1 Pe rsp e ktif Ha k Asa si Ma nusia
2
[M.M. Billah]
suci, pemahaman hidup, dan penyelamatan dari
masalah keberadaan manusia. Kebudayaan dipandang sebagai model
Agama, dalam sosiologi, ditakrifkan lewat pengetahuan yang bukan saja menyediakan dua pendekatan. Pertama, agama ditakrifkan peluang akan tetapi sekaligus juga batas-batas dalam fungsi sosialnya sebagai sebuah sistem yang melingkupi, mengatur, membatasi kelakuan keyakinan dan upacara (rituals) dengan mengacu dan tindakan anggotanya -- yang sampai derajat kepada yang suci yang mengikat orang bersama ke tertentu memiliki kebebasan bertindak-- untuk dalam kelompok sosial, sebagaimana yang menjamin keberlanjutan dan tatanan kehidupan
6
bersama. Setiap individu anggota masyarakat dikemukakan oleh Durkheim (1912). Agama,
(komunitas) mengalami proses sosialisasi seraya dalam pendekatan kedua, ditakrifkan sebagai
membatinkan nilai-nilai yang terdapat di dalam setiap rangkaian jawaban yang koheren pada
masyarakat ke dalam dirinya. Akan tetapi setiap dilema keberadaan manusia kelahiran, kesakitan
individu di dalam masyarakat dapat pula bukan atau kematian yang membuat dunia bermakna,
hanya membatinkan nilai-nilai yang berlaku, sebagaimana pendapat Max Weber dan ahli
melainkan bisa saja menolaknya (setidaknya teologi Paul Tillich [Abercrombie et.al.,
7
sebagian dari nilai-nilai yang disediakan oleh 1970:207]. Agama, oleh Marx, dimasukkan ke
kebudayaan) dan menggantikannya dengan nilai- dalam ideologi dalam arti yang lebih luas, yang
nilai lain yang dilihat dan dipelajarinya dari juga mencakup ide-ide seperti 'sisi kebaikan' dari
kelompok-kelompok eksternal atau dari luar persaingan dalam sistem kapitalis [Marx dan
masyarakat dan komunitasnya sendiri, terutama Engels 1939 (1845-6); Bloch, 1989]. Pendekatan
ketika individu masuk ke dalam ruang yang di sosiologis itu memiliki implikasi yang berbeda
8 dalamnya terdapat beragam agama yang saling
dengan praktik empiris di Indonesia yang
berinteraksi. Berkenaan dengan hubungan antara memperlakukan agama sebagai sebagai sistem
masyarakat dan individu ini terdapat empat model kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci,
(pandangan), yakni: dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas,
(i) model Weberian, yang berpendapat bahwa mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab
9 masyarakat dilihat sebagai hasil dari
suci. Akibatnya agama-agama lokal yang
tindakan bebas manusia yang mempunyai dipraktikkan dan banyak pula pemeluknya di
tujuan dan bermakna; Indonesia tidak diakui sebagai agama, dan oleh
(ii) model Durkheimian, yang melihat karena itu pengikutnya mendapat perlakukan yang
masyarakat sebagai yang memiliki bersifat diskriminatif, terutama dari (aparat)
10 kehidupannya sendiri, yang bersifat
negara.
eksternal dan memaksa individu anggotya- anggotanya;
(Iii) model Bergerian, yang menyatakan
Agama dalam kebudayaan masyarakat
6
.Dalam arti ini, beberapa ahli sosiologi telah memperluas pemikiran tentang agama seraya memasukkan nasionalisme. Perspektif mutakhir ini dikritik karena amat inklusif, karena hampir setiap kegiatan publik sepak bola, misalnya bisa memiliki akibat integratif bagi kelompok sosial.
7
.Dalam arti ini, agama pada akhirnya adalah tanggapan manusia pada barang-barang yang menjadi kepedulian mereka. Implikasi dari takrif ini adalah bahwa semua manusia adalah religius, karena semua manusia dihadapkan pada masalah eksistensial dari penyakit, menua dan kematian.
8
.Pemerintah dan para pejabat Indonesia seringkali dikutip sebagai yang memberikan takrif berbeda dengan takrif yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintahadalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budhisme [cf. Sitompul,2005].
