• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alternatif Dasar Perhitungan Pengadaan Tanah dan Indikatornya

Calculation Base Alternative of Land Price for Dam Development

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Alternatif Dasar Perhitungan Pengadaan Tanah dan Indikatornya

Selama ini ada kecenderungan dalam melakukan perhitungan nilai tanah yang dijadikan sebagai dasar perhitungan adalah hal-hal yang sifatnya tangible. Hal ini dapat dipahami karena dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pun menjadikan berbagai hal yang sifatnya fisik/lingkungan, legalitas, dan ekonomi sebagai faktor utama. Namun demikian, pada kenyataannya tidak selamanya faktor utama tersebut menjadi satu-satunya faktor

sehingga dimungkinkan membuka ruang bagi adanya pertimbangan faktor lain. Hal ini amat penting karena secara konseptual dalam banyak kelompok masyarakat, masih dapat ditemukan komunitas yang tidak semata-mata hanya berpikir fisik/lingkungan, legalitas, dan ekonomi saja, tetapi tetap mempertimbangkan aspek sosial-kutural. Berdasarkan temuan lapangan, terdapat beberapa aspek yang oleh masyarakat penting dipertimbangkan dalam perhitungan nilai tanah. (1) Konsep Religius-Magis

Konsep religius-magis menjadi salah satu faktor yang dipandang penting dipertimbangkan dalam menentukan nilai tanah. Konsep ini muncul karena adanya tanah yang dianggap suci dan disakralkan oleh pemiliknya yang berbeda dengan tanah-tanah lainnya. Jika tanah-tanah lainnya lebih banyak memiliki nilai ekonomi (bersifat profan) sehingga dapat dieksploitasi, maka tanah dalam konsep ini justru terjadi hal yang sebaliknya, yakni harus dijaga dan dilestarikan. Namun demikian, dengan adanya pembangunan waduk, maka mau tidak mau warga yang memiliki tanah yang terkena pembebasan harus merelakan tanahnya untuk dibebaskan. Akan tetapi, bagi warga hal tersebut sebenarnya sangat berat hati melepaskannya. Jika pun terpaksa melepaskannya, diharapkan adanya semacam prosesi penghormatan pelepasan tanah dan tentu saja jika dinilai dengan uang, diharapkan lebih tinggi daripada tanah pada umumnya.

Temuan empiris menunjukkan bahwa tidak semua lokasi yang dijadikan sebagai sampel memberikan perhatian pada adanya tanah dalam konsep religius-magis. Di lokasi pembebasan lahan Waduk Batutegi di Provinsi Lampung, Waduk Semo di Provinsi DI Yogyakarta, Waduk Jatibarang Provinsi Jawa Tengah relatif tidak ditemukan adanya masyarakat pemilik tanah yang mempermasalahkan tanah dari aspek religius-magis. Berdasarkan data lapangan, hanya pembebasan lahan pada rencana Waduk Karian di Provinsi Banten yang terdapat kelompok masyarakat pemilik tanah yang masih sulit melepaskan konsep tanah sebagai religius-magis, yakni di Kampung Cikapas, Desa Sindangmulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak.

Di Kampung Cikapas, konsep religius-magis ini muncul dilatari oleh sejarah pembentukan kampung itu sendiri. Pada masa penjajahan, tokoh-tokoh masyarakat di kampung ini banyak memiliki kontribusi yang besar dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Dalam memori kolektif masyarakat Cikapas, diperoleh sejarah yang diceriterakan secara turun-temurun (folklore) bahwa ketika melawan penjajah Belanda, Kampung Cikapas sering dijadikan Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk

Andi Suriadi, Andri Hakim

Gambar 3. Waduk Batutegi, Lampung Sumber: Data Sekunder

Gambar 4. Waduk Sermo, Yogyakarta Sumber: Data Sekunder

sebagai basis untuk menyusun strategi melakukan penyerangan. Hal ini dimungkinkan karena secara topografis, Kampung Cikapas memiliki alam dengan kontur yang berbukit-bukit dan dikelilingi oleh hutan. Akses untuk menuju kampung ini juga hanya dapat dilalui dengan jalan kaki sehingga sangat cocok dijadikan lokasi persembunyian dari incaran Belanda. Bahkan, untuk mencapai kampung ini, juga harus menyeberangi sungai yang hingga saat ini belum ada prasarana jembatan dan hanya menggunakan rakit-rakit bambu.

