• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yazid ibn Abi Yazid al-Kufi

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 98-107)

Adz-Dzahabi berkata: “Yazid adalah salah seorang Ulama Kufah yang dikenal buruk hafalannya.” Inilah keterangan adz-Dzahabi mengenai Yazid. Namun al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah telah berbuat tidak jujur dengan memenggal sebagian keterangan adz-Dzahabi di atas. Ia katakan begini: “Adz-Dzahabi mengakui Yazid sebagai salah seorang ulama Kufah yang termasyhur.” ia membuang bagian kedua dari pernyataan adz- Dzahabi di atas, yaitu… “keburukan hafalannya.” Demikianlah kebiasaan buruk orang Rafidhah. Ia membuang dan menghapus sebagian dalil sesuai dengan kehendak hati dan kepercayaannya. Keadaan al-Musawi, penulis,

Dialog Sunnah-Syi’ah, adalah seperti orang yang membaca ayat fawailul-

lil-mushallin, tanpa meneruskan pada ayat berikutnya: al-ladzina hum fi shalitihim sahun.

Kemudian ia menuduh secara palsu ulama-ulama Sunni sebagai serong, zalim, tidak jujur, fanatik dan menuruti hawa nafsu. Ia berkata: “Mereka tidak bersimpati kepada Yazid dan mengecamnya secara berlebih- lebihan, hanya karena dia dalam meriwayatkan hadits, sanadnya bersambung sampai kepada Burzah atau Abu Burdah,” seakan-akan mereka mengecam siapa saja yang mereka sukai, dan memandang adil siapa saja yang mereka sukai, dengan mengikuti hawa nafsu tanpa mengacu kepada metoda ilmiah sebagai dasar dan pegangan, sebagaimana tradisi orang Rafidhah.

Kemudian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah mengutip dari adz-Dzahabi hadits tentang ‘Amr ibn ‘Ash dan Mu’awiyah dan doa atau laknat Nabi kepada mereka lantaran keduanya mendendangkan lagu-lagu. Ia mencukupkan diri dengan kutipan itu saja, tanpa menunjukkan kepada

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

kita pendapat adz-Dzahabi mengenai hadits tersebut. Apakah ini dapat disebut sikap amanah, orang yang mengutip dalil secara sepotong-sepotong, yang sesuai dengan kemauan hawa nafsunya?

Adz-Dzahabi berkata mengenai hadits di atas. Menurut beliau, hadits itu adalah hadits gharib dan munkar. Adapun unsur keghariban hadits itu di dalam matannya sangat jelas sekali. Sebab, bagaimana mungkin Nabi memberikan laknat kepada sahabat-sahabatnya? Padahal, Nabi sendiri berkata: “Janganlah kamu memaki-maki sahabatku. Demi Tuhan, seandainya kamu menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka infaqmu itu tidak akan bisa menyamai nilai infak sahabatku yang sebesar satu mud ataupun separuhnya.” Dan beliau juga bersabda: “Aku diutus bukan untuk memberi laknat atau memaki-maki.”

Laknat sebagaimana diketahui berarti terjauhkan dari rahmat Allah. Bagaimana mungkin Rasulullah akan mendoakan sahabatnya supaya terjauhkan dari rahmat Allah. Pendapat itu jelas berlawanan dengan firman Allah kepada Nabi berikut ini:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi

berkasih sayang sesama mereka.” (QS, Al-Fathr, 48:19)

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman.”

Berdasarkan semua itu, maka ulama hadits memandang hadits yang menceritakan laknat Rasulullah kepada ‘Amr ibn ‘Ash dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai hadits munkar dan gharib. Keghariban hadits tersebut terlihat dari sudut matan atau teks isi hadits. Kecuali itu, juga terlihat keghariban dan kemunkaran dari segi sanad. Cobalah anda perhatikan.

Adapun orang Rafidhah, mereka tidaklah melihat unsur perlawanan hadits itu dengan al-Qur’an dan hadits Nabi yang lain. Sebab mereka berkeyakinan bahwa semua sahabat adalah kafir, kecuali 10 orang dari mereka.

Sedangkan ulama Sunni mendha’ifkan Yazid ibn Ziyad bukan karena ia Syi’ah, sebagaimana dituduhkan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah- Syi’ah, tetapi lantaran buruknya hafalan Yazid. Dan mereka mengecam Yazid lantaran dia banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar dan gharib. Berikut ini beberapa pernyataan ulama jarh wat ta’dil yang. menguatkan asumsi di atas.

