• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patologi Anatomi Daging Dada dan Daging Paha Ayam

Daging ayam dikenal memiliki perbedaan warna tertentu khususnya antara daging dada dan daging paha. Berdasarkan pengamatan makroskopis, setiap daging dada (fresh raw breast meat) ayam pedaging yang sehat biasanya akan berwarna merah muda-putih keabuan yang merata di semua bagian, sedangkan daging paha (fresh raw thigh and leg meat) berwarna merah muda yang yang lebih gelap yang lebih dominan warna merahnya.

Bila dibandingkan dengan ayam hidup disembelih (AHS), maka pada ayam mati disembelih (AMS) terdapat sejumlah perubahan patologi anatomi yang sangat berbeda yaitu warna permukaan daging lebih merah yang terdapat banyak bintik-bintik merah. Semakin lama jam kematian maka warna merah semakin menyebar ke seluruh daging dada dan daging paha. Pembuluh darah pada leher dan sayap dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh. Eksudasi cairan jaringan dari AMS sangat banyak yang dapat dibuktikan dengan dilakukan sayatan pada daging dada dan daging paha. Apabila ayam mati dilakukan penyembelihan kembali maka bekas pemotongan di daerah leher tidak akan mengalami perenggangan sebagaimana lazimnya pada pemotongan ayam hidup.

Histologi Otot Dada dan Paha Ayam

Otot daging dada dan daging paha ayam tergolong ke dalam otot skelet. Unit terkecil dari otot skelet ini dinamakan miofibril dan kumpulan miofibril membentuk satu serabut otot (muscle fibers). Walaupun dinamakan serabut otot namun ada yang menganggap ini sebagai sel otot. Pada pewarnaan standar hematoksilin-eosin gambaran histologi serabut otot akan berwarna merah sedangkan intinya menyerap warna biru hematoksilin. Dilihat dari potongan melintang otot, serabut otot skelet berbentuk poligonal, memiliki banyak inti yang terdapat pada daerah perifer. Kumpulan sejumlah serabut otot tersebut membentuk satu bundel otot atau disebut dengan fasikulus (fasciculi). Antara satu fasikulus dengan fasikulus yang lain dipisahkan oleh jaringan ikat perimisium. Jaringan ikat ini memiliki penampilan yang lebih tebal dari endomisium. Pada daerah ini terdapat banyak pembuluh darah besar seperti arteri dan vena.

Sedangkan pembuluh kapiler disamping terdapat di daerah antar serabut otot juga banyak terdapat di jaringan perimisium.

Secara garis besar otot daging dada dan paha digolongkan ke dalam jenis otot putih dan otot merah berdasarkan proporsi kandungan serabut merah dan serabut putih. Kriteria seperti ini dapat diamati berdasarkan hasil pewarnaan histokimia serabut otot dengan menggunakan ATPase miosin. Karena memiliki perbedaan secara fisiologis dan biokimia maka serabut otot skelet ayam peka terhadap perubahan baik pada tingkat degenerasi maupun nekrosa (Le Bihan- Duval et al. 1999).

Degenerasi dan Nekrosa Otot Dada dan Otot Paha Ayam

Penurunan fungsi atau derajat serabut otot sehingga mengalami pengecilan atau pembesaran dinamakan dengan degenerasi (Kranen et al. 2000). Degenerasi pada serabut otot ditandai dengan adanya pembesaran serabut otot. Serabut otot membesar dan tampak lebih bulat atau kehilangan bentuk poligonalnya. Kadangkala serabut otot tersebut bersifat hipereosinofil yaitu menyerap zat warna eosin lebih kuat (Gatcliffe et al. 2001). Serabut otot terlihat kehilangan guratan- guratan atau striasi otot yang diikuti oleh pembekakan satu atau lebih serabut otot di dalam satu bundel otot. Selain itu ruang antar serabut otot (muscle fiber interstitials atau extracellular space) tampak melebar dibanding dengan serabut otot normal (Lopez 2004). Akan tetapi sampel yang berasal dari otot dada maupun dari otot paha yang sama dapat saja memperlihatkan gambaran degenerasi dan nekrosa yang sedikit bervariasi. Perbedaan variasi seperti ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kepekaan masing-masing serabut otot terhadap kondisi ante dan postmortem, proses perubahan fisik dan kimiawi dari otot menjadi daging dan kondisi metabolik spesifik setiap individu yang berbeda.

