• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

DIAN SARI NESTITI

030701012

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2007

(2)

NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

Oleh

DIAN SARI NESTITI NIM 030701012

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S. Dra. Nurhayati Harahap,M. Hum.

NIP 130365337 NIP 131676481

Departemen Sastra Indonesia Ketua

Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum.

NIP 131763364

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 24 September 2007 Penulis

Dian Sari Nestiti

(4)

NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

Dian Sari Nestiti Fakultas Sastra USU

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian menggunakan teori struktural dan sosiologi sastra yang akan melihat nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat didalamnya yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu membuat fakta-fakta penginderaan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

Teknik penelitian adalah studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku.

Tema novel ini adalah lika-liku kehidupan seorang ronggeng. Cerita disusun dalam bentuk alur flash back dengan sudut pandang multiple (campur aduk).

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian kesarjanaan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, kebesaran Allah Swt dan kemuliaan Rasulullah Saw, mudah- mudahan semakin kokoh menyertai penulis dalam mempertahankan dan menyempurnakan skripsi ini.

Sesungguhnya tanpa bantuan semua pihak, skripsi ini tidak akan pernah selesai. Penulis menyadari bahwa bantuan semua pihak pada prinsipnya sangatlah berarti. Tanpa bermaksud mengurutkan nama per nama dari semua pihak tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Sastra USU.

2. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum., sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia USU

3. Ibu Dra. Mascahaya M. Hum., sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia USU

4. Bapak Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S., dosen pembimbing I, dan Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., dosen pembimbing II. Terima kasih telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Mohon maaf atas segala sikap penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah Swt, membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Amin.

5. Ibunda tercinta Suhyani Hanafiah, terima kasih atas segala kesabaran, semangat, doa,

dan sujud di tengah malammu. Ayahanda Alm. T. Maidi yang kehadirannya tetap menghiasi relung hati penulis. Apapun tak kan menjadi lebih indah tanpa kehadiran bapak. Terima kasih untuk hidup

(6)

dan keringat yang Ibunda dan Ayahanda berikan untuk penulis. Semoga bapak menjadi orang-orang yang terpilih disisiNya.

6. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., yang bersedia meluangkan waktu untuk

berdiskusi dan bersedia menjawab semua pertanyaan dan kebingungan penulis.Semoga ilmu yang bapak miliki menjadi sebuah amalan yang sangat berarti.

7. Seluruh dosen Sastra Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua ajaran dan didikannya selama penulis menjadi mahasiswa. Semoga Allah Swt memberikan umur yang

panjang. Amin.

8. Kak Fitri yang memberikan kemudahan dan keringanan dalam setiap masalah administrasi yang penulis hadapi.

9. Khaylila Hannesti Herlambang, putri kecilku yang kehadirannya senantiasa menguatkan penulis dalam menghadapi masalah, serta ayahnya Bohati Herlambang, terima kasih atas segala yang diberikan, pahit ataupun manis. Apapun yang terjadi tetap harus terjalani kan…? Maafkan bunda yang selalu meninggalkan kalian dikala bunda sibuk di depan komputer ya…

10. Kakanda Bhekti Handoko, S.T., dan keluarga yang tak pernah mengeluh dan selalu sabar pada penulis, Kakanda Amalia Warastuti, S.Pd., dan keluarga yang setia menyayangi Khaylila seperti anak sendiri, Kakanda Rahmat Handoyo, S.T., dan Kakanda Sidiq Hanteja, A.Md beserta keluarga, terima kasih telah mendengarkan segala keluh kesah penulis. Waktu dan doa kakanda semua telah memberikan semangat kepada penulis merampungkan skripsi ini.

11. Alm. Imran Zhofy dan keluarga. Walaupun penulis tak sempat mengenal papa, tapi gerak dan wajah papa begitu lekat di hati penulis. Penulis sayang papa.

12. Keponakan tersayang Bayu Muhammad Azizul, Nurul Ageng Anisa, Hanna Maidinah, Albani Muhhamad Rizki, Duta Razak Suhoyo, dan Kinanti Nazmi

(7)

Suhoyo. Kalian adalah bintang-bintang kecil di tengah keluarga. Ibu sayang kalian.

13. Sahabat penulis, Tia, Lida, Lia, Nova, Ade, Erni, Icha, Baim, Kak Adhe dan Tina. Terima kasih atas dukungan, semangat dan cinta yang diberikan. Kalian adalah kekuatan yang ada di sekeliling penulis.

Teman-teman stambuk 2003, tanpa kalian tidak akan ada tawa dan airmata di kampus ini.

14. Adik-adik stambuk 2004-2006, yang sedikit banyak memberikan referensi kepada penulis. Indah dan Mustika, semangat ya dek!

Penulis menyadari sepenuh hati, bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan. Demi mencapai kesempurnaan, penulis membuka diri terhadap berbagai kritik dan saran. Akhirnya, penulis berdoa kepada Allah Swt, semoga skripsi ini memberi manfaat yang besar bagi perkembangan dan kemajuan ilmu sastra.

Amin ya Robbal ‘Alamin.

Medan September2007 Penulis,

Dian Sari Nestiti DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ……….i

KATA PENGANTAR ……….ii

(8)

DAFTAR ISI ……….v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang ……….1

1.1.2 Masalah ……….7

1.2 Batasan Masalah ……….7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian ……….8

1.3.2 Manfaat Penelitian ……….8

1.4 Metode dan Teknik Penelitian 1.4.1 Metode Penelitian ……….8

1.4.2 Teknik Penelitian ……….9

1.4.3 Bahan Analisis ……….9

1.5 Landasn Teori ………10

BAB II SOSIOLOGI SASTRA DAN STRUKTURALISME 2.1 Pengertian Sosiologi Sastra ………13

2.2 Sastra Sebagai Cermin Masyarakat ………14

2.3 Pengertian Strukturalisme ………16

2.4 Pengertian Ekstrinsik ………18

BAB III ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK 3.1 Sinopsis ………19

3.2 Alur ………24

3.3 Perwatakan ………31

3.4 Latar ………41

3.5 Sudut Pandang ………44

3.6 Tema ………45

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK 4.1 Lingkungan ………49

4.2 Cinta ………51

4.3 Perkawinan ………53

(9)

4.4 Budaya ………55

4.5 Politik ………57

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………60

DAFTAR PUSTAKA ………61

LAMPIRAN ………63

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar belakang

Suatu karya sastra diciptakan oleh para sastrawan untuk dapat dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra di samping sebagai alat untuk menghibur juga dipakai sebagai alat pendidikan. Atau dengan kata lain, karya sastra juga dapat menjadi sarana pengajaran moral bagi manusia.

Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada (Sumardjo dan Saini K.M, 1991:9). Kenyataan yang ada di dalam karya sastra tidak harus sama dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat karena karya sastra merupakan dunia yang dituangkan dalam bentuk kata-kata. Hal ini tidak terlepas dari misi atau amanat dalam karya sastra itu sendiri yaitu sebagai hiburan yang bermanfaat.

Suatu kecenderungan dalam perkembangan karya sastra Indonesia adalah masuknya nilai budaya daerah, bahasa daerah, maupun bahasa asing dalam sebuah karya sastra. Nilai-nilai kebudayaan nasional menunjukkan bahwa sastra tidak meninggalkan secara keseluruhan sastra tradisional. Dengan demikian, walaupun banyak budaya asing maupun budaya daerah yang masuk kedalam kesusastraan Indonesia, diharapkan kesusastraan Indonesia tetap menunjukkan ciri khas tradisional kesusastraannya.