Adz-Dzahabi berkata: “Yazid adalah salah seorang Ulama Kufah yang buruk hafalannya.” Menurut Ahmad, hadits Yazid diragukan. Dalam kesempatan lain, Ahmad menegaskan bahwa Yazid bukan ulama penghafal: Menurut Ibn Mu’in, ia bukan perawi yang tsiqat atau kuat. Ia juga menyatakan bahwa Yazid dha’if. ‘Ajli berkata: “Haditsnya ja’iz; ia

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

perlu diingatkan dengan ujungnya hadits (dapat menghafal jika disebutkan sebagian kata-kata haditsnya). Menurut Abu Hatim, ia bukan perawi yang kuat. Ibn ‘Adi memandang dia sebagai Syi’ah Kufah. Ia dha’if; namun haditsnya bisa ditulis.

Menurut Nasa’i, ia bukan perawi yang kuat. Daruquthni berkata: “Ia

dha’if, suka keliru, dan dapat menghafal hanya dengan dituntun.” Menurut Abu Zara’ah, ia lemah, haditsnya dapat didaftar, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah. Al-Jauzjani berkata: “Aku mendengar para ulama mendha’ifkan dia. Menurut Ibn Sa’ad, ia tsiqat, hanya saja dalam usianya yang lanjut ia seringkali melakukan pencampuradukan (tadlis). Karena itu, terdapat dalam riwayatnya hal-hal yang aneh bin ajaib.

Kenyataan bahwa ashabus-Sunan dan Imam Muslim meriwayatkan haditsnya tidak berarti secara otomatis hadits itu dapat dijadikan hujjah. Itu menunjukkan bahwa Yazid itu tetap dha’if. Dalam kedha’ifannya itu

ashabus-Sunan meriwayatkan haditsnya. Imam Muslim hanya

meriwayatkan satu hadits dari Yazid. Itupun disertai perawi lain yang

tsiqat. Dan dalam pengantar Kitab Shahihnya beliau berkata: “Perawi- perawi yang belum jelas kejujuran dan kualitas keilmuannya juga terdapat pada beberapa perawi hadits, seperti ‘Atha’ ibn Sa’ib, Yazid ibn Abi Ziyad, Layts ibn Abi Sulaym, dan lain-lain.”

Dalam bukunya Tahdzib, Ibn Hajar berkata: “Nawawi memandangnya gharib (tak dikenal). Dalam pengantar Syarh Sahih Muslim, ia menyebutkan biografi Yazid ibn Abi Ziyad setelah biografi Ibn Abi Ziyad ad-Dimasyqi. Imam Nawawi mengira Ibn Abi Yazid ad-Dimasyqi ini yang dimaksud Imam Muslim dengan Yazid ibn Abi Ziyad. Dalam hal ini perlu penelitian yang lebih lanjut.

100. Abu ‘Abdullah al-Jadali141

Nama aslinya adalah ‘Abdun ibn ‘Abdun. Ada pula yang mengatakan nama aslinya adalah ‘Abdurahman ibn ‘Abdun. Dalam kitab Al-Mizan, adz- Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah ekstrim. Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat pilihan, dan Imam Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat.

Ibn Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini: “Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu’in bahwa Abu ’Abdullah adalah

tsiqat. Ibn Hibban menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat. ‘Ajli memandang dia sebagai seorang tabi’in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa’ad setelah menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha’if. Dikatakannya bahwa ia Syi’ah ekstrim.

Ulama hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd. Ia pernah dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr dengan kekuatan pasukan sejumlah 800 orang dari penduduk Kufah. Mereka datang untuk

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

mencegah keinginan dan kehendak Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa’i berkata: “Aku mendengar Abu ‘Abdullah al-Jadali adalah serdadu Mukhtar.”

Ibn Hajar berkata: “Ibn Zubayr memanggil Muhammad al-Hanafiyyah untuk berbai’at kepadanya. Muhammad menolak ajakan bai’at itu, lalu ia ditahan atau dikurung di suatu tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya mengintimidasi Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di Kufah. Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju Makkah di bawah pimpinan Abu ‘Abdullah al-Jadali.”

Mereka berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari kurungannya. Muhammad mencegah satuan perang itu bertempur di kota suci Makkah. Dari sinilah, demikian Ibn Hajar, ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufay, yang ikut serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya tidaklah dipandang cacat lantaran perbuatannya itu.

Dari berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama tidak mengecam Abu ‘Abdullah, kecuali paham Syi’ah yang dianutnya. Sebagian ulama yang memberikan kritik kepadanya menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu ‘Abdullah menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa Syi’ah yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim, tidaklah merusak sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal jujur, amanah, dan tidak pernah berdusta.