9
.Sesungguhnya, ada pendapat bahwa keimanan dan keberagamaan seseorang itu tidak memerlukan pengakuan resmi dari negara, dan dianggap sebagai ihwal pribadi. Keimanan, keberagamaan, dan keyakinan itu terletak di dalam 'hati' atau 'jiwa' (internal) seseorang, yang merupakan
'forum internum' yang sama sekali tidak bisa diagnggu-gugat oleh siapapun, termasuk oleh negara, dan dalam perspektif hak asasi manusia diperlakukan sebagai hak yang bersifat 'non-derogable' (lihat uraian selanjutnya). Lihat uraian selanjutnya.
10
.Perlakuan diskriminatif dari (aparat) negara atas pengikut agama dan kepercayaan lokal serta selain kelima agama yang 'dianggap diakui' itu misalnya terjadi dalam pemenuhan hak sipil para pengikut agama-agama lokal dan aliran kepercayaan (dipaksanya menyebut agama lain yang 'diakui' di dalam KTP, meski sebenarnya tidak memeluk agama yang 'diakui' itu, hak untuk dicatatkan di dalam catatan sipil atau KUA ketika yang bersangkutan melakukan pernikahan, dan ketika anak mereka lahir dari pernikahan itu).
bahwa masyarakat membentuk individu perjalanannya yang panjang. Seorang muslim yang menciptakan masyarakat, atau dengan yang taat, misalnya, dalam kehidupan seseharinya kata lain masyarakat menghasilkan sama sekali tidak akan memakan daging babi, individu yang meproduksikan masyarakat meskipun daging itu telah diolah secara hiegenis d i d a l a m d i a l e k t i k a y a n g dan dibumbui dengan rempah-rempah sehingga berkesinambungan; dan aromanya mengundang selera makan, karena yang (iv) individu tidak menciptakan masyarakat, bersangkutan percaya dan memegang teguh ajaran melainkan masyarakat dipandang sebagai agamanya yang mengharamkan daging babi. Atau, suatu jaringan struktur, praktik dan dari segi moral ideal, seorang muslim yang saleh kebiasaan yang direproduksi atau tidak akan membelanjakan uangnya secara boros ditransformasi oleh individu, yang tidak dan berlebihan ketika tetangganya kelaparan dan akan ada tanpa reproduksi dari individu; anak tetangga di samping rumahnya menderita pendek kata masyarakat tidak berada secara kurang gizi; dan ia rela tidak melaksanakan apa independen dari kegiatan manusia, akan yang oleh arus utama dianggap sebagai rukun tetapi juga bukan sekedar hasil dari kegiatan Islam yang kelima, yakni pergi haji ke tanah suci manusia [Bhaskar,1989:31-7]. Mekah, ketika orang-orang di sekitarnya tidak bisa menanak nasi karena tidak bisa membeli beras Agama, di dalam ilmu-ilmu sosial, untuk ditanak dan minyak tanah untuk diletakkan di dalam ranah kebudayaan sebagai memasaknya sebagaimana dikatakan oleh seorang sistem keyakinan yang menyediakan model sufi --. Atau, seorang muslim yang mendaku pengetahuan (di dalamnya antara lain berisi nilai- berbudi-luhur (akhlaq 'l kariemah) dengan nilai, moralitas, dan etika) yang dipergunakan oleh sungguh-sungguh akan berupaya menghentikan pemeluknya untuk (i) menafsirkan realitas (sosial, tindak kekerasan, seperti menghujat, memukul, budaya, politik, ekonomi) dan dipergunakan (ii) dan melukai orang lain seraya merusak masjid dan sebagai pedoman tingkah-laku atau tindakan gereja atau tempat ibadah yang disucikan dan harta sehari-hari yang bersangkutan dalam kehidupan benda milik liyan, dengan tangannya, atau dengan
11
masyarakat, dan juga sebagai rambu-rambu yang lisannya, atau setidak-tidaknya dengan hatinya, dipatuhi ketika berinteraksi dengan kelompok atau karena ia sadar bahwa menolak tindakan komunitas yang berbeda agama. Setiap individu kekerasan melawan hukum seperti itu termasuk di anggota masyarakat di dalam sistem kebudayaan dalam kategori tindakan 'nahi mungkar'
itu membatinkan agama sebagai model (mencegah kerusakan) yang dianggap sebagai p e n g e t a h u a n k e d a l a m d i r i n y a , d a n salah satu ungkapan atau bentuk ibadah.
