• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maryamah Tak Suka Kejutan

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 140-145)

Maryamah Tak Suka Kejutan

AKU tak memberi tahu siapa pun soal kejadian di Pasar Pagi. Pengkhianatan Aziz ia nyatakan sendiri dengan tak lagi muncul di kantor Detektif M. Nur. Ia raib tak tahu rimbanya. Aku makin yakin ketika berjumpa lagi dengan Mitoha. Tanpa tedeng aling- aling ia mendesak.

“Kaubawa ke mana diagram-diagram itu, Boi? Apa itu operasi belalang sembah?” Aku kaget dan tentu saja tak menjawab. Mitoha kesal tapi maklum, bahwa apa yang kami lakukan tidaklah menelikung aturan. Menyelidiki kemampuan lawan merupakan suatu tindakan profesional dan keniscayaan yang mestinya dilakukan setiap pecatur.

Terang benderang semuanya, Mitoha-lah yang telah mengirim orang untuk membuntuti dan merampas tasku. Aku tak berniat memprotesnya aku hanya gamang, tapi juga kagum akan skenario persekongkolannya. Sesungguhnya tempo hari Aziz sengaja dibuatnya kalah secara pahit dan seolah diperlakukan secara tidak adil oleh klub Di Timoer Matahari, dengan tujuan sebenarnya agar dapat disusupkan ke klub kami. Sebuah intrik kelas tinggi yang licik. Mengerikan sekali akibat yang bisa ditimbulkan oleh lima gelas kopi. Aziz berhasil membongkar operasi belalang sembah. Mata-mata yang dimata-matai. Itulah yang telah terjadi pada Detektif M. Nur. Dalam situasi perang dingin ia mengalami suatu keadaan yang disebut sebagai kontraspionase. Lelaki kontet itu gemas bukan buatan.

Aku tengah melamun di ambang jendela waktu Jose Rizal hinggap di kawat jemuran. Kudekati ia dan aku heran melihat gulungan kertas di kedua kakinya, biasanya hanya di kaki kanannya. Kubuka gulungan kertas di kaki kanannya.

Mendapatkan Ikal, kawanku.

Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.

Ttd,

M. Nur, yang menyesal.

Lalu, pesan apakah di kaki kiri Jose Rizal itu? Aku berdebar-debar. Kubuka gulungan pesan itu.

Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.

Ttd,

Jose Rizal, yang menyesal.

Oh, rupanya Detektif M. Nur telah membuat permintaan maaf pula atas nama Jose Rizal. Kedua surat kubalas lewat suatu pesan untuk dua permintaan.

Mendapatkan M. Nur dan Jose Rizal. Usahlah dirisaukan soal itu.

Ttd,

Ikal, yang pemaaf. .

“Dari seluruh diagram yang pernah kau kirim kepadaku, lawan ini yang terbaik,”

kata Nochka mengomentari diagram Matarom.

“Terus terang, Kawan, harap jangan tersinggung, terkejut juga aku mendapat

diagram semacam ini dari kampungmu. Ternyata ada pecatur hebat di sana.” Ia

sisipkan emotion---wajah tersenyum dengan lidah melet.

“Orang ini menyerang dan bertahan sama bagusnya. Teknik pembelaannya lengkap. Teknik pembebasannya efektif. Sejujurnya, secara teknis ia jauh di atas

Maryamah.”

Tubuhku meriang

“Biasanya, ada celah lemah paling 3 langkah jika seorang pecatur mengubah

strateginya. Ini disebut kelemahan momentum. Orang ini sudah profesional, ia mampu mengatasi masalah akibat perubahan momentum strategi itu. Gayanya mirip Grand

Master Ludek Pachman.”

Mulutku rasanya pahit. Dengan lemas kutanyakan apa yang harus dilakukan Maryamah.

“Harapan terletak pada kekuatan sistem bertahan benteng bersusun yang telah ia

kembangkan sendiri itu.”

Belum pernah sebelumnya Grand Master memberi ulasan sepanjang itu.

“Sulit bagiku memberi nasihat teknis untuk menghadapi lawan sekuat finalis ini. Semuanya tergantung pada naluri Maryamah.”

