PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT
(Studi Kasus Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah NaqshabandiyahYayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jakarta Timur)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk memenuhi syarat-syarat Strata 1 (satu) dan mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fils.I.)
Oleh : Khusnul Adib
NIM : 202033101134
Pembimbing : Drs. H. Zuhdi Anwar, M.A.
NIP : 150 010 935
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H. / 2008 M.
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul “PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT
(Studi Kasus Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jakarta Timur)” yang disusun oleh
KHUSNUL ADIB Nomor Induk Mahasiswa 202033101134 jurusan Aqidah Filsafat, telah melalui bimbingan oleh dosen pembimbing skripsi dan dinyatakan syah sebagai karya ilmiah. Oleh karena itu, skripsi ini dapat diujikan pada sidang munaqasyah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas
.
Jakarta, 14 Nopember 2008
Yang Mengesahkan,
Pembimbing
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT
(Studi Kasus Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jakarta Timur)” diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyah pada 1 Desember 2008 di hadapan dewan penguji.
Jakarta, 1 Desember 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,
Drs. H. Harun Rasyid, M. A Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M. A
NIP: 150 232 921 NIP: 150 293 239
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Syamsuri, M. A. Dr. Hamid Nasuhi, M. A.
NIP: 150 241 817 NIP: 150 240 089
Mengetahui Pembimbing
Drs. H. Zuhdi Anwar, M.A.
KATA PENGANTAR
ﺮ ا
ﻦ ﺮ ا
ﷲا
Rasa puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah swt. Tuhan
semesta alam. Berkat rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya telah memberikan
keringanan penulis dalam melangkah untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT (Studi Kasus
Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera
Rawamangun Jakarta Timur)”
Shalawat salam senantiasa tercurahkan kepada insan mulia yang menjadi
teladan agung sepanjang masa, Nabi Muhammad saw., serta keluarganya,
sahabatnya dan pengikutnya yang selalu menjalankan perintah dan larangannya.
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk
memenuhi syarat-syarat lulus Strata 1 (satu) dan untuk mencapai gelar Sarjana
Filsafat Islam (S.Fils.I.) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari tidak sedikit hambatan yang
dihadapi. Namun, dengan optimis, keteguhan hati, kerja keras, dan fokus akhirnya
selesai penulisan skripsi ini. Dan, penulis menyadari kalau penulisan ini tidak
luput dengan adanya bantuan dari pelbagai pihak yang sangat memperlancar
dalam penulisannya. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan banyak terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin
v
2. Bapak Bapak Dr. Syamsuri, M.A. sebagai penguji satu dan Bapak Dr.
Hamid Nasuhi, M.A. sebagai penguji dua.
3. Bapak Drs. H. Harun Rasyid, M.A., sebagai Ketua dan Bapak Drs.
Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. sebagai Sekretaris Jurusan program
Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
4. Bapak Drs. H. Zuhdi Anwar, M.A. sebagai pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu dan kesabarannya dalam memberikan
bimbingan dan pengarahan yang sangat berarti demi kelancaran
penyusunan skripsi ini.
5. Para dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang dengan sabar dan ikhlas mentransformasikan
ilmu-ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Yayasan Emilliyatil Abbasyiah, PT. Ranji Kuningan Jakarta, yang
telah memberikan beasiswa dalam proses belajar penulis.
7. K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A. sebagai Pemimpin Yayasan Aqabah
Sejah-tera Rawamangun Jakarta Timur yang telah memberikan
petunjuk tentang Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah demi kelancaran
terselesaikannya penulisan ini.
8. Ustaz Handri sebagai badal di Jamaah tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera yang memberikan ijin,
bimbingan, dan kesabarannya dalam penulisan skripsi ini.
9. Ustaz Rahman, ustaz Teguh, Bapak Sugi, Ibu Yuli, ustaz Latif, Bapak
informasi-nya dalam proses wawancara penulisan, dan segenap staf Yayasan
Aqabah Sejahtera yang tidak bisa penulis sebut satu per satunya di sini.
10.Kedua orang tua kandung penulis yang tiada henti-hentinya mengiringi
langkah penulis dan selalu mencurahkan doa untuk keberkahan dan
kesuksesan bagi penulis.
11.Kedua orang tua angkat penulis di Jakarta, Bapak H. Masrur Ainun
Najih dan Ibu H. Dalif Laily yang selalu mendidik penulis agar selalu
bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, sehingga skripsi ini
cepat terselesaikan.
12.Adik penulis, Nella, Ripatung, Santhud, dan Mat, yang telah
memberikan semangat dan doa selama proses penulisan skripsi ini.
13.Bapak Suntoro sebagai petugas perpustakaan LIPI yang telah memberi
kemudahan dalam proses peminjaman buku-buku yang dibutuhkan
penulis.
14. Teman-temanku; Mas Masyhar, Mustopa, Gus Dayat, Eddy, Gopir,
Sail, Khotib, Arwani, Sendy, Sitie, Murtadho, Mas Rizki, Aji, Pakde,
Adi, dan Refi atas doa dan semangatnya yang diberikan kepada
penulis. Dan, secara khusus kepada Anas yang sudah memberikan
dukungan dan pinjaman komputernya sampai selesai penulisan skripsi
ini.
