• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amir ibn Wailah Abut-Thufail al-Laitsi al-Makki

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 55-67)

Dalam kitab Hadi al-Sari, Ibn Hajar berkata: “Imam Muslim dan ulama lain menetapkan bahwa Amir termasuk sahabat Nabi. Abu ‘Ali ibn Sakan berkata: “Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa ia melihat Rasulullah, menurut jalur-jalur riwayat yang kuat.” Tetapi tidak ditemukan riwayat bahwa ia meriwayatkan hadits langsung dari Nabi Di dalam kitab at-Tarikh al-Aswad, imam Bukhari meriwayatkan bahwa Amir berkata: “Aku menemui delapan tahun dari masa hidup Rasulullah.” Menurut Ibn ‘Ali, dia seorang sahabat. Kaum Khawarij mengusir dia, karena dekatnya dengan ‘Ali, dan pernyataannya yang selalu mengagungkan ‘Ali dan Ahlul-Bayt. Namun tak ada bahaya dalam haditsnya. Menurut Ibn Hanbal, dia seorang Makkah yang tsiqat. Ibn Sa’ad menyatakan hal serupa, hanya ia menambahkan bahwa Amir adalah orang Syi’ah.

85 Tahdzib at-Tahdzib, 12/10.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Ibn Hajar berkata: “Abu Muhammad ibn Hazm memandang Amir sebagai orang yang jelek, ia mendha’ifkan hadits-haditsnya.” Lebih lanjut Ibn Hajar mengatakan: “Dia memiliki riwayat hadits yang pilihan. Ia seorang sahabat, tak syak lagi. Tidak ada pengaruhnya tuduhan orang atas dirinya, apalagi jika tuduhan itu hanya bersifat emosional semata. Aku tidak melihat di dalam shahih Bukhari riwayat darinya kecuali satu hadits yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, yang bersumber dari ‘Ali ibn Abi Thalib.” Ma’ruf ibn Kharbud meriwayatkan hadits darinya. Juga ulama ulama hadits yang lain.

Ringkasnya, para ulama sepakat bahwa Amir adalah seorang sahabat yang adil dan tsiqat. Semua sahabat, menurut ulama Sunni, adalah adil. Ulama hadits tidak menemukan sesuatu pada diri Amir yang dapat merusak sifat adil dan tsiqatnya.

Adapun tuduhan bahwa ia Syi’ah, itu artinya ia berpendapat bahwa kebenaran ada di pihak ‘Ali, sewaktu dia berselisih dan berperang dengan Mu’awiyah. Sudah saya jelaskan bahwa hal seperti itu banyak terjadi di kalangan sahabat. Karena itu, sebagian dari Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Amin.

46. ‘Abbad ibn Ya’qub al-Asadi ar-Rawajini al-Kufi Abu Sa’id87

Dalam Hadi al-Sari, Ibn Hajar berkata bahwa ‘Abbad adalah orang

Rafidhah yang terkenal. Hanya saja ia seorang yang jujur. Abu Hatim memandang dia tsiqat. Hakim berkata: “Ibn Huzaimah ketika bercerita tentang ‘Abbad berkata, “Riwayat ‘Abbad dapat dipercaya, tetapi pendapatnya sangat diragukan.” Ibn Hibban berkata: “Ia seorang Rafidhah

yang selalu mengajak orang lain mengikuti jejaknya. Saleh ibn Muhammad berkata, “Ia memaki ‘Utsman ibn ‘Affan.”

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits (disertai perawi hadits lain) dari ‘Abbad tentang tauhid. Hadits dimaksud bersumber dari Ibn Mas’ud, yang cuplikannya berbunyi: “Perbuatan apakah yang paling utama?” Terhadap hadits ini, Imam Bukhari mempunyai banyak jalan dari perawi-perawi yang berlainan. Kenyataan ini dapat menimbulkan pertanyaan, bagaimana Bukhari dan pengumpul hadits lainnya mau menerima hadits dari seorang perawi yang keadaannya dha’if dan lemah (wahan)? Jawabannya adalah bahwa periwayatan itu tidak dipergunakan untuk hujjah, sebab kadang-kadang seorang muhaddits mengeluarkan suatu hadits dari seorang perawi, tetapi ia tidak menjadikannya hujjah. Hal seperti ini lazim dan absah dalam ushul al-hadits, seperti disebut dalam ungkapan: “Seorang mencatat hadits, tetapi ia tidak menjadikannya hujjah.”

