• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

3.6 Tema

Tema adalah gagasan utama atau masalah yang mendasari sebuah karya sastra. Dalam mengangkat sebuah tema dalam karyanya, pengarang biasanya menerima dari apa yang dilihat, didengar, atau dirasakannya dari peristiwa-peristiwa disekelilingnya. Hal ini merupakan pengalaman hidupnya sendiri atau hasil dari pengamatannya dari kehidupan suatu masyarakat tertentu.

Sudjiman (1988:50) mengatakan bahwa gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra itu yang disebut tema. Lebih lanjut Sudjiman mengatakan bahwa tema terkadang di dukung oleh pelukisan latar, dapat pula tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan, atau bahkan tema dapat pula menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur. Namun, adakalanya juga kekuatan tema mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra.

Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Pengarang menawarkan makna tertentu dari kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan memandang persoalan itu seperti yang ia alami. Selesai membaca sebuah karya sastra (novel). Kemungkinan sekali kita akan merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan, mungkin berupa keharuan, ikut merasakan penderitaan atau kebahagiaan seperti yang

dialami tokoh cerita atau berbagai reaksi emotif yang lain yang dapat menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menyikapi hidup dan kehidupan ini (Nurgiyantoro, 1998:71)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini temanya berhubungan erat dengan Srintil sebagai tokoh utama. Srintillah yang ditugasi pengarang untuk menyampaikan temanya. Maka tema dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah lika-liku kehidupan seorang ronggeng.

Mengutip istilah Sudjiman (1988:56) tentang adanya tema sentral dan tema sampingan maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memenuhi kedua jenis tema tersebut. Adapun tentang tema sentralnya, yakni tentang seorang ronggeng yang mendapatkan indang dan harus menjalani aturan-aturan menjadi seorang ronggeng tanpa memikirkan keinginannya sendiri. Kematangan usia Srintil dan pengalamannya sebagai tahanan politik membawanya pada kedewasaan dalam menentukan sikap. Hingga timbullah konflik maupun persoalan sosial dan cinta di lingkungan tokoh utama novel ini.

Berbagai peristiwa maupun persoalan yang ada dalam novel ini pada akhirnya memiliki kekuatan untuk mendukung persoalan pokok yang menjadi tema dalam novel ini.

Srintil adalah seorang gadis berusia sebelas tahun. Pada usianya yang masih sangat muda ia sudah hapal lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh seorang ronggeng tanpa pernah mempelajarinya. Srintil juga mampu menari dan melenggak-lenggokkan badannya seperti seorang ronggeng sungguhan.

Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngengot ning ora suwe. (hal.11)

Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang.

Siapa yang akan percaya, belum sekalipun Srintil pernah melihat pentas ronggeng.

Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya.

Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa manapun yang melihatnya.

Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran. (Hal.13)

Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran.

Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan kagum bagaimana Srintil melempar sampur. (hal.20)

Awalnya, Srintil sangat senang menjadi seorang ronggeng karena ia dipuja banyak orang, namun kedewasaannya dan malapetaka yang membawanya menjadi tahanan politik membuat ia sadar bahwa ia adalah wanita biasa yang menginginkan sebuah keluarga. Akan tetapi, roh indang masih bersemayam ditubuhnya dan ia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti aturan-aturan yang telah ditetapkan sebagai seorang ronggeng.

Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali Srintil menyuruh, jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi rencana jiwanya, rencana hatinya, dan rencana sistem ragawinya.

Maka alam jangan disalahkan bila dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan dan bukan pula dalam masa menyusui.

Ketika Srintil pertama kali sadar teteknya mengeluarkan air susu maka dia berurai air mata.

Namun semangat hidupnya bangkit segera. Srintil kini banyak makan, banyak minum air sayur, bahkan minta diramukan jamu pelancar air susu. Hanya dalam beberapa hari tubuhnya kembali segar dan kelihatan lebih hidup. (hal.139)

Keinginan-keinginan Srintil untuk menjadi wanita utuh akhirnya harus kandas karena laki-laki yang diharapkannya ternyata hanya memanfaatkan dirinya semata. Harapan yang besar pada diri Srintil untuk menikah membuat ia kehilangan akal ketika impiannya runtuh.