Selain itu, kampung ini juga memiliki beberapa pemuka agama yang turut menyebarkan agama Islam di Kampung Cikapas dan sekitarnya. Atas jasa para penyebar agama Islam tersebut, masyarakat menganggapnya sebagai orang-orang yang mendapat berkah lebih besar dari Allah dibanding dengan anggota masyarakat lainnya. Karena dianggap mendapat berkah, para pemuka agama tersebut dipandang memiliki “karomah”, baik ketika masih hidup maupun ketika mereka meninggal. Oleh karena itu, ketika meninggal pun, kuburannya masih banyak didatangi karena dianggap suci dan senantiasa disakralkan. Hingga saat ini, kuburan mereka masih ramai dikunjungi (diziarahi) sebagai manifestasi penghormatan, baik oleh warga yang tinggal di Kampung Cikapas maupun di luar Kampung Cikapas.

Berdasarkan data lapangan, terdapat tiga lokasi yang dianggap oleh warga sebagai lokasi yang suci dan sakral (dikeramatkan). Dari tiga lokasi sakral tersebut, terdapat 12 nama yang dianggap mempunyai “karomah”. Ada pun nama-nama keduabelas yang dikeramatkan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Dengan adanya rencana pembangunan Waduk Karian, lokasi-lokasi keramat di atas semuanya akan tergenang. Namun demikian, besaran nilai

No. Keramat I Keramat II Keramat III

1. R. Jaya Suhatma Nyi Mas Gamparan H. Abd. Halim

2. R. Gentong H. Dalang H. Anggara

3. R. Buyung Rurah Sapudin

4. R. Paku K.H. Buyut Saridin

5. Nyai Siti Mayangsari K.H. Dayut

Sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang SDA, 2013

Tabel 1. Lokasi Keramat dan Nama-nama Yang dikeramatkan di Kampung Cikapas,

Desa Sindangmulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

tanah kuburan keramat tersebut oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dinilai sama dengan tanah lainnya. Walaupun dengan harapan yang tidak terpenuhi, warga terpaksa menerima besaran nilai ganti rugi untuk tanah keramat tersebut. Hanya saja, andaikan panitia dapat memahami aspirasi warga, sebenarnya diharapkan adanya perbedaan nilai tanah antara yang biasa (profan) dan yang suci (sakral), paling tidak sekitar 50 %. Dengan adanya pembedaan nilai tanah tersebut, secara tidak langsung pihak luar juga dipandang tetap menghargai dan menghormati sakralitas tanah tersebut.

Sebagai manifestasi penghormatan warga kepada leluhur, masih ada warga yang belum mau pindah meskipun sebagian besar warga lainnya sudah pindah ke tempat yang baru. Dikatakan bahwa ada perasaan bersalah dan berdosa jika pindah, padahal leluhur mereka belum dipindahkan. Oleh karena itu, selama kuburan leluhur mereka belum dipindahkan, selama itu pula tidak akan pindah, kendatipun tanah dan rumahnya sudah dibebaskan (dibayar). Namun, jika makam leluhur sudah dipindahkan, ia juga akan pindah meninggalkan Kampung Cikapas.

Untuk menentukan ada-tidaknya nilai religius-magis suatu bidang tanah, indikatornya adalah: (a) ada kuburan keramat di atas tanah tersebut dan (b) ada pengakuan secara sosial dari masyarakat setempat bahwa lokasi tersebut memang keramat. Dapat diartikan kuburan tersebut benar-benar memiliki nilai sakralitas dan sifatnya bukanlah individual, hanya anggota keluarga (anak dan cucu) saja mengakuinya, melainkan ia mendapat pengakuan sosial dari masyarakat secara luas dan masih sering dikunjungi oleh warga.