Hadits seperti itu oleh para ahli hadits digunakan sebagai penguat (pendukung), bukan sebagai penetap hukum dasar. Hal seperti itu sama

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

halnya dengan (perawi) ‘Abbad ibn Ya’qub di mana Bukhari menerima satu hadits darinya dengan disertai sanad hadits lain. Sebenarnya hadits itu sendiri mempunyai, banyak jalan, selain jalan ‘Abbad. Namun tidak ada masalah mengenai periwayatan Bukhari, sebab tak seorang pun yang memandang ‘Abbad dusta. Mereka hanya mengecam sikap rafadhnya.

Adapun hadits-hadits ‘Abbad yang diriwayatkan oleh sebagian

Ashabus-Sittah, maka tidak ada hubungannya dengan bid’ah ‘Abbad. Kecuali itu, untuk hadits tersebut diketemukan sanad lain yang sahih dan jumlahnya banyak. Wallahu a’lam.

47. ‘Abdullah ibn Dawud ibn Amir ibn Rabi’ al-Hamdani Abu ‘Abdurahman88

‘Abdullah dikenal dengan sebutan, al-Kharibi. Ia berasal dari Kufah, namun tinggal di Kharibah, sebuah tempat di Bashrah. Menurut sebagian pendapat, ia tinggal di Ibadan.

Ibn Mu’in, Abu Hatim, Abu Zara’ah, an-Nasa’i dan Daruquthni memandang ‘Abdullah sebagai orang tsiqat. Ibn Sa’ad berkata: “Ia tsiqat, dan tekun beribadah.” Al-Kadimi berkata: “Aku tidak pernah berdusta kecuali sekali saja. Ceritanya begini: Ayahku bertanya, ‘Sudahkah kau belajar kepada seorang guru?’ ‘Sudah,’ jawabku. Padahal, aku belum mengaji kepada seorang guru pun.’

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdullah adalah seorang tsiqat, jujur dan terpercaya. Karena itulah Ulama hadits menjadikan hadits ‘Abdullah sebagai hujjah, dan beberapa orang dari

Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits darinya.

Kalau benar apa yang dikatakan penulis ad-Muraja’at bahwa Ibn Quthaibah memandang ‘Abdullah al-Kharibi sebagai salah seorang tokoh Syi’ah, hal tersebut tak jadi soal sebagaimana berkali-kali kami kemukakan bahwa ibn Qutaibah dan ulama Sunni lainnya memahami

tasyayyu’ sebagai suatu sikap memihak kepada ‘Ali dan Ahlul Bayt, tidak lebih. Mereka membedakan pengertian tasyayyu’ dan rafadh. Ulama Sunni tidak menolak riwayat orang Syi’ah sejauh ia dikenal sebagai orang jujur, taqwa, tidak dusta, dan tidak mempromosikan bid’ahnya.

48. ‘Abdullah ibn Syaddad ibn al-Hadi al-Laytsi89

‘Abdullah dilahirkan pada zaman Nabi. Imam Ahmad berkata: “‘Abdullah tidak menerima hadits secara langsung dari Rasulullah saw.” Ibn al-Madini berkata: “‘Abdullah berperang bersama ‘Ali pada hari Nahrawan.” Menurut al-Waqidi, ia berperang bersama Qara’ pada peperangan Asy’ats melawan Hajjaj. Lalu ia terbunuh pada hari Dujail.

88 Tahdzib at-Tahdzib, 5/199; al-Khulashah, 196. 89 Tahdzfb at-Tahdzib, 5/251.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

‘Abdullah sendiri termasuk orang yang, tsiqat, banyak haditsnya, dan ia berpihak kepada ‘Ali (tasyayyu’).

Al-Ajili dan Khatib berkata: “‘Abdullah termasuk pemuka tabi’in, dan

tsiqat. Menurut Abu Zara’ah dan Nasa’i, ia tsiqat. Menurut Ibnu Sa’ad, ia pendukung ‘Utsman, dan tsiqat dalam haditsnya. Namun pernyataan ibn Sa’ad di atas merupakan suatu pernyataan yang banyak dipertanyakan orang.

