• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alqamah ibn Qays ibn ‘Abdillah an-Nakha’i al-Kufi

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 67-74)

Alqamah dilahirkan semasa hidup Rasulullah saw. Ia meriwayatkan hadits dari sejumlah besar sahabat Nabi. Sehingga Ibn al-Madini berkata: “Orang yang paling tahu tentang Ibn Mas’ud adalah Alqamah ibn al- Aswad.”

Imam Ahmad, Ibn Mu’in dan ahli hadits lainnya memandangnya

tsiqat. Tidak diketahui adanya kritik dari seorang ulama yang dapat menodai sifat adilnya. Karena itu, beberapa orang dari ashab assittah

meriwayatkan hadits dari Alqamah.

As-Syahristani memandangnya sebagai tokoh dan perawi Syi’ah, hanya karena Alqamah ikut bertempur bersama ‘Ali ibn Abi Thalib para Perang Shiffin. Tidak lebih dari itu. Tak seorang pun kalangan ulama terpercaya yang memandangnya penganut Syi’ah Rafidhah. Sudah saya jelaskan terdahulu bahwa seorang yang bergabung dengan pasukan ‘Ali tidaklah keluar dari prinsip-prinsip Sunni dan masuk pada golongan Syi’ah

Rafidhah. Semua orang yang berperang bersama ‘Ali tidak dapat dipandang telah keluar dari Ahlu-Sunnah wal-Jama’ah. Ini merupakan hal yang sudah dimaklumi. Dan tidak seorang pun dari pakar agama yang menyatakan lain.

Pendapat al-Jauzjani tidak sama dengan pendapat Ahlu Sunnah wal- Jama’ah. Tapi mereka tidak menggubris orang itu. Sebab dia pembid’ah. Saya hanya heran pada al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah,

100 Mizan al-I’tidal, 3/101. 101 Tahdzib at-Tahdzib, 7/276.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

mengapa ia menjadikan penentangan terhadap Mu’awiyah sebagai kriteria

tsiqat dan keadilan. Tidakkah hal ini merupakan sikap fanatik, menuruti hawa nafsu dan dengki kepada sahabat-sahabat Nabi? Ini cukup jelas pada anggapan yang diberikan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, kepada Alqamah ibn Qays sewaktu ia berkata, “Alqamah selalu memusuhi dan melawan ‘Mu’awiyah ibn Abu Sufyan sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.”

61. ‘Ali ibn Budaimah al-Harrani102

Ibn Mu’in, Nasa’i, Abu Zara’ah dan al-Ajli memandang ‘Ali sebagai orang tsiqat. Imam Ahmad berkata, “Hadits ‘Ali baik, tapi ia pemuka Syi’ah.” Menurut al-Jauzjani, ia menyimpang jauh dari kebenaran secara terang-terangan. Ibn Sa’ad memandang dia tsiqat. Menurut Abu Hatim, hadits ‘Ali baik. Ibn Hibban memasukkan dia ke dalam buku ats-Tsiqat. Imam Ahmad juga menyatakan dia tsiqat, walau ada sesuatu yang perlu digarisbawahi menurut Ahmad.

Para ulama sepakat mengenai sifat adil dan tsiqat ‘Ali ibn Budaimah. Tidak ada pernyataan ulama yang menodai keadilan dan kehujjahan haditsnya. Imam Ahmad, kendatipun memandang ‘Ali,sebagai pemuka Syi’ah, namun bersamaan dengan itu beliau juga menyatakan ‘Ali tsiqat. Hal yang menunjukkan bahwa ia dipandang Syi’ah adalah sikapnya yang condong dan berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertempurannya melawan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dan hal ini, seperti berkali-kali saya sebutkan, tidaklah merusak nilai keadilan seorang perawi. Wallahu a’lam bis-shawab.

62. ‘Ali ibn al-Ja’d ibn ‘Ubayd al-Jawhari al-Hasan al-Baghdadi103

Dalam bukunya, Al-Mizan, adz-Dzahabi menegaskan bahwa ‘Ali adalah penghafal hadits yang terpercaya. Yahya ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tsiqat dan sangat jujur. Abu Zara’ah juga memandang dia sangat jujur. Abu Hatim menyatakan bahwa ia terpercaya dan jujur. Shaleh ibn Muhammad menyatakan dia tsiqat. Sedangkan an-Nasa’i memandang dia sangat jujur. Menurut ad-Daruquthni, ia tsiqat dan terpercaya. Ibn Qani’ juga memberi penilaian yang sama. Menurut Mathin, ia tsiqat. Ibn ‘Adi berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu kejanggalan dalam hadits ‘Ali. Dan saya tidak pernah melihat pula hadits munkar dalam banyak riwayat yang ia terima dari orang tsiqat.”