menjadikannya sebagai perangkat untuk memberikan tafsirannya atas realitas sosial, seraya
pempergunakannya sebagai acuan untuk Agama dalam perspektif HAM
melakukan tindakan atau tidak melakukan
' A g a m a ' t i d a k d i b e r i t a k r i f tindakan di dalam kehidupan seseharinya. Pendek
(batasan/definisi) yang eksplisit dan ketat di dalam kata agama kemudian ditransformasikan dan
berbagai dokumen internasional hak asasi diungkapkan ke dalam tingkah-laku nyata ketika 12
manusia, setidaknya karena dua sebab. Pertama, individu itu menghadapi situasi dan peristiwa
pemikiran tentang 'agama' itu sulit diperikan nyata sesehari yang ada di hadapannya. Dilihat
dalam rumusan-legal, dan kedua, tidak adanya dari sudut ini, maka individu tidak bisa lepas dan
takrif itu digunakan untuk menghindari melepaskan diri dari sistem keyakinan yang dianut
kontroversi filosofis dan ideologis. Meskipun atau agama yang dipeluknya yang disediakan oleh
demikian, di bawah judul yang disepakati yaitu masyarakat dan yang telah dibatinkannya lewat
'kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama proses pembatinan dan sosialisasi di dalam
atau berkeyakinan,' hukum hak asasi manusia
11
.Nabi Muhammad mengajarkan kurang lebih bahwa: 'Jika engkau melihat kemungkaran, maka perbaikilah dengan tanganmu, kalau tidak bisa, dengan lidahmu, dan kalau tidak bisa, dengan hatimu; sesungguhnya inilah selemah-lemahnya iman' (Hadits).
12
.Ketiadaan definisi legal formal dari agama bakan juga dapat ditemukan di dalam sistem legal sejumlah negara. Sistem legal Perancis tidak menyatakan secara eksplisit definisi agama, sehingga pada praktiknya hakimlah yang menentukan di pengadilan [Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State
internasional memiliki sebuah katalog tentang hak dan alat-alat yang digunakan untuk melindungi
hak-hak itu. Lebih lanjut, kebanyakan kaidah Hak atas Kebebasan Beragama
internasional yang dikembangkan dipergunakan
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi untuk melindungi pengejawantahan atau
Manusia menyatakan bahwa: 'All human being are
ungkapan (ekspresi) dari kebebasan beragama
born free and equal in dignity and rights. They are
atau berkeyakinan [Lerner,2004:65]. Dengan
endowed with reason and conscience and should
demikian, di dalam perspektif HAM dikenal dua
act towards one another in a spirit of brotherhood,'
aras hak dalam kaitannya dengan agama, yakni
dan Pasal 3 (1) UU No. 39/1999 mengemukakan pertama, hak atas kebebasan beragama yang
bahwa: 'Setiap orang dilahirkan bebas dengan
bersifat non-derogable, dalam arti bahwa hak ini
harkat dan martabat manusia yang sama dan
sama sekali tidak bisa dibatasi, dikurangi atau
sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani
ditangguhkan dalam keadaan apapun oleh
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
siapapun; dan kedua, hak setiap orang atas 13
bernegara dalam semangat persaudaraan'.
kebebasan untuk mengekspresikan atau
Itulah tuntutan dan ketentuan normatif hukum hak mengejawantahkan agama dan keyakinannya
asasi manusia internasional dan hukum positif dalam situasi nyata yang dianggap dan
Indonesia berkenaan dengan hak atas kebebasan diperlakukan sebagai hak yang bersifat derogable,
beragama. Pandangan normatif dari perspektif hak dalam arti dapat diatur, dibatasi, dan dikurangi;
asasi manusia itu ternyata tidak selalu sejalan hanya saja pengaturan dan pembatasan itu hanya
dengan pandangan teoritis dan praktik empiris, di boleh dilakukan dengan undang-undang jika
mana setiap orang dianggap berada dan hidup di dianggap perlu untuk menjaga dan memelihara
dalam suatu masyarakat yang memiliki peradaban keamanan, ketertiban, kesehatan, dan moral
dan kebudayaan tertentu yang berbeda dari satu publik, serta hak dasar dan kebebasan liyan (public
kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat
safety, order, health, morals, and the fundamental 14
lain. 'Kebebasan beragama' adalah kata kunci
rights and freedom of others), dalam masyarakat
dalam pokok hak asasi manusia. demokratis [Lindholm et.al.,2004].
