• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. TASAWUF DAN TAREKAT

3. Amalan–amalan TQN

= Panah yang dituju menunjukkan silsilah dari guru mursyid ke murid

3. Amalan-amalan

Semua tarekat pasti menggunakan dasar utama al-Quran dan Hadis. Karena dua dasar utama tersebut merupakan dasar agama Islam. Selain menggunakan dasar al-Quran dan Hadis, juga didasarkan pada perkataan ulama al-Ârifîn dari kalangan salaf al-Shâlihîn. Mengenai ajaran TQN, setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu ajaran tentang kesempurnaan suluk, adab para murid, zikir, dan muraqabah.76

Keempat ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan dalam kehidupan para pengikut tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Ajaran-ajaran tersebut juga membentuk identitas diri yang membedakan antara pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran yang bersifat teknis, seperti tata cara dalam berzikir, muraqabah, dan bentuk-bentuk upacara ritualnya. Kemudian, selain amalan-amalan yang berhubungan dengan sesama manusia juga terdapat amalan lainnya berupa teknis berzikir, khataman, manaqib, dan tawashul.

a. Kesempurnaan Suluk

Ajaran yang sangat ditekankan dalam ajaran TQN adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), adalah jika berada dalam tiga dimensi keislaman, yaitu Islam,

76

Iman, dan Ihsan. Ketiga term tersebut sangat populer dengan istilah syariat, tarekat dan hakikat.77

b. Adab Para Murid

Kitab yang sangat populer di kalangan sunni juga di kalangan pesantren salaf yang menjadi rujukan bagi sebagian besar tarekat adalah Tanwir al-Qulub fi Muammalati ‘allam al-Guyûb karya Muhammad Amin Kurdi di samping

kitab-kitab rujukan yang lain, di dalam kitab-kitab tersebut diuraikan panjang lebar tentang adab bagi murid, juga dijelaskan pentingnya memperbaiki adab, dan ini merupakan unsur ajaran pokok yang ada dalam mazhab tasawuf. Secara garis besar, seorang murid atau pun ahli tarekat harus menjaga empat adab, yaitu adab kepada Allah, kepada syaikh (guru, mursyid), kepada ikhwan, dan adab kepada diri sendiri.78

a). Adab kepada Allah. Yaitu dengan cara mensyukuri setiap nikmat pemberian Allah setiap waktu dan kesempatan, tidak bersembunyi dari seseorang kecuali ada uzur. Tidak menunda pemberian kepada orang yang meminta pada waktu lain. Tidak sekali-kali menolak orang-orang yang meminta-minta, kecuali karena hikmah, bukan karena kikir dan bakhil. Berusaha mengeluarkan (menjauhi) kecenderungannya kepada selain Allah. Mengutamakan kepentingan saudaranya sesama muslim dengan apa yang dimilikinya. Menjauhi sesuatu yang

77

Kharisudin Aqib, al Hikmah, hal. 61.

78

xlv

diagungkan (diperebutkan) oleh kebanyakan manusia, termasuk di dalamnya adalah berbuat yang tidak jelas hukum-nya.79

b). Adab kepada mursyid. Usaha murid ke arah kesempurnaan itu merupakan perjuangan batin yang dilakukan di bawah bimbingan pembimbing ruhani, murid di hadapan pembimbing ibarat mayat di tangan pemandinya. Menjadi tugas sang pem-bimbinglah untuk memperhitungkan sifat-sifat si murid, untuk menjadikannya memi-liki sifat rendah hati, selalu bertaubat, menjaga lisan, berpuasa, dan perbuatan-perbuatan lainnya, juga samadi, membaca doa, mengulang-ulang terus menerus per-mohonan yang mengisi hari-hari bagi si calon sufi.80

Dengan demikian, keberadaan pembimbing sangat dibutuhkan. Oleh karena itu murid harus benar-benar beradab kepada Syaikh. Secara garis besar ada 10 macam aturan yang harus dijalani murid, dari sepuluh aturan itu lima di antaranya dapat dikatakan sebagai doktrin bagi tindakan sosial murid tarekat, sedangkan yang lainnya berlaku bagi tindakan spiritual para murid, yaitu berhubungan dengan rabithah dan washilah.81

Sepuluh aturan itu sebagai berikut:

1. Seorang murid harus memiliki keyakinan, bahwa maksud dan tujuan

suluk-nya tidak mungkin berhasil tanpa perantara gurunya.