Beberapa faktor premortem yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan bahkan sampai nekrosa serabut otot antara lain stres traumatik karena penangkapan, transportasi, dan pemingsanan yang kasar. Pada tingkat perubahan selular, gangguan permeabilitas sarkolemma terhadap ion Ca2+ yang meningkat, maka sel-sel otot akan mengalami kelebihan pemasukan Ca2+ sehingga mengakibatkan ketidakmampuan sel dalam mengendalikan ion tersebut. Kondisi

tersebut menyebabkan aktifnya kalpain, aktifnya fosfolipase A2 (PLA2) sehingga terjadi lisis benda-benda selular. Disamping merusak integritas membran juga memacu peroksidasi lemak. Jika mitokondria juga mengalami kelebihan Ca2+ maka kondisi ini dapat memacu terjadi ischemia yang berat, distrophy otot dan

cacexia (Gissel 2005).

Pada penelitian ini, perubahan patologis terhadap serabut otot dada berupa degenerasi dan nekrosa dijumpai pada semua daging ayam, baik yang berasal dari ayam bangkai (AMS), ayam lemah (ALS) maupun dari ayam hidup yang disembelih (AHS). Akan tetapi perbedaannya adalah persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS dan ALS signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AHS (Tabel 1). Persentase tertinggi degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS adalah sebesar 4.5 dan 3.5%, pada ALS adalah sebesar 3.1 dan 2.2%, sedangkan pada AHS adalah sebesar 1.2 dan 1.0%. Terjadi variasi angka persentase degenerasi dan nekrosa yang didapat pada otot dada 1, 5 dan 9 jam

postmortem (PM) lebih disebabkan oleh kondisi biologis tertentu yang secara alami memang memiliki perbedaan atau variasi tertentu disamping ditentukan juga oleh perbedaan angka penghitungan mikroskopik.

Tabel 1 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada (M. pectoralis) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Degenerasi (%) Nekrosa (%)

Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 0.6 ± 0.8b 1.0 ± 0.5b 1.2 ± 0.6b 0.6 ± 0.9b 1.0 ± 1.0b 0.9 ± 1.1b

AMS 4.5 ± 1.6a 2.7 ± 1.3a 3.6 ± 1.2a 3.5 ± 2.6a 2.6 ± 1.9a 2.8 ± 1.1a

ALS 3.1 ± 0.7a 2.4 ± 0.7a 2.3 ± 0.7b 2.0 ± 2.2a 2.2 ±1.1ab 1.7 ±1.3ab

a-b

Persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha pada AMS juga tinggi seperti yang terdapat pada otot dada. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha tertinggi terdapat pada otot AMS yaitu sebesar 7.6 dan 4.6%. Kemudian diikuti oleh degenerasi dan nekrosa serabut otot pada ALS dimana persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot tersebut sebesar 4.7 dan 2.9%. Jumlah terendah tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha adalah pada otot AHS yakni sebesar 2.5 dan 1.8%.

Hasil pengamatan terhadap degenerasi dan nekrosa pada serabut otot paha di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase degenerasi dan nekrosa yang sangat rendah yaitu 1.5 sampai 2.5% didapat pada serabut otot AHS dan persentase nekrosa 1.1 sampai 1.8% berada pada otot AHS juga. Akan tetapi jika dibandingkan dengan persentase degenerasi dan nekrosa yang terdapat pada otot paha AMS dan ALS, maka angka degenerasi dan nekrosa pada serabut otot dada AMS dan ALS ini signifikan (p<0.05) jauh lebih tinggi yaitu mencapai 6.9 sampai 7.6% dan 3.5 sampai 4.6% (Tabel 2).

Tabel 2 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Degenerasi (%) Nekrosa (%)

Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 2.5 ± 0.7b 1.5 ± 0.8c 2.3 ± 0.6c 1.1 ± 1.2b 1.8 ± 1.4b 1.2 ± 1.3b

AMS 6.9 ± 1.1a 7.6 ± 1.1a 7.5 ± 0.9a 3.8 ± 1.9a 4.6 ± 1.6a 3.5 ± 1.7a

ALS 3.4 ± 0.7b 4.7 ± 0.7b 4.3 ± 0.6b 2.0 ± 1.6b 1.6 ± 1.1b 2.9 ± 1.2a

a-c

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Walaupun secara keseluruhan hasil statistik memperlihatkan jumlah nekrosa serabut otot paha pada AHS lebih rendah dari ALS, namun pada jam ke 5

postmortem terdapat angka nekrosa pada AHS sebanding atau malah lebih tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh variasi dalam penghitungan secara mikroskopis. Walaupun angka yang tinggi seperti itut terjadi, namun pada

akhirnya dapat dikatakan bahwa angka degenerasi dan nekrosa pada AMS dan ALS nyata lebih tinggi dibandingkan dengan angka degenerasi dan nekrosa pada AHS.