and Church in France,” dalam Robbers, State and Church in the European Union, 123.]. Di Belanda, tidak satupun Kode Sipil atau legislasi apapun yang menyatakan definisi atas sebuah 'gereja' (agama) [Sophie C. van Bijsterveeld, “State and Church in Netherlands,” dalam Robbers, State and Church in European Union, 217]. Di Spanyol, Organic Law of Religious Freedom juga tidak menyediakan definisi legal tentang apa yang bisa disebut sebagai sebuah gereja atau denominasi [Rosa Maria Martinez de Codes, 'The Contemporary Form of Registering Religious Entities in Spain,” Brigham Young University Law Review (1998):379]. Ahli Amerika Michael Ariens dan Robert Destro mencatat bahwa di AS, Mahkamah tidak memberikan definisi konstitusional terhadap agama [Ariens and Destro, Religious Liberty in a Pluralistic Society, 947] lebih lanjut lihat Podoprigora, Roman, Freedom of Religion and Belief and Discretionary State Approval of Religious Activity, dalam Lindholm et.al., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desk Book, Leiden, Martinus Nijhoff Publisher, 2004.
13
.Rumusan UU No. 39/1999 ini menyertakan istilah 'bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara' yang kalau dilisankan berada dalam satu tarikan nafas tampaknya mewakili pandangan yang 'menyatukan' antara bangsa dan negara seolah-olah keduanya tidak bisa dipilah dan dipisahkan di dalam praktik hidup sesehari.
14
.Makna kata kunci itu perlu dikemukakan secara singkat dengan takrif untuk menghindari tafsiran yang berbeda dengan apa yang saya maksudkan guna mencegah kekacauan yang tidak perlu terjadi. Takrif (definisi/batasan) memiliki berbagai pengertian leksikal, akan tetapi secara singkat dapat dikatakan bahwa takrif adalah rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau kajian [lihat: Victoria Neufeldt and David B. Guralnik, Webster's New World Dictionary of American English, Cleveland & New York, Webster's New World, 1988, p. 362; AS Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, London & Tokyo, Oxford University Press, 1974, p. 228; Hugo F. Reading, Dictionary of Social Science (Kamus Ilmu-ilmu Sosial), Jakarta, Penerbit CV Rajawali, 1986, p. 107; Lukman Ali (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, p. 993.]. Arti penting takrif ini, disamping untuk menghindari kekacauan yang bisa saja terjadi, juga ditunjukkan di dalam sosiologi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh paradigma di dalamnya yang disebut sebagai paradigma 'definisi situasi' [lihat: Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston, Allyn and Bacon, 1975a; juga Ritzer, 'Sociology: A Multiple Paradigm Science, American Sociologist 10: 156-167]. 'Definisi situasi' adalah proses sosial-psikologikal di mana seorang individu menguji dan mengevaluasi sebuah situasi sebelum menentukan sikap dan kelakukan apa yang dianggap pas (appropriate). Cara seorang individu menafsirkan sebuah obyek terberi atau rangkaian keadaan dan makna yang dimilikinya baginya adalah sebagian besar ditentukan oleh kebudayaannya, khususnya nilai-nilai dan kaidah sosial [George A. Theodorson and Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969, pp. 104-5]. Pentingnya perspektif subyektif dari pelaku sosial bagi akibat obyektif dari interaksi sosial seringkali diringkas di dalam sosiologi dengan pemikiran atas 'definisi situasi'. Istilah itu pertama kali digunakan oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki di dalam The Polish Peasant in Europe and America (Vol. I, University of Chicago Press, Chicago, 1918). Thomas menspesifikasikannya di dalam suatuaphorisme yang terkenal 'if men define situations as real, they are real in their consequences'. Satu implikasi dari pandangan sosiologis ini adalah bahwa, bagi sosiologi, kebenaran atau kesalahan dari keyakinan ('definisi situasi') bukanlah isu yang penting; apa yang penting adalah hasil (outcome) dari interaksi sosial. Jadi, jika suatu kelompok minoritas tertentu dianggap
15
secara keseluruhan oleh faktor yang melampaui 'Kebebasan' atau kemerdekaan adalah
17
nilai utama dalam kehidupan politik Eropa yang kendalinya. Akan tetapi orang (pelaku tindak
16
sosial), menurut ilmu-ilmu sosial, tidak berada di senantiasa diagung-agungkan sekalipun tidak
dalam suatu ruang hampa, melainkan berada di selamanya dipraktekkan. Arti penting kebebasan
dalam suatu struktur kebudayaan, dan bahkan ia ini dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur
merupakan suatu produk dari suatu rangkaian hak-hak orang merdeka dan budak, di mana setiap
fisiologikal, psikologikal, sosial, dan budaya yang orang yang tidak memiliki kebebasan, praktis
rumit. Individu adalah suatu entitas yang unik tidak memiliki tempat di mata hukum. Prinsip ini
yang berhadapan dengan berbagai pilihan yang pula yang digunakan sebagai ukuran Eropa untuk
beragam, dan yang secara partial di bawah menilai masyarakat sipil di wilayah lain terutama
kendalinya. Pendek kata struktur di luar individu Asia, dan dari hal itulah sering terjadi
itu dianggap memberikan kebebasan dan pertentangan [Minogue,1989]. Di belakang
sekaligus juga batas-batas di mana tindakan konsep 'kebebasan' (kemampuan untuk bertindak)
ditentukan dan dilaksanakan, lewat kaidah sosial, itu terdapat gagasan tentang 'kebebasan kehendak'
nilai-nilai, sanksi, harapan peran, dan sebagainya.