2. Seorang murid harus pasrah, menurut dan mengikuti bimbingan guru dengan rela hati.

3. Jika murid berbeda pendapat dengan guru, baik masalah kulliyat

maupun juzi’yyat, masalah ibadah maupun adat, maka murid harus selalu mengalah dan menuruti pendapat gurunya karena i’tirad

79

Kharisudin Aqib, al Hikmah, hal. 67.

80

H.L Beck dan N.J.G. Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1998), Jilid I, hal. 62.

81

Dudung Abdurrahman, Perubahan Struktur dan Sosial Budaya penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah di desa Mlangi, Sleman, Yogyakarta, Laporan Penulisan, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1994, hal. 157.

(menentang) guru itu meng-halangi berkah dan menjadi su ul khatimah.

4. Murid harus berlari dari semua yang dibenci gurunya dan turut membenci apa yang dibenci gurunya.

5. Jangan tergesa-gesa mengambil ta’bir (mengambil kesimpulan) atas masalah-masalah seperti; impian, isyarat-isyarat, walaupun murid lebih ahli dari gurunya dalam hal itu.

6. Merendahkan suara di majlis gurunya, jangan memperbanyak bicara dan tanya jawab dengan gurunya, karena itu akan menjadi sebabnya

mahjub.

7. Kalau mau menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu.

8. Jangan menyembunyikan rahasia di hadapan guru.

9. Murid tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali yang sekedar dapat dipahami oleh orang-orang yang diajak bicara. 10.Jangan menggunjing, mengolok-olok, mengumpat, memelototi,

mengkritik, dan menyebarluaskan aib guru kepada orang lain.82

Apa saja yang disampaikan mursyid benar-benar diterima oleh murid dengan hidmat dan tidak ada yang bertanya, apalagi sampai mempermasalahkan sesuatu yang menurutnyakurang pas. Hal ini setidaknya ada tiga faktor penyebab, yaitu;

Pertama, keawaman murid dan penghormatan berlebihan kepada Guru. Kedua, metode bimbingan guru yang bersifat doktrinal, sehingga murid merasa lebih baik sami’na wa atha’na.

Ketiga, baik guru maupun murid lebih mementingkan segi-segi praktis bagi tindakan keagamaan mereka.83

Sami’na wa atha’na yang dilakukan murid tidak bisa dikatakan bahwa

tindakan murid tersebut adalah ketinggalan jaman yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan model pendidikan modern, yang menganjurkan murid untuk tampil kritis, kreatif dan adanya interaktif antara guru dan murid. Sedangkan dalam dunia tarekat kedudukan murid di hadapan guru ibarat seorang pasien di hadapan dokter spesialis, yang mana kemungkinannya justeru pasien sendiri itu tidak mengetahui

82

Kharisudin Aqib, al-Hikmah, hal. 68-70.

83

Dudung Abdurrahman, Perubahan Struktur dan Sosial Budaya penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah, hal. 158-159.

xlvii

penyakit-penyakit yang dideritanya sehingga dokter spesialislah yang akan memberi informasi tentang penyakit pasien dengan sesungguhnya dan mengobatinya. Murid dan guru dalam tasawuf juga bisa diibaratkan dengan seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengan psikolog. Pasien psikolog maupun pasien dokter spesialis hanya bisa “diam” dan harus mentaati segala perintah dan larangan-larangan yang diberikan kepadanya tanpa harus membantah, walaupun bagi pasien anjuran atau larangan yang diberikan itu sungguh berlawanan dengan pemahamannya.

c). Adab sesama ikhwan. Hubungan murid dan ikhwan harus dijaga, tidak pantas seseorang yang sama dalam “pencarian” cita-cita mulia dicampuri dengan pertikaian. Oleh karena itu, murid harus mempunyai pedoman adab kepada

ikhwan. Adab sesama ikhwan sebagai berikut:

1. Hendaknya menyenangkan ikhwan dengan sesuatu yang

menyenangkan, dan jangan mengistimewakan dirimu sendiri.

