• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Role of Local Institution in Managing Situ Tujuh Muara (Ciledug) South Tangerang

Nasta Inah1, Suryawan Setianto2

1Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura no.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110

Email : inazhta@gmail.com

2Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air

Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura no.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110

Email : uyax_57@yahoo.com

Tanggal diterima: 16 Mei 2013, Tanggal disetujui: 14 Juni 2013

ABSTRACT

The existence of Situ are needed within a river basin (DAS) because it serves as a temporary surface water run-off. Various research findings indicate that the number of situ around Jakarta were declining and the extent is shrinking due to various things, one of which is the change of function. One of the Situ in South Tangerang which changed the function so that it resulted in a narrowing of the area occurred in Situ Tujuh Muara or commonly known as Situ Ciledug. Situ Ciledug is a small reservoir designed for a flood control system. In the rainy season, it is capable of storing run-off water. Nevertheless, as a result of unclear governance jurisdiction in the lake management, its original function has been abandoned and to some extend its function has changed. Consequently the area of situ tends to become narrow and reduce its flood control function. This study aims to determine the role of local institution, especially at grass root level, in managing Situ Ciledug. By using in-depth interview and field observation, this study shows that Situ Ciledug which should be protected as preservation area, has been converted into residential and business area, so that it caused the reduction of water body. Local institutions are actively participating in the maintenance of situ and provide positive impact on the expansion of its coverage area.

Keyword: institutional role, governance, resource, changing of function, situ ciledug ABSTRAK

Keberadaan Situ sangat dibutuhkan dalam lingkup suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena berfungsi sebagai tampungan limpasan air permukaan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah Situ di Jabodetabek semakin berkurang dan luasnya menyusut karena berbagai hal, salah satunya karena adanya alih fungsi. Salah satu Situ di Kota Tangerang Selatan yang mengalami perubahan fungsi sehingga mengakibatkan penyempitan luasan terjadi pada Situ Tujuh Muara atau biasa dikenal dengan Situ Ciledug. Situ Ciledug memiliki fungsi sebagai pengendali banjir. Pada musim hujan situ mampu menyimpan kelebihan air. Akan tetapi, karena ketidakjelasan tata laksana pengelolaan situ, telah berakibat terbengkalainya situ dan bahkan beralih fungsi. Hal tersebut mengakibatkan luasan situ menyempit sehingga fungsi situ sebagai pengendali banjir kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan Situ Ciledug. Dengan menggunakan in-depth interview dan observasi lapangan, penelitian ini menunjukkan bahwa Situ Ciledug yang seharusnya merupakan kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis yang berakibat penyempitan lahan luasan situ. Kelembagaan lokal berperan aktif dalam upaya pemeliharaan situ dan membawa dampak positif dalam penambahan luas situ.

PENDAHULUAN

Pemerintah Republik Indonesia secara konstitusional mengemban peran utama dalam pengelolaan sumber daya air (SDA). Banyak infrastruktur SDA seperti waduk, saluran irigasi, embung, dan lain sebagainya dibangun untuk mencegah berbagai bencana yang ditimbulkan air. Namun pada saat ini, tidak semua infrastruktur tersebut mendapat perhatian yang memadai dalam pengelolaannya. Salah satu bentuk infrastruktur SDA yang cukup vital namun kurang mendapat perhatian serius dalam pengelolaannya adalah infrastruktur berupa situ.

Istilah “situ” biasa digunakan masyarakat Jawa Barat untuk menyebut “danau kecil”. Jika merujuk pada referensi, situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang sumber airnya berasal dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaan. Perbedaan antara situ alami dan buatan dapat diketahui dari tujuan dan proses pembentukannya. Situ alami terbentuk karena proses alami, sedangkan situ buatan didesain untuk tujuan tertentu akibat adanya aktivitas manusia (Puspita 2005).

Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008) keberadaan situ sangat dibutuhkan dalam lingkup suatu DAS karena berfungsi sebagai tampungan limpasan air permukaan. Limpasan air permukaan akan diresapkan ke dalam tanah sehingga melindungi permukiman dari bencana banjir dan memperkaya cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Terkait dengan penanggulangan banjir, situ memiliki peranan penting sebagai daerah parkir air (retarding basins) untuk mengurangi banyaknya air limpasan/penahan laju air (water retention). Oleh karena itu, menjaga luasan dan kedalaman situ sangat penting sebagai salah satu upaya penanggulangan banjir.