Dalam memperoleh tanah, antara satu orang dengan orang lain seringkali tidak sama. Namun demikian, secara tipologis cara memperoleh tanah dapat dibagi dua: jual beli dan warisan. Cara memperoleh tanah dengan jual beli umumnya dilakukan antara penjual dan pembeli dengan kesepakatan tertentu, kemudian dilakukan transaksi dengan uang sebagai patokan. Antara penjual dan pembeli tidak selamanya memiliki ikatan emosional atau ikatan kekerabatan, bahkan kadang-kadang tidak saling mengenal dengan baik (karena ada perantara/makelar) sehingga tidak ada beban psikis yang dipikul oleh pembeli dari penjual tanah. Demikian pula, jika pembeli tanah hendak menjual tanahnya kembali, tidak ada beban mental yang harus ditanggung sehingga proses penjualan tanah dipandang sebagai hal yang biasa, sama dengan proses transaksi barang dan jasa pada umumnya.

Namun demikian, berbeda dengan cara memperoleh tanah secara jual beli, pada cara memperoleh tanah dengan warisan antara pemilik tanah yang lama dan pemilik yang baru, bukan hanya memiliki ikatan emosional, melainkan juga seringkali memiliki ikatan kekerabatan. Oleh karena itu, ketika hendak melepaskan tanahnya untuk pembangunan waduk, ada beban psikis tersendiri yang dialami oleh warga yang memiliki tanah dengan cara warisan. Bagi mereka, tanah yang diwariskan oleh orang tua atau leluhurnya patut dijaga sehingga kelak dapat diwariskan kembali kepada generasi berikutnya.

Berdasarkan hasil data lapangan, di Waduk Sermo Yogyakarta dan Waduk Batutegi Banten tidak ditemukan informan yang mengungkapkan hal tersebut sangat penting atau perlu dipertimbangkan. Sedangkan di Waduk Jatibarang, Jawa Tengah warga mengatakan bahwa cara memperoleh tanah penting juga diperhitungkan. Namun demikian, di Waduk Karian Banten upaya untuk membedakan antara tanah yang dibeli dan diwariskan secara implisit ada yang mengatakan bahwa hal ini perlu dibedakan dalam penentuan perhitungan besaran nilai ganti rugi, dengan besaran minimal 5 % (di Karian) bahkan minimal 20 % (di Jatibarang) dari harga tanah tidak mengandung unsur pewarisan.

Untuk membedakan unsur pewarisan tersebut, indikatornya adalah: (a) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya dan (b) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat. Sepanjang hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka variabel cara memiliki tanah dengan sistem pewarisan dapat dinyatakan tidak ada. Dengan kata lain, tanah tersebut sama nilainya dengan tanah pada umumnya.

Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya hal ini dapat menjadi instrumen untuk melacak para pemilik tanah yang sesungguhnya hanya membeli tanah di sekitar lokasi pembangunan waduk untuk memperoleh keuntungan semata ketika mendengar Kabupaten bahwa akan ada rencana pembangunan. Dalam beberapa kasus, ada makelar tanah yang beraksi berusaha membeli tanah warga ketika sudah tahu adanya rencana pembangunan waduk (dan infrastrukur pada umumnya) yang pada akhirnya justru banyak menyulitkan pihak yang membutuhkan tanah.

(3) Durasi Memiliki Tanah

Seiring dengan berjalannya waktu, dengan terjalinnya hubungan yang intens antara tanah dan pemiliknya, seringkali terbentuk adanya ikatan emosional. Semakin lama memiliki tanah, semakin kuat pula ikatan emosional. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam perjalanannya banyak peristiwa yang terjadi dalam kaitan antara tanah dan pemilik tanah. Misalnya, tanah dimiliki tersebut pada saat pertama kali belum memiliki surat-surat resmi. Hanya dengan secarik kertas jual beli tanah tersebut kemudian beralih menjadi miliknya. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan penuh perjuangan secara perlahan bukti kepemilikan sah tanah tersebut dilengkapi. Untuk memperoleh hal tersebut, dibutuhkan kemampuan khusus dan ketabahan yang tinggi yang mungkin bisa mencapai puluhan tahun hingga akhirnya mendapatkan bukti kepemilikan yang lebih kuat. Hal ini tentu saja berbeda jika durasi memiliki tanah masih relatif belum lama karena praktis belum banyak hubungan antara tanah dan pemiliknya.

