• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Karakter Otot Dada dan Otot Paha Ayam

Berdasarkan fungsinya otot dada (M. pectoralis) pada ayam tergolong kepada otot sayap, karena berfungsi mengepakkan sayap. Otot ini merupakan otot yang paling kuat dan paling besar diantara otot-otot yang lainnya. Sedangkan otot paha (M. biceps femoris) termasuk otot ekstremitas yang tersusun sedemikian rupa sehingga daerah femur terdapat kelompok otot flexor persendian lutut dan ekstensor persendian paha yang terletak di sisi caudal, sebaliknya kelompok otot flexor persendian paha dan ekstensor persendian lutut terletak di sisi cranial (Getty 1975).

Otot dada dan otot paha ayam termasuk kedalam golongan otot skelet. Serabut otot skelet memiliki banyak inti dan dipisahkan satu sama lain oleh sebuah jaringan ikat endomisium, perimisium dan epimisium. Di dalam satu serabut otot terdapat banyak miofibril. Miofibril ini tersusun dari banyak miofilamen aktin dan miosin. Dilihat dari potongan melintang maka bentuk serabut otot skelet adalah poligonal, memiliki banyak inti yang terletak pada bagian perifer. Kumpulan serabut otot membentuk bundel otot atau fasikulus (fasciculi) dan masing-masing bundel otot dipisahkan oleh jaringan ikat yang lebih tebal yang dinamakan jaringan ikat epimisium (Judge et al. 1989; Lopez 2004).

Otot dada (M.Pectoralis merupakan otot unggas yang terbesar dan terdapat pada bagian superfisialis atau permukaan dada. Berat otot Pectoralis berkisar 8% dari berat tubuh unggas. Sedangkan otot paha terdiri dari beberapa otot seperti otot Sartorius, Biceps femoris, Semitendinosus dan Semimembranosus. Otot

Pectoralis dan Biceps femoris adalah beberapa otot yang sering digunakan untuk pengujian kualitas daging pada karkas ayam (Soeparno 1992; McKee 2000).

Berdasarkan sifat histokimia, serabut otot pada ayam digolongkan ke dalam dua golongan yaitu serabut tipe merah dan serabut tipe putih atau di dalam ilmu daging lebih dikenal dengan istilah red meat dan white meat. Klasifikasi ini didasarkan atas banyaknya intensitas warna mioglobin yang dikandung serabut otot merah dan serabut otot putih. Berbeda halnya dengan unggas terbang, pada

ayam otot dada tergolong ke dalam serabut otot putih dan otot paha termasuk ke dalam serabut otot merah walaupun mengandung juga sedikit serabut otot putih. Menurut McKee (2000) otot skelet ayam bahkan dapat dibagi ke dalam lima jenis tipe serabut otot yaitu tipe I, tipe IIA dan IIB dan tipe IIIA dan IIIB. Otot dada digolongkan ke dalam tipe IIB sedangkan otot paha termasuk ke dalam tipe I. Otot tipe IIIA dan IIIB tidak ditemukan pada mamalia namun hanya terdapat pada unggas.

Menurut Van Laack et al. (2000) daging merah kurang peka terhadap kejadian Pale Soft Exudatif (PSE) dibandingkan dengan daging putih sebab kandungan mioglobin dan hemoglobin yang dimilikinya lebih banyak dari daging putih. Disamping itu serabut otot merah memiliki potensial glikolitik yang rendah, metabolisme oksidatif yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah.

Serabut otot putih peka terhadap kondisi PSE sebab memiliki ketergantungan yang tinggi pada glikolisis untuk mengimbangi homeostasis pada serabut otot setelah ayam disembelih. Serabut otot putih memiliki potensial glikolitik yang tinggi, jumlah glikogen yang tinggi, tetapi rendah metabolisme oksidatif dan juga rendah pigmen heme- nya (Anadon 2002; Ringkob et al. 2004).