Imam Ahmad ibn Hanbal secara khusus menyoroti kesyi’ahan ‘Ali dan segi pemahamannya terhadap al-Qur’an.

102 Mizan al-I’tidal, 3/115; Tahdzib at-Tahdzib, 7/285.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Inilah beberapa pendapat ulama mengenai ‘Ali ibn Jad. Mereka sepakat mengenai keadilan dan sifat tsiqatnya. Mereka juga mengakui kejujuran dan sifat amanah ‘Ali. Kalau mereka menyatakan bahwa dia Syi’ah, maka yang dimaksud adalah Syi’ah yang tidak merusak sifat adil, kejujuran dan amanahnya. Sebab dia hanya simpati dan berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, tanpa mengecam Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khaththab. Ia hanya mengecam Mu’awiyah, dan kadang-kadang ‘Utsman ibn ‘Affan. “Riwayat Ibn Hajar” dalam at-Tahdzib dari Ahmad Ibrahim ad-Dawraqi menunjukkan hal di atas. Diceritakan bahwa Ibrahim berkata kepada ‘Ali ibn Jad, “Aku dengar kau meremehkan ‘Umar ibn Khaththab?” Ia menjawab: “Tidak. Aku tidak pernah melakukan itu. Aku hanya berkata. “Kalau Allah memberi azab kepada Mu’awiyah, aku tidak keberatan.

Harun ibn Sufyan al-Mustamli berkata, “Aku duduk di samping ‘Ali ibn Jad. Lalu ia menyebut-nyebut nama ‘Utsman ibn ‘Affan, seraya berkata: “ ‘Utsman mengambil uang negara sebanyak 100 dirham secara tidak sah.”

Setelah kita mengetahui siapa ‘Ali ibn Jad, jelaslah bagi kita kejujuran dan objektivitas ulama hadits dari kalangan Ahlus-sunnah wal- Jama’ah. Bid’ah yang dilakukan ‘Ali tidak menghalangi mereka untuk menerima haditsnya setelah mereka mengetahui dan meyakini kejujuran dan sifat amanatnya. Apalagi bid’ah yang diciptakan ‘Ali tidak tergolong jenis bid’ah yang mengkafirkan. Juga bukan bid’ah yang menghalalkan dusta untuk menguatkan bid’ah terkait. Karena itulah, Imam Bukhari meriwayatkan hadits ‘Ali sebanyak 13 hadits dengan pemeriksaan yang seksama. Hal serupa juga dilakukan oleh imam-imam hadits (dari

ashhabus-sittah) yang lain.

63. ‘Ali ibn Zayd ibn ‘Abdullah ibn Zuhair ibn ‘Ali Abi Malikah104

Hammad ibn Zayd memandang dia (‘Ali ibn Zayd) dha’if. Hal serupa juga dinyatakan oleh Fallas, Ahmad, Yahya, ‘Ajli, Bukhari, dan Ibn Khuzaymah. Para ulama mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan dia dipandang dha’if, diantaranya ialah hafalannya yang buruk, tidak terpercaya, dan memarfu’kan hadits-hadits mauquf. Di samping itu, ia sukar membaur dan ia Syi’ah Rafidhah.

Oleh karena semua itu, Imam. Muslim hanya meriwayatkan satu hadits darinya. Itu pun disertai perawi lain yang terpercaya. Selain Muslim, ada pula orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya. Mereka mendaftar haditsnya, tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah. Tapi ini juga tidak banyak, alias jarang terjadi. Walla hu a’lam bis-shawab.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

64. ‘Ali ibn Shaleh ibn Hayy al-Hamdani105

‘Ali ibn Shaleh merupakan saudara kandung Hasan ibn Shaleh. Keduanya sama-sama tokoh masyarakat. Ibn Ahmad memandang dia sebagai orang yang adil. Demikian pula Ibn Mu’in, Nasa’i dan al-’Ajili. Ibn Sa’ad berkata, “Ia hafal al-Qur’an, tsiqat, insya Allah sedikit haditsnya.”

Para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Alibn,Shaleh dan kehujjahan haditsnya. Tidak ada sedikitpun kritik ulama atas dirinya. Juga tidak ada ulama yang menuduhnya Syi’ah. Karena itu, Imam Muslim, Imam Bukhari dan lainnya meriwayatkan hadits ‘Ali dan menjadikannya sebagai hujjah.

