• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALS

ALS

AHS

AMS

ALS

AMS ALS

ALS

ALS

ALS

AHS

AMS

ALS

2 4 6 8 10 12 1 5 9

Waktu postmortem (jam)

m ikr om et er ( m ) AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha μ

yang terdapat di antara serabut otot dan pada jaringan penunjang mengindikasikan bahwa telah terjadi pengeluaran cairan intraselular ke jaringan ekstraselular. Menurut Kranen et al. (2000) gambaran eksudasi yang lebih banyak disebabkan juga oleh kerusakan dinding endotel. Jika dinding pembuluh darah rusak (rupture) maka sedikit atau banyak darah akan terdapat di jaringan interselular. Intensitas hemoglobin postmortem di dalam jaringan tergantung pada jumlah dan distribusi dari darah sisa pada karkas, kekuatan hemolisis dan derajat koagulasi intravaskular.

Berdasarkan pengamatan mikroskopis dapat dikatakan bahwa lebih dari 50% jaringan pada otot AMS telah mengalami eksudasi. Eksudasi terlihat seperti fibrin atau benang halus yang berada di sekitar serabut otot dan di jaringan ikat penunjang (Gambar 15).

Gambar 15 Potongan melintang serabut otot dada (M. pectoralis) pada 9 jam

postmortem memperlihatkan eksudasi yang terjadi di antara serabut otot. Pada AMS terlihat eksudasi (tanda panah) sangat banyak, sedangkan pada ALS lebih sedikit dan pada AHS dalam persentase yang sangat kecil. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50

μm.

Eksudasi terutama disebabkan oleh keluarnya cairan darah lewat pembuluh darah akibat terjadi perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah beberapa saat setelah kematian. Pada otot dada dan otot paha AHS tidak terdapat banyak eksudasi baik di daerah antar serabut otot maupun di jaringan penunjang. Ini memberikan gambaran bahwa dengan dilakukan pemotongan ayam secara benar dan berasal dari ayam yang sehat, maka darah tidak akan tertahan di dalam system

AHS

AMS

ALSALS

sirkulasi yang mengakibatkan kongesti sehingga tidak ada eksudasi yang berasal dari pembuluh darah.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap seluruh jaringan otot, maka secara deskriptif dapat dikatakan bahwa eksudasi yang terjadi pada otot dada dan otot paha ALS dapat mencapai 30%, sedangkan pada otot dada dan otot paha AHS eksudasi hanya terlihat kurang dari 5%. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan molekul-molekul besar seperti protein dapat keluar dari pembuluh darah. Cairan eksudasi mengandung protein yang tinggi yaitu mencapai 50g/l disamping itu terdapat juga immunoglobulin yang penting untuk destruksi mikroorganisme yang menginvasi jaringan dan sejumlah fibrinogen. Sehingga pada eksudasi jelas terlihat adanya fibrin.

Kadangkala terjadi juga hemorhagi di antara serabut otot dan di jaringan penunjang (Kranen et al. 2000). Hemorhagi tergantung dari jaringan dimana hemorhagi itu terjadi. Pada otot dada ayam pedaging hemorhagi yang terjadi sering menyesuaikan dengan arah serabut otot.

Secara mikroskopis sangat jelas terlihat bahwa ada pembendungan darah di dalam pembuluh arteri, vena maupun pembuluh kapiler yang ditandai dengan adanya eritrosit yang memenuhi pada saluran tersebut. Setelah endotel lisis maka akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan hilangnya permeabilitas dinding pembuluh darah (Kranen et al. 2000). Akibatnya banyak eritrosit akan keluar dari sistem vaskular menuju ke daerah intermuskular dan juga ke jaringan penunjang. Hemoglobin juga akan lepas dari eritrosit atau dari plasma darah.

Nilai Keempukan Daging (Warner-Bratzler shear atau nilai WB)

Hasil uji keempukan daging menunjukkan bahwa nilai Warner-Bratzler (WB) daging dada yang berasal dari AHS, AMS dan ALS setelah 1, 5 dan 9 jam

postmortem memiliki nilai WB yang sama (p>0.05). Ini berarti bahwa baik daging yang berasal dari ayam bangkai, maupun yang berasal dari ayam lemah dan ayam sehat memberikan gambaran tingkat keempukan daging dada yang relatif sama. Bila diamati berdasarkan waktu pengukuran pada 1, 5 dan 9 jam

postmortem, maka secara keseluruhan menunjukkan adanya kecenderungan penurunan nilai WB. Dengan kata lain semakin lama jam postmortem maka

tingkat keempukan daging semakin tinggi atau nilai WB yang didapat semakin rendah. Walaupun pada 9 jam postmortem nilai WB daging dada AMS lebih rendah, namun angka tersebut belum menunjukkan beda nyata dengan AHS dan dengan ALS.