2. Jika bertemu, hendaknya bersegera mengucapkan salam, mengulurkan tangan (mengajak berjabat tangan), dan bermanis-manis kata dengan mereka.

3. Menggauli dengan akhlak yang baik, yaitu memperlakukan mereka sebagaimana kamu suka diperlakukan.

4. Merendahkan hati kepada mereka.

5. Usahakan agar mereka rela (suka), pandanglah bahwa mereka lebih baik dari dirimu.

6. Berlemahlembutlah dalam menasehati ikhwan jika kamu melihat mereka menyimpang dari kebenaran.

7. Perbaikilah prasangkamu kepada mereka. 8. Jika minta izin (keringanan), maka kabulkan.

9. Jika ada pertikaian antara sesama ikhwan maka damaikanlah di antara keduanya.

10.Jadikanlah kalian teman dalam semua keadaan.

11.Hendaklah kalian memberi tempat duduk kepada ikhwan dalam majlis. 12.Hendaknya membatasi berpaling dari mereka, dan mendukung mereka

13.Tunaikan janji, jika kamu berjanji.84

d). Adab kepada diri sendiri. Ini adalah yang utama dan sekaligus terberat, tiada perjuangan yang lebih berat dari pada perjuangan melawan diri sendiri, karena ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu. Secara garis besar, seorang murid harus;

1. Memegangi prinsip tingkah laku yang lebih sempurna, jangan sampai seseorang bertindak yang menjadikan dia tercela, dan mengecewakan. 2. Jika berjanji hendaklah ditepati.

3. Hendaklah murid menetapkan perilaku adab (tatakrama), meyakinkan dirinya senantiasa Allah selalu mengetahui semua yang diperbuat hamba-Nya.

4. Para murid hendaknya bergaul dengan orang-orang yang saleh.

5. Tidak diperbolehkan berlebih-lebihan dalam hal makan, minum, berbusa-na, dan berhubungan seksual.

6. Hendaknya bagi para murid berpaling dari cinta duniawi.

7. Jika murid terbuai oleh hawa nafsu, misalnya berat melaksanakan ketaatan maka hendaklah senantiasa merayu dirinya sendiri, dan meyakinkan diri bahwa payahnya hidup di dunia ini sangat pendek waktunya jika diban-dingkan dengan kepayahan di akhirat kelak.85

c. Zikir

Zikir merupakan amalan harian yang dilaksanakan setiap setelah sholat fardhu dan bisa juga setelah sholat sunat dengan kaifiyyat yang telah ditentukan. Dalam TQN, terdapat dua jenis zikir, yaitu zikir jahar dan zikir khafiy. Setiap murid harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam TQN, di antaranya adalah mengikuti ketentuan dalam teknis berzikirnya. Ketentuan teknis zikir jahar-nya sebagai berikut;

1. Setiap pengikut TQN diharuskan mengamalkan zikir Kalimah Thoyyibah sekurang-kurangnya 165 kali.

2. Jumlah bilangan 165 dalam zikir adalah jumlah minimal, lebih banyak akan lebih baik, dengan ketentuan diakhiri hitungan bilangan ganjil.

84

Kharisudin Aqib, al Hikmah, h. 72-73.

85

xlix

3. Yang mempunyai kesibukan seperti sedang melakukan safar

(perjalanan), bisa membaca zikir dengan bilangan 3 kali. Namun pada waktu-waktu senggang sebaiknya memperbanyak bacaan zikir, misalnya pada waktu melaksanakan sholat malam.