Sungguh mengherankan bila penulis Dialog Sunnah-Syi’ah menganggap ‘Ali ibn Shaleh sebagai orang Rafidhah dan memandangnya sebagai perawi mereka yang tsiqat. Anggapan di atas jelas merupakan anggapan yang gegabah, tanpa menyebutkan referensinya yang kuat dan

mu’tamad. Mungkin saja ia berpegangan pada salah satu dari buku-buku mereka, seperti buku Rijal al-Kusyi, Rijal an-Najasyi, Rijal ath-Thusi, dan buku-buku lainnya yang ditulis tanpa kerangka dan metoda ilmiah. Buku- buku itu sangat subjektif, penuh dusta dan kepalsuan.

Lalu, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah sengaja mengelabui para pembaca dengan tidak menyebut nama ‘Ali ibn Shaleh secara lengkap. Ia hanya menyebut nama ‘Ali dan nama orang tuanya: Inilah tradisi penulisan orang

Rafidhah dalam buku-buku mereka.

65. ‘Ali ibn Ghurab al-Fazari al-Kufi al-Qadhi106

Ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Imam Daruquthni dan ‘Utsman ibn Abi Syaybah. Abu Hatim dan Nasa’i tidak melihat adanya bahaya pada, ’Ali ibn Ghurab. Menurut Abu Zara’ah, ia sangat jujur. ‘Abdullah in Ahmad ibn Hanbal berkata: “Aku bertanya tidak banyak kepada ayahku mengenai diri ‘Ali. Ayahku berkata bahwa ia tidak banyak tahu tentang ‘Ali. Namun aku pernah mendengar dari suatu majlis bahwa ia melakukan pencampur-adukan (tadlis). Akan tetapi aku sendiri tidak melihat pencampuradukan itu. Aku hanya tahu bahwa ia orang yang sangat jujur.”

Ibn Mu’in berkata: “Ia seorang yang miskin dan jujur.” Abu Zara’ah juga memandang dia sebagai orang yang sangat jujur. Al-Khathib berkata: “Aku mengira dia itu seorang yang mendapat kritik lantaran pikiran dan paham Syi’ah yang dianutnya, namun setelah aku perhatikan, ternyata justru ia orang yang oleh para ulama dipandang sangat jujur.”

Para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Ali ibn Ghurab. Juga mengenai kejujuran, tsiqat dan amanahnya. Ia dikritik dalam posisinya sebagai orang Syi’ah. Tapi kita sudah memahami pengertian Syi’ah

105 Mizan al-I’tidal 3/132; Tahdzib at-Tahdzib, 7/332. 106 Tahdzib at-Tahdzib, 7/371; Mizan al-I’tidal, 3/149.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

menurut ulama salaf. Di sini kesyi’ahan tidak mengurangi dan merusak sifat adil seorang perawi manakala ia sudah dikenal kejujuran dan sifat amanahnya, sebagaimana yang terlihat pada ‘Ali ibn Ghurab. Wallahu a’lam bis-shawab.

66. ‘Ali ibn Qadim Abu al-Hasan al-Khuza’i al-Kufi107

Menurut ‘Abu Hatim, ‘Ali ibn Qadim termasuk seorang yang jujur. Yahya dan Ibn Mu’in memandang dia dha’if. Menurut Ibn Sa’ad, hadits ‘Ali munkar, dan dia penganut Syi’ah yang militan. Ibn ‘Ali berkata: “Aku tidak setuju dengan sikap ‘Ali menjauhkan diri dari hadits-hadits yang bersumber dari ats-Tsawri.

Para ulama sepakat mengenai kedha’ifan ‘Ali ibn Qadim. Mereka tidak mengecamnya sebagai pendusta. Mereka hanya mengecam madzhab yang dianutnya. Sementara tindakannya berpaling dari hadits-hadits ats- Tsawri juga jelas sebab-musababnya. Berdasar kenyataan ini, setiap ulama dari ashhabus-sittah yang meriwayatkan haditsnya menelitinya dengan seksama. Mereka menjauhi hadits-haditsnya yang munkar. Allah a’lam bis- shawab.

67. ‘Ali ibn Mundzir ath-Thariqi108

Menurut Ibn Abi Hatim, ia termasuk orang yang tsiqat dan jujur. Imam Sha’sha’i juga memandang dia, tsiqat, dan menurutnya ia juga seorang Syi’ah yang tulen. Para ulama menyatakan ketsiqatan ‘Ali ibn Mundzir. Padahal mereka mengetahui bahwa ‘Ali adalah Syi’ah. Ini harus dipahami, bahwa Syi’ah yang dimaksud di sini adalah Syi’ah tidak merusak sifat keadilan seorang perawi dengan catatan dia tidak berlebih-lebihan. Artinya, ia hanya berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya melawan Mu’awiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu’

menurut ulama Sunni.

