• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telah Banyak Mendengar Lagu Barat

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 60-63)

Telah Banyak Mendengar Lagu Barat

DITERIMANYA Maryamah untuk bertanding membuat kampung menjadi lebih gembira. Keceriaan tampak pada wajah setiap perempuan, tak terkatakan, sulit dilukiskan. Namun, hatiku dilanda kecemasan yang baru, mampukah Maryamah bertanding melawan para pecatur lelaki yang berpengalaman?

Pada hari pendaftaran, Mitoha dan sekondannya sudah bercokol di warung kopi.

“Sepuluh langkah, cukup beri aku sepuluh langkah, Maryamah bakal tewas,”

gertaknya. Selamot terpancing.

“Bicaralah sesukamu, Ha, kami mau mendaftarkan Maryamah.”

“Aih, kau rupanya, Mot. Sudah kubilang, pecatur itu bukan sembarang. Harus punya klub, harus punya manajer. Na, kau, tahu apa?

Kami tak mau meladeninya. Melihatku ia makin jengkel.

“Kau pula, Ikal, ini pasti ulahmu. Perempuan main catur lawan lelaki? Itulah

akibatnya kalau terlalu banyak mendengar lagu Barat!” Sekondannya terbahak-bahak.

“Kita tengok saja nanti, siapa yang terjungkal!” cetus Selamot.

Mitoha marah ditantang begitu rupa. Pertengkaran model tukang minyak yang dulu tak selesai di kantor desa berlanjut di warung kopi.

“Kusarankan kau ke toko Lim Phok, Mot, di sana ada benda namanya minyak kesturi, biar tak bau ayam badanmu.”

Keterlaluan, ini sudah menyangkut pribadi. Selamot naik pitam.

“Kusarankan kau ke Manggar, Ha, di sana ada benda namanya SMP, untuk menyekolahkan mulut bacarmu itu!”

Giliran pendukung kami terpingkal-pingkal. Muka Mitoha merah. Karena emosi, Selamot bergegas menuju papan tulis, namun di muka papan itu ia tertegun. Ia baru sadar bahwa ia tak pandai menulis. Tawa sekondan Mitoha meledak lagi. Detektif M. Nur bertindak menyelamatkan harga diri Selamot. Ia mengambil kapur dari tangannya. Napas kami tertahan melihatnya mengukir satu per satu, pelan dan penuh perasaan, huruf demi huruf yang mengukir sejarah:

Itulah perempuan pertama yang bertanding melawan lelaki dalam pertandingan catur peringatan hari kemerdekaan di kampung kami. Sebagian orang bertepuk tangan dengan meriah menyambutnya. Sebagian meremehkan dengan mengatakan perempuan itu akan tumbang pada papan pertama di pertandingan yang paling mula.

Aku sendiri tak dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Berpuluh tahun, dari generasi ke generasi, catur hanya dikuasai lelaki sehingga begitu banyak lelaki Melayu piawai main catur. Akan mampukah Maryamah dan Grand Master Ninochka Stronovsky berbuat sesuatu untuk menghadapi mereka? Sementara ini aku hanya terharu melihat nama itu pada urutan terakhir, seakan menantang berpuluh-puluh lelaki di atasnya.

Mitoha makin jengkel.

“Aih, Maryamah, pecatur amatiran saja. Tak punya klub, tak pula punya manajer.”

Selamot membisikiku.

“Boi, apa artinya manajer?”

Aku bingung, tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Selamot tak sabar.

“Kalian dengar semua. Ini aku, Selamot, orang Bitun, akulah yang akan menjadi manajer Maryamah!”

Orang-orang tertawa lagi karena dari cara mengucapkannya, kentara benar seumur hidupnya kata manajer baru sekali itu meluncur dari mulutnya. Mitoha tak mau kalah.

“Kalau kau manajernya, lalu apa klub catur kalian? Apa pecaturmu liar saja?”

Selamot tertegun seperti tadi di muka papan tulis. Ia berpikir keras. Ia menolak harga dirinya diinjak-injak. Lalu ia tersenyum riang.

“Nama klub catur kami adalah, Kemenangan Rakyat adalah Kebahagiaan Kita Semua! Itulah nama klub catur kami, kalau kau mau tahu!”

Seribu Lima Ratus Perak

Kutengok di televisi

Kebenaran di Jakarta mahal sekali Para koruptor pintar sembunyi

Padahal nyata-nyata, mereka telah mencuri Kawan, di kampung kami

Kebenaran harganya hanya seribu lima ratus perak Warnanya hitam, tergenang di dalam gelas, saban pagi

Mozaik 23

Buku Besar Peminum Kopi

ORANG Melayu, meskipun tidak modern, paham benar kopi sebagai social drink. Maka, bagi kami, jika ada orang yang minum kopi untuk mengatasi rasa haus, ijazahnya harus diterawang di bawah sinar matahari. Besar kemungkinan ia telah menggelapkan wesel dari ibunya. Dikirimi duit untuk kuliah tapi dipakainya untuk berleha-leha saja di Jogja. Ijazah-ijazahnya pasti palsu.

Kopi mengatasi rasa haus dalam bentuk yang lain. Haus ingin bicara, haus ingin mendengar, dan ingin didengar. Karena itu, orang Melayu menyeduh kopi selalu dengan air mendidih. Adakalanya, air itu masih bergolak di dalam gelas, persis seperti tadi meluap di dalam panci. Tujuannya agar obrolan menjadi lama. Lantaran diperlukan waktu yang tak sebentar sampai kopi itu mencapai tingkat hangat yang wajar untuk diminum. Pernah seorang Belanda yang tak paham hal itu bertandang ke rumah seorang Melayu. Dihidangkan kopi, di seruput saja. Lidahnya melepuh. Ia melolong- lolong: hot hot hot hot hot. Konon ia sampai dilarikan ke rumah sakit.

Saat menunggu untuk minum kopi, secara teknis hal itu dapat dikatakan dengan cara seperti in: saat kopi yang mendidih tadi perlahan-lahan menjadi hangat, adalah saat kesusahan yang mendidih dibagi di antara mereka. Kesusahan itu lalu larut dalam setiap hirupan kopi yang menghangatkan hati, dan hidup menjadi lebih tertanggungkan.

Di warung kopi kesusahan tadi dibagi pada orang yang lebih banyak sehingga makin terasa ringan. Beragam kisah telah kudengar di warung kopi dan aku makin tertarik dengan hipotesis-hipotesisku sendiri.

Catatan pengalamanku di dalam Buku Besar Peminum Kopi semakin menggairahkan. Seiring dengan makin dalamnya penelitianku tentang tabiat orang, semakin aku menganggap buku itu bernilai. Mimpiku untuk buku itu tak kalah dengan mimpi Detektif untuk burung merpatinya. Buku itu kuanggap semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami. Sehingga, jika sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memunahkan dinosaurus, kuharap bukuku itu selamat dan dari buku itu generasi

mendatang dapat men-clone, menciptakan lagi masyarakat Melayu seperti adanya sekarang di kampungku. Hebat luar biasa, menjadi seorang pemimpi sungguh tak terperikan hebatnya.

Namun, mimpi itu hanya akan terwujud jika aku paham ilmu budaya. Maka, kubuka lagi buku-buku lamaku waktu kuliah dulu. Kubuka lembar-lembar teori Doktor

Dalam dokumen Cinta di Dalam Gelas (Halaman 60-63)