4. Sebaiknya dilaksanakan berjamaah dengan suara keras menghujam, sehingga “menghancurkan” kerasnya hati kita yang diliputi oleh sifat-sifat mazmumah (buruk) menjadi sifat mahmudah (baik). Atsar (bekas) dari zikir itu akan terlihat dengan perilaku pengamalnya, yaitu membentuk pribadi pengamal zikir yang berakhlak mulia.86

Mengenai cara-cara meresapi zikir kepada Allah agar sampai pada tingkat hakikat atau kesempurnaan, Syaikh Ahmad Khatib Sambas merumuskannya sebagai berikut;

Pertama, sâlik hendaklah berkonsentrasi dan membersihkan hatinya dari segala cela sehingga dalam hati dan pikiran nya tidak ada sesuatu pun selain zat Allah. Kemudian meminta limpahan karunia dan kasih sayang-Nya serta pengenalan sempurna melalui perantaraan mursyid (syaikh) Tarekat Qadiriyah Naqsyaban-diah (TQN).

Kedua, ketika mengucapkan lafaz-lafaz zikir, terutama nafyi wâ itsbat “lâ ilâha illAllah”, hendaklah sâlik menarik gerakan melalui satu trayek di badannya; dari pusat perut sampai ke otak kepalanya. Kemudian ditarik ke arah bahu kanan dan dari sana dipukulkan dengan sekeras-kerasnya ke jantung. Di sini kepala juga ikut bergerak sesuai dengan trayek zikir. Dari bawah ke atas ditarik kata “la” dengan ukuran tujuh mâd, kemudian kata “ilaha” ditarik ke bahu kanan dengan ukuran yang sama dan akhirnya kata “illAllah” dipukulkan ke jantung dengan ukuran yang lebih lama sekitar tiga

mâd. Kalimat zikir ini boleh diucapkan dengan cara keras atau nyaring (jahar) atau dengan cara lembut atau halus (sirr).

Ketiga, aturan lain dari rumusan zikir yang diformulasikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah dengan memusatkan zikir pada titik-titik halus (lathâif) dalam anggota badan. Aturan semacam ini sebenarnya berasal dari cara-cara zikir yang biasa dikembangkan dalam Tarekat Naqshabandiyah untuk memudahkan seorang salik menarik gambaran Dzatiyyah.87

Dalam hal zikir khafiy tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah (TQN), ketentuannya sebagaimana zikir yang diamalkan dalam Tarekat Naqshabandiyah. Yaitu dengan sebelas asas tarekat, delapan dari asas itu dirumuskan oleh Abd

86

Bazul Asyhab dan Gaos Saefullah , Uquudul Jumaan, hal. 1.

87

Khaliq Ghuzda-wani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Bahauddin an-Naqsyabandi. Asas-asas Abd al-Khaliq adalah,

1. Hush dar dam. (sadar sewaktu bernafas). Suatu latihan konsentrasi, murid harus sadar (ingat) akan Allah setiap menarik dan menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya.

2. Nazar bar qadam (menjaga langkah). Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan agar tujuan (ruhani) nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya. 3. Safar dar watan (melakukan perjalanan di tanah kelahirannya). Yakni

mening-galkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.

4. Khalwat dar anjuman (sepi di tengah keramaian). Menyibukkan diri dengan selalu membaca zikir sewaktu aktif dalam kehidupan bermasyarakat atau berada di tengah keramaian orang.

5. Yad kard (ingat, menyebut). Terus-menerus mengulangi nama Allah, zikir tauhid (berisi formula Lâ Ilâha Illallah), atau formula zikir lainnya yang diberikan oleh guru dalam hati atau dengan lisan.

6. Baz gasyt (kembali, memperbarui). Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), murid harus membaca setelah zikir tauhid ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, dengan khusyuk membaca formula ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi

(Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mu lah yang kuharapkan).

li

7. Nigah dasyt (waspada). Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan zikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran akan Tuhan.

8. Yad dasyt (mengingat kembali). Penglihatan yang diberkahi secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya, mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga.