Dari pendapat-pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdullah adalah seorang tabi’in yang tsiqat dan terpercaya. Tidak ditemukan pernyataan ulama yang menggugurkan sifat adil ‘Abdullah. Karena itu, beberapa orang dari Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits ‘Abdullah.

Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdullah adalah Syi’ah, itu tidak mengurangi sifat keadilan dan kekuatan hadits ‘Abdullah sebagai hujjah, asalkan kita tetap memahami pengertian tasyayyu’ menurut ulama Sunni. Wallahu a’lam bishshawab.

49. ‘Abdullah ibn Amir ibn Muhammad ibn Abban ibn Shalih, yang bergelar Musykadanah90

Menurut Abu Hatim, ia jujur. Ibn Hibban menyebutkan namanya di dalam kitab ats-Tsiqat (Daftar Perawi yang Tsiqat). Shahih Hammad memandang ‘Abdullah sebagai Syi’ah ekstrim. Al-Aqili meriwayatkan dari sebagian gurunya bahwa sesungguhnya ‘Abdullah tergolong orang yang selamat. Imam Muslim meriwayatkan 12 hadits dari ‘Abdullah mengenai Fathimah al-Zahrah.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdullah ibn Amir adalah tsiqat dan jujur. Tidak ditemukan pernyataan ulama yang dapat menodai ketsiqatan dan kejujuran ‘Abdullah. Karena itu, beberapa orang dari Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya.

Mengenai tuduhan bahwa dia Syi’ah, itu tidak mengurangi kredibilitas ‘Abdullah, setelah kita mengerti makna dari istilah “Syi’ah” itu. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdullah adalah Syi’ah ekstrim, itu tidak lain maksudnya adalah bahwa ia lebih mengutamakan ‘Ali daripada ‘Utsman. Sikap seperti ini tidak menjadi persoalan bagi seorang perawi hadits, asalkan ia dikenal sangat jujur.

50. ‘Abdullah ibn Luhai’ah ibn Uqbah al-Hadrami91

Ia menjabat sebagai hakim Mesir dan termasuk ulama di negeri itu. Menurut Ibn Mu’in, ia lemah (dha’if), dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut al-Hamidi dari Yahya ibn Saad, ‘Abdullah tidak atau

90 Tahdzib at-Tahdzib, 5/333; Mizan al-I’tidal, 2/466.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

kurang diperhitungkan. Ibn Muhdi berkata: “Aku tidak pernah menggubris sesuatu hadits yang kudengar dari ‘Abdullah ibn Luhai’ah.

Ibn al-Madini dari ibn Muhdi berkata: “Aku tidak pernah mengambil sesuatu (hadits) dari ibn Luhai’ah.” Ahmad ibn Zubair dari Yahya berkata: “Hadits ibn Luhai’ah tidak kuat alias lemah.” Menurut Abu Zara’ah dan Abu Hatim, Ibn Luhai’ah plin-plan, tidak tegas. Haditsnya dapat ditulis sebagai i’tibar (bahan pertimbangan). Menurut al-Jauzjani, tidak ada cahaya kebenaran pada hadits ‘Abdullah, dan tidak selayaknya haditsnya dijadikan hujjah. Pada suatu hari an-Nasa’i berkata: “Aku tidak meriwayatkan dari ibn Luhai’ah, kecuali satu hadits yang diberitakan kepadaku oleh Hilal ibn al-’Ala.

Ibn Hanbal berkata: “Aku mendengar ‘Abdullah berkata bahwa hadits ibn Luhai’ah tidak dapat dijadikan hujjah, dan aku banyak menulisnya sekedar mengambil i’tibar dan untuk menguatkan sebagian hadits dengan hadits yang lainnya.”