('free-will'), yaitu suatu ajaran yang menyatakan
18
bahwa dalam menentukan tindakannya individu Salah satu arti leksikal dari 'kebebasan' memiliki kebebasan memilih, dan bahwa adalah satu kemampuan untuk bertindak, kelakuannya tidaklah ditentukan sebelumnya bergerak, dan untuk menggunakan, tanpa
sebagai 'suatu ancaman bagi masyarakat', maka akan ada akibat obyektif yang utama pemakzulan, intimidasi, pengusiran -- bahkan jika kelompok minoritas bukanlah satu ancaman nyata pada tatanan (ketertiban) sosial. Pendekatan pada apa yang oleh Thomas disebut 'analisis situasional' ini memiliki pengaruh pada kajian-kajian berikutnya dari kondisi bagi interaksi yang mantap dan pengambilan-peran (role-taking) di dalam interaksionisme simbolik dan ethnometodologi [McHugh, P., Defining the Situation: The organization of meaning
in social interaction, Indianapolis, Bobbs-Merril, 1968.]
15
.Konsep elutheria di kalangan penduduk Yunani kuno hanya dimiliki oleh pria dewasa sehingga hanya mereka pula yang memiliki tempat dalam kehidupan publik atau agora. Bagi bangsa Romawi kuno kebebasan dijelmakan sebagai konsepsi libertas yang menjadi kunci status atau martabat seseorang. Aturan tentang kebebasan atau kemerdekaan bangsa Romawi kuno tersebut dinyatakan dalam konstitusi mereka yang juga dijadikan sumber motivasi selama berabad-abad dalam menaklukkan bangsa lain. Ketika para tokoh humanis sipil di Italia pada abad pertengahan mulai memunculkan ide republik, Julius Caesar tampil sebagai tokoh utama dalam membela konsepsi kebebasan kuno yang menempatkan bangsa Romawi sebagai penguasa [lihat: Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia, London & New York, Routledge & Keagan Paul, 1989, pp.314-5].
16
.Pada awal zaman modern di Eropa, konsepsi kebebasan menjadi pokok pertentangan antara lembaga-lembaga monarki dan tradisi republik yang mulai muncul di masa itu. Masing-masing pihak memiliki penafsiran sendiri tentang makna kebebasan. Bagi mereka yang mendukung monarki, kebebasan hanya berlaku dalam kehidupan pribadi namun tidak dalam kehidupan publik. Sementara itu bagi para ilmuwan politik seperti Thomas Hobbes, kebebasan adalah mutlak, roh hukum, dan harus dimiliki oleh setiap individu. Dari pemikiran ini berkembanglah paham individualisme yang menyatakan bahwa setiap individu berhak mengejar kepentingannya sendiri. Kalangan yang mendukung ide-ide republik mengutamakan aspek moral kebebasan yang mereka artikan sebagai peluang bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Tokoh-tokohnya banyak bermunculan di Perancis khususnya setelah terjadinya revolusi. Sejak zaman Montesquieu para ilmuwan menilai kebebasan modern sebagai individualisme yang agak berbeda dengan kebebasan sipil yang diagungkan pada masa-masa sebelumnya. Namun gagasan perlunya partisipasi bagi semua pihak tidak pernah terlepas dari pemikiran politik Eropa sejak saat itu [Kuper & Kuper,1989:314-5].