Asas-asas tambahan dari Bahauddin an-Naqsyabandi sebagai berikut;

1. Wuquf-i zamani (memeriksa penggunaan waktu seseorang). Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. Artinya, jika seseorang tenggelam dalam zikir dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah bersyukur kepada Allah, jika lupa Allah atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.

2. Wuquf 'adadi (memeriksa hitungan zikir seseorang). Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat zikir tanpa pikirannya mengem-bara ke mana-mana.

3. Wuquf qalbi (menjaga hati tetap terkontrol). Membayangkan berada di hadirat Allah, sehingga hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah.88

d. Khataman

Khataman merupakan integrasi antara zikir, shalawat, doa-doa, dan bacaan

yang biasa diamalkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Pelaksanaan

88

Arrusodo, Tarekat Naqsyanbiah, diakses pada 03 Maret 2004, dari;

http://www.sufinews.com-/index.php?subaction=showfull&id=1078317640&archive=&start_from=&ucat=8&go=tareka t.

khota-man dilakukan secara berjamaah atau dapat juga secara sendiri. Bisa

dilakukan di masjid atau di rumah. Khataman akan membuat pengamalnya menjadi kuat dalam dimensi secara mental spiritual.

Seiring dengan semakin banyak keperluan yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhirat, dan juga sebagai upaya untuk kejayaan agama dan negara, maka intensitas pelaksanaan khataman sebaiknya ditingkatkan. Amaliah ini bisa dilaksanakan seminggu sekali, seminggu dua kali atau setiap hari, dengan waktu antara sholat Maghrib dan Isya, atau pada waktu yang lain. Dalam hal ini, dapat dijelaskan bahwa siapa yang “banyak keperluan hidup”, maka diusahakan memperbanyak melakukan khataman. Secara umum yang dilakukan di P.P.Suryalaya adalah sebagai berikut;

1. Antara Maghrib dan Isya. Jumlah bilangannya bisa 3 kali, 7 kali, 11 kali, atau lebih, yang penting sebelum tiba waktu sholat Isya masih mempunyai waktu untuk melaksanakan sholat-sholat sunah

dan mem-baca Sholawat Bani Hasyim. 2. Senin dan Kamis setelah sholat Ashar.

3. Setelah sholat Isya, setelah pelaksanaan sholat Lidaf’il Bala.89

Amalan dalam khataman selain yang telah tersebut, juga berisi tawassul

kepada para Nabi a.s., guru-guru tarekat-sufi serta puji-pujian, doa-doa dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw.90

e. Manaqib

Manaqib berasal dari bahasa Arab manaqib, kata jamak dari manqabah

yang berarti ‘lubang tempat melihat’, yang secara istilah dalam dunia sufi mengandung arti kisah-kisah tentang kesalihan dan keutamaan ilmu dan amalan

89

Bazul Asyhab dan Gaos Saefullah, Uquudul Jumaan, (Bandung: Wahana Karya Grafika, 2006), Cet.I, hal.2.

90

liii

seseorang. Dalam tradisi yang biasa dikembangkan oleh TQN, manaqib berarti pembacaan kisah unggulan (hagiografi) Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, baik mengenai akhlak, martabat, maupun karomah yang dimiliki. Karena memang semasa hidupnya ia sering menunjukkan pelbagai keajaiban, termasuk bisa menarik orang berduyun-duyun untuk mendengarkan wejangan dan khotbah-khotbahnya.91 Manaqib juga bisa diartikan ‘riwayat hidup’ yang berhubungan dengan sejarah kehidupan orang-orang besar, atau tokoh-tokoh penting, seperti biodata tentang kelahirannya, guru-gurunya, sifat-sifatnya, serta akhlak kepribadiannya.92

Membaca, mendengarkan, mempelajari atau mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan riwayat hidup seseorang atau tokoh-tokoh sahabat Nabi Muhammad saw., ulama tabi’in, ulama mujtahidin, para wali Allah dan lain-lainnya dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran dan contoh keteladanannya yang baik, adalah sangat besar faedahnya, dan termasuk yang dianjurkan agama.