Jumlah situ-situ yang terdapat di Jabodetabek ada 218 buah dengan luas total 2.116,5 ha. Jumlah tersebut tersebar di kawasan DKI (35 buah), Bogor (122 buah), Tangerang (45 buah), dan Bekasi (16 buah). Namun, karena berbagai hal, luas situ-situ tersebut kini menyusut menjadi 1.978,02 ha dan jumlahnya semakin berkurang (Yayat 2009). Pada tahun 2003 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan terjadi penurunan kualitas situ hingga mencapai 50%, prosesnya terjadi secara gradual selama 5-20 tahun. Di Tangerang pada tahun 2004 terdapat 22 situ yang tergolong dalam kondisi kritis. Luas keseluruhan situ tersebut adalah 481,13 Ha, menyusut dari luas tahun 1990 sebesar 500,25 Ha. Sebagian dari situ ini bahkan sudah berubah fungsi menjadi permukiman (Tempo

Interaktif 2010). Situ dikatakan dalam kondisi kritis ditinjau dari segi penataan ruang, apabila terjadi pelanggaran tata ruang situ yang beralih fungsi menjadi lahan permukiman maupun lahan bisnis. Ditinjau dari segi kondisi fisik, apabila terjadi kerusakan berat pada kondisi fisik situ. Ditinjau dari segi kualitas air, apabila terjadi pencemaran air serta sirkulasi air terganggu (Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan 2009).

Salah satu situ di Kota Tangerang Selatan yang mengalami perubahan fungsi sehingga mengakibatkan penyempitan luasan terjadi pada Situ Tujuh Muara atau biasa dikenal dengan Situ Ciledug. Adanya tumpang tindih kewenangan

stakeholder terkait dalam tata laksana pengelolaan

infrastruktur sumber daya air, dalam hal ini Situ Ciledug menyebabkan pengelolaan situ menjadi terbengkalai. Hal ini menginspirasi sebuah kelembagaan lokal, yaitu OKP GANESPA untuk berperan aktif dalam pengelolaan situ yang partisipatif dengan turut serta mengajak masyarakat sekitar situ untuk menjaga kelestarian situ.

Pengelolaan Situ Ciledug oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini merupakan sebuah contoh pengelolaan situ partisipatif yang bisa dikatakan berhasil. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengungkapkan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan Situ Ciledug tersebut melalui berbagai kegiatannya dan juga hasil dari upaya pemeliharaan yang telah dilaksanakan.

Menurut Adam (2009), terjadinya berbagai permasalahan terkait Sumber Daya Air (SDA) merupakan akibat dari lemahnya kelembagaan. Oleh sebab itu, jika dilihat dari perspektif kelembagaan maka langkah yang perlu dilakukan untuk membenahi pengelolaan SDA adalah membentuk dan memperkuat peran kelembagaan, sehingga kelembagaan dapat diandalkan dalam mendukung upaya-upaya perlindungan SDA yang berkelanjutan.

Berangkat dari pentingnya peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan situ, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran kelembagaan lokal, dalam hal ini OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami peran kelembagaan lokal, yaitu OKP GANESPA sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan Situ Ciledug. Lingkup kegiatan ini difokuskan kepada aktivitas apa saja yang dilakukan OKP GANESPA dalam rangka menjaga kelestarian situ serta hambatan yang ditemui.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi stakeholder terkait agar dapat lebih aktif berpartisipasi dalam upaya pengelolaan situ yang partisipatif.

KAJIAN PUSTAKA

a. Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan SDA

Pembangunan yang intens dari waktu ke waktu telah membuat ketersediaan SDA semakin terbatas. Dengan semakin terbatasnya persediaan SDA, maka pemanfaatan SDA yang efisien merupakan salah satu kunci terpenting untuk menggerakkan roda pembangunan yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, sangat wajar bila akhir-akhir ini isu bagaimana mengelola dan menggunakan SDA secara efisien menjadi topik yang hangat dibicarakan oleh para pengambil keputusan, politisi, dan akademisi di berbagai belahan dunia. Mereka mulai menyadari bahwa degradasi lingkungan dan rusaknya SDA merupakan salah satu faktor penghambat untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan (Adam 2009).

Menurut Adam (2009), peran kelembagaan sangat penting dalam mengontrol dan membatasi akses terhadap pemanfaatan SDA. Kelembagaan mencakup segala macam peraturan maupun prosedur yang bisa mengatur bagaimana orang harus bertindak dan berperilaku, dan organisasi yang telah diberikan status khusus atau legitimasi untuk mengatur bagaimana orang harus bertindak dan berperilaku. Kelembagaan terbagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu kelembagaan dalam bentuk organisasi khusus (formal) dan kelembagaan non-organisasi yang berdasarkan pranata sosial, adat istiadat dan kearifan lokal. Kelembagaan informal yang berbasiskan pranata sosial, adat istiadat, dan kearifan lokal sudah sejak lama menjadi salah satu instrumen yang diandalkan dalam mendukung upaya dalam pengelolaan SDA yang efisien. Namun, di negara-negara berkembang kelembagaan jenis ini tidak lagi powerful karena seringkali tidak didukung oleh legal framework yang kuat dan jelas.