Karena itu, ashabus-Sunan (penyusun kitab Sunan yang empat) meriwayatkan dan berhujjah dengan hadits ‘Ali ibn Mundzir. Ini merupakan bukti nyata kejujuran ulama Sunni. Mereka menjauhkan diri dari sikap fanatik, menuruti hawa nafsu, dan berbicara tanpa fakta.

68. ‘Ali ibn Hasyim ibn al-Bari al-Aydi Abul Hasan al-Kufi al-Khazzaz109

Ibn Mu’in dan Ya’qub, Ibn Abi Syaybah, memandang ‘Ali ibn Hasyim seorang yang tsiqat. Menurut Abu Dawud ia seorang Syi’ah. Bukhari berkata: “Ia dan orang tuanya berlebih-lebihan dalam madzhab yang

107 Tahdzib at-Tahdzib, 7/374; Mizan al-I’tidal, 3/150. 108 Tahdzib at-Tahdzib, 7/386; Mizan al-I’tidal, 3/157. 109 Tahdzib at-Tahdzib, 7/392; Mizan al-I’tidal, 3/160.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

dianutnya.” Menurut Ibn Hibban, ia Syi’ah ekstrim, banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar dari Masyahir. Pernyataan serupa disampaikan oleh Ibn Numayr. Menurut Abu Zara’ab, ia orang yang sangat jujur, sementara an-Nasa’i menyatakan tidak melihat adanya bahaya pada ‘Ali ibn Hasyim.

Sesungguhnya kritik kepada ‘Ali ibn Hasyim terletak pada sikapnya yang berlebih-lebihan dalam madzhab yang dianutnya (Syi’ah). Akan tetapi Syi’ah yang dianut Abu Hasyim tidak sampai ke tingkat Rafadh. Dalam arti tidak membenci dan meremehkan Abu Bakar dan ’Umar. Dan dia tidak mempercayai raj’ah.

Seorang rawi masih diterima riwayatnya asal saja ia tidak Rafadh, dan dikenal jujur dan amanah. Inilah sebenarnya keadaan (haliyah) ‘Ali ibn Hasyim. Karena itulah, Imam Muslim meriwayatkan hadits darinya. Begitu pula ashabus-Sunan yang empat. Mengenai penolakan Imam Bukhari, kita dapat memakluminya, sebab Bukhari memang lebih ketat dari ulama hadits lainnya dalam penerimaan riwayat. Ia tidak menerima hadits Ibn Hasyim, karena ia melihat sifat yang tidak terpuji padanya. Wallahu a’lam bis-shawab.

69. ‘Umar ibn Raziq al-Kufi110

Manshur meriwayatkan hadits dari ‘Umar ibn Raziq, demikian pula A’masy dan Yahya ibn Adam. Orang yang terakhir ini memandang ‘Umar orang yang tsiqat. Adz-Dzahabi berkata: “Saya tidak pernah melihat orang yang merendahkan ‘Umar kecuali as-Sulaymani. Ia memandang ‘Umar orang Rafidhah. Hanya Allah yang tahu kebenaran pernyataan itu!”

Dalam Kitab Tahdzib disebutkan bahwa Ibn Mu’in memandang ‘Umar sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zara’ah, Ibn Syahim dan Ibn al-Madini. Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tidak melihat adanya bahaya pada ‘Umar ibn Raziq. Menurut Imam Ahmad, ia tergolong perawi hadits yang terpercaya.

Para Ulama sepakat mengenai keadilan ‘Umar ibn Raziq. Dalam hal ini tak seorang pun yang menyanggahnya. juga tidak ada tuduhan apa pun terhadap dirinya yang merusak sifat adilnya kecuali pernyataan as- Sulaymani. Namun para ulama tidak membenarkan penilaian as- Sulaymani tadi. Kalau benar ia seorang Rafidhah, seperti dikatakan as- Sulaymani, tentu mereka akan menjauhi hadits ‘Umar, sebab Rafadh itu termasuk bid’ah yang mengkafirkan menurut (umumnya) ulama Sunni.