Karakteristik daging tidak hanya ditentukan oleh sifat biokimia otot tetapi dipengaruhi juga oleh struktur dan integritas otot (Berri et al. 2001; Koohmaraie

et al. 2002). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa unggas hasil seleksi (improved strain) memiliki ukuran serabut otot yang lebih besar dibandingkan dengan unggas tanpa seleksi (unimproved strain), namun pada unggas hasil seleksi, kejadian kerusakan otot lebih besar atau lebih sering terjadi (Gatcliffe et al. 2001).

Menurut Gatcliffe et al. (2001) kerusakan otot (focal myopathy) dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk antara lain (1) serabut otot yang membulat besar (large rounded fibres). Ini disebabkan oleh degenerasi hialin sehingga mengakibatkan kehilangan bentuk dan serabut otot nampak membesar dan bulat, (2) serabut otot yang mengalami nekrosa (necrotic fibres). Kerusakan ini ditandai dengan rusaknya membran dan struktur otot, akhirnya akan digantikan oleh jaringan lemak, (3) serabut otot yang mengecil (small angular fibres), sering terjadi pada unggas yang tua dan kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi

degenerasi sebelum nekrosa, dan (4) serabut otot yang membentuk rongga di tengah (central core fibres) (Gambar 1). Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh tidak cukup suplai oksigen pada permukaan otot dan juga kurang difusi oksigen ke dalam serabut otot.

Gambar 1 Potongan melintang serabut otot ayam memperlihatkan degenerasi hialin (A), serabut otot nekrosa (B), serabut otot mengecil (C) dan serabut otot yang memiliki rongga (D) (Gatcliffe et al. 2001).

Menurut Koohmaraie et al. (2002) ukuran otot sangat ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah protein otot yang disintesis dengan jumlah protein otot yang mengalami degradasi. Dransfield dan Sosnicki (1999) menyatakan bahwa tipe serabut otot merah ayam memiliki diameter serabut otot yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter serabut otot pada otot dada, namun kaya mioglobin serta teradaptasi dengan baik pada kondisi aerobik, memiliki tipe oksidatif, tahan terhadap kelelahan. Serabut otot putih sebaliknya, memiliki diameter serabut otot yang lebih besar, metabolisme glikolitik, cepat mengalami kelelahan.

Menurut Dransfield dan Sosnicki (1999), ada tiga sistem proteolitik pada otot yaitu katepsin (lysosomal), kalpain (calcium-dependent) dan proteasom (adenosine triphosphate ubiquitin dependent). Proteasom bertanggung jawab terhadap sebagian besar turnover protein, kalpain bertanggung jawab terhadap degradasi sitoskeleton, sedangkan katepsin meningkat setelah otot mengalami sakit dan rusak. Enzim katepsin dan kalpain memiliki peranan terhadap

A B

C D

A B

proteolisis postmortem dalam melunakkan serabut otot sehingga menjadi lebih empuk.

Hemorhagi pada daging dianggap sebagai suatu kelainan yang utama (Kranen et al. 2000) dan dapat terjadi pada semua spesies hewan penghasil daging. Kejadian ini terdapat pada otot skelet maupun pada lemak intermuskular serta pada jaringan ikat. Semua kelainan warna merah yang disebabkan oleh adanya hemoglobin ekstravaskular dianggap sebagai hemorhagi. Kelainan yang termasuk ke dalam kelainan antemortem maupun postmortem biasanya berasal dari sistim vaskular (Kranen et al. 2000).