Ciri lain dari serabut otot yang mengalami degenerasi adalah serabut otot mendesak ruang endomisium sehingga tampak ruang tersebut lebih lebar dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Kondisi demikian menyebabkan serabut otot membengkak dan lebih besar dibandingkan dengan serabut otot sekelilingnya yang dinamakan hiperkontraksi. Gambaran seperti itu sangat jelas terlihat pada otot AMS, sedangkan pada otot AHS bentuk serabut otot yang masih poligonal serta keberadaannya yang masih rapi sangat jelas terlihat (Gambar 8).

Gambar 8 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem

memperlihatkan struktur serabut otot. Sebagian besar serabut otot masih utuh pada AHS, sedangkan pada AMS dan ALS beberapa serabut otot mengalami degenerasi (tanda panah). Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm.

Bila diamati secara mikroskopis maka secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada otot AHS adalah sangat kecil dimana jumlah serabut otot yang mengalami degenerasi sangat sedikit. Jumlah serabut otot yang mengalami nekrosa sangat sedikit dibanding dengan nekrosa yang terjadi pada otot AMS dan ALS. Gambaran mikroskopis otot pada AMS dan ALS ditemukan lebih banyak serabut otot yang telah mengalami degenerasi dan nekrosa. Ciri lain degenerasi serabut otot adalah hipereosinofil yaitu serabut otot terlihat menyerap warna eosin lebih kuat dibanding dengan serabut otot yang masih normal, sedangkan serabut otot yang mengalami nekrosa terlihat adanya pembentukan rongga di sitoplasma sel otot (Gambar 9). Kondisi jaringan pada otot AMS terlihat sangat terbuka

ALS

AMS

dengan jaringan ikat perimisium yang lebih lebar dan disinilah diperkirakan terjadi pengeluaran cairan sel yang lebih tinggi.

Gambar 9 Potongan melintang otot paha (M. biceps femoris) pada 5 jam

postmortem memperlihatkan struktur histologi serabut otot. Serabut otot yang mengalami nekrosa (tanda panah) dapat dijumpai pada AMS dan ALS. Pada AHS bentuk serabut otot secara keseluruhan masih utuh dibandingkan dengan AMS dan ALS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm.

Diameter Serabut Otot (Muscle Fiber Diameter)

Pengamatan terhadap diameter serabut otot dapat mencerminkan juga ukuran dari diameter miofibril. Pengamatan tersebut berguna untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya atropi otot (muscular atrophy) yaitu berkurangnya ukuran otot disebabkan oleh mengecilnya diameter miofibril. Kejadian seperti ini bisa diakibatkan oleh kehilangan miofilamen pada sarkomer. Atropi otot dapat bersifat reversibel jika penyebabnya dapat hilang dan otot kembali ke bentuk semula, dan dapat juga bersifat irreversibel sehingga mengarah ke kematian sel.

Ada tiga jenis atropi otot yaitu a) denervasi atropi, dimana stimulus otot berkurang akibat kehilangan fungsi syaraf, sehingga akhirnya sel otot menjadi atropi, b) disuse atropi, pada kondisi ini inervasi syaraf ada namun pergerakan otot berkurang akibat sakit, trauma fisik ataupun fraktur, dan c) malnutrisi atropi yaitu kondisi yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi terhadap jaringan tubuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter serabut otot pada AHS, AMS dan ALS baik pada 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak memperlihatkan perubahan ukuran diameter yang sifnifikan (p>0.05). Walaupun hasil analisis statistik tidak memperlihatkan ada perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan pada

AMS ALS

otot dada dan otot paha dari AHS, AMS dan ALS, namun secara biologis ukuran serabut otot dada tampak lebih besar dibandingkan dengan ukuran serabut otot paha (Tabel 3).

Tidak terdapat perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan mengindikasikan bahwa tidak terjadi kelainan metabolik yang berarti yang dapat berpengaruh pada ukuran serabut otot. Akan tetapi trauma fisik antemortem yang lazim terjadi pada broiler kemungkinan tidak sampai mengakibatkan perubahan pada diameter serabut otot dada dan paha.