Dalam perjalanan pulang dari Tanjong Pandan, di dalam bus yang sepi aku melamun. Aku menengok ke belakang dan teringat akan perjalananku dulu, ketika pertama kali menghubungi Nochka untuk menanyakan apakah ia bersedia mengajari Maryamah main catur. Aneh sekali semuanya telah berlangsung. Beberapa bulan yang lalu, Maryamah masih tak tahu apa-apa, sekarang bakatnya diakui oleh seorang grand master, bahwa ia bermain seperti Anatoly Karpov. Betapa ajaib perempuan itu. Betapa kuat tekadnya. Terpampang di depanku kini, akibat yang dahsyat dari orang yang tak pernah gamang untuk belajar dari orang yang berani menantang ketidakmungkinan.

Lalu, aku terpana mendapati dunia yang baru kukenal: catur. Telah kulihat bagaimana pecatur menjadi jenderal, menjadi ahli strategi, raja-diraja, budak, atau terpaksa mengambil keputusan tanpa pilihan. Tak ada permainan lain seperti catur, di mana kemenangan dan kekalahan dapat di tawar. Tak ada permainan lain yang dengan secangkir kopi tampak seperti bertunangan. Spirit catur melanda kaum ningrat hingga jelata, hitam dan putih sama saja.

Bagiku catur kadang kala mirip persamaan matematika. Ada semacam konstanta a, yakni nilai tak bergerak, semacam gradien yang mempengaruhi arah pertandingan. Konstanta itu adalah pengetahuan tentang kemampuan lawan. Catur tak sekedar permainan raja palsu dan tentara-tentara yang terbuat dari kayu, namun mengandung perlambang kekuasaan dan alat untuk menghina. Adapula yang hal yang unik semacam Guioco Piano.

Sebuah cerita yang samar sumbernya mengatakan bahwa teknik pembukaan yang dapat dikembangkan menjadi serangan maut itu ditemukan oleh pecatur Sicillia pada awal abad ke-15. Guioco Piano berarti permainan yang tenang. Namun, akibatnya tak seteduh namanya. Penemunya konon terinspirasi pembunuhan yang dilakukan sebuah geng keluarga di Sicillia. Seperti kata Nochka, referensi yang kutemukan menyebut teknik Guioco Piano sangat sulit dikuasai. Jika tak pandai menerapkannya ia akan menjadi semacam senjata back fire. Ditembakkan namun peluru melesat ke belakang, makan tuan.

“Guioco Piano sangat berbahaya,” pesan Nochka dulu pada Maryamah.

Barangkali ibarat ilmu silat, Guioco Piano adalah jurus pamungkas sakti mandraguna yang memerlukan tumbal yang besar untuk menguasainya.

Lalu adakalanya kulihat buah catur sebagai orang yang tersandera, politisi, seniman, komedian, dan spekulan. Di atas papan persegi empat itu telah kusaksikan orang mempertaruhkan martabat dan membakar kesumat. Bagi orang-orang tertentu, Maryamah dan Selamot misalnya, yang selama hidupnya selalu kalah, papan catur bak pusat putaran nasib. Di papan catur Selamot berjumpa lagi dengan Tarub dan Maryamah bertemu lagi

dengan Maksum, Go Kim Pho, Overste Djemalam, dan Matarom, orang-orang yang dengan kebaikan dan keburukannya telah membentuk ia seperti adanya. Di papan catur, Selamot dan Maryamah mendapati kerinduan menemukan penawarnya, utang budi menemukan terima kasihnya, ketidakadilan menemukan timbangannya. Di papan catur, kedua perempuan yang kalah itu menemukan kemenangan demi kemenangan.

Lamunan yang panjang membuatku tak sadar bahwa bus reyot yang kutumpangi telah memasuki gerbang kampung. Di sebuah jalanan yang sepi aku minta berhenti. Aku berjalan melalui padang yang terhampar di sebelah kanan dan gulma yang lebat di sebelah kiri. Di ujung jalan setapak yang panjang itu tampak olehku sebuah rumah berdinding kulit kayu lelak dan beratap daun nanga.

Sunyi senyap. Maryamah yang hidup sendiri setelah ibunya meninggal sedang menyapu pekarangan waktu aku tiba. Kami duduk di beranda. Kusampaikan padanya diagram-diagram catur instruksi dari Nochka untuk menghadapi Matarom, dan kusampaikan pula ucapan selamat dari sang Grand Master atas keberhasilannya masuk final. Juga kukatakan bahwa akan ada kejutan, seorang sahabat yang jauh akan datang untuk menyaksikan pertandingan final itu.

Maryamah senang, namun ia mendesakku untuk memberi tahu siapa orang itu. Katanya, ia tak suka kejutan. Ia mendadak diam dan memandangi sebuah sepeda yang tersandar di sudut ruang tengah rumah. Lalu ia berkisah padaku tentang hadiah kejutan ayahnya untuk ibunya dulu, pada hari ayahnya meninggal. Ia menatapku.