Akhir dari novel ini digambarkan bagaimana Rasus berusaha menolong Srintil dengan membawanya ke rumah sakit jiwa. Rasus bertekad untuk membimbing Dukuh Paruk dari keterpurukan.

Ahmad Tohari melalui tokoh Rasus bukan melarang tradisi ronggeng itu, tetapi perbuatan, sikap, dan tingkah laku masyarakat yang membuat tradisi ronggeng itu jadi berubah makna.

BAB IV

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

4.1 Lingkungan

Salah satu ciri masyarakat Jawa dalam memandang dunia adalah keyakinannya tentang realitas kehidupan dunia. Dunia tidaklah terdiri atas beberapa bidang yang saling terpisah tanpa hubungan sama sekali, tetapi realitas dalam pandangan mereka merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta saling berhubungan. Dalam alam pemikiran modern, pembagian bidang-bidang realitas dapat dilihat secara jelas dan tajam yakni, dunia, masyarakat, dan alam adikodrati. Namun bagi orang Jawa tiga hal tersebut tidak berdiri sendiri melainkan satu kesatuan yang terkait.

Lingkungan adalah keadaan (kondisi, kekuatan sekitar) yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme (Ali, 1986:526). Dari pengertian tersebut kita dapat mengartikan bahwa kondisi atau kekuatan yang ada di dalam lingkungan berpengaruh bagi perkembangan prilaku manusia.

Lingkungan dalam pandangan Jawa menjadi sesuatu yang sangat penting. Magnis (1996:93) menyatakan bahwa tempat yang tepat mempunyai arti yang sangat besar bagi orang Jawa.

Keselamatannya tergantung dari apakah ia menemukan tempat yang tepat diharapkan agar tercapailah keberhasilan usaha-usahanya, pemenuhan keinginan-keinginannya, dan pemuasan kepentingannya.

Di daerah Banyuwangi, tempat kelahiran pengarang yang terkenal dengan ronggengnya sekaligus sebagai latar novel ini, memiliki dua golongan yaitu golongan abangan atau rakyat biasa dan golongan santri atau alim ulama dan pengarang termasuk kedalam golongan yang kedua. Walaupun di daerah tersebut terdapat golongan santri, namun keberadaannya tidak pernah mengganggu keberadaan para ronggeng.

Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan hal-hal yang serba gaib seperti umumnya masyarakat yang masih berada dalam alam mistis. Ini digambarkan dengan

kejadian-kejadian alam serta kepercayaan yang sengaja digambarkan pengarang dari awal cerita hingga akhir cerita.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kuburan Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. (hal.10)

Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasatmata setelah dia membuat jantera bianglala di seputar bulan. Mendiang Sakarya mengatakan, bulan berkalang bianglala adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk percaya kata-kata kamituanya.(hal.404)

Lingkungan Dukuh Paruk yang terpencil dan terasing membuat warganya selalu terbelakang dan senantiasa hidup dalam kemelaratan ditambah lagi dengan kuatnya tradisi dan kepercayaan yang mereka anut. Ronggeng mereka anggap sebagai simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil menjadi seorang ronggeng, ia dipuja oleh warganya. Srintil merasa senang, ia menjadi duta bagi perempuan dipedukuhannya walaupun secara naluri ada sedikit perasaan tidak nyaman karena segala sesuatunya ditentukan oleh dukun ronggeng.

”Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. ”Kalau boleh aku ingin menggendongnya sampai lelap di pangkuanku.”

”Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya besok pagi,” kata perempuan lainnya.

”Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai Kartareja.”

”Engkau mau apa?”

”Memijit Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”

”Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari perutku!” kata perempuan lainnya lagi. Berkata demikian, perempuan itu mengusap matanya sendiri.

Kemudian membersihkan air mata yang menetes dari hidung. (Hal.20)

Kebodohan warga Dukuh Paruk terlihat ketika mereka diperdaya oleh lingkungan sekitarnya.