Tabel 3 Rataan dan standar deviasi diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Diameter serabut

otot dada (μm)

Diameter serabut

otot paha (μm)

Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 54.3 ± 1.7a 53.4 ± 1.3a 54.1 ±11.1a 43.3 ±10.1b 43.8 ± 7.2b 45.8 ± 8.6b

AMS 55.9 ± 0.5a 55.9 ± 1.5a 56.0 ± 0.8a 44.1 ± 7.3b 43.7 ± 6.3b 44.3 ± 8.3b

ALS 52.2 ± 9.7a 53.0 ± 8.3a 54.1 ± 7.8a 43.7 ± 7.3b 45.5 ± 7.2b 45.0 ± 8.5b

a-b

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Dransfield dan Sosnicki (1999) menegaskan bahwa secara alami otot dada broiler memiliki diameter serabut otot yang lebih besar dan hal ini dapat dipengaruhi juga oleh perbedaan umur dan aktivitas fisik. Luas penampang melintang serabut otot pada daging ayam akan meningkat dengan bertambahnya umur. Peningkatan ukuran ini juga berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah serabut raksasa (giant fibre), yang luas penampang melintangnya mencapai 3 sampai 5 kali dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Karena semua sampel daging baik dari daging dada maupun daging paha berasal dari strain yang sama, berat badan dan keseragaman umur yang sama, maka pada pengamatan diameter serabut otot tidak terjadi perbedaan yang signifikan.

Berdasarkan hasil pengamatan maka ukuran serabut otot dada yang terkecil adalah 52.2 μm dan yang terbesar adalah 56 μm (Gambar 10). Diameter serabut otot sangat tergantung dari umur ayam (Dransfield dan Sosnicki 1999, Gatcliffe et al. 2001). Pada penelitian ini, ukuran diameter serabut otot paha, baik pada AHS, AMS dan ALS setelah 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05). Ukuran serabut otot paha terkecil adalah 43.3 μm dan yang terbesar adalah 45.8 μm.

Gambar 10 Ukuran diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam

postmortem.

Menurut Mckee dan Sams (1998), serabut otot yang berasal dari jenis unggas yang pertumbuhannya cepat cenderung memiliki ukuran diameter serabut otot lebih besar bila dibandingkan dengan jenis unggas yang pertumbuhannya lambat. Ayam yang secara alami didominasi oleh serabut otot tipe II, maka cenderung lebih peka terhadap stres dan kualitas daging.

Pembuluh Darah Arteri dan Vena

Berdasarkan pengamatan terhadap pembuluh darah baik yang terdapat pada otot dada maupun pada otot paha dapat dikatakan bahwa lumen pembuluh darah arteri maupun vena pada AHS tampak kosong dari darah. Ini membuktikan bahwa sebagian besar darah telah keluar dari tubuh saat proses pemotongan,

2 12 22 32 42 52 62 1 5 9

Waktu postmortem(jam)

mik ro m et er AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha ( μ m)

sehingga tidak terjadi koagulasi dan retensi di dalam lumen arteri dan vena. Sebaliknya pada AMS dan ALS sebagian besar lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh dan menyebabkan kongesti yang jelas (Gambar 11). Gambaran seperti ini memperlihatkan bahwa pembuluh darah arteri maupun vena pada AMS dan ALS dipenuhi oleh darah yang tertahan karena tidak terjadi pengeluaran darah (bled out) yang sempurna pada saat pemotongan.

Gambar 11 Lumen pembuluh darah arteri pada otot dada (M. pectoralis) AHS 1 jam postmortem tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada AMS dan ALS, lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm.

Bila dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah arteri pada AHS maka efisiensi pengeluaran darah (blood loss) pada ALS pun masih kurang baik, sebab berdasarkan penampilan histologis masih banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah arteri maupun vena. Pada ayam yang lemah dan stres, kemungkinan besar kerja sistem sirkulasi tidak cukup kuat untuk mengeluarkan darah yang sempurna pada saat pemotongan.

Griffiths et al. (1985) menyatakan bahwa perbedaan metode pemingsanan ternyata tidak akan mempengaruhi jumlah darah pada karkas, sehingga faktor terpenting dalam hal ini adalah tindakan memotong dengan sempurna atau tidak, karena pemingsanan atau tidak pemingsanan hanya menunjukkan perbedaan jumlah darah yang tidak signifikan. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pemotongan yang benar terhadap ayam yang sehat merupakan faktor yang sangat penting dalam penyiapan karkas dan daging yang berkualitas baik dan sehat. Pemotongan yang sempurna akan menyebabkan sebagian besar darah keluar dari sistem sirkulasi, walaupun dalam jumlah sangat kecil masih

AHS

AMS

ALS

tetap ada yang tertahan di dalam organ-organ vital seperti otak, limpa, paru-paru dan hati.