Hasil yang sama pada nilai WB diamati juga pada daging paha. Akan tetapi pada daging paha, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara nilai WB otot paha AMS dengan nilai WB otot paha AHS dan ALS biak pada 1, 5 dan 9 jam

postmortem. Nilai WB pada otot ini menurun drastis dari 6.3 kgf/cm2 pada 1 jam

postmortem menjadi 2.2 dan 1.9 kgf/cm2 pada 5 dan 9 jam postmortem (Tabel 5).

Tabel 5 Rataan dan standar deviasi nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai keempukan

daging dada (kgf/cm2)

Nilai keempukan

daging paha (kgf/cm2)

Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 4.3 ± 1.0a 3.0 ± 0.6a 2.9 ± 0.6a 4.2 ± 0.3b 3.4 ± 0.4a 2.7 ± 0.3a

AMS 4.5 ± 0.9a 2.7 ± 0.5a 2.0 ± 0.4a 6.3 ± 1.4a 2.2 ± 0.5b 1.9 ± 0.3c

ALS 4.4 ± 0.9a 3.2 ± 0.6a 2.8 ± 0.5a 4.1 ± 0.4b 3.4 ± 0.4a 2.3 ± 0.6b

a-c

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Hasil pengujian nilai WB pada daging paha AMS menurun drastis setelah 9 jam postmortem. Ini mengindikasikan bahwa setelah 9 jam postmortem, tekstur daging paha ayam bangkai menjadi semakin lunak, sedangkan tekstur daging paha AHS bersifat lebih kompak. Hal ini diduga berkaitan erat dengan proses autolisis yang lebih cepat terjadi pada otot paha AMS, karena banyaknya darah yang tertahan di dalam jaringan vaskular dan di luar vaskular mempercepat terjadinya proses pembusukan. Santos et al. (2004) menyatakan bahwa nilai WB akan menurun sejalan dengan meningkatnya waktu aging daging dan semakin cepat oleh pembusukan.

Dalam hal keempukan daging, akumulasi asam laktat postmortem berperan besar dalam merusak membran lisosom sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim proteolitik yang mampu melunakkan miofibril. Enzim katepsin yang berada di dalam lisosom mampu bekerja pada pH daging untuk mendegradasi protein- protein miofibril khususnya aktin dan miosin, sehingga akhirnya daging menjadi lunak (Santos et al. 2004).

Berdasarkan nilai keempukan daging dada dan daging paha yang diperoleh pada penelitian ini terlihat ada kecendrungan penurunan nilai WB pada jam pertama terhadap nilai WB setelah 5 dan 9 jam, walaupun penurunan tersebut tidak signifikan. Dibandingkan dengan nilai WB pada satu jam pertama

postmortem maka setelah 5 dan 9 jam postmortem terlihat menurun dan nilainya berkisar 2 atau 3.5 kgf/cm2 (Gambar 16).

Gambar 16 Nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Menurut Veeramuthu dan Sams (1999) ukuran keempukan daging dapat dinilai dari jarak diantara garis-Z, aktivitas enzim kalpain dan fragmentasi protein miofibril. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa semakin jauh jarak antar dua garis-Z maka nilai keempukan daging yang di ukur juga semakin bagus. Ditambahkan oleh Allen et al. (1998), bahwa nilai keempukan tidak dipengaruhi oleh warna daging. Menurut Wattanachant et al. (2005) ketebalan jaringan ikat

0 1 2 3 4 5 6 7 1 5 9

Waktu Postmortem (jam)

W B (kgf/ cm2) AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha

perimisium memiliki hubungan yang erat dengan nilai keempukan dan kualitas daging. Ketebalan jaringan ini pada ayam bervariasi tergantung tipe otot.

Warna CIE L* a* b*

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecerahan (L*) daging dada yang berasal dari AHS lebih tinggi dari angka kecerahan (L*)daging dada AMS dan juga ALS. Secara statistik angka kecerahan (L*) daging dada dari AHS berbeda signifikan (p<0.05) dengan angka kecerahan(L*) daging dada dari AMS, namun tidak berbeda nyata dengan nilai kecerahan (L*) daging dada dari ALS. Nilai kecerahan (L*) daging dada dari AMS mulai 1, 5 dan 9 jam postmortem

berturut-turut adalah 53.1, 52.3, dan 51.7. Walaupun nilai kecerahan(L*) daging dada pada AHS dan ALS dari 1 sampai 5 jam postmortem relatif tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, namun pada 9 jam postmortem nilai kecerahan(L*)daging dada pada ALS mengalami penurunan yakni menjadi 53.5 (Tabel 6).