Ayam broiler yang telah mencapai berat tertentu untuk pemotongan, secara teknis biasanya ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk untuk ditransportasikan ke tempat pemotongan. Stres akibat penanganan yang kasar dan ditambah dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan lesio dan fraktur yang menjadi predisposisi terjadinya kerusakan jaringan otot. Stres pada saat penangkapan, penempatan di dalam tempat yang padat serta transportasi yang tidak nyaman dapat menyebabkan kematian ayam sebelum sampai ke tempat pemotongan. Kondisi ini bertambah berat bila perjalanan ke tempat pemotongan memakan waktu yang cukup lama sekitar 3-4 jam atau lebih dalam kondisi cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin. Pada sistem pemotongan yang sudah modern sekalipun, kasus kematian ayam sebelum penyembelihan dapat mencapai angka rata-rata 0.59% atau kurang dari itu (Warriss et al. 1992; Kannan et al. 1997).

Setelah ayam dipotong maka metabolisme anaerobik akan mengurangi nilai pH di dalam otot dari 7.2 menjadi 5.8 sampai terjadinya rigor mortis. Hasil penelitian Alvarado dan Sams (2000) memperlihatkan bahwa pH otot menurun secara signifikan sampai 2 jam postmortem baik pada ayam yang dipingsankan maupun pada ayam yang tidak dipingsankan. Selain itu panjang sarkomer juga meningkat sampai 2 jam postmortem pada kelompok kontrol dan sampai 12 jam

postmortem pada kelompok ayam yang dipingsankan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemingsanan dapat memperlambat rigor mortis sampai 2 jam postmortem, namun tidak berpengaruh nyata terhadap parameter keempukan, kecerahan dan nilai pH daging.

Kecepatan rigor mortis dipengaruhi oleh keadaan sebelum dan setelah pemotongan. Stres karena panas merupakan salah satu contoh dari faktor lingkungan yang dapat menyebabkan glikolisis postmortem awal yang lebih cepat (Lawrie 1983; Dransfield dan Sosnicki 1999).

Serabut otot yang bersifat glikolitik seperti otot dada memiliki sifat rigor mortis yang lebih cepat, sehingga pada otot dada ayam, rigor mortis hanya memerlukan waktu 1 jam (Mayer dan Neufeld 1980). Kinerja pertumbuhan juga mempengaruhi kecepatan dan kekuatan terjadinya rigor mortis pada daging. Pada pH akhir yang tinggi maka daya ikat air dari molekul miosin juga tinggi. Dengan demikian kecepatan penurunan pH pada otot dada sekitar 0.04 unit/menit, sekitar 2 kali lebih cepat dari tipe otot yang pertumbuhannya lambat. Biasanya 15 menit setelah pemotongan nilai pH bervariasi antara 6.2 sampai 6.6. Akibat penurunan pH yang cepat akan menginaktifkan sistem kalpain dan dapat mengurangi keempukan daging postmortem. Penurunan pH yang cepat menyebabkan miosin lebih peka terhadap denaturasi. Denaturasi yang cepat pada miosin menyebabkan rendahnya kemampuan daya ikat air dan daging berwarna pucat seperti daging PSE (Urlings et al. 1993; Dransfield dan Sosnicki 1999).

Nilai Keempukan Daging Warner-Bratzler Shear (Nilai WB)

Banyak instrumen yang telah dikembangkan dan dapat dipakai untuk menilai tingkat kealotan atau tingkat keempukan (shear value) daging ayam (Wheeler et al. 1997; Kerth et al. 2003; Cavit et al. 2005). Dua metode instrumental yang paling sering digunakan untuk menilai tingkat kekerasan daging ayam adalah Warner-Bratzler shear (WB) dan Allo-Kramer shear (AK). Kedua metode tersebut telah diuji dan hasilnya memiliki suatu korelasi yang sangat bagus (Cavit et al. 2005). Salah satu alat yang dianggap paling popular dan akurat adalah Warner-Bratzler shear (Wheeler et al. 1997). Akan tetapi kedua metode tersebut memiliki kelemahan antara lain biaya yang mahal, memerlukan waktu yang relatif lama dalam mempersiapkan sampel pengujian serta memerlukan ukuran sampel yang homogen.