Ronggeng mereka bukan lagi sebagai wadah seni tapi berubah haluan menjadi ronggeng penarik massa dan diberi nama ronggeng rakyat. Keberadaan Srintil yang dipuja sebagai ronggeng oleh warga Dukuh Paruk justru membawa malapetaka dan ketakutan bagi warganya. Karena Srintillah, Dukuh Paruk

dianggap sebagai orang-orang komunis. Sawah warga hancur dibabat oleh orang-orang yang tak dikenal, rumah mereka pun hangus terbakar. Semua hidup dalam ketakutan. Srintil yang pada saat itu ditahan, karena kecantikannyalah maka ia tidak diperlakukan semena-mena di dalam penjara.

Lingkungan dan masyarakat yang mendukung tidak hanya menjadikan ronggeng sebagai sarana hiburan seni semata melainkan dijadikan sebagai tarian cabul dan penuh berahi. Siapa yang mampu membayar maka dipersilahkan baginya untuk tidur dengan Srintil. Wanita-wanita di Dukuh Paruk pun tak pernah keberatan dan seolah-olah sangat mendukung jika suaminya berhubungan dengan ronggeng Srintil.

Lingkungan yang menghalalkan kebodohan, sumpah serapah dan seloroh cabul inilah yang menjadikan segala gerak-gerik Srintil tidak lagi aneh dan melanggar etika dan moral bagi masyarakat disekitarnya.

4.2 Cinta

Dalam cerita, seorang ronggeng dilarang jatuh cinta, begitu juga peran Srintil sebagai seorang gowok. Srintil dan Rasus memang saling mencintai walaupun pengarang tidak pernah mengungkapkannya. Percintaan mereka selalu mendapatkan rintangan yang datangnya dari luar dan dalam diri mereka sendiri, sehingga percintaan itu merupakan percintaan yang gagal. Rasus mencintai Srintil tetapi merelakannya untuk menjadi ronggeng demi keaslian Dukuh Paruk. Srintil rela untuk tidak meronggeng tetapi Dukuh Paruk menuntutnya untuk tetap menjadi ronggeng. Namun, kedekatan perasaan mereka membawa Srintil untuk menyerahkan keperawanannya pada Rasus, bukan kepada Dower, laki-laki yang memenangkan sayembara tersebut. Gunawan (2000:55) mengatakan bahwa seseorang yang dengan sadar dan tanpa paksaan menyerahkan keperawanannya pada orang yang dicintainya serta atas dasar keinginan bersama adalah sebuah pikiran sadar yang harus dihormati. Tidak menjadi soal apakah mereka kemudian akan menikah atau tidak.

Rintangan yang sangat kuat sebenarnya ada pada kemunafikan Rasus. Rasus benci ronggeng tetapi ia memberikan keris kepada Srintil, malam bukak klambu tidak disukainya, tetapi justru dialah yang mengambil keperawanan Srintil. Kemunafikan Rasus terus berlanjut, setelah ia meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di pasar Dawuan. Dia sering melihat Srintil datang ke pasar Dawuan dan melihat Srintil selalu digoda oleh pedagang dengan menyentuh pantat atau pipinya. Rasus hanya dapat menggerutu dalam hati.

”Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu.

Bangsat!

Babah pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya ikut berbicara. Juga dengan wajah beringas dan mata berkilat. Seperti juga Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul Srintil yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini Srintil pun tak berusaha menolak. Bangsat lagi! (hal.83)

Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat yag tiada beda.

(hal.84)

Kemunafikan Rasus ini mempengaruhi karakteristik Srintil. Ia merasa dihina, dipermainkan dan dikecewakan. Srintil menjadi terombang-ambing antara menanti cinta Rasus atau tetap mengemban tradisi untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Di samping itu Srintil mulai merasakan bahwa haknya sebagai pribadi telah dikungkung oleh tradisi itu. Sejak saat Rasus meninggalkan Dukuh Paruk, mereka berdua berusaha hidup dalam kenangan masing-masing. Srintil tak ingin berharap terlalu jauh lagi akan cinta Rasus, hingga ia menemukan kembali cintanya pada Bajus, laki-laki kota yang sangat diharapkannya akan menjadi suaminya kelak. Namun nasib berkata lain, cintanya bertepuk tangan karena Bajus hanya memanfaatkannya. Dalam hidup Srintil ia tidak pernah mendapatkan cintanya secara utuh.