Tabel 6 Rataan dan standar deviasi nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai L*

Daging dada

Nilai L*

Daging paha Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 56.2 ± 3.0a 55.7 ± 2.9a 55.9 ± 2.7a 54.5 ± 3.3a 52.7 ± 3.1a 50.3 ± 3.2a

AMS 53.1 ± 3.1b 52.3 ±3.2b 51.8 ± 3.1b 51.4 ± 2.1b 49.0 ± 1.4b 48.3 ± 1.1a

ALS 53.1 ± 2.2ab 53.5 ±0.9ab 53.5 ± 1.7b 51.8 ± 3.5b 50.5 ± 4.0ab 50.8 ± 3.7a

a-b

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Hasil yang demikian memberikan suatu pertanda kepada konsumen bahwa gambaran kecerahan masih menjadi suatu indikator yang kadangkala sulit untuk dijadikan sebagai pegangan untuk membedakan mana daging dada maupun daging paha yang berasal dari ayam bangkai atau bukan. Gambaran nilai

ALS paha ALS dada AMS paha AMS dada AHS paha AHS dada Ke ce ra ha n ( L *) 65 55 45 1 jam PM 5 jam PM 9 jam PM kecerahan (L*)pada daging dada dan daging paha yang berasal dari AHS, AMS dan ALS dapat dilihat pada Gambar 17.

Menurut Tomasz et al. (2002) nilai kecerahan daging dada lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kecerahan daging pada otot paha (drumstick muscle). Nilai warna daging mentah sangat dipengaruhi oleh jumlah mioglobin otot serta difusi dan absorpsi cahaya pada permukaan. Menurut Fletcher et al. (2000), ada hubungan yang positif antara warna daging mentah dengan nilai warna daging masakbaik untuk nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) maupun kekuningan (b*).

Gambar 17 Nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Akan tetapi analisis yang hanya berdasarkan warna saja tanpa adanya pemeriksaan pH tidak dapat dijadikan suatu ketentuan atau pegangan bahwa daging yang nilai kecerahannya (L*) nya lebih rendah dari yang lain tergolong daging DFD.

Menurut Petracci et al. (2004) bahwa nilai kecerahan (L*) dapat digunakan sebagai suatu indikator kualitas daging dada ayam untuk menilai terhadap kejadian PSE dan untuk tujuan pengolahan lebih lanjut. Walaupun demikian kecerahan otot dada sangat tergantung dari sifat fungsional otot, stres antemortem

disamping usia dan spesies hewan.

Terhadap nilai kemerahan (a*) daging dada maka secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa daging dada AMS signifikan lebih merah dibandingkan dengan daging dada pada AHS dan ALS. Nilai kemerahan (a*) daging dada dari AMS pada 1, 5 dan 9 jam postmortem berturut-turut adalah 2.7, 2.9 dan 3.1. Sedangkan pada daging paha didapat hasil sebagai berikut 3.4, 6.5 dan 6.4. Nilai kemerahan ini nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai kemerahan dari AHS. Berdasarkan Tabel 7 dapat dikatakan bahwa indikator nilai kemerahan (a*) dapat dipakai untuk membedakan daging dada maupun daging paha antara ayam AMS dengan AHS, atau antara AMS dengan ALS.

Tabel 7 Rataan dan standar deviasi nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai a*

Daging dada

Nilai a*

Daging paha Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 1.9 ± 0.5b 1.8 ± 0.5b 1.7 ± 0.4b 3.0 ± 1.0a 2.7 ± 1.0b 2.7 ± 1.0b

AMS 2.7 ± 1.0a 2.9 ± 0.9a 3.1 ± 1.0a 3.4 ± 1.5a 6.5 ± 1.9a 6.4 ± 1.9a

ALS 2.2 ± 0.4ab 2.1 ± 0.4b 2.1 ± 0.5b 3.0 ± 1.0a 3.1 ± 0.7b 3.2 ± 0.7b

a-b

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Akan tetapi terasa masih mendapat kesulitan untuk membedakan antara daging dada dan daging paha antara AHS dengan ALS disebabkan oleh tipisnya perbedaan warna kemerahan kedua jenis daging tersebut. Nilai kemerahan(a*) daging dada ini dipengaruhi oleh adanya darah yang tersisa di dalam jaringan

tubuh, sehingga ketika dilakukan pengukuran dapat meningkatkan nilai kemerahan(a*).