Ibn Hibban berkata: “Aku telah meneliti hadits-hadits Ibn Luhai’ah pada riwayat ulama mutaqaddimin (masa dahulu) dan muta’akhkhirin

(masa belakangan). Lalu aku melihat adanya takhlith (campuraduk) dalam riwayat ulama muta’akhkhirin. Sedangkan dalam riwayat ulama

mutaqaddimin banyak dijumpai hal-hal yang tidak ada dasarnya sama sekali. Aku pun kembali beri’tibar. Dan ternyata aku melihat Ibn Luhai’ah telah melakukan tadlis, mencampuraduk antara berita dari orang lemah dengan berita dari orang yang dipandang tsiqat. Maka bercampurlah antara keduanya. Dan ibn ‘Adi memandang dia Syi’ah ekstrim.

Dari pendapat-pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdullah ibn Luhai’ah adalah dha’if. Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Adapun sebab kedha’ifannya terletak pada tadlis yang dilakukannya. Juga terletak pada kurangnya daya ingatan (dhabith) dan ketsiqatan Ibn Luhai’ah. Mengenai tuduhan “Syi’ah ekstrim” sebagaimana dikatakan Ibn Adi, tidaklah mengurangi sifat adil dan kekuatan haditsnya, seandainya ia tidak melakukan tadlis dan tidak lemah daya ingatnya.

Jika sebagian ulama hadits menerima haditsnya, maka hal itu tidak untuk digunakan sebagai hujjah, tetapi untuk i’tibar. Sebab Ibn Luhai’ah termasuk orang yang bisa didaftar haditsnya, namun tidak dapat dijadikan hujjah. Disamping itu, mereka meriwayatkan hadits itu dengan disertai hadits lain supaya dapat menguatkannya. Wallahu a’lam bis-shawab.

51. ‘Abdullah ibn Maimun al-Qaddah al-Makki92

Menurut Imam Bukhari, ‘Abdullah termasuk orang yang perlu dijauhi haditsnya. Abu Zara’ah memandang haditsnya penuh kealpaan. Menurut at-Turmudzi, hadits Ibn Maimun itu munkar. Ibn ‘Adi berkata: “Pada umumnya hadits Ibn Maimun tidak dapat diikuti.” Menurut Imam Nasa’i,

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

ia dha’if Abu Hatim berkata; “Hadits Ibn Maimun adalah munkar. Ia meriwayatkan hadits dari sumber-sumber secara bercampuran.” Hadits Ibn Maimun --tanpa disertai sanad lain-- tidak dapat dijadikan hujjah. Abu Nu’aim berkata: “‘Ibn Maimun meriwayatkan hadits-hadits munkar.”

Para ulama sepakat bahwa Ibn Maimun itu dha’if, tidak tsiqat dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak seorang pun yang menentang kesepakatan ini. Namun al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, memandang Ibn Maimun sebagai perawi Syi’ah yang tsiqat. Hal ini jelas berlawanan dengan kesepakatan bulat para ulama hadits mengenai kedha’ifan Ibn Maimun. Penilaian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah- Syi’ah yang kontroversial itu, hanya karena Ibn Maimun merupakan teman dekat salah seorang imam Syi’ah, yaitu Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq.

Dari sini terlihat bahwa kaum Rafidhah tidak memiliki metoda (sistem) untuk menentukan tsiqat dan dha’ifnya para perawi. Mereka hanya orang yang menuruti hawa nafsu, dan tersesat karenanya.

Jika Imam at-Turmudzi meriwayatkan hadits dari Ibn Maimun, tidak berarti haditsnya dapat dijadikan hujjah. Sebab, seperti saya kemukakan berulang kali, sebuah hadits bisa didaftar sekedar sebagai i’tibar. Itu pun disertai sanad lain yang adil dan tsiqat.

52. ‘Abdurahm’an ibn Shaleh al-Azdi al-Ataki93

Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”

Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata. Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al- Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”

Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Shaleh bukan orang yang suka berdusta. Para ahli sepakat mengenai

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

kejujurannya. Namun, mereka mengakui dan mencatat sikapnya yang condong ke Syi’ah. Sungguhpun demikian, sifat yang ditunjukkan Ibn Shaleh, seperti dikemukakan para ulama, tidaklah sampai pada batas

rafadh. Sebab, Ibn Shaleh tidak mengutamakan ‘Ali atas Abu Bakar dan ‘Umar. Dan kalau benar bahwa ia menulis sebuah buku mengenai kekurangan-kekurangan para sahabat Nabi, maka hal itu menjadi dasar untuk menilai ia sebagai pembid’ah. Akan tetapi ia tidak menghalalkan sikap dusta untuk menguatkan pahamnya. Karena itu, ulama hadits tetap menjadikan haditsnya sebagai hujjah, karena ia dikenal sangat jujur dan anti kebohongan. Wallahu a’lam.