Ketidakwarasannyalah yang kemudian membawanya kembali pada pelukan Rasus.

4.3 Perkawinan

Tidak ada perkawinan dalam novel ini. Tapi ada keinginan yang kuat dari tokoh utama untuk kawin dengan Rasus ataupun Bajus sekalipun keinginan itu tidak terwujud.

Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan. (hal.89)

Keinginan Srintil untuk menikah, harus dikuburnya dalam-dalam karena dalam tradisi, seorang ronggeng tidak boleh menikah. Jika ia melanggarnya, maka malpetaka akan menimpa dirinya. Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk menambah keyakinan diri Srintil bahwa ia tidak akan pernah menikah. Srintil pun terus meronggeng dan memendam harapannya.

”Ya, kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari lagi, kang. Tetapi hatiku, kang, hatiku!”

”Hati?”

”Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari.”

”Bisa,” ujar Sakum cepat. ”Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia.”

”Dia?”

”Ya, Rasus.” (hal.165)

Keinginan Srintil untuk menikah mulai dikhawatirkan oleh dirinya jikalau ia tidak akan pernah memiliki anak.

Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. (hal.90)

Keinginan yang kuat dari Srintil untuk memiliki anak, membuatnya ingin mengasuh seorang anak dari temannya Tampi, yang bernama Goder.

Hari-hari selanjutnya Srintil makin larut dalam dunia Goder, larut dalam ocehan bayi yang lucu menawan. Sentuhan kulit bayi itu menggugah perasaan aneh pada dirinya. Demikian, maka entah apa yang dirasakan Srintil ketika ia membenamkan hidung dalam-dalam ke pipi goder. (hal.139)

Ketika ia keluar dari penjara dan roh indang tidak lagi bersemayam dalam dirinya, ia kembali melambungkan harapan untuk segera menikah. Kedatangan seorang Bajus memberinya keyakinan bahwa pernikahan pasti akan terjadi.

”Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? Sekiranya selama ini mas menutup-nutupi kenyataan bahwa sebenarnya mas sudah punya istri, maka aku mau menjadi istri kedua.

Dan biarlah aku menjadi pelayan istri pertama serta anak-anak mas.” (hal.381)

Kekecewaan Srintil yang tidak jadi menikah membuat ia menjadi gila. Bahkan ketika ia sudah hilang ingatan pun, Srintil masih saja berceloteh tentang pernikahan.

”Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan? Maka ayo mandi,” bujuk Nyai Kartareja.

Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.

”He, Kang Rasus gagah.”

”Memang. Kamu juga cantik.”

”He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?”

Semua diam. Semua menghujam pandang ke mataku.

”Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi penganten,” kataku

”Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus. Kamu mau memandikan aku?”

”Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi.” (hal.399)

Rasus pun, kemudian menyadari, bahwa kesalahannya adalah pergi dari Dukuh Paruk dan meninggalkan Srintil. Ia pun berniat mengawini Srintil sekalipun Srintil dalam keadaan gila.

Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik keputusanku.

Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang demikian dalam maka aku memutuskan hendak mengawini Srintil meski dia kini dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan. Itu pikiran umum dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian amat sepele dan terlalu bersahaja. ”Ya” yang kuucapkan terbit dari jiwa yang bening dan dalam, dari pergulatan rasa yang telah mengendap. (hal.403)

4.4 Budaya

Kebudayaan adalah semua tindakan dan hasil karya yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan arti kepada alam sekitarnya serta juga memberikan bentuk baru kepada alam. Dengan kata lain kebudayaan tidak lain dari usaha dan hasil manusia mengatasi alam dengan daya pikirnya

(Poedjawijatna, 1987:134). Manusia lahir, tumbuh, dan berkembang bukan ditentukan oleh lingkungannya, melainkan oleh kebudayaannya.