Begitu juga halnya dengan angka kemerahan (a*) yang diperoleh pada daging paha AMS, dimana angka yang didapat pada 5 dan 9 jam postmortem

secara statistik signifikan lebih tinggi (p<0.05) baik dibandingkan dengan AHS maupun dengan ALS. Angka kemerahan(a*) yang lebih tinggi pada 5 dan 9 jam

postmortem tersebut yaitu 6.5 dan 6.4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa warna merah pada daging paha ayam bangkai dapat menjadi suatu indikator untuk membedakan dengan daging ayam normal maupun dengan daging dari ayam lemah (Gambar 18). ALS paha ALS dada AMS paha AMS dada AHS paha AHS dada K e m e ra ha n ( a *) 10 8 6 4 2 0 1 jam PM 5 jam PM 9 jam PM

Gambar 18 Nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Secara normal daging paha menghasilkan warna merah yang lebih kuat dibandingkan dengan warna merah yang dihasilkan dari daging dada. Hal ini disebabkan otot paha mengandung serabut otot merah yang lebih banyak disamping serabut otot putih. Karena tergolong otot merah maka otot paha

memiliki kandungan mioglobin yang tinggi dengan suplai darah yang lebih banyak.

Pada kondisi tertentu dimana proses pengeluaran darah tidak sempurna, maka daging yang dihasilkan dapat mengarah kepada ciri-ciri daging DFD. Disamping itu terdapat beberapa penyebab lain seperti asites dan emasiasio sehingga kombinasi dari beberapa penyebab ini dapat mengakibatkan daging dada memperlihatkan tanda-tanda seperti DFD (Fletcher et al. 2000). Menurut Kannan

et al. (1997) umumnya DFD disebabkan oleh stres yang kronis.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa daging dada dan daging paha memiliki nilai kekuningan (b*) yang relatif sama. Akan tetapi angka kekuningan (b*) pada AMS relatif lebih tinggi dari nilai kekuningan (b*) pada AHS dan ALS (Tabel 8). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kekuningan(b*)secara keseluruhan tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada AHS, AMS dan ALS (Gambar 19).

Tabel 8 Rataan dan standar deviasi nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang dikur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai b*

Daging dada

Nilai b*

Daging paha Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 2.6 ± 0.7b 3.3 ± 0.3a 3.3 ± 0.3b 3.1 ± 0.4b 3.2 ± 0.4a 3.2 ± 0.4a

AMS 3.3 ± 0.5a 3.5 ± 0.4a 3.6 ± 0.4a 3.6 ± 0.4a 3.5 ± 0.6a 3.6 ± 0.7a

ALS 3.2 ± 0.2a 3.3 ± 0.2a 3.3 ± 0.3b 3.1 ± 0.4b 3.2 ± 0.4a 3.2 ± 0.4a

a-b

ALS paha ALS dada AMS paha AMS dada AHS paha AHS dada K ek u ni n ga n ( b *) 5 4 3 2 1 jam PM 5 jam PM 9 jam PM

Gambar 19 Nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Nitrogen Nonprotein (NPN)

Berdasarkan nilai NPN yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan baik pada otot dada maupun pada otot paha ketiga perlakuan (p>0.05). Dengan kata lain daging dada dan daging paha ayam broiler pada kondisi segar tanpa pendinginan dan pembekuan dari 1 sampai 9 jam

postmortem belum menunjukkan adanya peningkatan nilai NPN (Tabel 9). Berbeda dengan hasil penelitian Khan (2000) yang mencatat ada peningkatan NPN daging ayam selama 2 minggu pertama penyimpanan dingin. Sekitar 80% dari peningkatan NPN tersebut diakibatkan karena meningkatnya asam amino terutama asam amino yang mengandung sulfur dan aromatik. Senyawa-senyawa guanidin yaitu keratin dan kreatinin juga meningkat sedikit sementara turunan dari asam nukleat menurun.

