• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Analisis

4. Alur atau Plot

Secara umum alur atau plot dalam novel “Do’a Anak Jalanan”

karya Ma’mun Affany adalah alur lurus atau progresif karena peristiwa

a.

Paparan (Exposition)

Paparan merupakan fungsi utama awal suatu cerita. Paparan

dalam novel “Do’a Anak Jalanan” ini memaparkan atau

memperkenalkan tentang tokoh dan latar Dina, Adib, dan Cindy serta

kehidupan mereka bersama Suratman. Berikut ini adalah kutipannya :

Namanya Dina, Dina Sanjani umurnya sudah 17 tahun, meski ia baru kelas sembilan, Dina sering berhenti sekolah. Tubuhnya tergolong tinggi bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya, 165 cm, kulit sebenarnya kuning langsat, tapi tertutup debu jalanan menjadi kecoklatan, matanya tak istimewa, bibirnya sederhana, sedikit ciut, dagunya lancip, hidungnya tak begitu mancung, tapi bukan pesek, parasnya bergaya oriental, tubuhnya, tak seksi, namun kesatuan semuanya membuat setiap pemuja kecantikan akan memalingkan wajah sejenak untuk dirinya. Dina adalah seorang anak pengamen yang tinggal di sebuah kontrakan dekat terminal kampung rambutan, Jakarta. Sedari kecil Ia terlahir di panti asuhan, saat lima tahun ada seorang bapak yang mengadopsinya, Suratman. Waktu itu Dina bahagia sekali, tapi kebahagiaan yang Dina alami ternyata palsu, ia hanya diajari bermain gitar, diajari menyanyi, dijadikan pengamen di jalan, sudah dua belas tahun Dina menjalani semua ini. Ia memiliki dua adik namun bukan saudara sekandung yang bernama Adib dan Cindy. Bertiga mereka berjuang dan bekerja keras demi bertahan hidup ditengah kerasnya kota Jakarta (Do’a hlm. 1).

Adib berumur tiga belas tahun, ia masih kelas enam SD. Adib memiliki fisik yang jauh berbeda, kulitnya coklat matang, kecil, hidungnya kalau dari samping terlihat mancung, tapi kalau dari depan sedikit besar, bibirnya juga tak tipis. Suaranya serak beriak, tak seimbang dengan umurnya, kalau dendangkan lagu sepenuh hati, paling suka lagu peterpan. Adib tak pernah tahu bagaimana masa kecilnya dulu, siapa orang tuanya, dari mana asalnya, nama Adib yang memberinya justru Dina (Do’a hlm. 3-4).

Cindy masih kelas satu SD, belum pantas hidup di jalanan, tapi entah bagaimana ia datang. Dina dan Adib merasa Cindy diculik. Cindy memiliki fisik yang jauh berbeda dari Dina dan Adib. Wajahnya oval, dagunya lancip, matanya tajam, bibirnya merah tipis, rambutnya sebahu lurus, kulitnya putih, meski anak kecil, benih-benih kecantikan yang tak bisa dinafikan (Do’a hlm. 4).

Bertiga hidup bersama Suratman di dekat terminal kampong Rambutan, di sebuah rumah kontrakan, berukuran 4 x 3 meter, tapi lebih pantas disebut kost-kostan, tanpa ada alas tidur, hanya karpet merah. Jendela hanya satu, pintu satu, tak ada almari, kompor, terlalu sempit (Do’a hlm. 4-5).\

b.

Rangsangan (Inciting moment)

Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya

gawatan. Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh

baru sebagai katalisator. Rangsangan dimulai ketika Dina dan Adib

menghadiri perlombaan cerdas cermat antar SD se-Jakarta Selatan yang

diikuti oleh Cindy. Berikut ini adalah kutipannya :

Dina bertemu dengan Adib di gedung aula. “Kakak” Adib memanggil, ia juga memegang gitar. “Cindy dimana?” Tanya Dina.

“Masih di dalam Kak, sedang mengikuti tes seleksi” jawab Adib dengan bangga.

“Kak, hari ini kita ga’ ngamen?”

“Setelah selesai lomba, kita ngamen setengah hari saja, semoga bisa dapat bayak, yang penting sekarang kita fokus ke perlombaannya Cindy dulu.” “Iya kak” (Do’a hlm. 68).

c.

Gawatan (Rising action)

Gawatan adalah tahapan yang ditimbulkan oleh rangsangan.