70. ‘Ammar ibn Mu’awiyah adz-Dzihni111

Imam Ahmad memandang ‘Ammar sebagai orang tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in dan Abu Hatim. Dalam Kitab Mizan, adz-Dzahabi berkata:

110 Tahdzib at-Tahdzib, 7/400; Mizan al-I’tidal 3/huruf ‘ayn. 111 Tahdzib at-Tahdzib, 7/406; Mizan al-I’tidal, 3/170.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

“Aku tidak pernah melihat orang yang membicarakan ‘Ammar selain al- Aqili. Pembicaraannya dikaitkan dengan pernyataan Abu Bakar ibn ’Iyasy seperti berikut ini. “Apakah engkau mendengar dari Said ibn Jubair?” Tanya Abu Bakar kepada ‘Ammar. “Tidak,” jawab Ammar. “Pergilah!”, kata Abu Bakar. Adz-Dzahabi menegaskan bahwa riwayat Ammar dari Said yang terdapat di dalam Sunan ibn Majah adalah riwayat yang munqathi’. Ibn ‘Uyainah berkata: “Basyar ibn Marwan memastikan, bahwa ‘Ammar adalah Syi’ah:”

Para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Animar ibn Mu’awiyah dan ketsiqatannya. Mereka tidak ada yang mengecamnya selain Ibn ‘Uyainah yang menuduh Ammar sebagai Syi’ah. Ini pun tidak mengurangi keadaan ‘Ammar yang dikenal jujur dan amanah. Karena itu, Imam Muslim dan sebagian dari ashabus-Sunan menerima haditsnya.

71. ‘Umar ibn Abdullah Abu Ishaq as-Sabi’i al-Hamdani al-Kufi112

‘Umar termasuk pemuka tabi’in dan orang terpercaya di Kufah. Hanya saja ia sudah tua dan pelupa. Namun demikian, menurut adz-Dzahabi, ia tidak mencampuraduk (ikhtilath). Imam Ahmad memandang ia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in, Nasa’i, Ibn al-Madini, ‘Ajili, dan Abu Hatim. Mereka tidak mengecam dia sebagai pendusta atau pembid’ah. Karena itu,

Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya.

Mengenai pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengenai diri ‘Umar (Abu Ishaq) yang dinukil dari Ibn Quthaibah dan asy- Syahristani, kita sudah paham dan maklum. Sudah sering saya kemukakan, bahwa yang dimaksud dengan pernyataan mereka, “Abu Ishaq adalah orang Syi’ah,”. adalah dukungannya kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah. Hal demikian tidak mengurangi sifat adil seorang perawi, dan tidak ada halangan untuk berhujjah dengan haditsnya.

Mengenai pernyataan al-Jauzjani, ulama Sunni tidak menanggapinya. Sebab, seperti berkali kali saya terangkan, al-Jauzjani adalah seorang pembid’ah. Pernyataan seorang pembid’ah mengenai pembid’ah lainnya tidak dapat dijadikan pegangan.

72. ‘Auf bin Abi Jamilah al-Bashri113

‘Auf dikenal dengan sebutan A’rabi. Dia termasuk tabi’in kecil. Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in dan Abu Hatim. Nasa’i berkata: “Ia seorang yang tsiqat dan terpercaya.” Menurut Sa’ad, dia seorang yang tsiqat dan banyak haditsnya.

112 Tahdzib at-Tahdzib, 8/63; Mizan al-I’tidal, 3/270.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Muhammad ibn ‘Abdullah al Anshari berkata: “Ia termasuk perawi yang tsiqat, kuat, tetapi ia seorang Qadariyah. Malah menurut Ibn Mubarak, ia seorang Qadariyah dan Syi’ah sekaligus. “

Dari pembicaraan para iilama di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat mengenai sifat adil dan ketsiqatan ‘Auf, dan berhujah dengan haditsnya. Walau ada orang yang mengecam dia sebagai bid’ah, lantaran menganut paham qadariyah maupun Syi’ah.

Kecaman ini tidak merusak sifat adil ‘Auf, sejauh ia tidak mempromosikan bid’ahnya. Dan tidak menghalalkan dusta untuk melegitimasi bid’ahnya. Apalagi ‘Auf dikenal sangat jujur. Ini terbukti dengan sebutan yang diberikan kepadanya, yaitu ‘Auf ash-Shaduq (‘Auf yang terpercaya).

Imam Muslim dalam muqaddimah Sahihnya berkata: “…Walaupun ‘Auf dan Asy’ats itu jujur dan amanah.” Karena itu, ashab as-sittah secara keseluruhan meriwayatkan hadits-hadits ‘Auf dan menjadikan sebagai hujjah. Ini menunjukkan secara jelas akan kejujuran ulama Sunni.

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 67-74)