Bila kita melihat latar-belakang kehidupan Abu ‘Abdullah, nyatalah bahwa tak seorang pun ulama hadits yang menuduhnya sebagai pendusta. Karena itulah, Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in, Ibn Hibban dan al-’Ajli. Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya.

Hal di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni dalam menentukan keadilan dan tsiqatnya seorang perawi. Mereka berpegang pada firman Allah:

“Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu melakukan ketidakadilan. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih mendekati ketakwaan.” (QS, al-Ma’idah, 5:8).

Mereka tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan secara serampangan, mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta. Seandainya mereka demikian, tentu Abu ‘Abdullah sudah dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan haditsnya, lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd.

Kejujuran ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan orang

Rafidhah yang seringkali menggugurkan sifat adil seorang perawi. Bahkan mereka mengkafirkannya dengan alasan yang dibuat-buat; seperti termuat dalam beberapa referensi mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang lebih utama dibanding Abu ‘Abdullah, yaitu Abu Bakar dan

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

‘Umar, bahkan mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja dari mereka. Pengkafiran ini tidak lain hanya karena keyakinan para sahabat tersebut berbeda dengan keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini yang dinamakan fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah.

Ibn Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh kaum

Rafidhah sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim dan tidak jujur. Beliau menolak semua tuduhan itu, dan menyatakan bahwa setiap orang yang berakal akan mengetahui kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan terbebasnya mereka dari sifat fanatik. Hal ihi terlihat dari kata-kata Ibn Hajar: ”… dari sini sebagian ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam satuan tempur itu. Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah membuat keduanya tercela, insya Allah.”

Pernyataan Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena ia membela Abu ‘Abdullah, dan menolak semua orang yang mendha’ifkan dia dari kalangan Ahlus Sunnah. Beliau juga menolak orang yang mengkultuskannya. Perhatikanlah.

KESIMPULAN

Setelah kita mengungkap kerancuan penulis Dialog Sunnah-Syi’ah secara terinci mengenai biografi perawi-perawi hadits, kita dapat menyimpulkan bahwa al-Musawi tidak membedakan antara tasyayyu’ dan

rafadh. Orang Syi’ah ia sebut orang Rafidhah padahal, antara tasyayyu’

dan rafadh menurut ulama Sunni berbeda.

Karena itu, haruslah dibedakan pula riwayat orang Syi’ah dengan orang Rafidhah. Sudah saya kemukakan terdahulu bahwa ulama Sunni menerima riwayat orang Syi’ah, dengan catatan ia dikenal jujur, amanah dan tidak mempromosikan bid’ahnya. Adapun riwayat orang Rafidhah, mereka tidak dapat menerimanya sama sekali dalam keadaan bagaimanapun, lantaran terlalu buruknya keyakinan orang Rafidhah itu.

Termasuk kerancuan yang dilakukan al-Musawi, penulis Dialog

Sunnah-Syi’ah, adalah bahwa ia memandang tsiqat perawi-perawi yang

matruk dan dha’if, baik karena buruknya madzhab mereka atau karena cacatnya keadilan mereka lantaran suka berdusta. Ia memandang tsiqat

terhadap mereka semua. Ini berbeda dan berlawanan dengan kesepakatan ulama jarh wat ta’dil. Ia menentang keras pendapat ulama yang ahli dalam bidang ini. Hal demikian tidak lain karena madzhab para perawi yang

matruk dan dha’if itu sesuai dengan madzhab al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah.

Termasuk kerancuan yang dilakukannya, ialah kecamannya terhadap beberapa perawi hadits yang tsiqat dari kalangan Ahlus Sunnah wal- Jama’ah, seperti Aban ibn Taghlib, ‘Abdurazaq ibn Himam, Waqi’ ibn Jarah

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

dan ‘Ali ibn al-Ja’ad. Ia memandang mereka itu dari kalangan Rafidhah

setelah ia mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu didasarkan pada pendapat Ibn Quthaibah dalam kitab Ma’arif dan riwayat asy-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wan Nihal. Menurut kode etik ilmiah, ia harus menjelaskan bahwa Ibn Quthaibah dan asy- Syahrastani adalah para sarjana yang meneliti berbagai madzhab dan aliran. Mereka menempatkan para perawi atas dasar memihak atau tidaknya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah. Untuk itu, mereka menyebut seseorang itu Syi’ah manakala ia berpihak kepada ‘Ali.