Menurut Fletcher (1999), untuk pengujian tingkat keempukan daging ayam, maka daging ayam dimasak di dalam wadah aluminium pada temperatur 95 oC

selama 20 menit. Kemudian sampel didinginkan pada temperatur kamar dan dengan menggunakan alat preparasi sampel khusus (sample coring tools), lalu diambil sampel yang homogen antara satu dengan yang lainnya. Nilai Warner- Bratzler shear mencerminkan suatu daya potong yang akurat dari pisau yang berbentuk huruf V (vee-blade) terhadap sampel. Kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemotongan ini sebanding dengan tingkat keempukan atau tingkat kealotan daging ayam (Instron 2003).

Dalam penentuan nilai keempukan daging dengan cara Warner-Bratzler shear ini maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keseragaman ukuran sampel, apakah didinginkan atau dibekukan sebelumnya ataupun tidak sama sekali, temperatur internal daging pada saat direbus dan arah serabut otot dimana sampel diambil, kecepatan pemotongan dan temperatur udara pada saat pemotongan (Instron 2003).

Warna Daging Dada dan Daging Paha Ayam

Warna daging ayam maupun daging yang berasal dari spesies lain selalu menarik untuk diteliti, sebab mempengaruhi secara langsung terhadap penerimaan konsumen dan memiliki hubungan yang erat terhadap karakteristik daging (Perez- Vendrell et al. 2001; Petracci dan Fletcher 2002). Ayam merupakan spesies yang dikenal memiliki otot putih dan otot merah. Perbedaan ini didasarkan pada sifat biokimia dan histokimianya. Daging dada ayam segar (fresh raw breast meat) berwarna pink pucat sedangkan daging paha ayam segar (fresh raw thigh meat) berwarna merah gelap (Anadon 2002).

Otot dada ayam lebih peka terhadap perubahan warna dibandingkan dengan otot paha, hal ini disebabkan otot tersebut memiliki proporsi yang besar pada karkas ayam. Pada tingkat penjual daging pengecerpun warna daging sangat penting sebab konsumen selalu menghubungkan warna dengan kesegaran dan juga sekaligus kualitas, sehingga memberi pengaruh utama bagi keputusan konsumen untuk membeli daging (Rathgeber 2000; Qiao et al. 2001).

Menurut Anadon (2002) dan Rathgeber (2000) mioglobin dan hemoglobin memegang peranan penting terhadap warna daging segar. Warna akan bervariasi berdasarkan konsentrasi pigmen ini dan hasil refleksi cahaya pada daging.

Mioglobin merupakan pigmen heme utama pada ayam yang berperan besar terhadap warna daging, namun konsentrasi mioglobin pada otot ayam sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi mioglobin pada otot dari spesies lain. Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi juga oleh efisiensi pengeluaran darah pada saat pemotongan ayam dilakukan.

Menurut McNeal et al. (2003) bahwa ayam yang disembelih dengan sempurna maka 20 sampai 30% hemoglobin masih tetap berada pada karkas, tentu saja hal ini berpengaruh terhadap warna daging. Ayam pedaging atau broiler memiliki konsentrasi pigmen heme yang sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi pigmen heme pada kalkun.

Warna daging juga ditentukan oleh refleksi cahaya pada daging. Jumlah cahaya yang mengalami refleksi berkaitan erat dengan denaturasi protein dan perubahan pada intermiofibril (Sandusky dan Heath 1998). Perubahan dalam penyebaran cahaya akan mempengaruhi kecerahan daging (L*), kemerahan daging (a*) dan kekuningan daging (b*) (Bilgili et al. 1998).