17
.Ilmu-ilmu sosial pada umumnya melihat kelakuan manusia dengan pendekatan deterministik dalam arti bahwa kelakuan individu itu disebabkan oleh faktor-faktor budaya, sosial, psikologikal, dan fisiologikal, yang biasanya dianggap melampaui pengendalian individual. Pandangan ini seringkali dianut sebagai suatu sangkalan atas kemungkinan dari kemauan bebas. Lebih lanjut, kebudayaan secara partikular seringkali dilihat terutama sebagai bersifat membatasi kebebasan individual, membatasi kebebasannya untuk bertindak lewat kaidah sosial, nilai-nilai, sanksi, harapan peran, dsb. Tetapi, kebudayaan dikenal dapat menyediakan kebebasan kepada orang dan juga pembatasan. Selain itu ilmu-ilmu sosial memberikan ruangan bagi satu konsepsi yang termodifikasi dari kehendak bebas. Kebudayaan menyediakan konsepsi kebebasan yang awal kepada orang, oleh karena tanpa kebudayaan orang tidak memiliki pemikiran atau aspirasi. Kebudayaan juga menyediakan pilihan-pilihan kepada orang. Orang (individu), karena sifatnya yang luwes dan kekayaan ragam dari setiap kebudayaan, memiliki lorong pilihan tindakan yang terbuka baginya. Sebagai tambahan, kehidupan budaya, sosial, dan psikologikal adalah amat rumit sehingga kekakuan dan stabilitas kaidah sosial, dan satu jenis struktur kepribadian tertentu dapat membuat tindakan manusia tidak otomatis dan sederhana. Setiap kombinasi pengalaman kehidupan tertentu individu adalah unik. Pada satu titik waktu, diri (self) individu berada sebagai satu satuan dengan kekuasaan bertindak sesuai dengan kehendak dan hasrat pribadi. Individu, selain sebagai produk dari satu rangkaian anasir fisiologikal, psikologikal, sosial, dan budaya yang rumit, juga berada sebagai entitas yang unik yang berhadapan dengan satu pilihan atas beragam tindakan. Jadi kemauan bebas dari satu titik pandang sosiologis bisa jadi dilihat sebagai kemungkinan untuk menyesuaikan pada motivasi dalam (inner motivation) daripada tekanan eksternal yang segera dihadapi di dalam memilih antara beragam pilihan yang disediakan oleh kebudayaan. Semua masyarakat dan kelompok beranggapan bahwa kelakuan individual berada di bawah kendalinya, paling tidak secara partial. Tanpa anggapan atas kehendak bebas di dalam harapan sosial kita, kehidupan sosial barangkali akan menjadi tidak mungkin. Kehidupan sosial menuntut keaslian (originalitas) dan individualitas, juga prediktabilitas dan konformitas [Theodorson & Theodorson, 1969:161-2].
18
hambatan atau penolakan [Neufeldt & Guralnik, mengungkapkan pendapat sendiri di depan umum 1974:349]. Dalam kamus filsafat, 'kebebasan (kebebasan berbicara, kebebasan pers) ditakrifkan sebagai 'kualitas tidak adanya [Bagus,2000:407-8].
rintangan nasib, keharusan, atau keadaan di dalam Takrif tersebut di atas kurang lebih sama
19
dengan takrif dalam perspektif HAM, yang keputusan atau tindakan seseorang.' Di balik
menyatakan 'kebebasan' sebagai 'kekuasaan atau takrif yang disebut belakangan ini terkandung
20
kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan berbagai pengertian tentang 'kebebasan,' selain
kendala (hambatan); kekuasaan untuk memilih berbagai jenis kebebasan, yaitu: (i) kebebasan
21 22 tindakan seseorang vis-a-vis negara', yang
fisik; (ii) kebebasan moral; (iii) kebebasan
2 3 2 4 seringkali dilihat di dalam arti 'kebebasan dasar'
psikologis; (iv) kebebasan intelejibel.
25
('fundamental freedom'), yang menunjukkan
Berkenaan dengan obyek (dari kebebasan) dikenal
suatu kebebasan yang sangat dibutuhkan secara pula tiga kebebasan, yakni: (i) kebebasan hati
mutlak bagi pemeliharaan dan perlindungan atas nurani, yang mengikuti suara hati sendiri tanpa
martabat manusia di dalam masyarakat yang hambatan; (ii) kebebasan beragama (yang
terorganisasikan sebagai satu jenis perlindungan merupakan bagian dari kebebasan hati nurani) dan