Data lapangan menunjukkan bahwa memang di Waduk Sermo dan Waduk Jatibarang belum ditemukan informan yang secara tegas mengatakan bahwa sangat penting adanya pembedaan nilai tanah antara tanah yang dibeli dan tanah yang diwariskan. Namun demikian, indikasi perlunya ada pembedaan perhitungan penilaian tanah terhadap durasi memiliki tanah menjadi penting di perhatikan diidentifikasi dari informan di Waduk Batutegi dan Waduk Karian. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari telah terbentuknya semacam hubungan di antara pemilik dan tanah tersebut. Terlebih-lebih jika tanah tersebut juga menjadi sumber pendapatan menghidupi keluarga selama bertahun atau puluhan tahun.

Di Waduk Batutegi, untuk mendapatkan tanah ternyata tidak mudah. Warga membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga hamparan “hutan” dapat berbentuk seperti ladang sehingga ada kenangan tersendiri yang sulit dilupakan, termasuk dalam memperjuangkan mendapat legalitas dari aparat Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim

desa untuk dapat menggarap suatu bidang tanah. Hal yang sama juga ditemukan di Waduk Karian, meskipun tanah mereka sudah dibebaskan, tetap ada hubungan emosional yang terjalin antara tanah dan pemiliknya karena tanah tersebut sudah lama dimiliki dan hingga saat dibebaskan pun masih dapat memberi arti bagi kehidupan pemiliknya. Oleh karena itu, warga mengharapkan adanya besaran kompensasi yang berbeda minimal 5 % dari tanah yang belum lama dimiliki.

Untuk membedakan antara variabel durasi memiliki tanah tersebut indikatornya adalah (a) lebih dari 5 tahun telah memiliki tanah; (b) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya; dan (c) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat. Hal ini penting karena seringkali ada orang yang ketika mendengar suatu lokasi akan ada pembangunan infrastruktur, kemudian langsung membeli tanah agar mendapat keuntungan. Berdasarkan pengalaman warga, durasi 5 tahun dapat membatasi para spekulan untuk memperoleh peningkatan nilai dari variabel ini.

Berdasarkan data pada ketiga alternatif perhitungan nilai pengadaan tanah, dapat dibuat matriks mengenai berdasarkan jawaban informan terkait dengan tingkat pentingnya dasar tersebut

No. Alternatif

Perhitungan

Jawaban Informan Lokasi Waduk Indikator

Sermo Jatibarang Batutegi Karian

1. Religius-magis Sangat Penting

Diperhitungkan - - - 1. Ada kuburan keramat di atas tanah tersebut 2. Ada pengakuan secara

sosial dari masyarakat setempat bahwa lokasi tersebut memang keramat. Perlu Diperhitungkan - - - -Tidak Perlu Diperhitungkan -2. Cara Memperoleh Tanah Sangat Penting

Diperhitungkan - - - - 1. Ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya

2. Ada keterangan dari aparat desa/ pemerintah setempat Perlu Diperhitungkan - - Tidak Perlu Diperhitungkan - -3. Durasi memiliki tanah Sangat Penting

Diperhitungkan - - - - 1. Lebih dari 5 tahun telah memiliki tanah 2. Ada pengakuan dari

tetangga pemilik tanah di sekitarnya

3. Ada keterangan dari aparat desa/ pemerintah setempat

Perlu Diperhitungkan

- -

Tidak Perlu

Diperhitungkan -

-Tabel 2. Matriks Tingkat Pentingnya Beberapa Hal Dipertimbangkan dalam Perhitungan

Nilai ganti Rugi

Sumber: Diolah dari Balai Litbang Sosekling Bidang SDA, 2011 dan temuan lapangan 2012

diperhatikan dalam perhitungan nilai ganti rugi tanah. Adapun matriks jawaban informan, dapat dilihat pada Tabel 2.

Data di atas menunjukkan bahwa dari empat lokasi sampel penelitian, ada perbedaan pandangan masyarakat terhadap tiga variabel dasar perhitungan nilai tanah. Di lokasi pembangunan Waduk Sermo ketiga variabel dasar perhitungan nilai tanah dianggap semuanya tidak perlu diperhitungkan. Waduk Jatibarang hanya variabel cara memperoleh tanah penting perhitungkan. Sementara itu, di lokasi pembangunan Waduk Batutegi, hanya satu variabel yang dianggap perlu diperhatikan, yakni durasi memiliki tanah. Sedangkan pada masyarakat di lokasi pembangunan Waduk Karian, ketiga variabel tersebut menjadi perhatian dengan tingkatan yang berbeda, yakni variabel cara memperoleh tanah dan durasi memiliki tanah dipandang perlu diperhitungkan, bahkan variabel religius-magis dipandang sangat penting diperhatikan. Indikator dari variabel-variabel tersebut masih dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan lokasi dilaksanakannya pembebasan tanah.