Proses manaqib yang dilakukan oleh pengikut TQN pada umumnya sasaran yang ingin dicapai sebagai berikut:

Pertama, mengharap Rahmat Allah, keberkahan, serta ampunan dosa-dosa.

Kedua, mengembangkan dan melestarikan pengamalan TQN sebagai salah satu jalan mendapatkan kerelaan Allah, kasih sayang-Nya, dan mengenal Allah lebih dekat.

Ketiga, ingin tercapai atau terwujudnya insan hamba Allah yang beriman, bertakwa, beramal saleh, dan berakhlak karimah sufiah.

Keempat, mencontoh, mengikuti jejak langkah yang dekat (taqarrub) kepada Allah, di antaranya wali Allah.

Kelima, merasa cinta (mahabbah) dan menghormati keturunan Syaikh Abdul Qadir dan keturunan Rasul Allah.93

91

Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, hal. 83.

92

Bazul Asyhab dan Gaos Saefullah, Tanbih, Tawassul, Manaqib, (Bandung: Wahana Karya Grafika), hal. 1-3.

93

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa manaqib adalah kegiatan yang dianjurkan bagi kalangan TQN, pelaksanaannya dilakukan dengan sehikmat mungkin. Sebelum acara dimulai, terlebih dahulu diberikan penjelasan oleh sesepuh, atau ketua kelompok yang ditunjuk untuk memimpin jalannya

manaqiban. Setiap peserta harus hadir dengan berdisiplin, khusyuk, dan

tawadhu’, hati harus selalu mengingat Allah dalam mengikuti kegiatan ini. Di

beberapa tempat, dalam proses pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani setiap orang yang mengikuti diusahakan dalam keadaan berwudhu.

f. Tawashul

Tawashul artinya berperantara, dalam hal ini maksudnya seseorang ikhwan

TQN dianjurkan ber-tawashul kepada Nabi Muhammad saw., para sahabat dan para salafus shalihin dalam berdoa. Dalam al-Quran Allah berfirman,

نﻮ ْ ْ ﻜ ﻌ اوﺪهﺎﺟو ﺔ ﻮْا ْ إاﻮﻐ ْاو ا اﻮﻘ ا اﻮ اء ﻦ ﺬ ا ﺎﻬ أﺎ .

“Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah washilah

(jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya...” (Q.S. al-Maidah: 35).

Wasilah atau tawassul dalam TQN merupakan hal yang dianjurkan, akan tetapi ada beberapa tokoh yang menganggap bahwa wasilah itu bid’ah. Washilah

yang tergolong bid’ah itu mempunyai beberapa jenis sebagai berikut;

Pertama, tawashul kepada Allah dengan berdoa dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau gaib dan semacamnya. Ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentangan dengan tauhid dan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.

Kedua, tawashul kepada Allah dengan melakukan berbagai ketaatan pada kuburan orang-orang yang telah mati. Misalnya dengan mendirikan bangunan di atas kuburan itu, atau menutupnya atau berdoa di atasnya dan semacamnya. Ini digolongkan ke dalam syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.

lv

Ketiga, tawashul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan orang-orang tertentu yang saleh di sisi Allah. Ini diharamkan oleh Islam, sebab perbuatan seseorang hanya bermanfat bagi dirinya sendiri di sisi Allah. Allah berfirman dalam al-Quran Surah. 53 : 39,

ﻰَﻌَ ﺎَﻣﺎﱠِإِنﺎَ ْﻧِﺈِْ َ ْﻴَ ْنَأَو

.

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.

Keempat, tawassul dengan orang-orang saleh. Misalnya mengatakan orang yang dianggap saleh: “berdoalah untukku” atau jangan lupa berdoa untukku wahai saudaraku”, dan orang itu mendengarkan perkataan tersebut.94

Di dalam kalangan pesantren salaf, washilah adalah hal yang biasa dilakukan, terlebih ketika ada orang yang sedang mempunyai hajat besar ia akan melakukan washilah guna memperlancar hajat yang diinginkannya.

C. JAMAAH TQN YAYASAN AQABAH SEJAHTERA (YAS)

Dokumen terkait