Gawatan terjadi ketika uang setoran yang harus diberikan ke Suratman

tidak mencukupi target. Hal itu karena waktu ngamen mereka terpotong

demi menghadiri lomba cerdas cermat yang diikuti oleh Cindy.

Akibatnya, Adib dan Dina harus mendapat siksaan lagi dari Suratman.

Berikut ini adalah kutipannya :

Waktu pulang seperti biasa Abang sudah duduk di depan kontrakan, sudah duduk menanti uang, duduk dengan kaki kanan bersandar di kaki kiri, ia berkaos dalam, sembari mengisap rokok, kali ini Dina yang paling depan, Adib dan Cindy bergandengan tangan di belakang.

“Mana uangnya?” Abang mengulurkan tangan, membuka telapaknya meminta. Dina berikan seluruh uang yang dia punya, sedikitpun tak menyimpan, tertunduk, ia sudah siap dengan segala pukulan.

Abang Suratman sibuk menghitung, saat tahu hanya sedikit, ia langsung murka, “Cuman segini.”

“Hari ini memang dapatnya hanya segitu Bang,” Dina beralasan.

“Keluarkan semua!!!” Abang membentak, tetangga melihat, tapi sudah biasa. Dina menggeleng, Abang memeriksa saku Dina, setengah meraba-raba, Dina

“Heh….berani kamu?”

Adib geram, tapi dia cuma anak kecil.

Baju Dina ditarik, masuk ke dalam kontrakan, suara pukulan terdengar, jeritan Dina mengoyak, Adib di luar tidak bisa bertindak, Cindy menangis, berkali kali terdengar teriakan Dina, “Ampun Bang,” itu yang terdengar, Adib meski anak kecil tidak bisa menerima, ia sudah kelas enam, ia masuk, memeluk kakaknya, kini pukulan dengan gagang sapu mendarat ke punggungnya, “Bet!!! Bet!!!”.

Cindy ikut masuk, ia menarik tangan Abang, “Jangan Bang, tadi Cuma

ngamen setengah hari karena Cindy ikut lomba cerdas cermat.”

Abang bengis, “Apa? Cerdas cermat?” tangan abang hendak mengayun memukul Cindy, tapi Dina yang sudah yang berlumur luka, Adib yang mulai rasa sakit langsung memeluk Cindy erat-erat, ia tak pantas untuk di pukul. “Lebih baik kalian semua keluar dari sekolah!!! Keluar!!! Atau kalian setiap malam akan rasakan seperti sekarang!!!” Abang melempar sapu, meludah di dalam, “Cuiiih!!!” berjalan keluar, menghilang, berjalan menjauh, mengarungi dunia malam, pintu di banting keras “Brakkkk!!!”.(Do’a hlm. 81).

d.

Tikaian (Conflict)

Tikaian atau konflik adalah perselisihan yang timbul sebagai

akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan (protagonis dan

antagonis). Konflik dalam cerita ini terjadi ketika Suratman mencari

Adib dan Cindy di sekolahnya karena sudah tidak pulang ke kontrakan

selama tiga hari, Dina, Adib, dan Cindy memang sengaja menghindar

dari Suratman, menghindar dari pukulan dan siksaan Abang. Namun

Adib kabur menghindar dari Suratman. Berikut ini adalah kutipannya :

Dua hari Dina, Adib, dan Cindy selamat. Hari ketiga saat Cindy keluar kelas bersama teman-teman ia melihat Abang di gerbang sekolah, ia berdiri dengan celana pendek dan kaos dalam hitam, Cindy kontan masuk kembali ke dalam kelas, ia mengintip dari jendela, jantungnya berdegup kencang, ia terlajur panik (Do’a hlm. 96).

Adib seakan bersiap hendak mengikuti lomba lari, tubuhnya tak lagi bertas, nafas ditarik kuat, saat melihat Suratman sedikit lengah ia sekencang mungkin berlari keluar sekolah, melewati Suratman Adib tak mau lihat, tapi Suratman tak bisa dikelabui, ia melihat, bahkan sempat menarik ujung baju Adib, tapi tak tertangkap, perut buncitnya coba diajak untuk berlari kencang, kecepatan Adib dan Suratman sama, hanya berbeda gesitnya, perut Suratman turun naik, ia terus berteriak, “Adib!!! Sialan!!!”