15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang ikut
berpartisipasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga mendapat
vii
Penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis memohon kepada para dosen
pembimbing pada khususnya, dan dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat pada
umumnya, serta kepada setiap pembaca, untuk memberikan saran dan kritik yang
membangun agar penulis bisa memahami kekurangannya dan mampu
memperbaiki kesalahan-kesalahannya dalam penulisan-penulisan selanjutnya.
Jakarta, 1 Desember 2008
ix
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...
D. Metodologi Penelitian...
3. Hubungan Tasawuf dan Tarekat...
4. Tokoh-tokoh tasawuf dan Ajaran-ajarannya...
B. TAREKAT QADIRIYAH NAQSHABANDIYAH (TQN)...22..
1. Latar Belakang dan Pendiri...
2. Jaringan TQN di Indonesia...
c. Zikir...
d. Khataman...
e. Manaqib....
f. Tawashul...
C. JAMAAH TQN YAYASAN AQABAH SEJAHTERA (YAS)...
1. Kegiatan-kegiatan Umum YAS...
2. Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah YAS...
BAB III PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT...
A. Pemahaman Tasawuf...
B. Amalan-amalan Yang Dikerjakan...
C. Pengaruh Tasawuf Bagi Anggota TQN Setelah Talqin...
BAB IV PENUTUP...
A. Kesimpulan...
B. Kritik dan Saran...
DAFTAR PUSTAKA...
LAMPIRAN-LAMPIRAN... 38
41
42
44
45
45
50
55
55
66
70
73
73
74
75
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Proses globalisasi saat ini telah merambah ke seluruh urat nadi kehidupan
umat manusia, pengaruhnya sangat kompleks dan signifikan. Untuk membentengi
diri dari pengaruh globalisasi tersebut, setiap manusia agar memahami potensi
dirinya baik secara lahiriah maupun spiritual. Problem dalam kehidupan
bermasyarakat seperti kesenjangan antara nilai-nilai yang bersifat duniawi dan
ukhrawi itu biasa terjadi. Dalam situasi demikian, tasawuf merupakan kendaraan
pilihan untuk mengatasi masalah seperti ini.1 Manusia modern yang rasional cenderung mengedepankan aspek akal (rasio) tanpa memperhatikan potensi hati
(qalb), padahal Islam tidak membuat dikhotomi demikian. Hal itu berakibat fatal,
karena ketika akalnya sudah tidak mampu lagi menyelesaikan
masalah-masalahnya kemungkinan ia akan mudah putus asa, depresi, stres, bahkan bunuh
diri. Untuk mengatasi masalah dengan baik dibutuhkan sebuah ketenangan dan
kesabaran. Tasawuf sebagai disiplin keislaman merupakan penawar untuk
memberikan kesetimbangan antara fungsi akal dan hati. Konsep yang ada dalam
tasawuf mengajarkan hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak mulia,
merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah.2 Konsep tersebut jika sungguh-sungguh dilaksanakan oleh setiap warga negara kemungkinan besar bisa
memperbaiki ke arah yang lebih baik kondisi moral dan spiritual warga negara.
1
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), Cet. IV, hal.278.
2
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial,,(Bandung: Mizan Pustaka, 2006), Cet. I, hal. 36-37.
Tarekat merupakan lembaga yang mengajarkan kajian-kajian tasawuf,
mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya yang disertai oleh pembimbing
yang mempunyai silsilah hingga Rasul Muhammad saw.. Dalam tarekat itu,
seseorang akan mempelajari segala sesuatu tentang tasawuf. Kajian-kajian yang
dipelajari dalam dunia tasawuf merupakan kajian-kajian yang dipelajari dalam
dunia tarekat juga. Jadi, sekarang ini tidak salah jika disimpulkan bahwa tasawuf
sudah menjadi tarekat.3
Seseorang yang ingin bertarekat tidak bisa hanya dengan mengikuti
pengajian-pengajian tasawuf dan membaca buku-buku tasawuf. Pengajian tasawuf
itu bisa sebagai bentuk pencerahan agar semakin yakin kepada Allah dan semakin
“luas dada” seseorang. Sedangkan dalam tarekat, ada bagian terpenting yang tidak
bisa ditemukan hanya dengan mengikuti pengajian-pengajian tasawuf atau dengan
membaca buku-buku terkait, yaitu keberadaan mursyid.4
Tarekat di dunia Islam bermacam-macam tidak terhitung jumlahnya, tidak
ada angka yang pasti berapa jumlah macam tarekat seluruhnya. Ada dua tarekat
besar yang berkembang dalam dunia Islam, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqshabandiyah. Kedua tarekat ini mempunyai pendiri, teknik berzikir, dan latar
belakang yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Akan tetapi, oleh ulama
Indonesia dari Sambas, Kalimantan, dua macam tarekat yang mempunyai teknik
berzikir dan latar belakang bertolak belakang itu justeru dipadukan dalam satu
paket tarekat tersendiri tanpa mengajarkannya secara terpisah, tarekat tersebut di
Indonesia disebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
3
Sukardi, (ed), Kuliah-kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hal. 17.
