• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alvin and the Chipmunks

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 40-43)

Alvin and the Chipmunks

SEBULAN berlalu sejak pertama kali Maryamah bisa menggerakkan buah catur, kami telah berlatih untuk game ke-658. Artinya, Maryamah telah berlatih sebanyak 658 papan, alias 658 pertandingan. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan kekuatan mental perempuan itu dalam belajar. Filosofi belajarnya, “menantang semua

ketidakmungkinan”, termanifestasi menjadi ideologi yang sangat jelas baginya dalam

menguasai sesuatu. Ia tak pernah gamang, tak pernah tanggung-tanggung. Keadaan ini membuatku berpikir bahwa ideologi adalah sesuatu yang diperlukan dalam belajar, lebih dari sebuah otoritas. Sementara itu, aku, yang selalu merasa lelah setelah belajar satu jam, patut merasa malu.

Maryamah mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Dia tak pernah jemu. Ketekunannya mengagumkan. Skor kami adalah aku: 658, Maryamah: 0. Game berikutnya, aku bersiul-siul dan mohon diri sebentar ke dapur untuk menyeduh kopi.

Ketika aku kembali, hampir tumpah kopi di tanganku, lantaran kaget melihat seekor mahkluk asing yang bernama luncus telah bertengger di sisi rajaku. Tak pernah kutahu dari mana datangnya. Kupandangi perempuan pendulang timah itu. Ia menunduk lalu mengangkat wajahnya dan tampak berusaha serendah hati mungkin waktu berkata,

“Sekak mat, Boi.”

Sejak itu dunia berbalik. Tak pernah sekali pun lagi aku menang melawannya. Benar ucapan Grand Master Ninochka Stronovsky tempo hari. Sekali Maryamah menemukan cara untuk melindungi perwira-perwiranya, ia akan sangat susah dikalahkan, dan kian hari, ia kian kuat. Kata Nochka, aku perlu mencarikan Maryamah lawan tanding lain yang lebih pandai.

Bagiku, tak susah mencari lawan sesuai gambaran Nochka itu. Aku kenal seorang pecatur hebat. Aku sendiri tak pernah menang melawan orang itu. Dia adalah keponakanku sendiri, Alvin. Alvin yang nakal, kerap kugoda dengan panggilan karakter kartun kesayangannya, Alvin and the Chipmunks.

.

Alvin baru mau bertanding setelah kusogok permen lolipop sepuluh tangkai. Sambil menggandeng tanganku, sepanjang jalan mulutnya merepet saja, tentang ia baru diangkat menjadi ketua kelas lalu dipecat lagi oleh gurunya karena nakal melebihi murid lainnya, yang seharusnya ia kendalikan, juga tentang keheranannya mengapa

perempuan main catur. Lalu, ia menyombongkan diri bahwa ia juara catur di sekolahnya. Bahkan, anak-anak kelas enam habis dilibasnya. Diingatkannya pula bahwa aku tak pernah menang melawannya. Katanya, ia juga telah mengalahkan gurunya di sekolah. Sesumbarnya minta ampun.

“Maaf, ya, Pak Cik, aku ini juara bertahan. Melawan ibu-ibu macam Mak Cik

Maryamah? Maaf, ya, dua belas langkah saja Mak Cik kuberi, cincai.”

Lalu disebutkannya tuntutannya jika nanti ia menang dan tuntutannya itu, dengan sangat cermat, lengkap dengan nomor urut, telah ia tulis di dalam selembar kertas, beserta ancaman-ancamannya jika kau tak memenuhi tuntutannya itu. Banyak orang pintar berpendapat, generasi seperti Alvin ini menjadi begitu mencemaskan karena pengaruh televisi. Bisa jadi. Alvin adalah anak Melayu model baru. Masa kecil kami dulu tak pernah begitu dengan orang tua. Alvin sudah menjadi kapitalis sejak masih hijau.

Kulirik kertas itu. Bermacam-macam nama permen berderet disana. Kulihat permen telur cecak di nomor urut pertama. Ada pula baterai, lengkap dengan ukuran voltase untuk mobil-mobilannya, buku-buku komik. Dan sebagainya. Katanya, kalau aku belum punya uang untuk semua tuntutannya itu, maka yang belum dapat kupenuhi akan dianggapnya sebagai utang. Namun, apa pun yang terjadi, permen telur cecak itu harus dipenuhi lebih dulu.

“Aku tak mau tahu, Pak Cik,kalau perlu Pak Cik menggadaikan sepeda.”

Alvin memaksaku untuk memperlihatkan padanya berapa jumlah uangku agar ia merasa tuntutannya mendapat semacam asuransi. Kukeluarkan uang dari saku. Kebetulan aku baru mendapat upah dari Paman. Lebarlah senyumnya.

Kuingatkan Alvin agar nanti saat bertanding jangan ngoceh sana-sini. Jika Maryamah kalah, jangan mengejeknya seperti sering ia perbuat padaku. Yang paling penting, jangan panjang mulut pada siapa pun bahwa ia telah bermain catur melawan Mak Cik Maryamah.

Kami tiba. Maryamah berdiri dengan anggun di muka pintu demi menyambut tamu seorang pecatur hebat. Ia seperti akan menerima kontingen PON. Ia telah menyiapkan segalanya: papan catur dan segelas kopi yang mengepul untuk seorang lawan yang terhormat. Ketika kami tiba, ia heran.

“Mana pecatur itu, Boi?”

Aku menunjuk Alvin. Alvin tersenyum simpul. Maryamah terpana dan bimbang. Kukatakan agar jangan sembarangan sama Alvin, dia itu keponakanku yang sangat pintar dan aku tak pernah menang main catur dengannya.