Dalam kebudayaan Jawa juga dikenal adanya dua bentuk kesenian, yakni kesenian keraton dan kesenian rakyat (Koentjoroningrat, 1994:212). Kesenian keraton dikenal dengan kesenian halus sedangkan kesenian rakyat dianggap sebagai kesenian kasar (Geerzt, 1989:350). Akan tetapi tidak jarang kesenian rakyat diambil alih oleh seniman-seniman keraton dengan cara memperhalus dan segi artistiknya, sehingga kesenian itu dapat dipertunjukkan di istana raja atau keraton, seperti tayuban misalnya. Kesenian keraton itu, misalnya wayang, gamelan, lakon, joged, tembang, batik, dan sebagainya, sedangkan kesenian rakyat seperti ludruk, jaranan, dongeng, dan ronggeng.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini kita mengenal adanya istilah tayuban. Tayuban atau ronggeng adalah salah satu kesenian rakyat tradisional. Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis.

Penari tayub (ronggeng) biasanya mengenakan kostum kain biasa dan kain setagen sebagai penutup dada (kemben), rambutnya disanggul gaya Jawa. Di samping itu, seorang ronggeng memakai selendang yang digunakan untuk menari atau sampur. Para pengibing biasanya berpakaian Jawa lengkap yaitu memakai blangkon, baju surjan, kain, setagen sebagai pengikat keris. Para pengibing adalah pria dewasa yang berumur 30-60 tahun. Setiap pengibing menggunakan teknik tari Jawa gagah atau halus dengan gaya-gaya improvisasi, makin kaya gerak yang dikuasainya akan membuat adegan duet semakin meriah (Suharyoso, 2000:66-67).

Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan bagaimana seorang ronggeng di atas pentas dan bagaimana di luar pentas. Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Srintil yang masih berusia sebelas tahun, dapat menari seperti seorang ronggeng walaupun tidak ada yang mengajarinya. Hal itu diyakini bahwa Srintil telah dirasuki oleh indang ronggeng.

Sebelum menjadi seorang ronggeng, Srintil harus menjalankan syarat-syarat atau tahap-tahap yang harus dijalankannya agar menjadi ronggeng. Tahap pertama, Srintil diserahkan ke dukun ronggeng untuk dijadikan anak akuan dan akan dilatih menjadi ronggeng sejati. Saat itu Srintil didandani, dimantrai, dan diberi susuk emas. Ini dilakukan agar Srintil kelihatan cantik.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu, dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari-jari tangan, sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum.(hal.38)

Tahap kedua, Srintil harus dimandikan di depan makam Ki Secamenggala. Orang Dukuh Paruk percaya upacara memandikan seorang ronggeng adalah upacara sakral, peristiwa yang sangat penting, sehingga pada saat upacara itu diadakan semua warga mengikutinya. Pada saat upacara berlangsung, Kartareja kemasukan roh Ki Secamenggala, yang ingin bertayub.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul, cess...cess.

Kartareja menari semakin menjadi-jadi. Berjoged dan melangkah makin mendekati Srintil.

Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan, Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi.

Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi. (hal.48)

Tahap ketiga adalah upacara bukak klambu. Tahap ini sebenarnya tidak bermoral dan sangat asusila jika ditinjau dari sudut agama, etika dan moral. Akan tetapi jika ditinjau dari sudut tradisi, maka tahap itu merupakan suatu kewajaran. Dalam bukak klambu itu yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng, yakni Srintil. Dalam hal ini Srintil harus menerima kenyataan itu, walaupun sebenarnya pada saat itu Srintil sudah tidak perawan lagi, karena ia telah menyerahkan keperawanannya kepada Rasus.

Setelah melalui tiga tahap ini, maka resmilah Srintil menjadi ronggeng yang sah. Selain adanya

Setelah melalui tiga tahap ini, maka resmilah Srintil menjadi ronggeng yang sah. Selain adanya

Dokumen terkait