• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

3.3 Perwatakan

Perwatakan dalam sebuah cipta sastra tidak terlepas dari tokoh atau pelaku dalam suatu cerita.

Sehingga segala kejadian atau peristiwa di dalam karya sastra berlangsung sedemikian rupa karena adanya tokoh.

Sudjiman (1988:17) membedakan fungsi tokoh dalam cerita atas dua bagian, yakni tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama masih dapat dibedakan lagi atas protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam cerita. Tokoh antagonis merupakan penentang utama tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam novel ini adalah pasangan Kartareja.

Sudjiman (1988:18-19) mengatakan bahwa biasanya tokoh protagonis menjadi pusat sorotan cerita dan sekaligus memberi kemungkinan menempati kedudukan sebagai tokoh utama. Ada beberapa kriteria yang dapat kita pergunakan untuk menentukan tokoh utama, (1) Bagaimana intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4) Tokoh utama selalu bisa mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul, sebab ada kalanya judul cerita

mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan bab penutup dilakukan oleh tokoh yang sama (Sudjiman 1988:19, Luxemburg, 1992:132).

Adapun fungsi kedua tokoh adalah tokoh bawahan yang kedudukannya tidak sentral di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Rasus.

Dalam hal cara menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cipta sastra Sudjiman (1988:20) menggunakan istilah tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar bersifat statis, lakuan atau karakter tokoh ini sedikit sekali mengalami perubahan bahkan cenderung tidak berubah sama sekali. Sebaliknya watak atau karakter tokoh yang menampilkan lebih dari satu segi atau ciri adalah tokoh bulat. Yang menjadi tokoh datar atau tokoh bulat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Sakarya, kakek Srintil dan Sakum. Sedangkan Bajus dan Rasus termasuk kedalam tokoh bulat.

Sudjiman (1988:23-24) memberikan metode penyajian watak tokoh, yakni metode langsung atau metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya. Metode kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau metode dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari gambaran lingkungan sekeliling maupun penampilan fisik tokoh. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kedua metode tersebut yaitu metode analitis dan metode dramatik.

1) Srintil

Srintil merupakan tokoh utama dalam novel ini. Intensitas keterlibatan Srintil dalam cerita ini dimulai dari awal hingga akhir. Srintil menjadi tokoh yang menjalankan alur cerita, yang mengemban tema, dan yang mengembangkan peristiwa demi peristiwa. Di samping itu Srintil juga merupakan salah

satu dari struktur itu sendiri. Sebagai tokoh utama, peran Srintil sangat menentukan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintillah yang membawa pola kehidupan di Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil pulalah yang menghidupkan kembali tradisi ronggeng yang telah lama tenggelam di Dukuh Paruk.

Pada saat Srintil berusia sebelas tahun, ia mampu menari seperti ronggeng sungguhan. Srintil mampu menyanyikan lagu-lagu ronggeng dan menari laiknya ronggeng sejati.

”Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil

berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.” (hal. 11)

”Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa mana pun yang meliriknya.”

(hal.13)

Sebelum Srintil menjadi seorang ronggeng, ia harus menjalankan beberapa persyaratan.

Diantarnya adalah bukak klambu yaitu penyerahan keperawanan Srintil. Srintil sebenarnya ragu, tetapi ini merupakan suatu keharusan untuk menerima keadaan karena ia tunduk pada tradisi dan bersikap pasrah terhadap apa yang terjadi. Persyaratan itu tidak bisa ditolaknya dan ia sangat menyukai Rasus dan akhirnya ia menyerahkan keperawanannya pada Rasus

Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah

ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.

”Bagaimana?” tanyaku mengulang.

”Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala.

”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”

”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan menjadi seorang ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”.

(hal.55)

Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.

”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal. 76)

Status Srintil sebagai seorang ronggeng menjadikan dirinya begitu tenar dan menjadi pusat perhatian orang banyak di mana pun ia berada. Di samping itu juga Srintil dengan mudah memperoleh harta hingga hidupnya menjadi senang dibanding dengan warga lainnya. Tetapi itu semua tidaklah membuat hidupnya bahagia. Nalurinya tidak dapat dibohongi untuk hidup layak dengan laki-laki yang dicintainya.

Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apa pun, baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia ingin sungguh-sungguh melahirkan anakku dari rahimnya.

(hal.171)

Kodrat Srintil sebagai seorang ronggeng membuat ia harus menjunjung tradisi dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Itulah watak Srintil sebagai wanita yang berwatak nrimo (tunduk kepada keadaan), rila (kesanggupan untuk melepaskan hak milik), dan ihklas (bersedia untuk melepaskan individualitas dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah menjadi tradisi).

2) Rasus

Rasus sebenarnya pria yang cerdas, tetapi Rasus masih tunduk kepada tradisi walaupun di dalam hatinya ia mengutuk kebodohan, kemelaratan dan kesengsaraan Dukuh Paruk. Watak ini terlihat dalam kut ipan di bawah ini:

”Boleh jadi dengan cara ditanam seperti itu keringatku yang pasti

mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori di kulit tubuhku. Dengan demikian kekuatan racun cepat berkurang. Ah, tetapi teori demikian sangat tidak patut dan hanya akan mengundang tawa orang-orang pandai. Maka lebih baik kuikuti keyakinan nenek, bahwa aku selamat karena roh Ki Secamenggala belum menghendaki kematianku.”

(hal.33-34)

Rasus sangat merindukan sosok emak yang telah pergi meninggalkannya ketika umur tiga tahun.

Ketika terjadi peristiwa tempe bongkrek, emak dibawa mantri ke kota untuk berobat. Namun emak tak pernah kembali. Rasus hanya membayangkan bahwa wujud emak ada dalam diri Srintil.

”Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya

hidup dalam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili emak, walau aku tidak pernah tahu dia dimana.” (hal.41)

Dengan perginya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk tersebut, maka terjadilah perubahan wataknya. Dirinya tidak lagi menganggap Srintil sebagai bayangan emaknya dan ia juga telah mampu hidup tanpa bayangan emaknya. Pandangannya semakin kritis terhadap tradisi yang berlaku di Dukuh Paruk.

”Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala

sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak memaafkannya karena dia telah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Akan memberikan kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk, ronggeng!.” (hal.88)

Setelah Rasus keluar dari Dukuh Paruk ia diangkat menjadi seorang tobang, berkat keberaniannya melawan perampok Kemudian ia diangkat menjadi seorang tentara. Tentu saja keberadaan Rasus sebagai seorang tentara membuat bangga warga Dukuh Paruk. Apalagi Rasuslah warga Dukuh Paruk yang pertama sekali menjadi tentara. Ketika Srintil berada di dalam tahanan, Rasus pulalah yang diharapkan mampu menolong Srintil.

”Eh, itukah Rasus? Kamu masih ingat padaku? Aku Sakum.”

”Sakum! Panggil dia ’Pak’. Tidak pantas kau ber-kamu kepadanya sekarang,” ujar Nyai Kartareja.

”Oh, maafkan aku, Rasus, eh Pak Rasus. Sampean sudah beristri, bukan? Cantik mana dengan Srintil?”

”Aku masih sendiri Kang Sakum.”

”Sendiri? Malah kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Tetapi dia sekarang entah di mana.

Nah, sampean tentara, kan?”

”Ya, Kang.”

”Nah, jadi sampean bisa menolong Srintil. Kasihan dia. Hanya sampean yang bisa menolong. Sampean mau, bukan?”

sakum tidak dapat melihat Rasus yang langsung terpekur. Tetapi dia bisa merasakan suasana yang mendadak janggal. Maka dia tidak berani berkata-kata lebih jauh. (hal.257) Ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk, dan mendapati Srintil dalam kedaan gila, ia menyesali segala perbuatannya. Kenapa ia justru pergi dari Dukuh Paruk ketika warganya membutuhkan pertolongan untuk keluar dari kemelaratan dan kebodohan.

Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tidak berani melihat mata Sakum yang buta.

Tiba-tiba aku merasa menjdi inti kedunguan Dukuh Paruk kepada siapa tadi malam aku mengumumkan perang. Dan Sakum dengan bahasa yang amat bersahaja menunjukkan bahwa kunci utama untuk menembus kedunguan tanah airku yang kecil justru berada pada genggamanku. (hal.399)

Itulah watak Rasus, seorang pemuda yang kritis menilai lingkungannya sehingga harus melepaskan diri dari tradisinya itu walaupun belum terniat dalam hatinya untuk merombak tradisi warganya.