4
xiii
Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah (selanjutnya ditulis Tarekat
Qadiriyah Naqshabandiyah atau disingkat TQN) termasuk satu di antara tarekat
yang banyak pengikutnya di Indonesia, terutama di pulau Jawa,5 di luar pulau Jawa penyebaran TQN tidak melalui lembaga pendidikan formal seperti
pesantren, sehingga TQN hanya tersebar dalam kalangan orang awam dan tidak
memperoleh kemajuan yang berarti. Lain halnya di pulau Jawa, TQN disebarkan
melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para
pengikutnya, maka perkembangannya pun pesat sekali sehingga kini merupakan
tarekat yang paling besar dan berpengaruh di kawasan ini.6
Satu cabang TQN yang ada di Pulau Jawa yaitu Pondok Pesantren
Suryalaya, Sebuah pesantren di Kampung Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat,
pesantren ini mengajarkan ajaran tasawuf sekaligus sebagai pusat dari
perkembangan tarekat. Sejak pondok pesantren ini berdiri sengaja diarahkan agar
menjadi pusat pengembangan tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah.7
Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah (TQN) di Suryalaya dikenal sebagai
salah satu pusat TQN yang aktif dan dinamis. Mursyidnya K.H.A.Shohibul Wafa
Tajul Arifin (Abah Anom) telah berhasil mengembangkan cabang-cabangnya,
bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia
dan Brunei Darussalam. Abah Anom juga dikenal telah mendesain khusus praktik
5
Depag Republik Indonesia Balai Penulisan Aliran Kerohanian/Keagamaan, Lembaga Pengoba-tan Inabah Tarekat Qadiriyah Naksyabandiyah Suryalaya, (Semarang: Depag RI Balai Penulisan Aliran Kerohanian/Keagamaan, 1993), hal. 30.
6
Muhammad Nur Latif, Ajaran Mistik Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi dalam Naskah Tarekat yang dibangsakan Kepada Qadiriyah dan Naqshabandiyah (Suatu Analisis Isi Teks), Laporan Penelitian, (Jakarta: The Toyota Foundation Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1995), hal. 71.
7
Shohibul Wafa Tajul Arifin, Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah, dari:
zikir dan shalat untuk merehabilitasi remaja yang kecanduan obat terlarang dan
narkotika dengan membangun Pondok Inabah. Telah berdiri 23 Pondok Inabah di
dalam dan luar negeri.8
Wakil talqin (khalifah) Abah Anom yang diamanatkan untuk
mengembangkan tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah (TQN) di Jakarta adalah
K.H.Wahfiudin, S.E., M.B.A.9 Saat ini, media pengembangan TQN di Jakarta melalui Yayasan Aqabah Sejahtera (YAS), keberadaannya merupakan cabang
pengembangan TQN yang ada di Suryalaya Jawa Barat. YAS adalah yayasan
yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial yang bertujuan meningkatkan
kualitas manusia pada sisi intelektual, emosional dan spiritual. Bidang tasawuf di
YAS adalah satu dari seluruh program yayasan yang beliau pimpin.
Yayasan Aqabah Sejahtera (YAS) didirikan tahun 1994 oleh
K.H.Wahfiudin di Jakarta. Di bidang pendidikan yayasan ini menyelenggarakan
beberapa kegiatan, di antaranya berupa kursus-kursus, in house training, outbond
training, pesantren kalbu, pelatihan mubalig, dan seminar-seminar.
Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya berada di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar
lainnya di luar Jakarta. Salah satu unit yang bergerak khusus memberikan
pelatihan-pelatihan yang langsung dipimpin oleh K.H.Wahfiuddin adalah Radix
Training Center (RTC). Secara individu beliau telah memberikan beberapa
training di pelbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Kemudian, pada
awal 2004 itu juga beliau membentuk sebuah tim training yang solid dalam
8
Sri Mulyati, et.al, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Mulia, 2005), Cet.II, hal. 264.
9
xv
rangka kaderisasi. Meskipun RTC usianya masih belia, namun telah
memunculkan beberapa training yang diselenggarakan.
Di antara kegiatan-kegiatan YAS adalah zikir bersama dan ceramah
keagamaan. Kegiatan ini dilakukan setiap Senin malam dan Kamis malam.
Kegiatan yang diselenggarakan Senin malam dimulai dengan shalat Maghrib
berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan zikir TQN, ini berlangsung hingga azan
Isya berkumandang. Setelah shalat Isya berjamaah, dilanjutkan dengan zikir TQN,
kemudian diisi dengan ceramah keruhanian, yang isinya tidak hanya menekankan
pada penguasaan jiwa dari hawa nafsu, penyucian hati, dan memperbanyak
berzikir kepada Allah tetapi juga hal-hal yang bersifat pemantapan semangat
ajaran TQN dengan argumen-argumen logis tentang kebenaran ajaran tarekat dan
keberuntungan orang yang mengikutinya. Setelah ceramah, kegiatan selesai dan
diakhiri dengan membaca shalawatserta bersalaman dengan ustaz Wahfiudin dan
sesama jamaah. Sedangkan kegiatan yang berlangsung setiap Kamis malam,
dimulai dengan shalat Maghrib berjamaah, kemudian dilangsungkan dengan zikir
umum, yang berlangsung hingga azan Isya. Setelah shalat Isya berjamaah, diisi
dengan zikir TQN, kemudian dilanjutkan dengan siraman rohani hingga selesai.