Kesadaran para sastrawan untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam karya sastra mengungkapkan dasar tradisional dan konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern (Teeuw, 1988:12). Salah satu ciri tradisional yang masih tercermin dalam karya sastra adalah digunakannya bahasa daerah serta bahasa asing untuk mengungkapkan atau mengucapkan istilah-istilah tertentu.

(11)

Permasalahan istilah-istilah pada sebuah karya sastra yang berbahasa daerah maupun bahasa asing dapat dilakukan dengan cara memberikan catatan kaki. Ciri tradisional lain yang masih dapat dijumpai dalam karya sastra adalah pola pikir yang masih dipengaruhi adat atau kebudayaan daerah. Pertentangan adat sering timbul jika memandangnya dari sudut yang berbeda. Adat-istiadat daerah tidak dapat ditinggalkan, tetapi bukan berarti adat-istiadat tersebut menjadi pegangan hidup yang harus dipegang teguh karena akan terbentur perkembangan zaman. Oleh karena itu, beberapa dari pengarang kita selalu meletakkan budaya dan adat istiadat suatu daerah ke dalam karya sastra yang diciptakannya.

Pada dasarnya, karya sastra mengungkapkan persoalan kehidupan manusia. Dalam hal ini, seorang sastrawan membutuhkan pengetahuan sosiologi secara teoritis untuk mengungkapkan atau memecahkan masalah itu dalam karyanya. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang secara langsung mengetahui bagaimana keadaan masyarakatnya atau apa yang tengah terjadi di lingkungan sosialnya. Kondisi dan permasalahan sosial yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari itu membangkitkan rangsangan imajinasi sang sastrawan untuk mengungkapkan permasalahan sosial itu dengan sudut pandang tertentu sehingga lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Dengan kata lain, sebuah karya sastra tidak mutlak mencerminkan seluruh aspek kehidupan atau kenyataan sosial sehari-hari. Uraian ini menekankan kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat. Hal ini juga berarti meletakkan sastra dalam konteks sosiobudayanya. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat merupakan pengka jian sosiologi sastra.

Berangkat dari kerangka hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat, beberapa ahli telah mencoba membuat suatu klasifikasi atau ruang lingkup pendekatan sosiologi sastra. Para ahli tersebut sepakat bahwa sosiologi sastra dapat menelaah tiga faktor yaitu: 1) keadaan sosial pengarang, 2) keadaan sosial yang tergambar dalam karya sastra, dan 3) keadaan sosial pembaca sastra. Ruang lingkup

(12)

ini secara lengkap akan dijelaskan melalui pendapat ahli Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Damono, 1984:3) yang membuat klasifikasi sosiologi sastra sebagai berikut.

1) Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain- lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

2) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Berdasarkan klasifikasi tersebut di atas, penelitian ini akan menitikberatkan permasalahan pada klasifikasi yang kedua yaitu sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri sebagai objek kajian dan penelitian. Pengkajian objek dilakukan dengan cara mencari unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu dapat berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Unsur intrinsik ini akan mengkaji secara struktural karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkannya dengan faktor-faktor luar. Sedangkan unsur ekstrinsik nantinya akan membahas masalah dalam karya sastra tersebut berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, ideologi, dan politik.

Tentunya untuk menelaah unsur ekstrinsik ini tidak lepas dari pendekatan sosiologi sastra.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diterbitkan pada tahun 1981. Kalau ditinjau dalam dasawarsa belakangan ini banyak terjadi beberapa peristiwa yang menarik dalam kesusastraan Indonesia, khususnya novel. Banyak novel yang telah dicetak puluhan tahun lalu kembali diterbitkan karena minat pembaca yang begitu besar akan novel tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar para pembaca kini dapat mengetahui dan menghayati hal-hal berharga yang terdapat dalam karya sastra terdahulu. Ahmad Tohari lahir di desa Tinggar Jaya, Banyumas, 13 Juni 1948.

Novelnya yang pertama Di Kaki Bukit Cibalak ditulis pada 1977. Kemudian novel Kubah terbit pada 1980 yang dinyatakan sebagai karya fiksi terbaik tahun tersebut oleh Yayasan Buku Utama.

(13)

Novel Ronggeng Dukuh Paruk sangat menarik dan meraih angka penjualan yang tinggi sehingga dicetak berulang-ulang. Menurut Dr. Bertold Damhauser dari Universitas Bonn Jerman, novel ini merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa Asia Timur di Cina, Korea Selatan, Korea Utara, dan Jepang.

Novel ini juga telah terbssit dalam bahasa Belanda, Jerman dan segera menyusul dalam bahasa Inggris. Di Leiden dan Lund Universitas Swedia, lebih dari 50 skripsi dan tesis mengambil objek kajian novel ini.

Shinobu Yamane, seorang penerjemah berkebangsaan Jepang mengatakan:

”Semula saya hanya menerjemahkan buku pertama trilogi ini, Catatan Buat Emak, ke dalam bahasa Jepang. Namun karena sangat menarik, maka saya putuskan untuk juga menerjemahkan dua buku berikutnya. Pekerjaan saya ini dibiayai oleh Japan Foundation.

Penelitian tentang analisis maupun tinjauan sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra sudah banyak dilakukan, namun penelitian tentang analisis sosiologi sastra belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai objek kajian sudah pernah dilakukan oleh Maini Trisna Jayawati pada tahun 1986, dengan judul, ”Nilai-nilai Sastra yang Terdapat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Akan tetapi, novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diteliti pada 1986 ini isinya bukan lagi seperti aslinya. Ada beberapa bagian dari novel tersebut yang dihapus jalan ceritanya. Pada 1986-2003, novel ini berada dalam tahap pencekalan pemerintah. Sedangkan novel yang diteliti saat ini merupakan novel yang lengkap dengan bagian-bagian yang disensor selama 17 tahun oleh pemerintah. Pada 2003 PT Gramedia berani untuk menerbitkannya menjadi satu kumpulan buku yang sebelumnya diterbitkan pada 1981 yang merupakan trilogi. Buku yang pertama berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, buku kedua berjudul Lintang Kemukus Dini Hari, dan buku ketiga berjudul Jantera Bianglala. Pada 2003 novel trilogi tersebut menjadi satu novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Sebelum Gramedia berani menerbitkan novel tersebut lengkap dengan bagian yang hilang, pada 2002 novel ini telah diterbitkan di Swedia.Di dalamnya mengisahkan tentang sebuah desa Dukuh Paruk yang menganggap bahwa ronggeng merupakan simbol harkat, derajat, dan martabat dari desa tersebut. Seorang

(14)

ronggeng merasa bangga jika ia bisa tidur dengan banyak lelaki dan mampu menaklukkannya. Bahkan seorang ayah yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah bersedia menyerahkan anaknya untuk tidur dengan seorang ronggeng untuk mendapatkan keahlian sebagai seorang suami di tempat tidur agar dapat melayani dan memuaskan istrinya. Masyarakat Dukuh Paruk tidak ingin mengubah pola hidup desanya yang kuno dan lekat dengan kemelaratan serta kesengsaraan.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari berhasil menunjukkan kepada pembaca bahwa seorang perempuan penghibur yang mengumbar erotisme tidak termarjinalkan masyarakat setempat. Banyumas sebagai kota kelahiran Ahmad Tohari dikenal dengan ronggeng atau lengger yang sering kali menjadi kebanggaan desanya, terutama sebelum peristiwa politik 1965. Seksualitas perempuan yang biasanya tabu untuk tampil di hadapan publik, menjadi ajang pengakuan bagi seorang ronggeng dalam trilogi ini. Masyarakat desa sangat terbuka menerima ronggeng dalam kehidupan mereka, bahkan dianggap sebagai duta perempuan dalam dunia laki-laki. Kenyataan bahwa para istri tidak cemburu jika suami menari ataupun berhubungan dengan ronggeng bukanlah hanya cerita fiksi. Ahmad Tohari menjelaskan bahwa realitas masyarakat saat itu memang membolehkan suami berhubungan dengan ronggeng. Seorang laki-laki yang berhubungan dengan ronggeng sudah pasti memiliki kejantanan dan uang, dua hal inilah yang dibanggakan istri di mata masyarakat saat itu. Ahmad Tohari mengatakan:

”Bagi perempuan saat itu, yang penting suaminya tidak dibawa pergi sang ronggeng”

Melalui novel ini Ahmad Tohari menggambarkan toleransi masyarakat yang tinggi dalam perbedaan elemen yang ada. Keberadaan ronggeng tidak terganggu ataupun mengganggu kelompok masyarakat lain, yaitu agamawan. Saat itu di wilayah Banyumas juga terdapat pesantren, termasuk Ahmad Tohari sendiri. Keberadaan penari Jawa ini juga pernah diungkapkan oleh Curt Sach dalam buku Ben Suharto yang berjudul ”Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan” disebutkan adanya tarian di Jawa yang pada pelaksanaannya, penari lelakinya mesti mencium pasangannya. Diungkapkan pula di situ manakala

(15)

lelakinya mendekat, seseorang mengerudungkan kain sehingga keduanya ada dalam satu kain yang melingkar dan dengan bebas bisa saling berciuman sementara orang berkerumun di antara mereka.

(1999:15). Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir di seluruh Jawa dan Betawi dengan bentuk dan nama yang berlainan. Dalam sejarah Jawa yang terkenal, Stamford Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis tentang ronggeng. Menurutnya ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Kesenian ini digelar untuk mensyukuri panen yang melimpah. (Koentjoroningrat, 1994:45).

Fakta dan fiksi dalam cerita Ahmad Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa tayub dimanfaatkan Lekra merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi penelitian para ahli. Oleh karena itu, kisah ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara sosiologi sastra dengan memandang unsur instrinsik, ekstrinsik, maupun nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel tersebut. Berdasarkan unsur-unsur tersebutlah penelitian ini akan dibahas lebih lanjut. Penelitian ini akan sangat menarik mengingat cara hidup masyarakat yang dituangkan dalam novel tersebut sangat bertentangan dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia yang terkenal dengan budaya timurnya. Hal inilah yang membuat peneliti merasa yakin bahwa penelitian ini layak diangkat mengingat Ahmad Tohari dikenal sebagai penulis yang fenomenal.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian ini dan klasifikasi sosiologi sastra kedua, maka pokok permasalahan yang akan dibicarakan adalah:

1) Bagaimanakah unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk?

2) Bagaimanakah unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk?

(16)

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan sebuah karya sastra akan mengalami kesulitan jika tanpa batasan masalah karena dikhawatirkan peneliti akan menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Bertitik tolak dari judul dan bahan analisis, karya sastra tersebut dianalisis dari unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra itu sendiri.

Setelah dilakukan penganalisisan tersebut kemudian dihubungkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pada dasarnya setiap karya sastra selalu berhubungan dengan unsur-unsur sosial.

Unsur intrinsik dalam penelitian ini meliputi sinopsis, alur, perwatakan, latar, sudut pandang, dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsik akan mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pada akhirnya nanti, semua ruang lingkup permasalahan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman pada kita tentang nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Menguraikan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

2) Menguraikan unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

(17)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1) Mengenalkan novel Ronggeng Dukuh Paruk pada pembaca sebagai karya sastra yang merupakan novel terbaik sepanjang tahun dan tetap digemari peminatnya.

2) Mengetahui ragam budaya masyarakat pada saat diciptakannya novel Ronggeng Dukuh Paruk.

2) Menambah wawasan pembaca khususnya pembaca sastra tentang nilai-nilai sosiologi sastra dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

1.4 Metode Penelitian dan Teknik Penelitian 1.4.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu membuat fakta-fakta penginderaan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Semi, 1988:24). Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang berasumsi pada perilaku manusia yang dipengaruhi oleh latar, situasi, dan budaya di mana perilaku itu muncul (Semi, 1988:24). Metode kerja yang pertama diterapkan yaitu pendekatan intrinsik.

Lalu agar lebih mudah melihat nilai-nilai sosiologi sastra pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, dilakukan pendekatan ekstrinsik. Selain itu nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk seperti tradisi, adat, perasaan berupa percintaan dan perkawinan, kepercayaan, dan keyakinan harus dibuat batasannya untuk mencapai sasaran penelitian. Sedangkan unsur intrinsik dalam novel ini yakni sinopsis, alur, perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, dan tema. Lalu unsur ekstrinsiknya mengacu pada nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

(18)

1.4.2 Teknik Penelitian

Teknik penelitian yang digunakan adalah studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku (Semi, 1988:8). Adapun objek penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Dalam menganalisis data objek yang akan diteliti terlebih dahulu dirumuskan berdasarkan masalah kemudian diadakan studi perpustakaan. Setelah berbagai informasi diperoleh, selanjutnya dilakukan pengumpulan data, penyusunan data, penganalisisan data, serta penafsiran data. Kesimpulan merupakan langkah akhir dalam penyusunan laporan penelitian.

1.4.3 Bahan Analisis

Yang menjadi objek penulisan dalam penelitian ini adalah:

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk Tahun : 2003

Penerbit : PT Gramedia Jenis : Novel

Cetakan : Kedua

Ukuran : Tiga belas kali dua puluh satu sentimeter Tebal : 408 halaman

Warna Kulit : Oranye dengan tulisan dan gambar ronggeng bewarna putih

(19)

1.5 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan. Hubungan yang terjadi antara pengarang, karya sastra, dan masyarakatnya memungkinkan analisis ini bertolak dari dua sisi pendekatan yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik karya sastra tersebut. Pertama, analisis struktural. Analisis ini melihat unsur-unsur yang terdapat dalam suatu karya sastra (unsur intrinsik) seperti sinopsis, alur, perwatakan, latar, sudut pandang, dan tema.

Kemudian membongkar dan meneliti karya sastra berdasarkan teks untuk melihat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra (Teeuw, 1988:135). Analisis struktural dapat dijadikan titik tumpu proses penelitian. Selanjutnya analisis struktural merupakan penelitian yang menganalisis suatu karya sastra secara keseluruhan, baik unsur-unsur di dalam karya sastra, maupun unsur-unsur di luar karya sastra tersebut. Teeuw (1988:154) berpendapat bahwa analisis struktural merupakan langkah awal dalam proses pemberian makna, tetapi tidak boleh dimutlakkan dan juga tidak boleh ditiadakan. Teori dan metode dalam penelitian sastra disesuaikan dengan bahan yang ada. Penelitian yang tidak dilandasi oleh teori yang umum, bukan merupakan teori yang kuat kedudukannya sebagai teori (Junus, 1981:8-9).

Kedua, analisis sosiologi sastra. Nilai-nilai sosiologi sastra yang akan diungkapkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengacu pada unsur ekstrinsik dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel tersebut yakni lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, ideologi, dan politik. Analisis sosiologi sastra ini akan dilakukan dengan salah satu pendekatan yang diturunkan oleh Luxemburg dkk (1992: 24) yaitu yang diteliti ialah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakatnya.

Selain itu juga diteliti tentang sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat.

(20)

Nilai-nilai kemanusiaan berupa lingkungan, cinta, perkawinan, budaya dan politik dibahas dalam penelitian ini karena bagian-bagian tersebut sangat mendominasi isi cerita dan turut serta dalam mengembangkan keseluruhan cerita. Bagian-bagian tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat yang membangunnya. Lingkungan merupakan tempat dimana masyarakat berkembang, cinta dan perkawinan merupakan media berketurunan, sedangkan budaya dan politik merupakan bagian yang telah ada semenjak manusia hidup berkelompok.

Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh mahkluk manusia yang menguasai planet ini sejak zaman ia muncul di muka bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu, sampai sekarang (Koentjoroningrat, 1982:10). Koentjoroningrat (1982:16) mengatakan ada beberapa puluh pranata yang digolongkan ke dalam delapan kelompok, dengan memakai delapan kebutuhan hidup manusia sebagai prinsip penggolongan. Tetapi hanya yang berhubungan dengan lingkungan, cinta, perkawinan, budaya dan politik yang akan dicantumkan.

1) Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, ialah yang sering disebut kinship atau domestic institusions. Contoh: pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan kanak- kanak, perceraian, dan sebagainya.

2) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, ialah religious institutions. Contoh: gereja, doa, kenduri, upacara, penyiaran agama, pantangan, ilmu gaib, dan sebagainya.

3) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh:

pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya.

Hal ini diperkuat oleh teori Auguste Comte dan Pitirim Sorikin dalam membicarakan tingkatan- tingkatan budaya , kebudayaan dominan, misalnya analisis peranan pandangan dunia untuk memahami

(21)

sistem sosial tertentu. Teori Karl Marx (khususnya paradigma kelompok para-Marxis) dalam membicarakan sistem sosiokultural, misalnya analisis ideologi, polarisasi superstruktur ideologis dan infrastruktur material dan teori Clifford Geertz dalam membicarakan sisitem simbol kebudayaan, misalnya analisis karya seni sebagai sistem simbol, karya sebagai bagian integral strukur sosial (Kutha Ratna, 2003:19-20)

(22)

BAB II

SOSIOLOGI SASTRA DAN STRUKTURALISME

2.1 Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masyarakat. Sosiologi berasal dari dua kata Latin yakni socius yang berarti ’kawan, masyarakat’ dan logos berarti ’ilmu; kata;

berbicara’ (Soekanto, 1982:3).

Masyarakat merupakan objek dalam sosiologi yang menghasilkan suatu kebudayaan yang lahir dari tata cara kehidupan. Dalam sosiologi, kita juga mempelajari perubahan-perubahan sosial dari kelompok manusia tersebut, baik itu struktur, maupun proses sosialnya. Soemarjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 1982:17) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dalam masyarakat dan proses sosialnya, termasuk perubahan-perubahan sosial yang ada dalam masyarakat.

Sorikin (dalam Soekanto, 1982:17) menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi serta politik); hubungan timbal balik antara gejala sosial dan nonsosial (seperti gejala geografis dan politik, biologi, ekonomi, dan sebagainya).

Selain mempelajari naskah, puisi, majalah, dan buku, sastra juga membicarakan karakteristik seorang tokoh maupun karakteristik suatu bangsa bahkan kelompok manusia (masyarakat). Melalui sastra, pembaca pada hakikatnya lebih baik menghayati permasalahan kehidupan dari pada mereka harus membaca tulisan sosiologi ( Teeuw, 1988:237). Beberapa ahli mendefinisikan bahwa sastra adalah pengungkapan dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh manusia tentang kehidupan (Hardjana, 1981:10).

Menurut Damono (1984:5), sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan sastra menggambarkan kehidupan yang merupakan kenyataan sosial. Kedua pendapat tersebut masih

(23)

sejalan dengan Semi (1988:8) yang menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah sama-sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Tetapi tidak berarti kedua bidang tersebut disamakan begitu saja. Seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat atau dengan kata lain hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya. Seorang sastrawan mampu menembus jauh dari balik kenyataan tersebut. Hal ini terjadi karena seorang sastrawan dengan kedalaman imajinasinya mampu mengungkapkan keberadaan manusia dalam sebuah kenyataan.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologi pada karya sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984:4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya. Selanjutnya Wellek dan Austin Warren (1989:80) menyatakan bahwa metode yang dilakukan dalam menganalisis sebuah karya sastra tidak mungkin dilakukan hanya satu faktor saja, melainkan juga harus menganalisis karya sastra tersebut dengan latar belakangnya secara keseluruhan.

2.2 Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat

Sastra merupakan karya kreatif dari sebuah proses pemikiran untuk menyampaikan ide, pengalaman, dan sistem berpikir atau teori. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Hardjana (1981:10) bahwa sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami, dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan. Pada hakikatnya, sastra menggambarkan keadaan manusia dalam masyarakatnya. Permasalahan kehidupan lebih dapat dirasakan dalam novel dari pada kita harus membaca catatan biografi. Walaupun kenyataan dalam sastra merupakan kenyataan yang ditafsirkan dan

(24)

bermakna subjektif, kenyataan itu dapat dipandang sebagai kenyataan dalam masyarakat pendukungnya.

Georg Lukacs (dalam Jefferson, 1988:204) mengatakan bahwa kesusastraan adalah pengetahuan tentang realita. Oleh sebab itu, karya sastra yang terbentuk dengan betul akan menghasilkan karya sastra yang mencerminkan bentuk dunia nyata. Hal ini dijelaskan pula oleh Luxemburg (1992:12) bahwa meskipun di dalam novel, tokoh dan peristiwa merupakan suatu cerita rekaan, tempat dan waktu sering tepat sesui dengan pengalaman kita tentang kenyataan. Sebuah karya sastra dengan kedalaman pemikiran sastrawannya akan mampu memberikan gambaran tentang karakteristik suatu bangsa atau bahkan berhasil mengungkapkan kebobrokan sistem masyarakatnya. Namun, tidak selamanya suatu peristiwa yang terjadi selalu diikuti dengan lahirnya sebuah karya sastra. Ada kalanya suatu karya sastra tidak dapat menggambarkan kehidupan masyarakat yang sesuai lagi dengan keadaan masyarakatnya pada saat itu.

Kita harus ingat bahwa karya sastra adalah dunia tersendiri yang berarti imajinasi sastrawan sangat berperan dalam menghasilkan karya sastra tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa sastra merupakan penggabungan antara kenyataan dengan imajinasi.

Contohnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk yang merupakan penggabungan antara kenyataan dan imajinasi. Dengan keutuhan ide dan imajinasinya, pengarang mampu melukiskan sosok Srintil yang telah kemasukan roh ’indang’ sehingga mampu untuk menjadi seorang ronggeng. Seorang ronggeng pada masa itu merupakan simbol dari harkat dan martabat suatu desa yang bernama Dukuh Paruk. Tidak semua wanita yang ada di Dukuh Paruk bisa menjadi ronggeng. Hanya seorang wanita yang mendapat roh

’indang’ yang mampu menjadi seorang ronggeng, Srintil. Ketika pada 1965 Srintil terpaksa masuk penjara karena dituduh ikon atau lambang dari suatu partai politik. Padahal Srintil hanya menari untuk menghibur para anggota partai politik yang saat itu sedang gencar melaksanakan kampanye. Setiap partai berusaha untuk mencari dukungan dari masyarakat hingga ke desa-desa agar memenangkan pemilu nantinya.

Karena saat itu begitu banyak pergolakan, Srintil pun dikira membela suatu partai sehingga dianggap

(25)

membahayakan. Seorang ronggeng yang sangat dibanggakan menjadi tidak ada artinya lagi. Pada saat yang bersamaan itu pula Dukuh Paruk hancur dan hampir tidak terdengar lagi namanya.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa sastra adalah produk masyarakat yang menggambarkan kehidupan mereka. Seperti apa yang dikatakan Swingewood (dalam Damono, 1984:13) bahwa sastra merupakan cermin masyarakat atau cermin dari suatu zaman. Maka novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan produk masyarakat pada zamannya dan tempat karya itu diciptakan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, kita mendapatkan suatu gambaran keadaan masyarakat pada masa itu tentang budaya yang tidak terlepas dari adat ketimuran.