Tabel 9 Rataan dan standar deviasi angka NPN daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai NPN daging dada (%)

Nilai NPN daging paha (%) Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 4.7 ± 0.7a 4.5 ± 0.8a 4.6 ± 1.1a 4.5 ± 1.1a 4.4 ± 1.0a 4.5 ± 1.0a

AMS 5.2 ± 0.7a 5.4 ± 0.3ab 5.4 ± 0.5a 5.4 ± 0.8ab 5.4 ± 0.7a 5.4 ± 0.5b

ALS 4.9 ± 0.6a 5.0 ± 0.2b 4.9 ± 0.8a 4.7 ± 0.7b 4.5 ± 1.1a 4.4 ± 1.0b

a-b

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Peningkatan jumlah NPN memiliki hubungan yang erat dengan proses proteolisis pada jaringan otot ayam. Autolisis yang terjadi pada jaringan otot merupakan aksi dari beberapa enzim proteolitik seperti katepsin dan jumlahnya di dalam jaringan otot relatif rendah. Selama penyimpanan, peningkatan temperatur maupun pembekuan maka enzim katepsin kemungkinan terlepas akibat dari kerusakan sel sehingga menyebabkan terjadinya proteolisis (Obanor et al. 2005). Belum banyak informasi yang didapat tentang kekuatan proteolisis pada otot dada dan otot paha ayam terhadap peningkatan nilai NPN.

Ada beberapa kemungkinan tidak meningkatnya nilai NPN secara signifikan (Gambar 20) antara daging dari ayam bangkai dan bukan bangkai yaitu faktor temperatur ruang, dimana temperatur sekitar 28-29 oC menyebabkan cepatnya terjadi agregasi protein miofibril dan juga ikatan NPN, sedangkan kemungkinan kedua adalah NPN telah hilang melalui proses eksudasi yang terjadi karena otot telah mengalami pemotongan kecil-kecil saat analisis pada temperatur ruang (Parrish et al. 1969; Van Laack et al. 2000; Obanor et al. 2005).

2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 1 5 9

Waktu postmortem(jam)

NP N (%) AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha

Gambar 20 Nilai nitrogen nonprotein daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Berdasarkan hasil penelitian Miller et al. (1965) menunjukkan bahwa penyimpanan otot dapat meningkatkan asam amino bebas. Pada otot putih terlihat bahwa asam amino lebih rendah dibandingkan dengan asam amino pada otot merah dan Miller et al. (1965) akhirnya menyimpulkan bahwa otot broiler memiliki kandungan asam amino lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam amino pada ayam petelur. Beberapa peneliti bahkan belum pernah menemukan ada peningkatan NPN pada daging ayam selama dua minggu pertama penyimpanan. Jika NPN dan asam amino meningkat, maka peningkatan tersebut biasa mengikuti pola yang sama.

Urlings et al. (1993) yang meneliti jumlah NPN pada daging dada, organ visera dan pada kepala ayam mendapatkan bahwa pada 1 jam pertama nilai NPN tertinggi di dapat pada daerah organ visera yaitu 11.5 sampai 38%, sedangkan nilai NPN yang terendah di dapat pada bagian kepala yaitu 3.0 sampai 4.5%. Nilai NPN daging dada berkisar dari 8.8 sampai 9.6%. Berdasarkan hasil penelitian Urling et al. (1993) di ketahui juga bahwa penyimpanan daging dada pada -20 0C terjadi peningkatan nilai NPN setelah 80 jam waktu penyimpanan. Peningkatan yang signifikan pada waktu yang sama juga terjadi terhadap nilai NPN dari organ visera dan kepala.

Nilai Impedansi

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai impedansi yang berasal dari daging ayam AMS lebih rendah dibandingkan dengan nilai impedansi yang dihasilkan dari daging ayam AHS maupun ALS. Rataan nilai impedansi untuk otot dada AHS, AMS dan ALS pada 1, 5 dan 9 jam postmortem masing- masing adalah sebesar 1.9, 1.8, 1.6; 1.2, 1.2, 1.2; 1.6, 1.7 dan 1.6 ohm sedangkan rataan nilai impedansi untuk otot paha AHS, AMS dan ALS pada 1, 5 dan 9 jam

postmortem masing-masing adalah sebesar 1.8, 1.8, 1.8; 1.2, 1.2, 1.1; 1.6, 1.7 dan 1.6 ohm. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai impedansi otot dada dan otot paha pada AMS signifikan lebih rendah (p<0.05) bila dibandingkan dengan nilai impedansi pada otot dada dan otot paha dari AHS dan ALS (Tabel 10).