Sudah saya kemukakan dengan jelas bahwa menurut ulama jarh wat- ta’dil, pendapat Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani tidak merusak seorang perawi. Hanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah ia perawi yang suka berdusta, membuat bid’ah dan mempromosikannya serta lain- lain hal yang dapat membuat seorang perawi menjadi cidera atau cacat.

Juga termasuk dalam kerancuan yang dilakukan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, adalah kritik dia terhadap dua Kitab Shahih, Bukhari dan Muslim. Ia mengecam beberapa perawi yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab mereka, tanpa menyebutkan argumen mereka menerima riwayat para perawi itu dan tanggapan Ahlus Sunnah terhadap kenyataan itu.

Padahal, menurut ketentuan ilmiah, seharusnya ia menyebutkan kepada pembaca tentang pendapat Ahlus Sunnah dengan mengutip keterangan dari buku-buku mereka. Mengenai tanggapan Ulama Sunni, telah diuraikan secara panjang lebar dalam Hadi al-Sari (Syarah Shahih Bukhari) dan kitabnya Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Juga dijelaskan dalam berbagai kitab ushul al-hadits lainnya.

Tapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, dan pemuka kaum

Rafidhah lainnya selalu melontarkan keragu-raguan terhadap kedua kitab

sahih itu, dengan tujuan agar mendapatkan peluang besar untuk menjatuhkan Islam dan kaum Muslimin. Dan saya, dengan izin Allah, telah membeberkan beberapa kerancuan dan keraguan yang sengaja mereka ciptakan.

Salah satu kerancuan juga yang dia lakukan adalah bahwa dia tidak membedakan antara para perawi yang hanya diriwayatkan haditsnya tetapi tidak dijadikan hujjah, dengan perawi yang dijadikan hujjah. Karena itu, ketika salah seorang dari ashabus-Sunan menerima riwayat yang lema, ia katakan bahwa dia telah berhujjah dengan riwayat lemah itu.

Padahal, sesungguhnya yang benar dalam masalah ini adalah bahwa orang dapat meriwayatkan hadits dari seorang perawi, walaupun hadits itu tidak dijadikan, hujjah, sebagaimana telah saya terangkan terdahulu. Al- Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah melakukan hal di atas dengan tujuan memberikan gambaran yang salah kepada pembaca bahwa ulama

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Jama’ah tidak memiliki metoda ilmiah yang baku dalam melakukan jarh

dan ta’dil. Ini merupakan suatu hal yang dapat menciptakan keragu- raguan ketika mereka mengecam seorang perawi, namun kemudian mereka berhujjah dengan riwayatnya. Di sini pasti akan muncul keragu-raguan itu. Padahal, hakekat persoalan yang sesungguhnya tidaklah demikian. Para ulama Sunni mengeluarkan hadits darl para perawi yang lemah itu bukan untuk dibuat hujjah, melainkan untuk penguat dan pendukung semata. Dan hal itu dipandang suatu kebajikan di dalam kitab ushul hadits ulama Sunni.

Mengenai pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah bahwa 100 tokoh yang dikemukakannya itu adalah tokoh dan perawi Syi’ah, itu merupakan pernyataan yang penuh kepalsuan dan kebohongan semata. Dengan pernyataan itu, ia bermaksud untuk mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab menurut dia, Syi’ah adalah sekelompok orang yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah. Karena itu, ketika mengklaim 100 perawi itu sebagai perawi Syi’ah, maka menurutnya mereka secara otomatis bukanlah orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Padahal, sebenarnya tasyayyu’ itu tidaklah menyebabkan seseorang keluar dari ikatan Ahlus Sunnah manakala ia hanya berpihak kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa merendahkan para sahabat nabi yang lain, terutama Abu Bakar dan ‘Umar. Akan tetapi jika seseorang telah melewati batas ketentuan di atas dan sampai ke tingkat berlebihan dan mengecam para sahabat, termasuk Abu Bakar dan ‘Umar; maka seketika itu ia tidak lagi disebut bertasyayyu’, melainkan rafadh, dan orang yang memiliki kepercayaan seperti itu tidak lagi disebut Syi’ah, tetapi Rafidhah, yang menyimpang dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Adapun perawi yang 100 itu tidak ada dari mereka yang dipandang

rafadh atau ekstrim. Mereka paling tinggi hanyalah disebut bertasyayyu’. Karena itu, mereka masih tergolong Ahlus Sunnah. Tidak benar jika mereka dipandang sebagai kelompok tersendiri yang berbeda dari Ahlus Sunnah walau sekedar nama untuk kelompok mereka, selama pokok-pokok kepercayaan mereka tidak berlawanan dengan Ahlus Sunnah. Tidak ada ulama yang menyebut mereka itu sebagai perawi Syi’ah, kecuali Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani. Dan sudah saya kemukakan secara jelas apa yang dimaksud Syi’ah oleh kedua ulama tersebut.

