• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

3.2 Alur

Alur diibaratkan seperti rangka dalam tubuh manusia atau rangka pada sebuah rumah. Dengan demikian, sama halnya dalam karya sastra, alur dapat dikatakan sebagai tulang punggung dari cerita. Alur akan menuntun kita dalam keseluruhan cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya.

Alur yang baik adalah alur yang dapat membangun satu cerita, sehingga pembaca ingin membaca cerita itu hingga akhir dan dapat memahaminya. Alur yang baik juga memiliki kejelasan dan kesederhanaan, sebagaimana dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1998:110) kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami.

Alur diwujudkan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita, bahkan umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Alur merupakan cermin dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berperasaan, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114).

Banyak cara bagi pengarang untuk melukiskan jalan cerita, di antaranya ada yang menggunakan alur sorot balik dan ada juga yang secara kronologis. Sorot balik atau flash back adalah jika urutan peristiwa-peristiwa yang disajikan disisipi dengan peristiwa sebelumnya. Sorot balik ini biasanya ditampilkan pengarang dengan bentuk dialog, dalam bentuk mimpi, lamunan, atau teringat kembali pada sesuatu hal atau peristiwa. Sedangkan secara kronologis adalah peristiwa yang bergerak dari awal hingga akhir dan tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memakai alur flash back. Secara umum unsur cerita terdiri dari tiga hal, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Akan

tetapi, pengarang biasanya lebih memperhalus bagian-bagian tersebut hingga menjadi beberapa unsur lagi.

Pembagian alur dari sebuah cerita rekaan telah diperinci oleh Mochtar Lubis (1981:17) dalam 5 bagian:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan).

2. Generating Circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak).

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak).

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya).

5. Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).

Demikianlah jika di tinjau dari jalan ceritanya, alur novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah flash-back. Hal ini terlihat karena Ahmad Tohari memulai cerita langsung dengan melukiskan keadaan Dukuh Paruk, lalu peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut mulai bergerak diselingi dengan menceritakan kejadian yang telah lalu, diteruskan dengan keadaan memuncak, dan setelah peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya, maka Ahmad Tohari memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.

Lengkapnya, alur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, terlihat sebagai berikut:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

Dukuh Paruk adalah suatu daerah yang kecil dan menciptakan kehidupan tersendiri. Sebagai pusat kebatinan warga Dukuh Paruk, adalah kuburan Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit di tengah Dukuh Paruk. Dulunya Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah yang mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan sisa hidupnya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala bertempat tinggal sampai akhir hidupnya.

Tradisi dan kepercayaan alam sangat dipegang teguh oleh anak cucu Ki Secamenggala. Mereka sangat percaya kepada hukum alam yang berlaku dan sangat menghormati kuburan Ki Secamenggala.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kuburan Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. (hal.10)

Masyarakat Dukuh Paruk juga terkenal karena ronggengnya. Namun sudah hampir sebelas tahun lamanya mereka tidak memiliki seorang ronggeng. Akhirnya seorang gadis kecil bernama Srintil menunjukkan gerak-geriknya sebagai seorang ronggeng.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. ”Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. (hal.15)

2. Generating Circumtances (peristiwa-peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)

Malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sekitar tahun 1946 atau sebelas tahun yang lalu membuat Dukuh Paruk gempar. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek di pedukuhan itu.

Namun malang baginya, pagi itu tempe yang dijualnya mengandung racun. Sembilan orang dewasa dan sebelas anak-anak Dukuh Paruk meninggal, termasuk di dalamnya Santayib dan istrinya yang nekat menelan tempe buatannya sendiri guna membuktikan bahwa tempenya tidak beracun.

Dalam haru biru kepanikan itu kata-kata ”wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang.

Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian. Hatinya ingin dengan sengit membantahnya. Namun nuraninya juga berbicara, ”Santayib, bongkrekmu akan membunuh banyak orang di Dukuh Paruk ini.”

(hal.25)

Kemunculan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat masyarakat Dukuh Paruk kembali ingat pada kejadian tersebut dan membuat hati Rasus, teman sepermainannya menjadi gelisah. Emak dan ayah Rasus adalah salah satu korban malapetaka tempe bongkrek. Ayahnya mati pada saat itu juga, sementara ibunya dalam keadaan tidak sadar dibawa oleh mantri ke kota. Semenjak itu ia tidak pernah lagi mengetahui apakah ibunya sudah mati atau kawin lari dengan mantri itu.

Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak merasakan kengerian.

Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan emak meninggal, melainkan pergi bersama si mantri entah ke mana. (hal.35)

Rasus menyadari bahwa ia menemukan bayangan emak pada diri Srintil. Namun, semenjak Srintil dipuja oleh banyak orang ia mulai menyadari bahwa Srintil bukanlah milik dirinya semata melainkan milik semua warga Dukuh Paruk.

Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan atau seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau kedua-duanya. Tetapi jelas, penampilan Srintil membantuku mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan juga bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang bagus seperti Srintil. Suaranya lembut, sejuk, suara seorang perempuan sejati. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah emak mempunyai cambang halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau, apakah juga ada lesung pipi pada pipi kiri emak. Srintil bertambah manis dengan lekuk kecil di pipi kirinya, bila ia sedang tertawa. Hanya secara umum Emak mirip Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah melihat emak. Persamaan itu kubangun sendiri sedikit demi sedikit. Lama-lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan kepastian dalam hidupku. (hal.45)

Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi.

Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam terpaku.

Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. (hal.48)

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak)

Keadaan mulai memuncak ketika Rasus menyadari bahwa di samping upacara pemandian, masih ada satu lagi syarat menjadi seorang ronggeng. Srintil harus menjalankan upacara ”bukak klambu” yaitu upacara penyerahan keperawanan seorang ronggeng kepada seorang laki-laki. Sebagai salah satu syarat, laki-laki yang memenangkan sayembara tersebut harus menyerahkan sekeping ringgit emas. Dengan diadakannya sayembara tersebut, Rasus semakin membenci tradisi Dukuh Paruk dalam memperlakukan Srintil sebagi seorang ronggeng.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak klambu bagi Srintil, tidak lebih dari sebuah tempat pembantain. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana, tiga hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak berbicara atas kepentingan berahi atau sebangsanya. Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai. (hal.53)

Upacara bukak klambu itu merupakan suatu tradisi yang harus dijalankan oleh setiap wanita yang akan menjadi ronggeng. Sebenarnya Srintil merasa tak berdaya dengan malam bukak klambu yang akan dilaluinya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan semua persyaratan.

”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”

”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun yang akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?” (hal.55) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)

Puncak cerita ini adalah terjadinya malam bukak klambu. Artinya Srintil resmi menjadi seorang ronggeng baru yang sah. Dengan demikian semua lelaki berhak atas dirinya dengan memberikan uang sebagai imabalannya. Yang memenangkan sayembara tersebut adalah Dower, pemuda dari Pecikalan.

Tetapi kelicikan Kartareja dan Nyai Kartareja membuat pemenang sayembara menjadi dua pemuda dan pemuda yang lain bernama Sulam. Tanpa diketahui oleh pasangan Kartareja, sebenarnya Srintil pada malam itu menyelinap keluar dan menyerahkan keperawanannya pada Rasus.

”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal.76)

5. Denouement (pengarang memberi pemecahan soal dari semua peristiwa).

Ahmad Tohari memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sebagai berikut:

Setelah Srintil resmi menjadi ronggeng dan dipuja oleh banyak orang, Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Srintil pun dipuja oleh banyak orang dan hidupnya bergelimang harta namun sesungguhnya hati kecilnya masih ingat pada Rasus. Dalam perantauannya, Rasus bertemu dengan Srintil dan ia merasakan bahwa Srintil tidak pernah melupakannya.

Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari caranya duduk di sampingku, dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di

belakang rumah Kartareja itu secara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan kata-kata yang pernah kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia mengharapkan seorang kecintaan. (hal.89)

Ketika Srintil berusia dua puluh tahun, lambat laun ia menyadari keberadaannya sebagai wanita utuh. Ia mulai berani menampik lelaki dan melakukan kehendaknya tanpa izin Nyai Kartareja. Ketika ia menjadi seorang gowok. Ia merasa tidak semua laki-laki menginginkan kewanitaannya.

Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun terbayangkan. (hal.224)

Ketenaran Srintil membawanya ke dalam sebuah kampanye politik. Kebodohan warga Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh pak Bakar dan rombongannya. Rombongan ronggeng Srintl pun dianggap sebagai kelompok komunis. Srintil dipenjara selama dua tahun. Hidup dipenjara membuat Srintil menyadari kodratnya sebagai seorang wanita.

”Oalah Gusti Pangeran,” tangis Srintil dalam ratap tertahan. ”Nyai, kamu ini kebangetan!

Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti...” (hal.288)

Ketika Rasus kembali, Srintil masih berharap agar Rasus mau menjadi suaminya. Semua warga Dukuh Paruk mendukungnya, namun Rasus menolaknya dan akhirnya ia kembali meninggalkan Dukuh Paruk. Selepas kepergian Rasus, Srintil berteman akrab dengan Bajus. Srintil berharap kelak Bajus akan menikahinya. Namun, Srintil hanya diperalat Bajus untuk mendapatkan proyek dari pak Blengur bosnya.

”Anu Srin. Kamu sudah kuperkenalkan pada pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik.

Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapapun harganya, akan dia kabulkan.

Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” (hal.381)

Kejadian tersebut membuat Srintil shock dan menjadi gila. Pada saat itulah Rasus kembali datang.

Ia membawa Srintil pergi berobat dan berharap kelak jika Srintil sembuh, akan menjadikannya sebagai istri.

Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil. Kukatakan semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya perawatan. Tetapi tiba-tiba lidahku kelu ketika petugas bertanya tentang hubunganku dengan Srintil.

”Istri?”

”Bukan. Aku masih bujangan.”

”Hanya saudara?”

Aku diam dan menunduk.

”Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat. Lalu, maafkan aku Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik sampean. Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?”

”Ya!” (hal.402)

Dokumen terkait