2.3 Pengertian Strukturalisme

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, kata Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot (Kutha Ratna, 2004:88). Hawkes (dalam Pradopo, 2002:93) mengatakan bahwa karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya saling berjalinan erat. Dalam struktur itu unsur-unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya. Dalam sebuah novel atau cipta sastra, terdapat pengelompokan- pengelompokan yang didasarkan atas keterkaitan atau hubungan. Keteraturan dari urutan-urutan hubungan tersebut menunjukkan bahwa karya sastra itu mempunyai struktur. Hubungan yang saling terkait itu bersifat tetap. Artinya, tidak bergantung atas sebuah novel atau cipta sastra tertentu saja. Menurut Luxemburg (1992:36), struktur atau strukturalisme adalah sesuatu yang saling berkaitan dan teratur.

Kaitan-kaitan itu dilakukan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Di dalam keterkaitan dan keterpaduan struktur akan terkandung keseluruhan makna yang ada. Teeuw (dalam Pradopo 2002:93)

(26)

mengatakan bahwa analisis struktural sukar dihindari sebab analisis demikian itu baru memungkinkan tercapainya pemahaman yang optimal.

Maren-Grisebach (dalam Junus, 1981:17) menyatakan bahwa strukturalisme memiliki tiga pengertian. Pertama, saling berhubungan unsur-unsur dalam sebuah karya atau adanya suatu sistem interaksi antara unsur-unsur pembentuknya. Kedua, strukturalisme abstrak yang menyatukan hal-hal yang berbeda dan biasanya bertujuan untuk mendapatkan suatu hukum universal. Ketiga, strukturalisme adalah sesuatu yang tidak mengenal sejarah karena perkara tersebut akan berlaku selama-lamanya.

Teeuw (1988:133) mengatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya, Luxemburg (1992:38) menyatakan bahwa sebuah karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan. Hal senada pula diungkapkan oleh Lane (dalam Sukada, 1987:52) bahwa struktur adalah sesuatu yang memiliki hubungan abstrak antara yang satu dengan yang lain. Struktur ini memiliki isi yang tidak tertentu dan hanya dapat dipahami melalui organisasi akal dan memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata secara wajar.

2.4 Pengertian Ekstrinsik

Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang menekankan unsur-unsur luar yang mempengaruhi pengarang di dalam menciptakan sebuah karya sastra. Wellek dan Warren (1993:109) mengatakan bahwa pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sistem sosial, adat istiadat dan politik. Lebih lanjut Luxemburg (1992:24) mengatakan bahwa penelitian dilakukan dengan melihat hubungan antara aspek teks sastra dan susunan masyarakat,

(27)

sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam karya sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem yang ada di dalam masyrakat.

Sastra sebagai institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagi medium selalu menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan bagian dari kenyataan sosial.

Nurgiyantoro (1998:23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Bagaimana pun juga, memahami unsur ekstrinsik dalam suatu karya sastra akan sangat membantu kita dalam memahami makna karya sastra tersebut, karena karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan penjelasan yang kuat tentang kepribadian dan kehidupan wilayah pengarang dan tokoh utamanya. Namun, kita tidak boleh terjebak oleh pernyataan bahwa seni adalah ekspresi jiwa yang murni dan polos ini berarti perwujudan pengalaman pribadi dan perasaan yang tercermin dalam sastra tidaklah mutlak atau fotokopi dari kehidupan itu sendiri. Walaupun karya itu sendiri sangat erat dengan kehidupan pengarang atau tokoh dalam karya tersebut.

Oleh karena itu, unsur ekstrinsik pada pembahasan novel ini mengacu pada nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

BAB III

ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

3.1 Sinopsis

Sebuah pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk hidup penuh dengan kebodohan, kemelaratan, dan kemiskinan. Di pedukuhan tersebut hanya terdapat 23 rumah yang kesemuanya adalah keturunan Ki Secamenggala. Dahulunya, Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah, yaitu perampok, pembunuh,

(28)

dan pemerkosa. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya dia menghabiskan sisa hidupnya. Walaupun dahulunya Ki Secamenggala menjadi musuh masyarakat tetapi orang-orang di Dukuh Paruk sangat memujanya. Hal ini ditandai dengan dijadikannya kuburan Ki Secamenggala sebagai pusat kebatinan mereka.

Ketika musim kemarau, tiga anak laki-laki Dukuh Paruk bernama Warta, Darsun dan Rasus serta seorang gadis berusia sebelas tahun yang bernama Srintil sedang asyik-asyiknya bermain di bawah pohon nangka. Srintil sangat pintar menari dan menyanyi layaknya seorang ronggeng sehingga ketiga anak laki- laki itu sangat senang hatinya.

Tanpa disadari mereka, gerak-gerik Srintil diperhatikan oleh Sakarya, seorang kamitua di Dukuh Paruk sekaligus kakek Srintil. Setelah Sakarya melihat Srintil menari dan menyanyi, maka yakinlah dia bahwa cucunya Srintil telah dirasuki roh indang untuk menjadi seorang ronggeng. Betapa gembiranya hati Sakarya melihat kenyataan ini karena selama dua belas tahun pedukuhan tersebut tidak mempunyai seorang ronggeng. Ronggeng adalah simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka dengan munculnya Srintil akan mengembalikan Dukuh Paruk kepada keasliannya. Akhirnya, Sakarya menyerahkan Srintil kepada seorang dukun ronggeng bernama Kartareja. Penyerahan ini adalah suatu hukum di Dukuh Paruk.

Suatu senja yang sangat dinantikan warga Dukuh Paruk karena pada saat itu mereka akan menyaksikan penampilan perdana Srintil, seorang ronggeng yang sangat diharapkan kehadirannya tampil dengan sangat memukau. Hampir semua warga Dukuh Paruk memuji penampilan Srintil. Tapi sebelum Srintil tampil menunjukkan kebolehannya maka Nyai Kartareja terlebih dahulu merias Srintil seperti seorang ronggeng dewasa. Untuk menambah kecantikannya, Nyai Kartareja meniupkan mantera ke ubun- ubun Srintil dan memasang susuk di tubuh gadis itu.

Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali kejadian sebelas tahun yang lalu. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek. Namun naas menimpa dirinya. Pada 1946, tempe bongkrek yang dibuatnya mengandung asam tembaga hingga orang-orang yang membeli tempenya

(29)

keracunan dan mati seketika. Beberapa warga yang tidak ikut memakan tempenya terlihat segar bugar.

Mereka menuntut pertanggungjawaban Santayib. Santayib membuktikan bahwa tempe bongkrek buatannya tidak mengandung racun. Seketika ia menelan tempe buatannya sendiri. Istri Santayib, ibu Srintil menyaksikan suaminya meregang nyawa, ia pun tak mau ketinggalan. Ditelannya tempe bongkrek tersebut dan akhirnya ibu Srintil meninggal sambil memeluk Srintil yang saat itu berusia lima bulan.

Malapetaka yang menimpa Dukuh Paruk ini selalu dihubungkan warganya atas kehendak Ki Secamenggala, tetapi bagi seorang laki-laki bernama Rasus, hal ini tidak bisa diterimanya. Rasus adalah salah satu dari sekian banyak anak yatim piatu yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya akibat malapetaka tempe bongkrek. Namun yang menjadi persoalan bagi Rasus adalah perihal keberadaan emaknya yang tidak pernah pulang dari puskesmas kecamatan semenjak kejadian malam itu. Ada berita yang mengabarkan kepada Rasus bahwa ibunya dibawa pergi oleh sang mantri dan kawin lari. Namun kabar lain mengatakan bahwa ibunya mati setelah keracunan tersebut dan mayatnya dipotong-potong untuk dijadikan bahan penelitian dokter. Cerita-cerita tentang nasib emaknya membuat Rasus semakin bingung akan sosok emaknya. Rindunya Rasus pada emaknya dapat terobati dengan hadirnya Srintil.