K.H.Wahfiudin merupakan khalifah di Jakarta dari Abah Anom
Tasikmalaya, bagaimana ustaz Wahfiudin menerapkan ajaran tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah di Jakarta?, bagaimana jamaah TQN asuhan ustaz Wahfiuddin
dalam memahami ajaran TQN yang telah mereka jalani? apakah TQN
berpengaruh bagi kehidupan mereka? Hal-hal inilah yang menjadikan penulis
penulisan skripsi, yaitu “PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT (Studi Kasus Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jakarta Timur)”. Semoga penulisan ini akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan tentang tasawuf dan tarekat sangat luas, dalam penulisan ini
pembahasannya hanya dibatasi pada lingkup kegiatan Jamaah Tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jaktim. Sedangkan
perumusannya, sebagai berikut:
1. Pemahaman apa yang diperoleh oleh Jamaah Aqabah Rawamangun
tentang studi tasawuf pada Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah?
2. Apa saja amalan yang dikerjakan oleh mereka?
3. Apa pengaruh yang dihasilkan bagi mereka setelah talqin anggota TQN?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penentuan tujuan dan manfaat penelitian sangat dibutuhkan dalam
melakukan sebuah penelitian. Karena tanpa tujuan isi sebuah penelitian akan tidak
dimengerti dan tidak fokus pada pokok permasalahan.
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut;
1. Penulis mendapatkan pemahaman apa yang diperoleh oleh Jamaah Aqabah
Rawamangun tentang studi tasawuf pada Tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah.
xvii
3. Memperoleh jawaban tentang pengaruh yang dihasilkan bagi mereka
setelah talqin anggota TQN.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini agar segenap Jamaah
Yayasan Aqabah dan kepada penulis sendiri pada khususnya serta para pembaca
pada umumnya, setelah memahami isi skripsi ini itu tidak hanya pemahaman yang
tidak disertai tindakan sebagai reaksi dari pemahaman yang telah didapat darinya.
Diharapkan juga adanya perilaku yang cenderung lebih mengedepankan aspek
sosial, tidak mudah mengikuti hawa nafsunya, dan menjadi seorang beriman
bertakwa yang selalu berusaha untuk dekat dengan Tuhannya.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk
mendapatkan data dengan tujuan tertentu, dan dalam rangka melakukan usaha
tersebut digunakan metode ilmiah.10 Penulisan skripsi ini mengunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif,
ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu
sendiri.11 Sebuah penelitian kualitatif itu lebih menekankan perhatian pada proses bukannya hasil atau produk.12 Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data-data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain. Dan, hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu
penulis dan subjek penelitian.
10
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfabeta, 2001), hal. 12.
11
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hal. 21.
12
2. Proses Analisa Data
Dalam upaya mendapatkan informasi dan data yang akurat dari informan,
ada teknik yang harus ditempuh dalam memilih informan yang memenuhi kriteria
suatu penelitian. Seorang informan harus bisa memberi informasi yang bisa
dipercaya kebenaran dan akurasinya, serta mempunyai pengetahuan dan
pengalaman dalam bidang yang menjadi bahan penelitian.13 Teknik penarikan informan yang memenuhi kriteria yang digunakan adalah jenis snow ball, suatu
aktifitas ketika penulis mengumpulkan data dari satu informan ke informan
lainnya yang memenuhi kriteria dan berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi,
terjadi pengulangan informasi oleh informan yang berbeda, atau disebut
mengalami titik jenuh.14 Yaitu, penulis mencari informan sebanyak mungkin, prosesnya dimulai dari informan pertama, dari informan pertama ini penulis
menganalisa apakah jawaban yang diberikan informan itu sudah sesuai dengan
maksud dan tujuan penulisan skripsi ini ataukah belum, kemudian dilanjutkan
dengan mencari data informan kedua, dari informan kedua ini penulis
menganalisanya, begitu juga seterusnya hingga jawaban yang diberikan informan
kepada penulis itu tidak ada variasi jawaban. Dengan begitu, penulis berhenti
dalam pencarian data dari informan selanjutnya. Penggunaan teknik ini juga
didasarkan karena tidak adanya informasi konkret jumlah populasi keseluruhan.15 Jumlah peserta TQN secara keseluruhan berjumlah sekitar 200-an, akan
tetapi yang cukup aktif dalam kegiatan Senin malam atau Kamis malam di
13
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif, (Malang: UMM Press, 2008), Cet. III, hal. 77-78.
14
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif, hal. 82-83.