Berdasarkan hasil pengukuran nilai impedansi pada daging dada dan daging paha dapat dikatakan bahwa perbedaan karakter daging ternyata menghasilkan nilai impedansi yang berbeda. Karakter fisik daging dada dan daging paha dari AMS tentu saja sangat berbeda dengan karakter fisik daging dada dan daging paha dari AHS dan ALS. Nilai impedansi terukur yang rendah pada AMS terkait erat dengan tingkat degradasi protein otot. Disamping diperkuat oleh kenyataan secara mikroskopis dengan tingkat degenerasi dan nekrosa yang tinggi, pada aspek lain juga dipengaruhi oleh kuatnya aktivitas enzim-enzim proteolitik yang merusak filamen protein. Tingginya kandungan air ekstraselular merupakan bukti bahwa telah terjadi pengeluaran sejumlah air intraselullar dan sejumlah ion yang berperan pada membran serabut otot. Akibat kondisi tadi disamping membuat jaringan otot tambah lunak juga menghasilkan nilai korelasi positif yang signifikan terhadap nilai Warner-Bratzler shear. Kondisi ini telah dibuktikan oleh Byrne et al. (2000) yang mencari hubungan antara nilai impedansi elektris terhadap nilai keempukan daging Warner-Bratzler shear. Hasil ini didukung oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Lepetit (2002) bahwa perubahan sifat elektrolit di dalam miofibril yang merupakan komponen utama serabut otot akan berakibat pada perubahan sifat-sifat ionik jaringan yang akhirnya mengubah nilai impedansi daging atau otot.

Pada daging AMS nilai impedansi lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai impedansi pada daging AHS dan ALS. Analisis statistik terhadap nilai impedansi yang dihasilkan menunjukkan angka yang signifikan (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan nilai impedansi daging AHS dan ALS. Akan tetapi nilai impedansi yang terukur dari jam pertama sampai sembilan jam postmortem

pada sampel ayam yang sama tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan.

Tabel 10 Rataan dan standar deviasi nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) serta daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Nilai Impedansi Daging dada (ohm)

Nilai Impedansi Daging paha (ohm) Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 1.9 ± 0.1a 1.8 ± 0.1a 1.6 ± 0.3a 1.8 ± 0.2a 1.8 ± 0.1a 1.8 ± 0.1a

AMS 1.2 ± 0.1c 1.2 ± 0.1c 1.2 ± 0.1b 1.2 ± 0.1c 1.2 ± 0.1c 1.1 ± 0.1b

ALS 1.6 ± 0.3b 1.7 ± 0.1b 1.6 ± 0.1a 1.6 ± 0.1b 1.7 ± 0.3b 1.6 ± 0.1a

a-c

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat dikatakan juga bahwa nilai impedansi daging dada pada AHS berkisar antara 1.6 sampai 1.9 ohm, pada AMS adalah 1.2 ohm dan pada ALS antara 1.6 sampai 1.7 ohm. Sedangkan pada daging paha nilai impedansi pada AHS adalah 1.8 ohm, pada AMS berkisar 1.1 sampai 1.2 ohm dan pada ALS antara 1.6 sampai 1.7 ohm.

Berdasarkan Gambar 21 dan 22 terlihat bahwa nilai impedansi yang terukur pada daging ayam bangkai selalu lebih rendah baik pada daging dada maupun pada daging paha. Gambaran grafik ini mencerminkan juga masih terjadi fluktuasi nilai impedansi yang besar yang berasal dari jaringan otot ayam bangkai maupun dari otot ayam sehat dan otot ayam yang lemah. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketepatan dalam penempatan jarum elektroda ke dalam otot, sedikit atau banyaknya proporsi air ekstraselular, dan kepekaan jaringan otot terhadap pemakaian jarum elekroda.

0.7 0.9 1.1 1.3 1.5 1.7 1.9 2.1 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Waktu postmortem (jam)

N il ai Im pedansi (o hm ) AHS1 AMS1 ALS1 AHS5 AMS5 ALS5 AHS9 AMS9 ALS9

Gambar 21 Nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Menurut Byrne et al. (2000), interaksi air dengan protein juga dapat mempengaruhi terhadap nilai impedansi jaringan. Ketika otot mengalami konversi menjadi daging maka 0.8 sampai 2.0% air masih terikat secara ikatan kovalen terhadap molekul protein di dalam otot. Sedangkan sekitar 12% air terikat melalui ikatan elektrostatik terhadap protein struktural dan protein kontraktil daging, sehingga kondisi ini sangat tergantung pada muatan protein daging serta pH intramuskular. Sedangkan 70% air dalam bentuk air bebas

Dokumen terkait