Dalam diri Srintillah Rasus menemukan bayangan emaknya. Tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, Rasus tidak bisa lagi berdekatan dengan Srintil. Ini karena Srintil sudah menjadi milik semua warga Dukuh Paruk.

Sebagai seorang ronggeng Srintil harus melalui upacara ataupun syarat agar resmi menjadi ronggeng. Maka pada waktu yang telah ditentukan Srintil melakukan upacara pemandian di kuburan Ki Secamenggala. Setelah upacara pemandian selesai maka ada satu lagi syarat yang harus ditempuh yaitu upacara bukak klambu. Syarat inilah yang dibenci Rasus karena dalam upacara bukak klambu, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang bisa memberikan sekeping ringgit emas.

Sebenarnya Srintil sendiri lebih senang menyerahkan keperawanannya kepada Rasus tetapi Srintil tahu

(30)

Rasus adalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa. Tetapi secara diam-diam, pada malam upacara bukak klambu, Srintil bertemu dengan Rasus di belakang rumah Nyai Kartareja. Srintil akhirnya menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Kejadian ini hanya mereka berdua yang mengetahui.

Pemenang sayembara yang bernama Dower pun tidak mengetahui bahwa Srintil baru saja menyerahkan keperawannya pada Rasus.

Peristiwa di atas menjadikan Rasus berniat meninggalkan Dukuh Paruk. Dukuh Paruk telah bertindak semena-mena terhadapnya karena sejak peristiwa bukak klambu, ia tidak pernah lagi menemukan sosok emak dalam diri Srintil.

Rasus akhirnya pindah ke wilayah kecamatan Dawuan. Ketika terjadi perampokan di Dawuan, Rasus diangkat menjadi seorang tobang oleh salah satu sersan yang menjaga kecamatan itu berkat keberaniannya melawan perampok. Semakin lama Rasus tinggal di Dukuh Paruk, semakin mampu ia menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Sementara Srintil berkembang menjadi seorang ronggeng yang sangat terkenal. Siapa pun bisa tidur dengannya asal memiliki cukup uang. Ia tidak hanya dipuja di Dukuh Paruk, tetapi juga di luar wilayah itu. Ketika ia berbelanja ke pasar, orang-orang berlomba-lomba untuk melayaninya. Ketika usia dua puluh tahun, Srintil mulai mempertanyakan harga dirinya sebagai wanita. Ia menginginkan kehidupan yang normal sebagai wanita yang ingin mempunyai suami dan anak. Srintil mulai berani menampik laki-laki yang tidak disukainya. Pada suatu ketika, tawaran datang pada dirinya untuk menjadi seorang gowok. Gowok adalah wanita yang disewa oleh seorang ayah yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah. Selama seminggu Srintil diharuskan memberi pelajaran kepada anak laki-laki tersebut bagaimana menjadi suami yang baik dan melayani istri, termasuk di dalamnya masalah seks. Berperan menjadi gowok, membangkitkan gairah dan semangatnya menjadi seorang wanita. Ia merasa dirinya sangat diperlukan.

(31)

Setelah selesai berperan sebagai gowok, tawaran meronggeng kembali datang pada Srintil.

Awalnya Srintil menolaknya, tetapi Sakarya membujuknya karena mereka diminta mengisi pementasan pada acara tujuh belasan di kecamatan. Penampilan Srintil pada acara tersebut memikat hati Bakar, seorang politisi pada saat itu. Srintil kemudian ditawari untuk tampil pada acara kampanye. Rombongan ronggeng Srintil pun diberi nama ronggeng rakyat oleh Bakar. Di depan rumah Sakarya dipasang sebuah papan yang berisi simbol. Tidak ada satupun warga yang tahu apa makna dari simbol tersebut. Ketika Bakar berkampanye, Srintil juga harus meneriakkan yel-yel kepada massa yang datang. Kebodohan Srintil, rombongan ronggeng, dan warga Dukuh Paruk membuat malapetaka bagi mereka. Peristiwa politik pada 1965 menbuat rombongan ronggeng Srintil dan warga Dukuh Paruk dituduh sebagai biang kerusuhan karena ronggeng Srintil menarik massa saat berkampanye. Padi warga Dukuh Paruk dibabat habis oleh orang-orang tak dikenal. Kuburan Ki Secamenggala diletakkan caping dan arit. Hal ini membuat kemarahan warga Dukuh Paruk. Namun sebenarnya yang meletakkan caping itu adalah Bakar sendiri. Ia ingin melimpahkan semua kesalahan pada Dukuh Paruk. Akhirnya Srintil, Kartareja, Nyai Kartareja dan Sakum pergi ke kantor polisi kecamatan untuk minta perlindungan diri. Bukan perlindungan yang didapatkan mereka, melainkan mereka ditahan sebagai tahanan politik. Banyak di antara tahanan yang dibunuh. Karena kecantikannyalah maka Srintil tidak diperlakukan semena-mena.

Kartareja, Nyai Kartareja, dan Sakum hanya ditahan selama dua minggu, seterusnya mereka diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan.

Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk untuk melihat neneknya yang sedang sakit dan akhirnya meninggal dunia, semua warga mengharapkannya agar mau menjadi pengayom bagi mereka. Sebenarnya Rasus ingin tinggal kembali di Dukuh itu, namun tugasnya sebagai tentara tidak bisa ia tinggalkan. Rasus berjanji akan mencari tahu dimana Srintil ditahan dan sebisa mungkin membebaskannya.

(32)

Srintil bebas setelah dua tahun dipenjara. Ia kembali ke Dukuh Paruk dengan perubahan sikap yang luar biasa. Ia menjadi seorang gadis yang pendiam. Srintil menyadari bahwa bagaimanapun ia seorang perempuan yang menginginkan sebuah keluarga. Srintil ingin meninggalkan semua pekerjaannya yang dulu, baik sebagai ronggeng maupun pelacur.

Pada suatu ketika, ada pengembangan proyek irigasi di Dawuan. Orang-orang proyek sering melewati Dukuh Paruk dan datang kesana. Pimpinan proyek yang bernama Bajus berkenalan dengan Srintil. Bajus mulai menyukai Srintil dan mempekerjakan beberapa warga Dukuh Paruk. Orang-orang yang awalnya sinis terhadap Srintil yang dianggap mantan tahanan politik dan warga Dukuh Paruk sebagai biang kerusuhan 1965, mulai menaruh hormat kepada Srintil dan warga Dukuh Paruk karena Srintil dan warga Dukuh Paruk dekat dengan Bajus, orang pemerintah. Artinya, mereka sudah digandeng dan dimaafkan pemerintah.

Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk, Srintil berharap Rasus mau mengawininya, tetapi ia tidak mampu mengungkapkannya. Srintil merasa malu atas perbuatannya selama ini. Ketika Rasus mau kembali ke kesatuannya, ia tidak memberi keputusan yang tegas meskipun ia mencintai Srintil.

Sementara itu, Bajus semakin dekat dengan Srintil. Bajus bersikap ramah, baik dan tidak pernah berbuat senonoh kepada Srintil. Hal ini membuat Srintil yakin bahwa Bajus adalah lelaki yang baik dan ia menaruh harapan yang besar pada Bajus walaupun Bajus tidak pernah menyatakan cintanya.