Pengukuran intensitas warna pada daging memiliki arti penting karena dapat dilakukan secara objektif (Allen et al. 1997). Warna daging sangat tergantung pada difusi dan absorpsi cahaya pada permukaannya. Bila difusi cahaya lebih besar maka akan kelihatan lebih terang dan jika absorpsi cahaya lebih kuat maka warna lebih gelap (Tomasz et al. 2002). Pada awalnya evaluasi warna daging secara visual masih tergolong subjektif sehingga penilaian di dalam proses produksi masih sangat terbatas. Namun dengan kemajuan kamera dan teknik komputer, pemakaian sistem optik yang lebih maju sangat membantu dalam menggantikan fungsi mata dalam pengamatan (Tomasz et al. 2002).

Salah satu metode objektif untuk mengukur warna daging ayam adalah dengan memakai metode reflektan dengan cara mengukur secara objektif spektrum reflektansi pada permukaan daging ayam. Hasil penelitian Tomasz et al. (2002) menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*),dankekuningan (b*) yang didapat melalui metode reflektan dengan evaluasi warna secara visual. Pengukuran kecerahan memungkinkan untuk membedakan antara daging normal dengan daging PSE atau dengan daging

banyak peneliti cenderung menggunakan metode ini untuk mengevaluasi kualitas daging ayam. Beberapa hasil penelitian tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara sifat fisikokimia dengan kecerahan daging.

Adanya variasi pada penampilan visual dan warna dari terang sampai gelap dapat terjadi pada daging dada ayam (Fletcher et al. 2000) dan menurut Mallia et al. (2000) pengeluaran darah yang tidak sempurna, atau ayam dalam kondisi lemah atau sakit sebelum pemotongan besar kemungkinan dapat menyebabkan daging menjadi lebih gelap atau mengalami perubahan nilai yang diukur. Kondisi seperti tadi dapat saja terjadi di industri pengolahan daging maupun di tingkat penjual pengecer (Santos et al. 2004).

Warna CIE L* a* b*

Pengukuran warna sistem Commission International d’Eclairage (CIE) didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Diyakini bahwa mata mengandung tiga reseptor yang peka terhadap cahaya yaitu reseptor merah, hijau, dan biru. Sistem L* a* b* merupakan sistem warna yang dipakai secara luas untuk kolorimetri makanan (deMan 1989).

Dalam teori pengukuran warna ini, dianggap bahwa ada tahap pengalihan sinyal-sinyal antara reseptor cahaya dalam retina dan saraf optik yang mengantar sinyal warna ke otak. Dalam mekanisme pengalihan ini tanggapan merah dibandingkan dengan hijau dan menghasilkan dimensi warna merah ke hijau. Kemudian tanggapan kuning dibandingkan dengan biru menghasilkan dimensi warna kuning ke biru. Ke dua dimensi warna ini dinyatakan dengan lambang a*

dan b*. Dimensi warna ke tiga ialah keterangan atau kecerahan yang dilambangkan dengan L*. Dimensi warna ini tidak linear dan biasanya dinyatakan sebagai akar pangkat dua dari Y atau akar pangkat tiga dari Y (deMan 1989; Anonim 1991).

Di dalam sistem L* a* b* ini, kromatisitas didefinisikan oleh koordinat a dan b persegi panjang. Nilai a positif adalah merah sedangkan nilai a negatif adalah hijau. Nilai b positif adalah kuning dan nilai b negatif adalah biru. Nilai a dan b diperoleh ketika terjadi perbedaan sinyal Y-Z dan X-Y. Sehingga CIE X, Y, dan Z dapat dikonversi menjadi nilai L* a* b* dengan rumus sebagai berikut:

L = 10 (Y)1/2 2 / 1 Y ) Y X 02 . 1 ( 5 . 17 a = − 2 / 1 Y ) Z . 847 . 0 Y ( 0 . 7 b = −

Akan tetapi dengan penggunaan perangkat Minolta Chroma Meter nilai L* a* dan

b* dapat langsung diketahui hasilnya.