Senyum Alvin makin tersimpul-simpul. Ia menatap Maryamah dengan pandangan yang aneh. Satu pandangan meremehkan yang bercampur satu niat tersembunyi dan bercampur lagi dengan hitung-hitungan. Kuduga niatnya itu adalah dengan cara apa ia bisa memojokkan Maryamah pada pilihan yang sulit sehingga seluruh kejadian ini dapat dialihkannya menjadi keuntungan di pihaknya, yaitu agar mendapatkan sebanyak mungkin permen telur cecak, baik dariku maupun dari Maryamah. Jika perlu, tanpa kami tahu satu sama lain. Alvin adalah perencana fait accompli tingkat mahir. Maryamah masih tertegun, bingung macam madu kena asap. Ia baru bergerak setelah kuminta agar mengganti kopi di atas meja dengan susu.

Alvin duduk di depan papan catur dengan penuh percaya diri. Dihirupnya susu panas. Usai sehirup, bibirnya menghirup udara, macam ekspresi orang dewasa merasakan nikmat kopi. Sungguh menyebalkan. Permainan pun dimulai. Langkah silih berganti. Meskipun tadi telah berjanji, mulut Alvin tak berhenti ngoceh. Sesekali ia meremehkan langkah Maryamah.

Maryamah tak terpengaruh akan sikap amatir Alvin. Dia berkonsentrasi penuh ke papan catur. Alvin menggerakkan buah catur dengan cepat karena ia merasa telah menguasai keadaan. Tampaknya ia yakin dapat menaklukkan Maryamah dalam dua belas langkah, seperti sesumbarnya. Senyum tengiknya tersungging-sungging. Tak lama kemudian, tak tahu bagaimana kejadiannya, karena sangat cepat, sekonyong-

konyong Maryamah berkata, “Sekak mat.”

Alvin terperanjat. Ia berdiri dari tempat duduk dan tak percaya dengan matanya sendiri melihat rajanya tak bernapas kena cekik seekor luncus. Ia memelototi luncus itu, lalu mengalihkan pandangan padaku seperti minta dibela. Permen lolipop menggantung di mulutnya. Mukanya merah, matanya juga, lalu tak ada angin tak ada hujan meledaklah tangis.

Keadaan menjadi kacau. Berandalan cilik itu tak sanggup menerima kenyataan bahwa ia telah dilipat Maryamah, dan secara sangat mendadak. Ia tampak sangat tersinggung dan malu dengan sesumbarnya tadi, sekaligus tak rela permen telur cecak meluncur dari tangannya.

Kubujuk Alvin, kunasihati dia dengan nasihat standar untuk orang kalah, bahwa kalah adalah biasa dalam pertandingan; bahwa, ah aku selalu benci nasihat ini, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Padahal sebenarnya, kekalahan adalah kebodohan yang dipelihara. Alvin tak terima. Ia tersedu sedan. Tangisnya baru reda ketika Maryamah meminuminya susu. Kutanyakan padanya apakah ia mau melanjutkan pertandingan untuk menebus kekalahannya, Alvin and the Chipmunks minta pulang.

Mozaik 16

Cape Diem

KULAPORKAN diagram pertandingan spektakuler antara Maryamah melawan Alvin dan Grand Master Nochka. Sinuhun catur yang humoris itu gembira. Di ujung pembicaraan ia memberi evaluasi tentang Maryamah dengan dua kata yang singkat saja: punya harapan.

Selanjutnya, Grand Master mulai mengajari Maryamah teknik-teknik sederhana yang ia sebut sebagai dasar pertahanan, serangan, pembelaan, dan pembebasan. Diagram-diagram darinya dilatihkan oleh Maryamah dan sparing partner-nya, Alvin and the Chipmunks. Namun, seiring dengan euforia pelajaran catur jarak jauh itu, aku makin cemas soal pendaftaran Maryamah.

Kampung kami adalah kampung lelaki. Tradisi kami amat patriarkat. Tak pernah sebelumnya ada perempuan main catur, apalagi bertanding melawan lelaki. Perempuan, dalam kaitannya dengan catur, hanya menghidangkan kopi saat suami main catur bersama kawan-kawannya, lalu tak bisa tidur karena mereka tertawa terbahak-bahak mengejek yang kalah. Akhirnya, dengan kepala pening di tengah malam, membereskan meja yang berantakan. Begitu saja. Perempuan tak berurusan dengan soal sekak stir. Tahu-tahu Maryamah muncul ingin menantang pria-pria itu?

Tak perlu jauh-jauh aku melihat penentang masyarakat akan rencana Maryamah, melihat sikap pamanku sendiri, aku berkecil hati.

“Kutengok di televisi, lelaki berbaju macam perempuan, perempuan bertingkah macam laki-laki. Rupanya tabiat macam itulah yang disenangi orang sekarang ini!”

Omelan itu lalu merembet-rembet, Midah kena.

“Mencuci gelas saja kau tak becus! Bagaimana suruh hal lain yang lebih penting? Beh obo deh odoh, itulah dirimu, bodoh! Menantu Muhlas namanya Sami.un, mencuci

gelas hanya ilmu katun!”

Adalah hal yang tak mungkin Midah tak benar mencuci gelas. Namun, hebatnya Paman, did alam marah masih sempat-sempatnya ia berpantun. Ilmu katun, maksudnya ilmu yang otomatis dikuasai orang tanpa harus sekolah. Direndahkan begitu, Midah membela diri.

“Aku ….”

“A, a, a! begitu selalu kalau diberi tahu. Tugas saya adalah memarahimu! Dan

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 40-43)