C. Pembahasan

Ketiga variabel alternatif perhitungan nilai/harga lahan yang ditemukan di lapangan pada dasarnya menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat

masih terdapat hubungan makna antara tanah dan pemiliknya. Makna tersebut sesungguhnya belum tentu dipahami oleh pihak lain (yang bukan pemilik).

Jika kita merujuk pada pendapat Salindeho (1994) dan Wirutomo (2011) bahwa tanah selain memiliki nilai ekonomi yang tidak kalah pentingnya adalah tanah memiliki nilai kosmis-religius-magis, tampaknya mendapat validasi empiris dalam penelitian ini. Setidaknya hal tersebut terbukti di lokasi pembangunan Waduk Karian, Banten. Terdapat warga yang masih enggan meninggalkan rumahnya jika tanah kuburan keramat belum dipindahkan. Adanya perasaan “berdosa” bagi warga yang belum meninggalkan kampung menunjukkan bagaimana konsep terutama religius-magis tersebut masih terjalin antara pemilik dan tanahnya. Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh, bukan tanahnya yang menjadi pokok persoalan, melainkan kuburan keramat yang berada di atas tanah tersebut.

Hal ini amat berbeda dengan konsep tanah secara teologis yang menurut Erari (1999) ada hubungan yang hakiki seperti bangsa Israel dengan tanah yang dijanjikan. Relasi teologis tersebut, tidak ditemukan di lapangan sehingga upaya untuk mempertahankan tanahnya tidaklah sekuat yang dijelaskan oleh Erari. Namun demikian, adanya usulan bahwa sebaiknya tanah mereka dihargai lebih tinggi dari tanah pada umumnya dapat dimaknai sebagai suatu manifestasi betapa warga masih memiliki ikatan religius-magis dengan tanahnya. Hal ini amat jelas karena pada tanahnya yang tidak memiliki nilai religius-magis, mereka tidak mempermasalahkan. Pembedaan atau pemberian nilai yang lebih tinggi dari tanah sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari rasa hormat mereka terhadap leluhur. Hal tersebut juga dapat dipahami bahwa dengan upaya pembedaan nilai tanah merupakan refleksi dari usaha untuk mengurangi rasa “berdosa” mereka yang tidak kuasa mempertahankan makam leluhurnya.

Sementara itu, seperti yang dikemukakan oleh Husein (1995) bahwa tanah merupakan dalam konsep status sosial, belum mendapat validasi di lapangan. Kondisi kawasan pembangunan waduk yang masih merupakan perdesaan masih memungkinkan setiap warga untuk memiliki tanah kendatipun dengan luas yang berbeda-beda. Belum ditemukan adanya pemilik tanah yang luas dan memperkerjakan sejumlah buruh tani (petani penggarap) sehingga ketika mereka kehilangan tanahnya, maka akan hilang pula statusnya sebagai patron. Demikian pula menurut Zubir (2010) bahwa tanah merupakan persoalan harga diri

kaum, tampaknya belum mendapatkan legitimasi empiris di lapangan. Belum ada kaum yang kehilangan harga diri akibat adanya pembebasan lahan sehingga sekuat tenaga mempertahankannya sebagaimana temuannya di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Pola kepemilikan tanah di empat lokasi penelitian tampaknya berbeda dengan lokasi kajian Zubir. Jika di dalam adat Minang Kabupaten, pola kepemilikan tanah masih bersifat komunal, maka pada keempat lokasi penelitian ternyata pola kepemilikannya bersifat individual. Terdapat kemungkinan tidak ditemukannya faktor ini karena karakteristik pola kepemilikan tanah di ranah Minang berbeda dengan pola kepemilikan di Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung tempat penelitian pengadaan tanah ini dilakukan.