Kondisi pembuluh darah yang mengalami kongesti tidak saja ditemukan pada otot dada namun ditemukan juga pada otot paha baik pada otot paha AMS dan juga pada otot paha ALS. Pada pembuluh darah vena memperlihatkan gambaran bahwa pembuluh darah tersebut pada otot paha AMS dan ALS juga dipenuhi oleh darah, sedangkan pada otot paha AHS pembuluh darah vena tampak kosong dan tidak membengkak (Gambar 12).

Gambar 12 Lumen pembuluh darah vena pada otot paha (M. biceps femoris) AHS 1 jam postmortem, tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada otot paha AMS dan ALS, lumen pembuluh darah vena dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm.

Pada kondisi pembuluh darah vena yang penuh oleh darah, maka jika dinding pembuluh darah vena mengalami ruptur, maka eritrosit akan menyebar ke jaringan antar serabut otot yang ditandai dengan banyaknya eksudasi di jaringan ikat dan antar serabut otot. Hal ini akan mempercepat proses pembusukan pada daging terutama jika di dalam darah mengandung sejumlah mikroorganisme pembusuk.

Jarak Antar Serabut Otot (Muscle Fiber Interstitials)

Hasil pengamatan terhadap jarak antar serabut otot (muscle fiber interstitials) menunjukkan bahwa jarak antar serabut otot pada AMS mengalami perubahan yang nyata lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AHS dan ALS. Pelebaran jarak yang signifikan yang terjadi pada otot dada dan otot paha AMS setelah 1, 5 dan 9 jam pasca mati berturut-turut sebesar 10.7, 10.8, 11; 10, 10 dan 10.6 μm (Tabel 4). Pada pengamatan

AHS

AMS

ALS

mikroskopis dapat dilihat bahwa sebagian besar serabut otot dada pada AMS dan ALS telah mengalami dissosiasi dan juga ditambah lagi dengan adanya eksudasi, sehingga banyak serabut otot yang mengalami perenggangan antara satu dengan yang lain.

Tabel 4 Rataan dan standar deviasi jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

Perlakuan

Jarak antar serabut

otot dada (μm)

Jarak antar serabut

otot paha (μm)

Postmortem (jam ke-)

1 5 9 1 5 9

AHS 7.4 ± 2.1b 9.3 ± 1.4b 7.4 ± 0.8c 7.2 ± 1.6b 8.3 ± 1.5b 7.5 ± 1.0b

AMS 10.7 ± 1.2a 10.8 ± 1.0a 11 ± 1.2a 10 ± 0.9a 10 ± 1.3a 10.6 ±0.9a

ALS 9.3 ± 0.9a 9.3 ± 0.8b 9.9 ± 1.3b 9.1 ± 1.2a 9.4 ± 1.5ab 9.8 ± 0.7a

a-c

superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

Daging AHS yang berasal dari hasil penyembelihan ayam sehat memiliki struktur dan integritas serabut otot yang masih utuh. Sedangkan daging pada AMS dan ALS struktur serabut otot telah mengalami dissosiasi dan ditambah lagi dengan adanya eksudasi. Pada daging AMS dan ALS jarak antar serabut otot terlihat lebih lebar dengan kondisi dissosiasi yang lebih berat. Pelebaran ruang

interstitials ini juga dipicu oleh meningkatnya cairan intraselular yang menuju ke ruang tersebut dan dipengaruhi juga oleh banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah.

Menurut Gissel (2005) daging yang mengalami kehilangan cairan yang lebih banyak disamping memperlihatkan karakter yang basah, secara mikroskopis terlihat struktur jaringan yang lebih longgar dibandingkan dengan struktur jaringan yang berasal dari kondisi yang normal. Peningkatan ruang antar serabut otot (extracellular space atau muscle fibers interstitials) biasanya disertai dengan peningkatan permeabilitas sarkolemma. Kondisi inilah yang diduga menyebabkan

banyak air intraselular dengan mudah menuju ke ruang ekstraselular melalui (drip channels)(Gambar 13).

Gambar 13 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. Jarak antar serabut otot (tanda panah) pada AMS dan ALS lebih besar daripada pada AHS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50

μm.

Berdasarkan hasil analisis statistik, jarak antar serabut otot dada dan serabut otot paha pada AHS signifikan lebih pendek (p<0.05) atau dengan kata lain lebih rapat jika dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AMS dan ALS (Gambar 14).

Gambar 14 Histogram jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan jarak antar serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.

Pada ayam bangkai ruang interstitials antar serabut otot mengalami suatu kondisi yang menyebabkan ruang tersebut menjadi lebih renggang. Eksudasi

AMS ALS

Dokumen terkait