Nitrogen Nonprotein (NPN)

Selain mengandung air dalam jumlah yang banyak yaitu 75%, protein 16 – 22% dari massa otot, otot skelet juga mengandung protein sarkoplasma dan protein miofibril atau stromal. Disamping protein ada senyawa nitrogen lain yang terdapat di dalam otot yang dikategorikan sebagai nitrogen nonprotein (NPN). Senyawa ini termasuk asam amino, peptida, kreatin, kreatinin, kreatin fosfat, beberapa vitamin, nukleosida dan nukleotida termasuk adenosin trifosfat atau ATP. Komponen NPN diperkirakan sekitar 1.5% dari massa otot rangka, sedangkan subtansi karbohidrat nonprotein dan anorganik lain masing-masing sebesar 1% dari massa otot skelet (Aberle et al. 2001).

Otot mengandung sejumlah bahan anorganik yang disebut kation dan anion yang memegang peranan fisiologis penting bagi tubuh. Yang termasuk kedalam bahan tersebut adalah kalsium, magnesium, potasium, sodium, besi, fosfor, klorin, kobal, tembaga, seng, nikel dan mangan (Aberle et al. 2001). Nilai NPN menjadi suatu indikator tingkat proteolisis bila dihubungkan dengan nilai keempukan daging. Biasanya NPN dan kelompok amino bebas akan meningkat selama aging

daging postmortem. Peningkatan inilah yang mengindikasikan adanya degradasi protein atau peptida (Parrish et al. 1969).

Hasil penelitian Khan (2000) menunjukkan bahwa fraksi NPN pada otot dada ayam meningkat selama penyimpanan 45 minggu pada temperatur -5 dan -40

oC. Sekitar 80% dari peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya kadar

asam amino yang mengandung sulfur dan aromatik, sedangkan asam nukleat menurun. Enzim katepsin kemungkinan terlepas akibat dari kerusakan sel selama

pembekuan dan penyimpanan. Enzim ini menyebabkan proteolisis sehingga mengganggu ikatan protein.

Sejauh ini belum pernah dilaporkan adanya kenaikan NPN yang signifikan selama dua minggu pertama penyimpanan. Nitrogen nonprotein dan asam amino biasanya meningkat mengikuti pola yang sama selama penyimpanan. Penyimpanan daging sapi selama 2 hari pada 2 oC akan terjadi peningkatan 8 sampai 20% NPN dan 22 sampai 33% asam amino bebas. Sedangkan peningkatan NPN dan asam amino bebas selama 7 hari penyimpanan adalah sebesar 36% dan 117% (Khan 2000).

Penilaian beberapa komponen kimia postmortem telah lama dikenal di dunia kedokteran forensik untuk membantu dalam menduga secara lebih tepat waktu kematian dan juga dapat memperlihatkan beberapa abnormalitas biokimia yang bertanggung jawab terhadap kematian. Sejumlah penelitian telah dilakukan terhadap NPN jaringan, cairan serebrospinalis dan cairan mata. Tidak semua nitrogen dalam jaringan berada dalam bentuk protein, ada yang berasal dari nonprotein seperti senyawa nukleotida, asam amino bebas, kreatin dan kholin. Hanya sebagian kecil dari NPN itu untuk sintesis asam amino non-esensial (Sasaki et al. 1983).

Walaupun banyak peneliti Jepang yang melaporkan tentang jumlah NPN dari ekstrak jaringan postmortem, namun dianggap bahwa NPN jaringan belum menjadi suatu indikator yang benar-benar konkrit terhadap waktu kematian karena adanya beberapa keragaman yang ditemukan pada kondisi postmortem (Sasaki et al. 1983; Lucas et al. 1992).

Autolisis yang dianggap sebagai suatu proses kerusakan sel secara alami

postmortem, dimana sel secara perlahan-lahan akan hancur oleh bantuan enzim. Kemampuan enzim untuk menghancurkan organ parenkhimateus lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan enzim yang berada pada daerah otot skelet. Sehingga organ parenkhim lebih cepat mengalami proses autolisis dibandingkan dengan otot skelet (Urlings et al. 1993).