Mereka diperhatikan setiap orang yang dilewati, kadang Adib menyenggol orang di jalan, belum sempat yang disenggol marah, dari belakang Suratman

Adib tak menoleh ke belakang, ia terus berlari dan berlari, keringatnya mengucur, nafasnya hamper habis, perutnya seperti tertusuk-tusuk, menyelip diantara dua rumah Adib berhenti mengintip, Suratman sudah tak ada. Ia belum percaya, ia kembali mengintip dari balik dinding rumah, Abang sepertinya tertinggal, kali ini ia beruntung, besok pasti Abang kembali dating. Adib bertekad untuk kabur dari Abang (Do’a hlm. 101).

e.

Rumitan (Complication)

Rumitan adalah perkembangan dari gejala awal tikaian menuju

klimaks. Rumitan dalam cerita ini yaitu ketika Dina dan Adib berniat

menjemput Cindy yang dititipkan pada Fatimah, namun ternyata Cindy

sudah dijemput oleh Suratman yang mengaku sebagai Ayahnya Cindy

kepada Fatimah. Hal itu membuat Dina dan Adib harus kembali ke

kontrakan demi keselamatan Cindy. Berikut ini adalah kutipannya :

Berdua Dina dan Adib berjalan menuju ke rumah Fatimah. Tampak halaman rumah kosong. Tiba-tiba muncul Fatimah, berjilbab dan berpakaian seragam hendak ke sekolah. Adib melihat Fatimah, adib berlari masuk ke halaman rumah Fatimah, “Fatim!!!”

Fatimah berhenti, di depan pintu, Fatimah berbalik, “Kok kamu pakai kaos Dib?”

“Cindy mana?” Adib tak pedulikan pertanyaan Fatimah.

“Lho, tadi dijemput Ayahnya, katanya harus pulang,” Fatimah polos menjawab.

Lemas Adib mendengar, pastilah Abang sudah dating lebih awal, sudah hard lebih dulu, Adib ingin marah, tapi Fatimah memang tidak tahu apa-apa, “Kenapa Dib? Kok kamu lemas? Tanya Dina.

“Cindy dijemput Abang kak, kita harus pulang ke kontrakan, kasihan Cindy nanti dikasari Abang.” Adib tampak sangat cemas.

“Iya, kita pulang sekarang” (Do’a hlm. 111).

f.

Klimaks (Climax)

Klimaks adalah titik puncak cerita. Klimaks tercapai apabila

rumitan mencapai puncak kehebatannya. Bagian ini merupakan tahapan

ketika pertentangan yang terjadi mencapai titik optimalnya. Klimaks

uang yang dikumpulkan tidak mencukupi, Suratman marah dan

menyiksa Dina dan Adib habis-habisan. Rasa sakit bercampur dendam

akhirnya membuat Adib membunuh Suratman. Berikut ini adalah

kutipannya :

Dua mata merah Suratman memandang, ia sadar Dina dan Adib datang, ia berdiri menanti, nafasnya tampak lebih cepat berhembus, perutnya turun naik, Dina dan Adib tak gentar terus melangkah meski rasa sakit sudah terbayang, kini Abang berhadapan dengan Dina dan Adib, tampak dari lubang pintu Cindy duduk memeluk lutut menangis tanpa suara. “Mana uang kalian?” Dina tahu pertanyaan itu yang akan keluar, Dina keluarkan uang semua yang ia punya, Adib juga merogoh tasnya, di mata mereka berdua hanya ada Cindy, bahkan beberapa keping terjatuh, menggelinding, Dina dan Adib kembali memungutnya, sinar terik mulai naik, tapi terhalang daun nangka.