Hal di atas menunjukkan konsistensi ulama Sunni terhadap sistem dan metodologi ilmiah yang mereka ciptakan sebagai dasar al-jarh wat- ta’dil, (pertimbangan kekuatan dan keadilan rawi), ‘ilm ar-rijal (ilmu tentang perawi-perawi hadits), dan dalam qabulur-riwayat wa rafdhiha

(diterima atau ditolaknya riwayat).

53. ‘Abdurrazzaq ibn Himam ibn Nafi’ al-Humairi ash-Shan’ani94

Penulis kitab Fath al-Bari berkata: “Ibn Himam adalah salah seorang penghafal hadits yang terpercaya. Ia memiliki banyak karya tulis. Semua imam memandang dirinya tsiqat, kecuali ‘Abbas ibn ‘Abdil ‘Adzim al- Anbari. Pandangan ‘Abbas tentang Himam agak subyektif, sehingga tak seorang pun sependapat dengannya. Abu Zara’ah ad-Dimasyqi berkata: “Dikatakan kepada Ahmad ibn Hanbal, siapa yang lebih terpercaya antara ‘Abdurrazaq ibn Himam dan Muhammad ibn Bakar ad-Dasani?” jawab Ahmad, “ ‘Abdurrazaq.”

‘Abbas ad-Duri dari Ibn Mu’in berkata: ‘Abduffazaq adalah perawi yang terpercaya dalam hadits Makmar dari Hisyam ibn Yusuf. Ya’qub ibn Syaibah dari ‘Ali ibn al-Madini berkata: “Hisyam ibn Yusuf berkata kepadaku, ‘Abdurrazaq adalah orang yang paling alim dan paling hafal diantara kita.” Berkata Ya’qub: “Keduanya (‘Abdurrazaq dan Hisyam) adalah orang tsiqat dan terpercaya.” Adz-Dzahili berkata: “‘Abdurrazaq adalah orang paling tahu tentang hadits, dan dia “hafizh”.

Ibn ‘Adi berkata: “Perawi-perawi hadits yang tsiqat banyak berdatangan menemui ‘Abdurrazaq. Mereka meriwayatkan hadits darinya. Namun mereka memandangnya Syi’ah. Label Syi’ah ini merupakan kecaman mereka yang paling akut. Tetapi, kejujuran ‘Abdurrazaq menempatkannya di posisi yang tidak tergoyahkan. An-Nasa’i berkata: “Perlu penelitian lebih jauh bagi orang yang menulis hadits ‘Abdurrazaq di saat ia berusia senja. Banyak orang menerima hadits munkar darinya.”

Atsram dari Ahmad berkata: “Barangsiapa mendapatkan informasi (hadits) dari ‘Abdurrazaq setelah ia buta, maka itu bukanlah hadits. Apa yang sudah ditulis dalam buku-bukunya, maka hal itu adalah benar dan

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

shahih. Tetapi yang tidak tercatat dalam buku-bukunya, maka itu hanyalah hasil rekaman setelah ada upaya mengingat kembali apa yang pernah diketahuinya.”

Ibn Hajar berkata: “Imam Bukhari berhujjah dengan sejumlah hadits yang diterima dari ‘Abdurrazaq sebelum ia memasuki usia senja. Dan imam-imam yang lain meriwayatkan hadits darinya.”

Dari berbagai pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa para ahli sepakat mengenai sifat adil, tsiqat, kejujuran dan kuatnya daya ingat ‘Abdurrazaq sebelum ia memasuki masa tuanya (masa di mana terjadi

ikhtilath (campur-aduk). Pada waktu itu, tidak seorang pun berbeda pendapat. Hadits-haditsnya yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab Sunan lainnya, semuanya diriwayatkan sebelum ‘Abdurrazaq memasuki masa ikhtilath. Kalangan ahli hadits tidak berselisih untuk berhujjah dengan hadits ‘Abdurrazaq sebelum tuanya.