3. Kartareja

Kartareja adalah seorang dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Kartareja berwatak licik dan mata duitan. Watak ini tergambar jelas dalam kutipan berikut ini:

”Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”

”Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku hilang?” tanya Dower.

”Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. ”kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Aku akan menunggu pemuda yang lain”. (hal.59)

Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa senang. Seekor kerbau betina yang besar di tambah dengan dua keping rupiah perak. Dukun ronggeng itu terbahak-bahak dalam hati. Hanya karena Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia dapat mengendalikan perasaannya.” (hal.70)

Demikianlah dengan kelicikannya, Kartareja telah mengeruk keuntungan yang besar dari peminat sayembara ”bukak klambu” yang diselenggarakannya itu. Dalam hal ini Srintil telah diperalatnya dan ia mengenyampingkan perasaan Srintil.

4) Nyai Kartareja

Nyai Kartareja juga tidak berbeda wataknya dengan suaminya Kartareja. Nyai Kartareja ini seorang wanita tua yang bergaya mucikari. Dengan segala kelicikannya, ia membantu suaminya mendapatkan keuntungan besar dari sayembara ”bukak klambu” dengan cara memperalat Srintil.

Tindakannya yang sewenang-wenang terhadap Srintil, terlihat dalam kutipan di bawah ini:

Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil.

”Tak mengapa bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.”

”Tetapi perutku sakit, nek. Amat sakit”.

”Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku. Semuanya tak mengapa kau lakukan. Ingat, Sebuah ringgit emas! Istirahatlah sekarang selagi Sulam masih mendengkur.”(hal.77)

Dalam memilih lelaki pun, Srintil tidak turut mencampuri lelaki mana yang akan tidur dengannya.

Yang mengaturnya adalah Nyai Kartareja.

”Wong ayu,” kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. ”Tak baik menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini.” (hal.147)

5) Sakarya

Sakarya adalah kakek Srintil. Sakarya adalah seorang kamitua di pedukuhan itu. Ia sangat memegang teguh budaya dan adat yang ditinggalkan oleh Ki Secamenggala. Keberadaan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat Sakarya bangga.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu

merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. ” Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya pada dirinya sendiri.

(hal.15)

Ketika mengetahui Srintil kerasukan Indang ronggeng, maka Sakarya menyerahkan Srintil kepada keluarga Kartareja untuk diasuh menjadi ronggeng.

Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu

hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus menyerahkan kepada dukun ronggeng, menjadi anak akuan. (hal.17)

Ketika hari kematian Sakarya sudah dekat, ia mersakan hal-hal aneh dan ia menyadari bahwa sebentar lagi kematian akan datang padanya.

Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil namun baginya penuh makna. Kemarin, seekor burung trimulkan terbang secepat angin menerobos pintu rumahnya yang terbuka, membentur keras cermin lemari kacanya. Burung itu runtuh ke lantai dan mati seketika. Dari paruhnya yang mungil menetes darah. (Hal.158)

Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk pikuk bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar yang menyilaukan yang menusuk matanya. Matahari pagi muncul dari balik awan. ”Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat,” gumam Sakarya. (Hal.160)

6) Sakum

Sakum adalah penabuh calung yang buta. Tetapi ia dapat menyesuaikan gerak gerik ronggeng dengan calung yang dipukulnya. Sakum selalu meneriakkan kata-kata cessss! Saat ronggeng menggerakkan pinggulnya.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesyaduhan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul.

Cessss...cessss.

Ketika Srintil berkeinginan untuk berhenti menjadi seorang ronggeng, Sakumlah yang memperingatinya agar jangan terjerumus pada perasaan yang menyakiti hati sendiri. Sakum berusaha

meyakinkan Srintil bahwa ia masih seorang ronggeng, indang ronggeng masih melekat di badannya, Srintil harus berhati-hati karena hal itu dapat membahayakannya. Sakum memberikan contoh ronggeng yang pernah melanggar dunia peronggengan.

”Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang kukenal.

Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan sampean adalah bau badan ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang ronggeng. Kelak pada suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila indang telah meninggalkan diri sampean.” (hal.115)

7) Emak dan Mantri

Emak dan Mantri merupakan tokoh-tokoh hasil ciptaan Rasus. Kedua tokoh ini tidak pernah ada secara nyata, namun sangat berpengaruh terhadap Rasus dan jalan cerita. Semua hal tentang emak dan mantri hanya dalam angan Rasus belaka.

Gambaran mengenai emak dalam angan Rasus pada mulanya identik dengan Srintil yang cantik dengan memiliki cambang halus di pipinya, berlesung pipit kiri, suaranya lembut, kulitnya putih, dan senyumnya menawan hati. Tetapi akhirnya gambaran ini telah digantikan dengan citra perempuan Dukuh Paruk pada umumnya, seperti berambut kusut dengan ujung kemerahan, wajah lesu dan pucat, telapak kaki yang lebar dan penuh kotoran, kata-katanya yang kasar diiringi dengan ucapan cabul.

Gambaran mantri dalam angan Rasus adalah seorang pria berkumis panjang, bertopi gabus, berpakaian putih, dan telah mengawini emaknya. Ketika gambaran tentang emaknya berubah, maka gambaran tentang mantripun ikut berubah yaitu pria sinting dan bodoh karena mau mengawini warga Dukuh Paruk.

8) Dower

Dower adalah seorang pemuda yang berambisi untuk segera memenangkan sayembara ”bukak klambu”. Keambisiannya untuk memenangkan sayembara ”bukak klambu” tersebut, bukanlah hanya

masalah keperawanan ronggeng saja, tetapi juga merupakan suatu kebanggaan. Didorong oleh hal inilah maka tidak disadarinya bahwa ia telah ditipu oleh suami istri Kartareja.

”Memenangkan sayembara ”bukak klambu” bukan hanya menyangkut

rencana berahi. Bukan pula hanya menyangkut suka cita mewisuda seorang perawan, melainkan juga kebanggaan. Dower sungguh-sungguh berharap kelak orang akan bergunjing, ternyata Dower bukan pemuda semabarangan. Dialah orangnya yang memenangkan sayembara ”bukak klambu” bagi ronggeng Srintil”.

9) Waras

Waras adalah anak seorang petani kaya dari Pecikalan. Sebagai seorang keturunan yang diharapkan mampu meneruskan silsilah keluarga, Pak Sentika menginginkan agar Waras bisa menikah sekalipun Waras mempunyai kekurangan. Pak Sentika berkeinginan agar Srintil menjadi gowok yaitu seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa dan menjelang kawin.

Waras, lelaki berusia tujuh belas tahun yang sangat lugu membuat Srintil merasa tertantang.

Namun, bagaimanapun usaha Srintil tidak ada sedikitpun nafsu berahi pada Waras.

Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya bermain tidur-tiduran. Konsep tentang tidur terlalu sederhana. Yakni merebahkan diri di samping emak, miring-meringkuk. Tangan kanan bersembunyi di ketiak emak dan tangan kiri bermain kain kutangnya. Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang dilakukannya terhadap Srintil.

Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar, bahkan kosong.

Waras hanya berhenti pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang bocah. (Hal. 222-223)

10) Bajus

Bajus adalah orang kota yang sedang menangani proyek di Dawuan. Setelah Srintil keluar dari penjara, ia tidak lagi mempunyai keberanian untuk dekat dengan laki-laki. Namun Bajus dapat

memulihkan kepercayaan Srintil. Tetapi malangnya, Bajus pulalah yang sangat mengecewakan hidupnya.

Bajus hanya berpura-pura baik kepada Srintil agar ia bisa memberikan Srintil kepada bosnya dan Bajus bisa memenangkan proyek tersebut.

Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia menjatuhkan diri ke kasur dan merasa terhempas ke balik tabir antah-barantah. Dalam sekejap dunianya yang penuh bunga bersemi berubah menjadi padang kerontang dan sangat gersang. ”Oalah, Gusti Pangeran, oalah, Biyung, kaniaya temen awakku....” (Hal.382)

”Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?”

(Hal.383)

Dokumen terkait