Pemanfaatan yang dilakukan terhadap fungsi situ maupun kawasan di sekitarnya seperti rekreasi, perikanan, drainase, perdagangan, jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya degradasi situ dan kunci dari pengelolaan situ adalah keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengelolanya (Listiani 2005). Dalam penelitian ini, kelembagaan informal yang dimaksud adalah kelembagaan lokal OKP GANESPA. Sejalan dengan penjelasan di atas, permasalahan yang dihadapi OKP GANESPA dalam mengelola Situ Ciledug, yaitu

belum adanya legal framework yang mendukung kegiatan mereka. Akan tetapi hal tersebut tidak menyurutkan peran aktif OKP GANESPA dalam upaya pengelolaan situ yang partisipatif yang juga melibatkan masyarakat sekitar.

Menurut Listiani (2005) di dalam pengelolaan Situ diperlukan adanya peraturan yang bertujuan untuk (i) melindungi situ dari akibat aktivitas yang dilaksanakan di daerah tangkapan; (ii) mengendalikan pembangunan di sempadan situ; (iii) mengatur pemanfaatan situ untuk mencegah terjadinya konflik pada para pengguna.

Dalam menjalankan perannya sebagai pengelola SDA, kelembagaan terkait perlu mempertimbangkan 3 (tiga) aspek, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya (Adam 2009). Dengan demikian maka peran serta dan partisipasi masyarakat merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan SDA untuk mendukung kelembagaan dalam mensinergikan ketiga aspek tersebut.

b. Konsep Integrated Water Resources

Management (IwRM)

Munculnya keinginan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan telah membuat para peneliti dan praktisi memberikan penekanan pada pendekatan-pendekatan terpadu (integrated

approach) dalam pengelolaan sumber daya,

menggunakan pendekatan Integrated Water

Resources Management (IWRM).

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu atau

Integrated Water Resources Management (IWRM)

adalah sebuah proses yang mempromosikan pembangunan dan pengelolaan SDA yang terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang vital dan lingkungan (Global Water Partnership 2010). Koordinasi menjadi konsep kunci dalam pendekatan IWRM. Konsep ini sangat membantu dalam upaya-upaya proteksi lingkungan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pertanian berkelanjutan, mempromosikan partisipasi atau demokratisasi dalam pemerintahan, dan meningkatkan kesehatan manusia. Dasar dari pendekatan ini adalah bahwa banyak sekali manfaat yang terkandung dalam SDA dengan jumlah yang terbatas.

Konsep IWRM seperti terlihat pada Gambar 1, banyak digunakan dalam pengambilan kebijakan, menggantikan pendekatan tradisional sektoral. Terfragmentasi dalam pengelolaan SDA pada banyak kasus telah menyebabkan pelayanan yang buruk dalam pemanfaatan sumber daya berkelanjutan. Pendekatan IWRM berfokus pada tiga pilar dasar yang secara eksplisit mempertimbangkan aspek-Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug),

Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto

aspek berikut (Global Water Partnership 2010) : • An enabling environment, lingkungan

yang kondusif sehingga memungkinkan dirumuskannya kebijakan dan strategi dalam pembangunan dan pengelolaan SDA berkelanjutan.

• Institutional framework, menempatkan kerangka kelembagaan pengelolaan SDA pada kebijakan, strategi, dan peraturan yang sesuai. • Management instruments, menyiapkan

instrumen pengelolaan yang diperlukan oleh lembaga-lembaga terkait dalam melakukan tugas dan fungsi mereka masing-masing. Terkait dengan konsep IWRM tersebut, pengelolaan Situ Ciledug oleh OKP GANESPA menunjukkan bahwa sudah ada kelembagaan lokal yang mengelola situ tersebut, meskipun masih belum didukung kepastian legalisasi oleh instansi pemerintah terkait. Peran OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug menjadi terbatas dan tidak maksimal karena tidak ada landasan hukum yang menaungi aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh OKP GANESPA.