“Cuman segini, kalian pergi tiga hari, mau mati kalian?” Teriak Abang membuat perutnya menguat. “Cuman segitu bang,” Dina menunduk. Abang terlanjur begitu kesal, “Kalian coba berlari, sudah berani, pasti kamu yang memulai,” tangan Abang menarik kaos Dina, menarik keras memaksa memasuk rumah, “Krettt...” kaos Dina sobek, sedikit dada nampak, Adib tak sanggup lagi melihat. “Berani kamu!!!” Abang menjambak rambut Dina, Dina tak berteriak, tapi meringis dalam sakit. “Engga’ bang,” Dina menggengam tangan Abang. “Plak!!!” tanparan pertama mendarat, keras, suaranya mengiris yang mendengar, tapi Cuma sekali, tangan kanannya terus melayang , “Plak!!!” darah tampak menetes dari sudut mulut Dina. Di tendang, dipukul, Dina di siksa, terombang ambing di dalam ruangan 3x4 meter, Dina seperti dalam ring. Adib tak bisa hanya memandang, ia juga tak tahan mendengar. Adib ambil gitar, ia kumpulkan segenap keberanian, ia pegang dengan dua tangan gagangnya, ia mengincar kepala Abang, sekuat tenaga ia ayunkan,”Prak!!!” gitar patah. Tapi Abang tidak tumbang, ia berbalik, semakin bengis, “Kamu berani sekali!!!” Cindy memojok, menutup mata, menutup dua telinga dengan dua tangannya. Dari kepala Abang mengalir satu tetes darah, leher Adib dicekik, ia berteriak, “Cindy lari!!!” Cindy benar-benar bangkit, tapi tak lari, Dina kebingungan, tak tahu harus berbuat apa, bila di biarkan Adib bisa mati, Dina ambil gitar, sekuat tenaga ia ayunkan, “Prakkkk!!!” tepat di kepala, gitar pecah, gagangnya patah, tapi Abang belum juga tumbang. Adib di lepaskan, ia berbatuk, nafasnya hampir habis, giliran Dina di cekik, “Mati kamu, mati kamu!!!” Mata Dina sudah seperti hendak menjeput maut, ia tidak melawan kedua tangan kekar Abang, Dina berlutut dengan leher dalam genggaman Abang, ia seperti ayam hendak disembelih, dua tangan Dina melambai-lambai seperti tenggelam, Cindy hanya menarik-narik tangan abang, “Jangan!!! Jangan!!!” tapi Adip tidak bisa tinggal diam, ia tidak bisa melihat kakaknya mati, ia mengambil pisau dari belakang, pisau kecil, dengan tangan kanan Adib menusuk perut Abang, “Sepp!!!” kali ini Abang terjatuh, darah mengalir, Abang tak bisa lagi bicara, tergeletak, lantai penuh dengan darah, Dina terdiam memandang (Do’a hlm. 114-116).

g.

Leraian (Falling action)

Leraian adalah tahap yang menunjukkan peristiwa ke arah

selesaian atau penyelesaian. Leraian dimulai ketika Adib menyuruh

Dina untuk memanggil polisi. Ia sudah pasrah, menyerahkan diri

kepada pihak yang berwajib. Berikut ini adalah kutipannya :

“Adib,” Dina peluk adiknya. “Panggil polisi kak,” Adib meminta.

“Kita lari Dib,” air mata Dina tumpah. Semua yang Adib lakukan hanya untuk dirinya, “Kita lari Dib”.

“Panggil polisi kak,” mata Adib kosong memandang tubuh Abang. “Kakak!!!” Cindy ketakutan.

“Kita lari Dib,” Dina baru kali ini menangis deras, dua matanya lelehkan air, tapi mulut dan hidungnya mengalir darah, “Ayo kita lari Dib”.

“Panggil polisi kak, setelah ini kita akan hidup tenang,” Adib menggenggam pisau, dari ujungnya menetes darah. Dina hanya bisa tertunduk dalam kesedihan dan ketakutan (Do’a hlm 116).

Bagi Adib, ia lebih baik masuk penjara daripada harus terus hidup dalam penyiksaan Suratman. Adib merasa lea karena ia sudah membebaskan Dina dan Cindy dari siksaan Abang (Do’a hlm. 118)

h.

Selesaian (Denoument)

Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian atau

penyelesaian dalam novel Do’a Anak Jalanan yaitu Dina dan Cindy

memutuskan untuk keluar dari kota Jakarta dan pergi ke Jawa Tengah.

Melanjutkan hidup disana, sambil mengumpulkan uang untuk

membebaskan Adib dari penjara. Berikut ini adalah kutipannya :

“Kita jadi pergi ke Jawa Tengah ya Ma?” Tanya Cindy. “Iya, mungkin setelah pengumuman ujian.” Jawab Dina datar. “Kak Adib bagaimana?” Cindy memandang wajah Dina dari samping. Dina terdiam memandang Cindy.

“Kak Adib pasti baik-baik saja, Kakak dengar, di penjara anak disediakan Pak Uztadz, jadi Kak Adib bisa belajar menulis dan agama disana.”

“Tapi kita akan jemput kak Adib kan Ma?” Cindy bertanya lagi

“Kita pasti akan kembali lagi kesini, menjemput kak Adib dan memulai hidup baru yang lebih baik.” Jawab Dina menguatkan Cindy (Do’a 142).

Dokumen terkait