15
xix
lingkungan Yayasan Aqabah itu sekitar 20-an. Besarnnya sampel (sebagai
informan, bukan sampel seperti yang ada dalam penelitian kuantitatif) tidak
kurang dari 10 persen dari populasi, sementara ada pula yang mengatakan
minimal 5 persen dari populasi.16 Mengingat ini adalah tipe Snow Ball, maka dalam proses penarikan informan yang bisa memberikan data secara mendalam
dan akurat, penulis tidak bisa menentukan sebelumnya berapa sampel yang akan
penulis ambil. Dan, sangat mungkin terjadi sampel yang penulis ambil itu
berjumlah sedikit. Jumlah sampel yang sedikit itu merupakan ciri khas penulisan
kualitatif.17 Sebenarnya tidak ada aturan yang tegas mengenai berapa besarnya anggota sampel yang dianjurkan dalam sebuah penulisan. Jika sampel yang
digunakan itu besar, maka biaya, tenaga dan waktu yang disediakan harus besar
pula. Sesungguhnya tidak ada sampel yang 100% representatif, kecuali jika
sampel yang digunakan itu seluruh anggota populasi (total sampling).18 Dalam penulisan kualitatif, “populasi” itu tidak ada dan pengertian sampling adalah
pilihan penulis sendiri secara purposif disesuaikan dengan tujuan penulisan. Yang
menjadi sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi yang relevan
saja.19
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang perlukan, teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
16 Bungin, Burhan, (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. III, hal. 45.
17
Hamidi, Metode Penulisan Kualitatif, hal. 87.
18
Husaini Usman, dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologgi Penulisan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara 2003), Cet. IV, hal. 52.
19
1. Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti.20 Objek yang diteliti yaitu pengikut jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah (TQN)
Yayasan Aqabah Sejahtera (YAS) Rawamangun. Penulis mengikuti
kegiatan yang diadakan oleh TQN YAS, di antaranya adalah
kegiatan yang dilaksanakan pada Senin malam dan Kamis malam.
Langkah yang dilakukan penulis ialah mendatangi ke kantor YAS
yang beralamat di jln. Balai Pustaka V-3, Rawamangun Jakarta
Timur.
2. Wawancara. Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang
atau lebih secara langsung.21 Dalam melakukan wawancara penulis dengan menggunakan pakaian bebas tapi sopan dengan mendatangi
kediaman informan, dan berusaha menciptakan suasana
kekeluargaan dengan tujuan agar informan tidak merasa
diinterograsi sehingga dapat memberikan informasi sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
3. Dokumentasi. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.22 Data yang dikumpulkan melalui dokumen cenderung sekunder,
sedangkan data-data yang dikumpulkan dengan teknik observasi,
20 Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. IV, hal. 54.
21 Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, hal. 57-58.
22
xxi
dan wawancara cenderung primer atau data yang didapat dari pihak
pertama.
4. Penulisan kepustakaan (Library Research), yaitu penulis berusaha
memperoleh data dengan cara membaca buku yang berkaitan
dengan judul atau topik yang sedang ditulis. Sehingga data yang
dikumpulkan itu ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.23
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini tidak salah dalam penulisannya, penulis menggunakan
buku panduan penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang diterbitkan oleh Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat terbaru dan buku EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Dan, supaya penulisan skripsi yang berjudul “PENGARUH TASAWUF BAGI PENGIKUT TAREKAT (Studi Kasus Terhadap Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah Yayasan Aqabah Sejahtera Rawamangun Jakarta Timur)” ini tidak tumpang tindih penulis menyusunnya sebagai berikut;
Di dalam BAB I dimulai dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II A mengandung isi tentang tasawuf dan tarekat, pengertiannya,
hubungan antara tasawuf dan tarekat, tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya.
Sedangkan Bab II B menjelaskan tentang tarekat Qadiriyah Naqsybandiah, yang
memuat tentang latar belakang, pendiri, jaringan tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah di Indonesia, dan amalan–amalan Tarekat Qadiriyah
23
Naqsybandiah. Bab II C menjelaskan jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah
Yayasan Aqabah Sejahtera (YAS), yang memuat tentang kegiatan-kegiatan umum
YAS dan jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah YAS.
Pada BAB III menjelaskan tentang pengaruh tasawuf bagi pengikut
tarekat, yang menjelaskan tentang pemahaman tasawuf anggota TQN,
amalan-amalan yang dikerjakan mereka, dan pengaruh yang dihasilkan bagi anggota TQN
setelah talqin.
Pada BAB IV diisi dengan penutup yang terdiri dari kesimpulan, kritik dan
xxiii
BAB II
AMALAN TASAWUF JAMAAH TAREKAT QADIRIAH NAQSHABANDIAH YAYASAN AQABAH SEJAHTERA A. TASAWUF DAN TAREKAT
1. Pengertian Tasawuf
Pelbagai keterangan yang menjelaskan asal istilah “tasawuf.” Istilah
tasawuf. pada zaman Rasul Muhammad saw., para sahabat, dan tabi’in Islam tidak
dikenal. Kemudian setelah masa tabi’in, datang suatu kaum yang mengaku zuhud
yang berpa-kaian shuf (bulu domba), karena pakaian inilah mereka mendapat
julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi.24
Ada pula keterangan yang menyatakan bahwa “tasawuf” berasal dari
Yunani, shopos yang artinya “hikmah” atau “keutamaan.” Menurut pendapat ini,
sufi itu para pencari hikmah atau ilmu hakikat. Pendapat lain, tasawuf berasal dari
shafa yang berarti “bening” karena hati sufi selalu bening, sedangkan lainnya
berpendapat tasawuf berasal dari shaff atau shafwun yang artinya barisan, sebab
para sufi selalu dalam barisan terdepan dalam mencari kerelaan Ilahi.25 Menurut Abu Bakar al-Kattani (w.322 H), tasawuf adalah pembersihan hati dan
pe-nyaksian terhadap realitas hakiki.26 Menurut Harun Nasution, hakekat tasawuf adalah kita mendekatkan diri kepa-da Tuhan.27 Penghalang untuk bisa “melihat”
24
Abu Abdirrahman Uli, Hakekat Tasawuf, diakses pada 12 Juli 2008, dari: http://www.-cybermq. com/index.php?pustaka/detail/15/1/pustaka-235.html.