c. Penelitian Terdahulu Terkait Pengelolaan Situ

Banyaknya permasalahan yang muncul terkait dengan bagaimana seharusnya pengelolaan situ yang baik dan berkelanjutan telah banyak diteliti oleh berbagai kalangan. Salah satunya adalah Listiani pada tahun 2005 dengan tesis yang berjudul “Aspek Kelembagaan dalam Pengelolaan Situ : Studi Kasus Pengelolaan Situ Rawa Besar di Kota Depok”. Aspek kelembagaan menjadi poin penting dalam penelitian yang dilakukan Listiani. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa meskipun

sudah memiliki Pokja yang bertugas mengamankan, mengendalikan dan melestarikan Situ Rawa Besar, akan tetapi masih belum juga bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi situ, yaitu penyusutan luas dan pencemaran yang muncul sebagai efek dari aktivitas penduduk di sekitar situ. Penyebabnya antara lain karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), dana, dan koordinasi dengan instansi lain yang terkait dengan pengelolaan situ. Solusi yang ditawarkan oleh Listiani adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan serta koordinasi antar sektor dan kemudian mengakomodasi semua kepentingan dengan program yang terintegrasi. Pendekatan yang dilakukan harus meliputi aspek ekologis, kelembagaan, ekonomi, dan budaya. Pengelolaan situ juga harus dapat merangkul semua pihak yang berkepentingan dengan keberadaan situ karena dengan demikian akan muncul rasa cinta dan memiliki terhadap situ yang bermuara pada meningkatnya tanggung jawab untuk melestarikan situ.

METODE PENELITIAN

Penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan di Situ Tujuh Muara atau biasa disebut Situ Ciledug, Kota Tangerang Selatan pada tahun 2011. Data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada LSM OKP GANESPA selaku pengelola situ. Instrumen yang digunakan, yaitu lembar observasi dan pedoman wawancara (interview guide). Beberapa poin yang disusun dalam pedoman wawancara digunakan sebagai petunjuk untuk menggali informasi dari OKP GANESPA mengenai aspek tata ruang situ, aktivitas yang dilakukan dalam rangka pengelolaan situ, peran serta masyarakat, hambatan yang dihadapi,

Gambar 1. IWRM dan Sektor-sektor yang terkait Sumber : http://www.gwp.org/The-Challenge/What-is-IWRM/

harapan terhadap stakeholder terkait, dan kontribusi positif yang dihasilkan dari upaya pengelolaan situ. Sedangkan observasi yang dilakukan untuk mengamati kondisi fisik situ, permukiman, dan lahan bisnis yang didirikan di sekitar situ serta kegiatan bersih situ yang dilakukan oleh OKP Ganespa. Data pendukung yang mencakup kondisi fisik dan tata ruang situ diperoleh dari hasil laporan monitoring dan evaluasi situ di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang disusun oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (LPPM-UMJ) tahun 2009. Data yang diperoleh tersebut diolah secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Situ TujuhMuara/Ciledug

Situ Ciledug berada di Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang. Fungsi Situ Ciledug antara lain sebagai pengendali banjir, ruang terbuka hijau, dan sumber bahan baku

air bersih (Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan 2009). Kondisi situ saat ini sering meluap hingga ke jalan raya dan rumah penduduk jika terjadi hujan terus menerus. Hal ini menunjukkan belum optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir, dimana situ seharusnya menjadi tempat penampungan air untuk mengurangi banyaknya limpasan air. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008), limpasan air permukaan akan diresapkan ke dalam tanah sehingga dapat melindungi permukiman dari bencana banjir (berfungsi sebagai retention basin), selain itu juga memperkaya cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Adapun kondisi faktual Situ Ciledug berdasarkan hasil observasi dapat terlihat pada Tabel 1.

Kondisi fisik situ saat ini cukup memprihatinkan, pintu air banyak yang retak, tanggul keropos, terjadi pendangkalan dan situ ditumbuhi banyak gulma seperti terlihat pada Gambar 2. Pengurukan juga terjadi di Situ Ciledug, hal ini mengakibatkan terjadinya penyempitan luasan situ karena digunakan untuk membangun permukiman Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto

Aspek yang diamati Kondisi Situ Cileduksaatini

KondisiFisik Pintu air retak, tanggul keropos, terjadi

pendangkalan, pengurukan dan tumbuh banyak gulma

Tata Ruang Terjadi pengurukan, adanya alih fungsi menjadi

lahan permukiman dan lahan bisnis

Pencemaran Terdapat tumpukan sampah dan terjadi

pencemaran air

Sumber :HasilObservasi (2011)&Laporan Monitoring dan Evaluasi Situ di Kota Tangerang Selatan (2009) Tabel 1.KondisiFaktual Situ Ciledug

