia 67 tahun).132

Ibn Taimiyah menekuni dunia tulis-menulis sejak usia 20 tahun dan menghasilkan karya tulis sebanyak 500 judul. Tulisan-tulisannya umumnya berisi komentar-komentar dan kritik terhadap segala pendapat dan paham ulama, baik semasanya maupun pendahulunya yang tidak sejalan dengan pikirannya, yang karena menurutnya bertentangan dengan al-Qur`an dan hadis.133

Adapun kitab-kitab karya Ibn Taimiyah, antara lain

al-Radd al-Manthiqiyyin, (Jawaban terhadap Ahli Manthiq), Manhaj al-Sunnah al Nabawiyyah (Metode Sunnah Nabi saw.), al-Majmu’ah al-Fatawa (Kumpulan Fatwa-Fatwa), Bayan al-Muwafaqat al-Shahih al-Ma’qul

wa al-Sharih al-Manqul (Uraian tentang Kesesuaian Pemikiran Yang Benar dan Dalil Nakli yang Jelas), al-Radd

‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah (Jawaban terhadap

Paham Hulul dan Ittihad), Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir

(Pengantar Dasar-Dasar Tafsir), al-Radd al-Falsafah Ibn Rusyd (Jawaban terhadah Falsafah Ibn Rusyd), Iqlil fi al-Mutasyabihah wa al-Ta`wil (Pembicaraan Mengenai Ayat-Ayat Mutasyabihah dan Ta`wil), al-Jawab al-Shahih

132

Lihat Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Menurut Ibn Taimiyah, Cet. I; Jakarta: Rhineka Cipta, 1990, h. 22.

133

150

li Man Baddala Imam al-Masih (Jawaban yang Benar terhadap Orang-Orang yang Menggantikan al-Masih),

al-Radd ‘ala al-Nushairiyyah (Jawaban terhadap Paham

Nushairiyyah), Risalah al-Qubrusiyyah (Risalah Qubrusiyyah), Itsbat al-Ma’ad (Menentukan Tuhan),

Tsubut al-Nubuwwah (Eksistensi Kenabian), Ikhlash

al-Ra’i wa al-Ra’iyyah (Keikhlasan Pemimpin dan yang

Dipimpin).134

Kitab-kitab karangan Ibn Taimiyah tersebut hampir seluruhnya yang bersisi komentar-komentar dan kritik terhadap segala paham teologi, filsafat dan tasawuf dari berbagai aliran, baik yang ekstrem maupun moderat yang berkembang di dunia Islam. Paham-paham yang dikomentari itu, misalnya yang tergolong ekstrim adalah aliran-aliran bathiniyah Jahmiyah, Mulapadah, Naishiriyyah Wahdat al-Wujud, Hululiyyah, Dahriyyah, Mujassimah, Rawandiyah, Musybihah, Muattilah, Salamiyah dan Kalabiyah. Sedangkan paham yang tergolong moderat adalah Muktazilah, Asy’ariyah dan

para pemikir Islam seperti al-Ghazali, Ibn Arabi dan Ibn Rusyd.135 Ibn Taimiyah tergolong pengajar dan pendidik

134Lihat ibid.

135

Lihat ibid. Dalam penilaian Ibn Taimiyah sebagaimana yang dikonfirmasikan al-Bazzar (seorang ahli hadis pada abad III H), bahwa pemuka aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menyimpang dari kebenaran akibat pemikiran-pemikiran mereka lebih banyak didasarkan pada argumen rasio; dan hanya relatif sedikit yang didasarkan pada dalil-dalil al-Qur`an dan hadis. Itulah sebabnya Ibn

151

yang profesional. Ia berhasil mengajar dan mendidik seorang muridnya menjadi seorang ulama berpengaruh pula di seluruh dunia Islam, yaitu Ibn Qayyim al-Jauziyah.