Nilai Impedansi

Sejumlah metode fisik telah dan sedang dikembangkan untuk menilai berbagai aspek kualitas daging. Diantara beberapa aspek kualitas daging, keempukan merupakan variabel yang paling penting untuk konsumen karena menyangkut langsung sifat-sifat mekanis dan struktur daging. Banyak metode fisik yang telah tersedia untuk menilai aspek mekanis. Sebagian besar metode mekanis yang telah berhasil diciptakan hanya dapat dipakai pada lingkup laboratorium dan sangat sedikit yang telah dikembangkan untuk pengukuran pada skala industri yang telah memberikan hasil memuaskan (Lepetit et al. 2002; Guan

et al. 2004).

Sifat elektris otot dan daging telah lama diteliti untuk memastikan apakah dapat memberikan informasi yang penting sebagai indikator kualitas daging. Daging secara elektris memiliki sifat anisotropik yang bermakna bahwa sifat elektrisnya berubah-ubah tergantung pada bidang elektris dari sampel daging. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh panjang dan arah miofibril yang berisi elektrolit dan dilindungi oleh membran yang berfungsi sebagai dielektrik. Swatland (1997), telah mengidentifikasi ada 2 arah penempatan elektroda untuk pengukuran sifat elektrik daging yaitu 1) menyilang miofibril dan memotong terhadap sumbu panjang miofibril, dan 2) memanjang terhadap sumbu panjang miofibril (Gambar 2).

Gambar 2 Bidang pengujian nilai elektris pada daging (Lepetit et al. 2002). Arah bidang elektrik

Berdasarkan penelitian Lepetit et al. (2002) bahwa peralatan yang pernah dikembangkan untuk pengukuran nilai impedansi merupakan sistem portabel yang terdiri dari sebuah voltmeter (Model 87: Fluke, Washington, USA), sebuah generator sinyal (Wavetek Corporation, San Diego, USA) yang memberikan tegangan 5 volt pada 1 kHz, dan sirkuit elekrik seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Dengan demikian untuk mengukur nilai impedansi pada sampel daging, pertama-tama sistem harus disesuaikan sebagai suatu cara untuk menyediakan arus 5 v dan dijaga tetap konstan, sehingga nilai impedansi (Z) dihitung sebagai berikut : v 5 v r Z −

= dimana v adalah voltase

Akan tetapi peralatan untuk pengukuran nilai impedansi yang dipakai di dalam penelitian ini adalah berbeda dan tidak terpisah seperti pada contoh di atas. Sehingga nilai impedansi (Z) dapat dibaca langsung setelah dilakukan penetrasi elektroda ke dalam jaringan otot atau daging.

Menurut Swatland (1997) dan Davalos et al. (2004), impedansi elektris otot menurun dengan cepat selama periode prerigor. Keragaman nilai impedansi

prerigor sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan pada membran dan ruang ekstraselular. Selama periode prerigor terjadi peningkatan permeabilitas membran yang mempermudah pergerakan ion-ion sehingga dapat mengurangi nilai impedansi dan sebaliknya meningkatkan konduktivitas pada daging. Penelitian pada daging sapi menunjukkan bahwa segera setelah pemotongan

Sampel daging Generator transformer Sampel daging Generator transformer

terjadi peningkatan sementara nilai impedansi disebabkan oleh serabut otot mengambil cairan ekstraselular sebagai akibat tekanan osmotik internalnya meningkat dan juga untuk persiapan glikolisis postmortem dan kemudian akan menurun. Perubahan pada membran dan ruang ekstraselular berhubungan erat dengan kecepatan penurunan pH untuk mencapai pH akhir.

Impedansi postrigor juga menurun dengan lambat selama penyimpanan atau tanpa penyimpanan, namun belum dapat dipahami lebih jauh tentang keragaman

Dokumen terkait