25
Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Per-sada, 2002), Cet. II, hal. 31-32.
26
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial,hal. 51.
27
Harun Nasution, Tasawuf, dari: http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.html, diakses pada 25 September 2007.
Dia adalah sikap mendewakan diri sendiri. Ketika seseorang masih
mempertahankan ego dirinya, hanya memenuhi semua kepentingan pribadinya, ia
tidak akan bisa “melihat” Allah, menghayati kebesaran-Nya, mengerti
keadilan-Nya, menyaksikan keindahan-keadilan-Nya, merasakan kehangatan kasih sayang-Nya.
Maka, agar bisa khusyuk seolah-olah melihat Dia, kita harus “menghancurkan
diri” bagaikan gunung Sinai dalam kisah Musa28 yang sirna mencair oleh tajalli, cahaya Allah. Semakin larut kita menghampakan diri dalam fana, semakin jelas
wajah Allah bagi mata hati kita.29
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia.
Kedekatan Tuhan kepada manusia disebut Quran Ayat 186 dari surah
al-Baqarah menjelaskan,
Artinya, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permoho-nan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."
28
Al-Quran Surah al-A’raf ayat 143, “Dan tatkala Musa tiba di Miqat lalu berkata, ‘Tuhanku, tampakkan-lah diri-Mu supaya aku bisa melihat-Mu Maka Tuhan pun berkata, “Kamu tidak akan bisa melihat-Ku, tetapi pandang saja gunung di seberangmu, bila dia tetap di tempatnya, maka kamu akan melihat-Ku”. Maka ketika Tuhannya menampakkan cahaya-Nya ber-tajalli kepada gunung, jadilah gunung itu hancur lebur. Maka Musa tersungkur pingsan. Dan setelah siuman dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku akan menjadi orang mukmin pertama’.”
29
xxv
Untuk “mencari” Tuhan, murid (orang yang sedang “mencari” Tuhan)
tidak perlu pergi jauh, cukup ia “masuk” ke dalam dirinya dan Tuhan yang
dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
al-Quran Surah al-Anfal ayat 17 berikut menjadi landasan;
☺ ⌧
☺
Artinya, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu'min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Masih menurut Harun Nasution, di dalam tasawuf, jalan untuk
mendekatkan diri yang ditempuh seseorang agar sampai ke tingkat “melihat”
Tuhan dengan mata hati dan akhirnya “bersatu” dengan Tuhan demikian panjang
dan penuh “duri”. Tidak sebentar seseorang harus menempuh jalan yang sulit itu,
karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut thariqah dalam bahasa Arab, dan dari sinilah berasal kata
“tarekat” dalam bahasa Indonesia.30
Sejatinya, pencarian asal istilah tasawuf cukup kesulitan. Setiap orang bisa
berbeda dalam pendefinisiannya, kesulitan itu tampaknya karena esensi tasawuf
yang berpangkal pada pengalaman rohaniah (hati, kalbu) yang hampir tidak
mungkin bisa dijelaskan secara tepat dengan lisan.31 Peran hati atau kalbu merupakan organ yang amat penting, karena dengan mata hatilah seseorang
30
Harun Nasution, Tasawuf.
31
merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya
adalah penghayatan makrifat kepada Allah.32 Akan tetapi, meskipun kesulitan dijelaskan dengan lisan, setidaknya para pelaku tasawuf bisa dilihat dari sikap
lahiriahnya yang menunjukkan bahwa ia bertasawuf. Karena tasawuf itu, selain
berkaitan dengan ruhaniah juga berusaha menciptakan manusia yang hidup
dengan benar, rajin beribadah, berakhlak mulia, merasakan indahnya hidup dan
nikmatnya ibadah.33 Jadi, apa yang disebut tasawuf tidak lebih dari etika atau moralitas.34 Kata “moral” sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, dan sopan santun.
Dari definisi-difinisi tasawuf tersebut dapat disimpulkan bahwa, secara
garis besar tasawuf dikategorikan dalam dua bagian. Pertama, bagian yang
berkaitan dengan latihan rohani, ibadah kepada Allah. Kedua, bagian yang
menyangkut pendidikan mental dan jiwa untuk mencapai keluhuran serta
kesempurnaan budi pekerti (muamalah).35
Jadi, tasawuf itu dalam rangka selain dianjurkan memperbanyak ibadah
juga dalam rangka “membersihkan hati”, mengamalkan hal-hal yang baik, dan
meninggal-kan hal-hal yang buruk. Seorang “pencari Tuhan” dituntut selalu
ikhlas, rela, tawakal, dan zuhud. Oleh karena itu, tasawuf dengan akhlak itu
sejatinya berhubung rapat satu sama lain. Tasawuf adalah yang batin, sedangkan
akhlak adalah yang lahir, atau yang pokok adalah tasawuf, buahnya adalah akhlak
32
Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. II, hal.121.