Apa yang diharapkan Srintil ternyata tidak terjadi. Bajus hanya memanfaatkan Srintil. Bajus menginginkan Srintil melayani bosnya agar ia memenangkan proyek. Akan tetapi Srintil menentang dan menolaknya. Bajus marah dan mengancam akan memasukkan Srintil kembali ke penjara. Hal ini membuat Srintil kecewa, marah, sedih dan shock. Akibatnya Srintil menjadi gila.

Rasus sangat kecewa ketika kembali ke Dukuh Paruk mendapati Srintil menjadi gila karena Bajus.

Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa dan Rasus mengatakan kepada pegawai rumah sakit bahwa

(33)

Srintil adalah calon istrinya. Rasus pun berjanji pada dirinya untuk memperbaiki Dukuh Paruk dari kemelaratan, kesengsaraan, dan kemiskinan.

3.2 Alur

Alur diibaratkan seperti rangka dalam tubuh manusia atau rangka pada sebuah rumah. Dengan demikian, sama halnya dalam karya sastra, alur dapat dikatakan sebagai tulang punggung dari cerita. Alur akan menuntun kita dalam keseluruhan cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya.

Alur yang baik adalah alur yang dapat membangun satu cerita, sehingga pembaca ingin membaca cerita itu hingga akhir dan dapat memahaminya. Alur yang baik juga memiliki kejelasan dan kesederhanaan, sebagaimana dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1998:110) kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami.

Alur diwujudkan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita, bahkan umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Alur merupakan cermin dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berperasaan, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114).

Banyak cara bagi pengarang untuk melukiskan jalan cerita, di antaranya ada yang menggunakan alur sorot balik dan ada juga yang secara kronologis. Sorot balik atau flash back adalah jika urutan peristiwa-peristiwa yang disajikan disisipi dengan peristiwa sebelumnya. Sorot balik ini biasanya ditampilkan pengarang dengan bentuk dialog, dalam bentuk mimpi, lamunan, atau teringat kembali pada sesuatu hal atau peristiwa. Sedangkan secara kronologis adalah peristiwa yang bergerak dari awal hingga akhir dan tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memakai alur flash back. Secara umum unsur cerita terdiri dari tiga hal, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Akan

(34)

tetapi, pengarang biasanya lebih memperhalus bagian-bagian tersebut hingga menjadi beberapa unsur lagi.

Pembagian alur dari sebuah cerita rekaan telah diperinci oleh Mochtar Lubis (1981:17) dalam 5 bagian:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan).

2. Generating Circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak).

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak).

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya).

5. Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).

Demikianlah jika di tinjau dari jalan ceritanya, alur novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah flash- back. Hal ini terlihat karena Ahmad Tohari memulai cerita langsung dengan melukiskan keadaan Dukuh Paruk, lalu peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut mulai bergerak diselingi dengan menceritakan kejadian yang telah lalu, diteruskan dengan keadaan memuncak, dan setelah peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya, maka Ahmad Tohari memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.

Lengkapnya, alur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, terlihat sebagai berikut:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

Dukuh Paruk adalah suatu daerah yang kecil dan menciptakan kehidupan tersendiri. Sebagai pusat kebatinan warga Dukuh Paruk, adalah kuburan Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit di tengah Dukuh Paruk. Dulunya Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah yang mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan sisa hidupnya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala bertempat tinggal sampai akhir hidupnya.

Tradisi dan kepercayaan alam sangat dipegang teguh oleh anak cucu Ki Secamenggala. Mereka sangat percaya kepada hukum alam yang berlaku dan sangat menghormati kuburan Ki Secamenggala.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kuburan Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. (hal.10)

(35)

Masyarakat Dukuh Paruk juga terkenal karena ronggengnya. Namun sudah hampir sebelas tahun lamanya mereka tidak memiliki seorang ronggeng. Akhirnya seorang gadis kecil bernama Srintil menunjukkan gerak-geriknya sebagai seorang ronggeng.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. ”Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. (hal.15)

2. Generating Circumtances (peristiwa-peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)

Malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sekitar tahun 1946 atau sebelas tahun yang lalu membuat Dukuh Paruk gempar. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek di pedukuhan itu.

Namun malang baginya, pagi itu tempe yang dijualnya mengandung racun. Sembilan orang dewasa dan sebelas anak-anak Dukuh Paruk meninggal, termasuk di dalamnya Santayib dan istrinya yang nekat menelan tempe buatannya sendiri guna membuktikan bahwa tempenya tidak beracun.

Dalam haru biru kepanikan itu kata-kata ”wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang.

Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian. Hatinya ingin dengan sengit membantahnya. Namun nuraninya juga berbicara, ”Santayib, bongkrekmu akan membunuh banyak orang di Dukuh Paruk ini.”

(hal.25)

Kemunculan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat masyarakat Dukuh Paruk kembali ingat pada kejadian tersebut dan membuat hati Rasus, teman sepermainannya menjadi gelisah. Emak dan ayah Rasus adalah salah satu korban malapetaka tempe bongkrek. Ayahnya mati pada saat itu juga, sementara ibunya dalam keadaan tidak sadar dibawa oleh mantri ke kota. Semenjak itu ia tidak pernah lagi mengetahui apakah ibunya sudah mati atau kawin lari dengan mantri itu.

Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak merasakan kengerian.

Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan emak meninggal, melainkan pergi bersama si mantri entah ke mana. (hal.35)

(36)

Rasus menyadari bahwa ia menemukan bayangan emak pada diri Srintil. Namun, semenjak Srintil dipuja oleh banyak orang ia mulai menyadari bahwa Srintil bukanlah milik dirinya semata melainkan milik semua warga Dukuh Paruk.

Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan atau seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau kedua-duanya. Tetapi jelas, penampilan Srintil membantuku mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan juga bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang bagus seperti Srintil. Suaranya lembut, sejuk, suara seorang perempuan sejati. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah emak mempunyai cambang halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau, apakah juga ada lesung pipi pada pipi kiri emak. Srintil bertambah manis dengan lekuk kecil di pipi kirinya, bila ia sedang tertawa. Hanya secara umum Emak mirip Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah melihat emak. Persamaan itu kubangun sendiri sedikit demi sedikit. Lama- lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan kepastian dalam hidupku. (hal.45)

Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi.

Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam terpaku.

Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. (hal.48)

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak)

Keadaan mulai memuncak ketika Rasus menyadari bahwa di samping upacara pemandian, masih ada satu lagi syarat menjadi seorang ronggeng. Srintil harus menjalankan upacara ”bukak klambu” yaitu upacara penyerahan keperawanan seorang ronggeng kepada seorang laki-laki. Sebagai salah satu syarat, laki-laki yang memenangkan sayembara tersebut harus menyerahkan sekeping ringgit emas. Dengan diadakannya sayembara tersebut, Rasus semakin membenci tradisi Dukuh Paruk dalam memperlakukan Srintil sebagi seorang ronggeng.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak klambu bagi Srintil, tidak lebih dari sebuah tempat pembantain. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana, tiga hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak berbicara atas kepentingan berahi atau sebangsanya. Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika yang selama ini amat kuhargai. (hal.53)

(37)

Upacara bukak klambu itu merupakan suatu tradisi yang harus dijalankan oleh setiap wanita yang akan menjadi ronggeng. Sebenarnya Srintil merasa tak berdaya dengan malam bukak klambu yang akan dilaluinya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan semua persyaratan.

”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”

”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun yang akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?” (hal.55) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)

Puncak cerita ini adalah terjadinya malam bukak klambu. Artinya Srintil resmi menjadi seorang ronggeng baru yang sah. Dengan demikian semua lelaki berhak atas dirinya dengan memberikan uang sebagai imabalannya. Yang memenangkan sayembara tersebut adalah Dower, pemuda dari Pecikalan.