Adapun gelar Syi’ah yang dialamatkan kepadanya sudah merupakan kecaman ulama hadits yang paling keras. Namun label Syi’ah yang disandangnya tidak merusak sifat adil, tsiqat dan kejujurannya. Sebab ia bukanlah penganut Syi’ah ekstrim yang sampai ke tingkat rafadh. Selain itu, ia dikenal sangat jujur dan taqwa.

Mengenai bukti yang menunjukkan bahwa ia bukan Syi’ah Rafidhah

adalah perkataan Ahmad ibn Azhar, “Aku mendengar ‘Abdurrazaq berkata: “Aku mengutamakan Abu Bakar dan ‘Umar lantaran ‘Ali ibn Abi Thalib lebih mengutamakan mereka daripada dirinya sendiri. Seandainya ‘Ali tidak mengutamakan mereka, tentu saya pun tidak akan melakukannya. Cukuplah dosaku manakala aku mencintai ‘Ali, namun mengingkari ucapannya.”

‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: “Aku bertanya kepada ayahku, apakah ‘Abdurrazaq itu Syi’ah ekstrim? ‘Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu,’ jawab ayahku.” Salamah ibn Syabib berkata: “Aku mendengar ‘Abdurrazaq berkata: Demi Allah, dadaku tidak terbuka untuk mengutamakan ‘Ali melebihi kemuliaan Abu Bakar dan ‘Umar. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Orang yang tidak mencintai mereka, pastilah ia bukan orang mukmin. Katanya lagi: “Amal perbuatanku yang paling kokoh adalah kecintaanku kepada mereka.”

Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ‘Abdurrazaq bukanlah Syi’ah Rafidhah. Jika demikian, bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdurrazaq penganut paham Rafidhah, dan ia dipandang salah seorang perawi yang tsiqat dan adil? Ini jelas merupakan kepalsuan yang besar yang mengandung motif menghancurkan sendi-sendi sunnah Nabi, dan menceburkan keragu- raguan kepada mereka yang memelihara sunnah, supaya mereka dengan mudah bisa menghancurkan Islam. Orang-orang Sunni hendaknya awas dan peka terhadap hal ini!

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

54. ‘Abdul Malik ibn A’yun al-Kufi95

Al-Ajli memandang ‘Abdul Malik sebagai orang yang tsiqat. Menurut Abu Hatim, ia orang Syi’ah, tetapi jujur. Ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tidak diperhitungkan. Ibn Muhdi mencatat hadits darinya, tetapi kemudian ditinggalkannya.

Ibn Hajar berkata: “Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, tidak terdapat selain hadits Sufyan ibn ‘Uyainah dari Jami’ ibn Abi Rasyid dan ‘Abdul Malik. Keduanya (Abu Rasyid dan ‘Abdul Malik) mendengar Syaqiq berkata: Aku mendengar Ibn Mas’ud menyebut hadits man halafa ‘ala mall imri’in muslimin. Hadits ini terdapat di Bab Tauhid dalam kitab shahih Bukhari. Imam-imam hadits yang lain juga meriwayatkan hadits ‘Abdul Malik.

Al-Hamidi menceritakan bahwa Sufyan menerima hadits dari ‘Abdul Malik ibn A’yun, seorang Syi’ah. “Bagiku,” kata al-Hamidi, “‘Abdul Malik adalah seorang Rafidhah, seorang yang suka menciptakan ajaran bid’ah.” Al-Hamidi berkata dari Sufyan bahwa ‘Abdul Malik dan kedua saudaranya, yaitu Zararah dan Hamran, semuanya merupakan penganut Syi’ah

Rafidhah. Dari tiga bersaudara ini yang paling buruk ucapannya adalah ‘Abdul Malik. Ibn Hibban menyebut ‘Abdul Malik dalam kitab ats-Tsiqat, walaupun ia orang Syi’ah.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdul Malik bukanlah orang yang tsiqat. Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah, menurut kebanyakan ahli hadits. Pendapat ulama yang memandang dia tercela harus didahulukan daripada pendapat ulama yang menilainya adil atau tsiqat. Sebab, jumlah ulama yang pertama lebih banyak dan

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 55-67)