33
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, hal. 36-37.
34
Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, hal. 40-41.
35
xxvii
yang mulia. Dengan demikian, hubungan antara tasawuf dengan akhlak tidak
terpisah.
Di dalam dunia tasawuf terdapat istilah-istilah ajaran yang banyak dianut
oleh pengikutnya. Istilah-istilah tersebut diperkenalkan oleh tokoh-tokoh tasawuf
yang berjaya pada masanya, di antaranya; fana, baqa, ittihad, dan hulul
dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami pada tahun 874 M., wahdat al-wujud
oleh Muhy al-Din ibnu Arabi pada tahun 1165 M., al-insân al-kâmil oleh Abdul
Karim al-Jilli (w.1428 M.), mahabbah oleh Rabiah al-Adawiyah pada abad VIII
M., ma’rifah diperkenalkan oleh al-Ghazali pada tahun 1105 M..36
2. Pengertian Tarekat
Istilah yang sering diidentikkan dengannya adalah “tarekat”. Istilah “tarekat”
mempunyai arti “jalan”, yakni jalan menuju kebenaran dalam tasawuf, sebagai
cara atau aturan hidup dalam keagamaan atau ilmu kebatinan, tarekat juga bisa
dinamakan dengan “persekutuan para penuntut ilmu tasawuf”.37
Menurut bahasa, asal kata “tarekat” berasal dari kata Arab “thariqah”.
Sebagai suatu istilah generis, perkataan tarekat berarti “jalan” atau lebih lengkap
lagi “jalan menuju surga” di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat
tersebut si pelaku berusaha mengangkat melampaui batas-batas kediriannya
sebagai manusia dan men-dekatkan dirinya ke sisi Allah swt.. Istilah “tarekat”
juga bisa diartikan dengan suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan
tradisional) yang melakukan amalan-amalan zikir tertentu dan menyampaikan
36
Mustofa, Akhlak Tasawuf, hal. 246-278.
37
suatu sumpah (biasa disebut baiat atau talqin) yang formulanya telah ditentukan
oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut.38
Dari definisi “tarekat” tersebut, disimpulkan mengacu pada dua hal.
Pertama, tarekat diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan
oleh penempuh jalan tasawuf, untuk mencapai tingkatan kerohanian yang biasa
disebut dengan al-Maqamat dan al-Ahwal, pengertian ini menonjol pada abad IX
dan X Masehi.. Kedua, tarekat diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan
menurut aturan yang dipimpin oleh syaikh yang menganut aliran tarekat tertentu.39 Sedangkan tujuan utama pendirian pelbagai tarekat adalah untuk membina
dan mengarahkan seseorang agar bisa merasakan hakikat Tuhannya dalam
kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna.40 Mengenai hukum seseorang yang masuk tarekat dan mengamalkannya, jika
ia menghendaki belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan
berusaha menghiasi dengan sifat-sifat terpuji, maka hukumnya fardhu ‘ain. Akan
tetapi, jika ia menghendaki khusus untuk zikir dan wirid, maka termasuk sunah
Rasulullah saw.. Adapun mengamalkan zikir dan wirid setelah baiat maka
hukumnya wajib, karena untuk memenuhi janji.41
Keberadaan tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah sudah diakui sah
keberadaannya di nusantara. Pada tanggal 10 Oktober 1957 para kyai mendirikan
38
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet. I, hal. 135.
39
Mustofa, Akhlak Tasawuf, hal. 281-282
40
Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hal. 55.
41
xxix
suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh
Mu’tabarah, dan menentukan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah sebagai tarekat
yang mu’tabar (sah).42
Istilah-istilah yang ada dalam tarekat di antaranya; suluk, baiat, zawiyah,
silsilah, wali, mursyid, dan keramat.
3. Hubungan Tasawuf dan Tarekat
Penjelasan singkat tentang tasawuf dan tarekat mempunyai pengertian yang
searah, yaitu upaya mendekatkan diri kepada Allah. Usaha seseorang untuk
mendekatkan diri kepada Allah tidak hanya berasal dengan menjalankan
perintah-perintah wajib dalam agama seperti yang sudah lazim dikerjakan seperti sholat,
puasa dan haji. Jalan untuk itu diberikan oleh al–tasawwuf,43 sedangkan tarekat merupakan sarana untuk mencapai tujuan tasawuf.44
Pemahaman yang mengidentikkan “tarekat” dan “tasawuf” tidak sepenuhnya
salah, walaupun secara bahasa keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.
Tasawuf secara spesifik sebenarnya bagian dari pembedahan rahasia di balik
teks-teks Ilahiah, sedangkan tarekat merupakan bagian kecil praktik peribadatan yang
mencoba memasuki dunia tasawuf dan dapat berfungsi untuk mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan nafsu dan sifat-sifatnya kemudian meninggalkannya dan
mengisi dengan tindakan yang terpuji.45 Dengan demikian, tarekat merupakan bagian dari tasawuf.
42
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 143.
43
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), Cet, I, hal. 68.