Tetapi kelicikan Kartareja dan Nyai Kartareja membuat pemenang sayembara menjadi dua pemuda dan pemuda yang lain bernama Sulam. Tanpa diketahui oleh pasangan Kartareja, sebenarnya Srintil pada malam itu menyelinap keluar dan menyerahkan keperawanannya pada Rasus.

”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hal.76)

5. Denouement (pengarang memberi pemecahan soal dari semua peristiwa).

Ahmad Tohari memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sebagai berikut:

Setelah Srintil resmi menjadi ronggeng dan dipuja oleh banyak orang, Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Srintil pun dipuja oleh banyak orang dan hidupnya bergelimang harta namun sesungguhnya hati kecilnya masih ingat pada Rasus. Dalam perantauannya, Rasus bertemu dengan Srintil dan ia merasakan bahwa Srintil tidak pernah melupakannya.

Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari caranya duduk di sampingku, dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di

(38)

belakang rumah Kartareja itu secara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan kata-kata yang pernah kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia mengharapkan seorang kecintaan. (hal.89)

Ketika Srintil berusia dua puluh tahun, lambat laun ia menyadari keberadaannya sebagai wanita utuh. Ia mulai berani menampik lelaki dan melakukan kehendaknya tanpa izin Nyai Kartareja. Ketika ia menjadi seorang gowok. Ia merasa tidak semua laki-laki menginginkan kewanitaannya.

Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun terbayangkan. (hal.224)

Ketenaran Srintil membawanya ke dalam sebuah kampanye politik. Kebodohan warga Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh pak Bakar dan rombongannya. Rombongan ronggeng Srintl pun dianggap sebagai kelompok komunis. Srintil dipenjara selama dua tahun. Hidup dipenjara membuat Srintil menyadari kodratnya sebagai seorang wanita.

”Oalah Gusti Pangeran,” tangis Srintil dalam ratap tertahan. ”Nyai, kamu ini kebangetan!

Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti...” (hal.288)

Ketika Rasus kembali, Srintil masih berharap agar Rasus mau menjadi suaminya. Semua warga Dukuh Paruk mendukungnya, namun Rasus menolaknya dan akhirnya ia kembali meninggalkan Dukuh Paruk. Selepas kepergian Rasus, Srintil berteman akrab dengan Bajus. Srintil berharap kelak Bajus akan menikahinya. Namun, Srintil hanya diperalat Bajus untuk mendapatkan proyek dari pak Blengur bosnya.

”Anu Srin. Kamu sudah kuperkenalkan pada pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik.

Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapapun harganya, akan dia kabulkan.

Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” (hal.381)

(39)

Kejadian tersebut membuat Srintil shock dan menjadi gila. Pada saat itulah Rasus kembali datang.

Ia membawa Srintil pergi berobat dan berharap kelak jika Srintil sembuh, akan menjadikannya sebagai istri.

Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil. Kukatakan semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya perawatan. Tetapi tiba- tiba lidahku kelu ketika petugas bertanya tentang hubunganku dengan Srintil.

”Istri?”

”Bukan. Aku masih bujangan.”

”Hanya saudara?”

Aku diam dan menunduk.

”Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat. Lalu, maafkan aku Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik sampean. Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?”

”Ya!” (hal.402)

3.3 Perwatakan

Perwatakan dalam sebuah cipta sastra tidak terlepas dari tokoh atau pelaku dalam suatu cerita.

Sehingga segala kejadian atau peristiwa di dalam karya sastra berlangsung sedemikian rupa karena adanya tokoh.

Sudjiman (1988:17) membedakan fungsi tokoh dalam cerita atas dua bagian, yakni tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama masih dapat dibedakan lagi atas protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam cerita. Tokoh antagonis merupakan penentang utama tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam novel ini adalah pasangan Kartareja.

Sudjiman (1988:18-19) mengatakan bahwa biasanya tokoh protagonis menjadi pusat sorotan cerita dan sekaligus memberi kemungkinan menempati kedudukan sebagai tokoh utama. Ada beberapa kriteria yang dapat kita pergunakan untuk menentukan tokoh utama, (1) Bagaimana intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4) Tokoh utama selalu bisa mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul, sebab ada kalanya judul cerita

(40)

mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan bab penutup dilakukan oleh tokoh yang sama (Sudjiman 1988:19, Luxemburg, 1992:132).

Adapun fungsi kedua tokoh adalah tokoh bawahan yang kedudukannya tidak sentral di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Rasus.

Dalam hal cara menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cipta sastra Sudjiman (1988:20) menggunakan istilah tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar bersifat statis, lakuan atau karakter tokoh ini sedikit sekali mengalami perubahan bahkan cenderung tidak berubah sama sekali. Sebaliknya watak atau karakter tokoh yang menampilkan lebih dari satu segi atau ciri adalah tokoh bulat. Yang menjadi tokoh datar atau tokoh bulat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Sakarya, kakek Srintil dan Sakum. Sedangkan Bajus dan Rasus termasuk kedalam tokoh bulat.

Sudjiman (1988:23-24) memberikan metode penyajian watak tokoh, yakni metode langsung atau metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, dan perasaannya. Metode kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau metode dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari gambaran lingkungan sekeliling maupun penampilan fisik tokoh. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kedua metode tersebut yaitu metode analitis dan metode dramatik.

1) Srintil

Srintil merupakan tokoh utama dalam novel ini. Intensitas keterlibatan Srintil dalam cerita ini dimulai dari awal hingga akhir. Srintil menjadi tokoh yang menjalankan alur cerita, yang mengemban tema, dan yang mengembangkan peristiwa demi peristiwa. Di samping itu Srintil juga merupakan salah

(41)

satu dari struktur itu sendiri. Sebagai tokoh utama, peran Srintil sangat menentukan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintillah yang membawa pola kehidupan di Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil pulalah yang menghidupkan kembali tradisi ronggeng yang telah lama tenggelam di Dukuh Paruk.

Pada saat Srintil berusia sebelas tahun, ia mampu menari seperti ronggeng sungguhan. Srintil mampu menyanyikan lagu-lagu ronggeng dan menari laiknya ronggeng sejati.

”Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil

berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.” (hal. 11)

”Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa mana pun yang meliriknya.”

(hal.13)

Sebelum Srintil menjadi seorang ronggeng, ia harus menjalankan beberapa persyaratan.

Diantarnya adalah bukak klambu yaitu penyerahan keperawanan Srintil. Srintil sebenarnya ragu, tetapi ini merupakan suatu keharusan untuk menerima keadaan karena ia tunduk pada tradisi dan bersikap pasrah terhadap apa yang terjadi. Persyaratan itu tidak bisa ditolaknya dan ia sangat menyukai Rasus dan akhirnya ia menyerahkan keperawanannya pada Rasus

Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah

ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.

”Bagaimana?” tanyaku mengulang.

”Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala.

”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”

”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan menjadi seorang ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”.

(hal.55)

Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan merancang sebuah antenna J-Pole yang bekerja pada frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz dengan polaradiasi J-pole berpolarisasi vertikal dengan arah pancaran yang omnidirectional

[r]

yang terdiri dari Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 4.093.805.000 dan. Belanja Langsung sebesar

[r]

[r]

Silase dibuat dengan mencacah bahan hijauan menjadi ukuran yang kecil-kecil, kemudian menyimpannya kedalam ruang kedap udara.Pencacahan dilakukan untuk mendapatkan

Data hasil observasi ini kemudian digunakan untuk menghitung jumlah crosstalk per slot antar core MCF yang menyatakan besarnya kinerja dari setiap metode yang diusulkan

Untuk mencari nilai h, kita harus memenuhi persamaan (12), di mana nilai yang dibutuhkan pada karakteristik udara pada suhu 55 o C dapat dilihat pada tabel 2... Untuk mencari