• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manshur ibn Mu’tamar ibn ‘Abdullah ibn Rabi’ah as-

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 82-84)

Al-Ajiri menceritakan dari Abu Dawud bahwa Manshur tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang tsiqat. Ats-Tsawri berkata: “Di Kufah, tidak sebagai orang yang lebih dipercaya dalam periwayatan hadits dibanding Manshur”. Yahya memandang Manshur sebagai orang yang paling dapat dipercaya. Dalam bukunya, ‘Ali al-Madani berkata demikian: “Jika seorang tsiqat meriwayatkan hadits padamu, dan hadits itu berasal dari Manshur, maka engkau pasti berpegang kepadanya dan

125 Tahdzib at-Tahdzib, 10/230; Mizan al-l’tidal, 4/144; Hadi as-Sari 2/213. 126 Tahdzib at-Tahdzib, 10/312.

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

engkau tidak ingin pada yang lainnya.” ‘Abdan berkata bahwa ia pernah mendengar Hamzah berkata: Ketika aku datang ke Baghdad, aku lihat orang-orang di sana memuji Manshur.” Abu Zara’ah berkata: Orang Kufah yang paling terpercaya (meyakinkan) adalah Manshur.

Abu Hatim berkata: “Manshur adalah orang yang tsiqat. Ia tidak pernah melakukan pencampuradukan (tadlis).” Menurut ‘Ajli, ia seorang Kufah yang tsiqat, dan haditsnya dapat dipercaya. Ia seorang Kufah yang paling dipercaya. Haditsnya seakan-akan tempat minuman, tak seorang pun berselisih didalamnya. Ia ahli ibadah, dan merupakan orang yang salih. Selama dua bulan ia menentang qadha’ (pengadilan negara). Ia Syi’ah, walaupun tidak berlebihan.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa ulama hadits sepakat mengenai adil dan tsiqatnya Manshur, serta kehujjahan haditsnya. Mereka tidak melontarkan kritik atas Manshur yang merusak sifat adil dan tsiqatnya. Karena itu, ashabus sittah meriwayatkan haditsnya.

Kalau dikatakan bahwa ia Syi’ah, itu hanya dalam ukuran sangat kecil, tidak sampai ke tingkat berlebihan. Sebagaimana dikatakan oleh al- Ajri, ini tidak merusak sifat adil dan tsiqat Manshur. Apalagi setelah ada kesepakatan mengenai kejujurannya, dan jauhnya dari perbuatan dusta. Ini menunjukkan kejujuran ulama Sunni, di mana mereka tidak menolak riwayat Manshur, yang dipandang sebagai Syi’ah walaupun tidak sampai ke tingkat Rafadh. Mereka berhujjah dengan hadits riwayat Manshur, sebagaimana dikatakan oleh al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah berikut ini: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kehujjahan hadits Manshur”. Karena itu, ashabus sittah dan ulama hadits lainnya berhujjah dengan haditsnya, walaupun mereka tahu bahwa ia seorang Syi’ah.

Pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah di atas bertolak belakang dengan tuduhan dia bahwa ulama Sunni tidak jujur. Kepada mereka, ia pernah berkata: “Aku tidak simpati kepada sekelompok orang yang tidak jujur!”

Bagaimana mereka dipandang tidak fair, sedangkan mereka sepakat untuk berhujjah dengan hadits Manshur yang berpaham Syi’ah? Ini jelas berlawanan dengan tuduhan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu. Setiap orang yang berakal sehat akan menyatakan demikian.

Adakah dia jujur dalam memberikan penilaian terhadap ulama Sunni? Ataukah ia seorang sinting yang zalim? Setiap orang yang membaca pernyataan-pernyataannya yang kontroversial itu, pastilah tahu bahwa ia termasuk orang yang hendak mematikan sunnah dan ahlinya. Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.

Pembaca yang kritis dan jujur akan dapat menemukan kejujuran ulama Sunni. Ia juga akan mengerti kebencian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, terhadap ulama Sunni. Pembaca akan mengetahuinya, misalnya dari riwayat Hammad ibn Zayd, salah seorang ulama Sunni. Ia

i-sunni Singkat.doc (1441 Kb)

berkata: “Aku melihat Manshur di Makkah. Kukira dia dari sekte Khasyabiyyah. Aku tidak menuduhnya sebagai seorang pendusta.” Kalau seandainya Hammad tidak jujur, tentu ia akan menyatakan bahwa Manshur adalah pembohong. Akan tetapi, Hammad menyatakan bahwa Manshur adalah seorang yang jujur, walaupun ia seorang Syi’ah.

Sesungguhnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, itu sendiri yang termasuk golongan orang-orang yang tidak jujur. Tidakkah anda melihat, bagaimana ia berbuat dusta atas ulama Sunni ketika ia berkata: “Orang-orang Sunni adalah kelompok orang yang suka berdusta”. Tuduhan semacam itu ia buat-buat untuk menolak orang-orang Sunni, padahal mereka sama sekali lepas dari tuduhannya. Mereka justru berkeyakinan bahwa dusta adalah suatu ciri yang pasti dalam paham Rafadh. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa dusta adalah aqidah kaum

Rafidhah. Al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah adalah salah seorang dari mereka. Orang-orang yang jujur dari kalangan mereka sangatlah langka.

Sungguh mengherankan bagaimana ia bermain-main dengan al- Qur’an, dengan menggunakan dalil secara serampangan tidak pada tempatnya. Apakah menjelaskan bid’ah, dan mengungkap para pelakunya harus dipandang sebagai perbuatan memperolok-olok dengan gelar yang buruk? Apakah pernyataan anda kepada orang kafir dengan sebutan “kafir” atau kepada orang munafik dengan sebutan “munafik” harus dipandang sebagai perbuatan memperolok-olok? Kalau memang demikian, tentu al- Qur’an tidak akan menyebut orang yang secara lahiriah memiliki sifat

nifaq sebagai “munafiq.” Demikian pula orang yang melakukan perbuatan keji, seperti berzina dan mencuri, tentu tidak akan disebut zani atau sariq.

Kepadanya saya ingin bertanya di mana anda menempatkan ayat ll surah al-Hujurat ketika anda membuang predikat atau atribut Hammad ibn Zayd yang sesungguhnya? Dan mengapa, anda tidak mempraktekkan ayat di atas ketika anda memberikan gelar kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘A’isyah sebagai jibt, Thaghut dan baqarah? Apakah ini dapat disebut sebagai suatu kejujuran, wahai al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah? Sesungguhnya anda adalah seperti kata orang, “Kau mengecam orang lain dengan keburukan sendiri”.

Dalam dokumen Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi (Halaman 82-84)