Gambar2.Kodisi Fisik Situ Ciledug

Tanggul keropos Pendangkalan Gulma

dan lahan bisnis. Penyempitan luasan situ yang dikarenakan adanya alih fungsi lahan situ menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis tersebut melanggar Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Dalam Perpres tersebut menyebutkan kawasan danau, waduk, dan situ merupakan kawasan lindung yang pemanfaatan ruangnya diarahkan untuk konservasi air dan tanah. Selain itu, di kawasan sekitar danau, waduk, dan situ dilarang menyelenggarakan (i) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian flora dan fauna serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; (ii) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau (iii) kegiatan yang menyebabkan penurunan kualitas air danau, waduk, dan situ, menyebabkan penurunan kondisi fisik kawasan sekitar danau, waduk, dan situ serta mengganggu debit air.

Gambar 3 menunjukkan bahwa telah terjadi alih fungsi lahan di sekitar Situ Ciledug menjadi lahan permukiman liar dan lahan bisnis, yakni sebagai warung liar, dibangunnya mall di kawasan situ, dan adanya keramba apung sebagai tambak budidaya ikan oleh warga.

Adanya permukiman liar dan berbagai lahan bisnis pada bantaran situ selain mengakibatkan penyempitan luasan situ, juga turut serta memberikan dampak terjadinya pencemaran di

kawasan situ seperti terlihat pada Gambar 4. Sampah yang dibuang sembarangan di kali maupun gorong-gorong terbawa oleh aliran air ketika hujan dan bermuara di Situ Ciledug. Selain itu juga terjadi pencemaran air akibat aktivitas warga pada bantaran situ seperti rumah makan, bengkel, steam motor, dan lain-lain.

Ketidakjelasan tata laksana infrastruktur sumber daya air di kawasan Situ Ciledug menjadikan tumpang tindihnya kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan situ antara Pemda Kabupaten Tangerang sebagai institusi pengelola terdahulu dengan pemerintah Kota Tangerang Selatan dimana Situ Ciledug berada saat ini. Hal tersebut mengakibatkan lingkungan hidup di sekitar situ tidak terjaga, pengawasan terhadap kelestarian dan keberlanjutan situ melemah sehingga terjadi alih fungsi situ menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis.

• OKP Ganespa Sebagai Lembaga Lokal Pengelola Situ Tujuh Muara (Ciledug)

Berdasarkan konsep IWRM, peran kelembagaan(institutional roles)memegang peran kunci dalam pengelolaan SDA. Demikian halnya dalam konteks pengelolaan situ; kelembagaan baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota serta lembaga masyarakat lokal seperti OKP GANESPA juga memegang peranan penting. Integrasi antara 3 (tiga) sektor kelembagaan sangat penting dalam mewujudkan tata laksana pengelolaan situ

Gambar3.AlihFungsiLahan di Sekitar Situ Ciledug

Mall di Kawasan Situ Keramba Apung Permukiman Liar Warung Liar

Sumber : Data Primer Gambar4.Pencemaran di Kawasan Situ Ciledug

Air Tercemar tumpukan sampah

Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto

yang baik. Adapun hubungan antara ketiga sektor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Negara menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta menghasilkan pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat sipil memfasilitasi interaksi sosial dan politik, memobilisasi kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Ketiga sektor tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh sebab itu, interaksi yang konstruktif diantara ketiganya perlu ditingkatkan guna mewujudkan sistem tata kelola yang baik (UNDP 1997). Peran ketiga aktor dalam konteks pengelolaan Situ Ciledug dapat dilihat pada Tabel 2.

OKP GANESPA yang didirikan pada tanggal 15 Februari 2004, merupakan sebuah organisasi kepemudaan yang bergerak di bidang sosial

kemasyarakatan, lingkungan hidup, Search And

Rescue (SAR), seni budaya, dan olahraga. Seiring

dengan berjalannya waktu keberadaan organisasi tersebut dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat. Pada akhir tahun 2008 OKP GANESPA dibangunkan sebuah Posko Pengawasan dan Pelestarian Situ Ciledug Pamulang dari APBD Kabupaten Tangerang. Peran OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug antara lain : operasi bersih situ, penanaman bibit pohon, penyebaran bibit ikan, menjaga keseimbangan ekosistem situ, menjaga dan mengawasi aktivitas di sekitar situ serta memberikan laporan kepada Pemerintah.

Selain itu, dalam upaya pelestarian Situ Ciledug,

Dokumen terkait