“Aku ingin memenangkan pertandingan final itu, Boi,” suaranya berat. Ia tampak

tak sabar ingin mengakhiri perjalanan epiknya dari seorang pecatur yang dipandang sebelah mata ke puncak kejuaraan.

“Aku harus menang.”

Aku pulang dari rumah Maryamah dengan lamunan yang makin panjang. Orang yang tak mengenal Maryamah secara mendalam takkan dapat memahami alasan dan langkah yang ia ambil untuk menegakkan harga dirinya. Melalui Maryamah, aku belajar menaruh hormat pada orang yang menegakkan martabatnya dengan cara membuktikan dirinya sendiri, bukan dengan membangun pikiran negatif tentang orang lain. Lalu aku berpikir, seumpama catur, hidup sedikit banyak bak reaksi atas pilihan sulit yang silih berganti mem-fait accompli manusia, dan alasan selalu lebih mudah dilupakan ketimbang akibat.

Selanjutnya, kulalui hari demi hari dengan dada bergemuruh menunggu pertandingan final. Kadang kala terasa cepat, dan kadang kala rasanya amat lambat. Keduanya bermuara pada siksaan. Malam sebelum pertandingan sama sekali tak dapat tidur. Jose Rizal hinggap di beranda rumahku.

Boi, apa pun yang akan terjadi besok, bagiku Maryamah sudah menang. Membayangkan Maryamah menjadi juara membuatku ingin menangis. Terima kasih telah mengajakku dan Jose Rizal dalam petualangan yang luar biasa ini.

Sahabatmu selalu M. Nur dan Jose Rizal

Mozaik 45

Indonesia Raya

UMBUL-UMBUL telah dipasang di kiri-kanan jalan menuju Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi. Masyarakat berduyun-duyun ingin menyaksikan pertandingan final catur yang istimewa, bukan hanya karena perempuan melawan lelaki, dan lelaki itu adalah kampiun catur tiada tara sekaligus mantan suaminya, tapi juga sejak memakzulkan Overste Djemalam, reputasi Maryamah meroket. Sekarang ia dianggap pecatur kelas atas yang karismatik. Berminggu-minggu ia telah diremehkan di warung-warung kopi, sekarang tak sesuku kata pun lelaki Melayu yang banyak omong itu berani menafikannya.

Di arena catur tahun ini perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus benar-benar terasa. Kaum perempuan pedagang kecil yang berunjuk rasa untuk mendukung pendaftaran Maryamah tempo hari tiba dalam satu rombongan besar yang meriah. Juragan-juragan toko Tionghoa bergabung dengan orang-orang Sawang, Melayu, dan orang-orang bersarung serta juragan-juragan perahu mereka. Semuanya ingin menyaksikan seorang perempuan yang digembar-gemborkan sangat lihai main catur. Para penonton penggemar klenik juga sangat banyak. Mereka tak paham catur, tapi ingin melihat papan catur perak yang magis itu. Mereka hadir dari pelosok pulau dalam pakaian serbahitam.

Mitoha secara resmi telah meminta pada Modin untuk memakai papan catur perak Matarom pada laga final. Tentu saja karena ia ingin menjatuhkan mental Maryamah dengan segala kabar ilmu hitam dan fakta bahwa Matarom tak pernah terkalahkan jika berlaga dengan papan itu. Modin menyarankan agar kami menerima permintaan Mitoha, sebab ia dan golongan Islam garis kerasnya ingin sekali membasmi praktik klenik di kampung. Jika Maryamah menang, segala teori pendukunan otomatis akan patah. Kami sepaham Modin.

Penonton kian berjubel. Yang tak dapat menyisipkan diri di antara kerumunan duduk berdempet-dempet di pagar serambi. Untuk mengantisipasi kericuhan, Sersan Kepala minta bantuan petugas penertiban pamong praja. Sehelai selendang merah dibentangkan di atas meja tanding untuk menghalangi pandangan kedua pecatur yang tadinya suami-istri, tapi sekarang bukan muhrim itu.

Matarom, pemegang sabuk juara bertahan, datang bersama Mitoha dan Master Nasional Abu Syafaat. Ia langsung duduk di tempatnya. Dinyalakannya cangklong diisapnya, dan didiamkannya asap berkelana sebentar di dalam mulutnya, lalu disertai tepuk tangan pendukungnya, diembuskannya asap cangklong itu. Semua itu---sikap

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 140-145)