Mengenai pernyataan al-Musawi bahwa ulama Sunni berhujjah dengan perawi Syi’ah, perlu dijelaskan lebih rinci. Sesungguhnya, menurut ulama Sunni, para perawi yang dipandang Syi’ah itu tidaklah keluar dari ikatan Ahlus Sunnah, dan tidak menyimpang dari prinsip ajaran Ahlus Sunnah. Sebab, yang dimaksud dengan Syi’ah menurut ulama Sunni adalah pemihakan kepada ‘Ali dalam pertikaiannya melawan Mu’awiyah, tak lebih dari itu.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Mengenai pernyataannya bahwa orang yang tidak sependapat dengannya akan mengetahui kesalahan mereka, dan seterusnya, sesungguhnya ulama Sunni membedakan antara Syi’ah yang tidak berbeda pokok-pokok ajarannya dengan Ahlus Sunnah, dari Syi’ah ekstrim dan

Rafidhah. Mereka menerima riwayat kelompok yang pertama jika itu sesuai dengan kriteria mereka, tetapi tidak menerima riwayat kelompok kedua dalam keadaan bagaimanapun.

Mengenai pernyataannya bahwa “Mereka akan mengetahui bahwa yang terpenting bagi mereka adalah jujur dan amanah, tanpa membedakan antara Sunni atau Syi’ah,” ulama Ahlus Sunnah wal

Jama’ah mengakui bahwa kejujuran dan amanah merupakan hal penting dalam menerima dan menolak riwayat. Mereka juga mengakui bahwa mereka tidak membedakan antara Sunni dan Syi’ah. Hanya saja, mereka menetapkan syarat untuk perawi Syi’ah, yaitu bukan yang ekstrim alias ghulat, dan rafadh, dan tidak mempromosikan bid’ahnya.

Mengenai pernyataannya bahwa “Ketahuilah bahwa mereka adalah perawi Syi’ah dari kalangan sahabat,” maka hendaklah anda ketahui bahwa kalangan sahabat tidak ada Syi’ah, dalam arti suatu kelompok yang berbeda dari Ahlus Sunnah. Semua sahabat adalah tergolong Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka tidak ada yang menyimpang dari ajaran pokok Rasulullah, kendati terdapat perselisihan diantara mereka setelah terbunuhnya sahabat ‘Utsman ibn ‘Affan. Juga, walaupun terjadi perpecahan dan saling menyalahkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, namun masing-masing kelompok yang bertikai tidak keluar dan menyimpang dari pokok ajaran agama. Demikian pula yang terjadi pada kalangan tabi’in. Jika yang dimaksud dengan Syi’ah dari kalangan sahabat itu adalah orang yang mendukung ‘Ali ibn Abi Thalib, maka sikap dan tindakan seperti ini tidak dipandang menyimpang dari pokok-pokok agama, demikian pula untuk para sahabat yang mendukung Mu’awiyah.

Mengenai pernyataannya: “Dan orang yang selalu melakukan

taqiyyah lantaran takut dan lemah”; dari pernyataan di atas nyatalah pengakuan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah mengenai taqiyyah

dan wajibnya dilakukan taqiyyah terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sekalipun. Padahal taqiyyah adalah suatu kemurahan Allah kepada orang Muslim supaya selamat dari tekanan dan siksaan orang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah: illa an tattaqu minhum tuqah. Dengan demikian tidak boleh melakukan taqiyyah terhadap sesama Muslim. Adapun kaum

Rafidhah, mereka menganggap wajib melakukannya, walau terhadap Ahlus Sunnah sekalipun. Di sini mereka tidak membedakan antara orang kafir dan Muslim Sunni. Perhatikanlah.

Mengenai pernyataannya: “Ada 100 perawi yang terpercaya, hafidz

dan pemuka agama dari kalangan Syi’ah, pendukung keluarga Muhammad, yang ulama Sunni melupakannya; “ maka tidak dapat disangkal lagi bahwa di dalam pernyataan ini terkandung kezaliman terhadap ulama-ulama

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

Sunni, juga kedengkian dan iri hati, sebab ia menggambarkan orang Sunni

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 98-107)