Terkait dengan ikatan batin (psikologis dan emosional) dengan tanah sebagaimana yang dikatakan oleh Hendrati (2002), tampaknya mendapat konfimasi faktual di lapangan. Ikatan batin antara pemilik dan tanahnya terbangun seiring dengan berjalannya waktu. Terbentuknya ikatan batin tersebut tidak terlepas dari manifestasi sistem pengalihan hak tanah melalui pewarisan. Sistem pewarisan pada dasarnya merupakan salah satu pranata sosial untuk memberikan hak kepada anggota keluarga secara turun-temurun. Pada umumnya, sistem pewarisan tersebut melekat ciri identitas keluarga bahwa tanah di lokasi tertentu merupakan anak cucu atau generasi dari keluarga tertentu. Oleh karena itu, warga meminta agar kiranya di masa mendatang, ada pembedaan antara tanah yang memiliki ikatan dengan pemiliknya dan tanah yang tidak ada ikatan batin dengan pemiliknya. Perlu dibedakan cara memiliki tanah antara sistem pewarisan dan sistem jual beli. Demikian pula perlu juga dibedakan durasi memiliki tanah antara tanah yang telah lama dimiliki dan tanah yang baru dimiliki.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ada dua temuan menarik dari penelitian ini. Pertama, memperkuat konsep teori yang dikemukakan Salindeho (1994) dan Wirutomo (2011) bahwa secara sosial-kultural tanah memiliki konsep kosmis-religius-magis. Kedua, melakukan modifikasi teoretis tentang tanah dalam konsep psikologis (ikatan batin dan emosional) sebagaimana yang dikatakan oleh Hendrati (2002), namun dengan mempertajam konsep tersebut. Temuan lapangan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tanah dalam konsep psikologis dapat dipecah lagi menjadi dua subkategori (variabel tersendiri), yakni cara memiliki tanah dan durasi memiliki tanah. Kedua kategori/variabel tersebut memiliki karakteristik berbeda-beda dan dapat berdiri sendiri sehingga dapat dipandang sebagai suatu entitas yang Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim

“otonom”. Hal ini juga diperkuat dengan adanya indikator-indikator yang mendukungnya sehingga dalam konsep itu sendiri dapat dibedakan derajat dan tingkatannya antara satu dengan yang lain (variabel).

Indikator-indikator yang digunakan untuk membedakan variabel-variabel tersebut semuanya mengandung unsur yang bersifat sosial-kultural, yakni ada pengakuan secara sosial, bukan pengakuan secara individual. Hal ini semakin menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam memberi pengakuan terhadap tanah dapat memperkuat legalitas formal yang diakui selama ini. Dapat diartikan bahwa temuan ini dapat menjadi alternatif dalam melakukan kombinasi legalitas formal (dari atas) dan legitimasi sosial (dari bawah) untuk menilai suatu tanah. Kombinasi seperti ini juga sesungguhnya telah berurat-akar dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya sejak dahulu. Hal tersebut juga sesungguhnya mengakomodasi pendekatan kearifan lokal yang telah dipraktikkan oleh nenek moyang kita dalam menyelesaikan berbagai jenis konflik, termasuk konflik tanah.

Di samping itu, secara praktis-pragmatis, jika ditelaah lebih jauh, dua variabel (cara memperoleh tanah dan durasi memiliki tanah) sebenarnya dapat menjadi instrumen untuk melacak dan mendeteksi calo atau mafia tanah yang seringkali turut mengambil keuntungan dalam proses pembebasan lahan. Melalui variabel cara memperoleh tanah, sudah dapat dicermati apakah tanah tersebut merupakan tanah warisan atau tanah hasil proses jual-beli. Selain itu, dengan memperhatikan variabel durasi memiliki tanah, dapat dideteksi warga mana sudah lama memiliki tanah dan warga mana yang baru membeli tanah ketika ada rencana pembebasan lahan. Pendeteksian tersebut, setidaknya dapat meminimalisasi pihak-pihak tertentu yang seringkali mencari keuntungan sepihak dengan adanya pembebasan lahan. Hal ini sangat penting karena selama ini para calo atau makelar tanah sengaja membeli tanah ketika mereka tahu bahwa di lokasi tertentu akan ada rencana pembangunan infrastruktur.

Dokumen terkait