44
Mahjudin, Kuliah Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), Cet. II, hal. 93.
45
Sekarang ini, tasawuf sudah menjadi tarekat.46 Karena, dari bagaimana langkah seseorang mengatur nafas agar selalu mengingat Allah, cara menjaga hati
agar terhindar dari “penyakit-penyakitnya”, dan amalan-amalan ruhaniah lainnya.
Di antara ja-lan yang ditempuh bisa melalui ketika seseorang bertarekat. Tasawuf
itu tidak bisa diamalkan, artinya, jika seseorang ingin bertasawuf maka
diharapkan ia bertarekat. Di dalam tarekat, seseorang memperoleh keterangan
yang berkaitan dengan tasawuf. Di dalam tarekat juga khususnya yang
muktabarah, seseorang memperoleh bimbingan dalam mendekatkan diri kepada
Allah dari seorang guru (mursyid) yang mempunyai ajaran dan bersilsilah sampai
Nabi Muhammad saw..
Dilihat dalam konteks secara umum, bahwa istilah tarekat di dalam tasawuf
itu tidak hanya ditujukan pada aturan dan cara-cara tertentu yang dibimbing oleh
syaikh tarekat, dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut syaikh
tarekat, tetapi lebih dari itu. Tarekat meliputi segala aspek ajaran yang ada dalam
agama Islam seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya. Yang mana, semuanya itu
merupakan cara atau mendekatkan diri kepada Allah.47
Jadi, setelah melihat tujuan yang diharapkan dari tasawuf dan tarekat adalah
sama, “upaya mendekatkan diri kepada Allah”, maka tidak salah jika seseorang
memahami tasawuf dengan cara baiat dalam tarekat, bahkan ada pendapat yang
me-nerangkan bahwa tarekat sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui dalam
kehidupan tasawuf.48
46
Sukardi, Kuliah-kuliah Tasawuf, hal. 17.
47
Rosihan Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet.I, hal.166.
48
xxxi
4. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajaran-ajarannya
Pembahasan tentang tokoh-tokoh tasawuf tidak bisa dilepaskan dengan
aliran yang berkembang di dalamnya. Ada dua jenis aliran dalam tasawuf, tasawuf
Akhlaqi dan Falsafi. Tasawuf akhlaqi merupakan tasawuf sunni yang memagari
dirinya dengan al-Quran dan Hadis secara ketat, serta mengaitkan dengan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingaktan ruhaniah) mereka pada dua sumber tersebut.
Sedangkan tasawuf falsafi, tasawuf yang bercampur dengan ajaran-ajaran filsafat
kompromi dalam mengunakan term-term filsafat yang maknanya disesuaikan
dengan tasawuf.49
Tokoh tasawuf yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaqi di antaranya
Hasan al-Bashri (21 H./632 M.). Dari Hasan al-Bashri mula-mula muncul
pembahasan tentang ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha
mensucikan jiwa manusia dari sifat-sifat tercela.50 Ajaran-ajaran tasawuf yang dipelopori oleh Hasan al-Basri secara garis besar terangkum dalam dua istilah,
yaitu khauf dan raja. Seseorang harus takut (khauf) dan pengharapan (raja) tidak
akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah. Selain itu, seseorang harus bersedih hati kalau tidak mampu
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
Gambaran ketakutannya seperti seolah-olah neraka hanya untuk dirinya.51 Di antara ajaran Hasan al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah:
“Anak Adam !
Dirimu, diriku !
49
Rosihan Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, hal.97.
50
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. V, hal.164.
51
Dirimu hanya satu,
Kalu ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu. Tiap-tiap nikmat yang bukan surga, adalah hina.
Dan, tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka aalah mudah.”52
Tokoh lain selain Hasan al-Bashri yang tergolong dalam aliran tasawuf
akhlaqi adalah al-Ghazali. Nama lengkap al-Ghazali ialah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir di Thus pada 450-550
H./1034-1111 M. Dalam bidang tasawuf, al-Ghazali membawa paham
al-Ma’rifah, namun paham al-Ma’rifah al-Ghazali berbeda dengan yang dibawa oleh
Zunnun al-Misri. Bagi al-Ghazali, Ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan
mengetahui peraturan-peraturan-Nya mengenai segala yang ada. Orang yang
sudah ma’rifah kepada Allah (‘Ârif billah) tidak akan mengatakan kata-kata “Ya
Allah, atau Ya Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu
menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir, diibaratkan orang
yang duduk berhadapan tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti
itu.53 Ajaran-ajaran pokok al-Ghazali dapat pula dilihat dalam kitabnya Ihya Ulum
al-Din. Selain Hasan al-Bashri dan al-Ghazali, yang tergolong dalam tokoh
tasawuf akhlaqi adalah al-Muhassibi (w.243 H) dan al-Qusyairi (376 H.)
Demikianlah keterangan singkat mengenai tasawuf akhlaqi dan
tokoh-tokohnya. Sedangkan aliran tasawuf falsafi di antara tokohnya adalah ibn ‘Arabi
(560 H.). Nama lengkapnya, Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah
ath-Tha’i al-Haitami, lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol.54 Ajaran sntral ibn ‘Arabi adalah Wahdat al-Wujud. Menurut ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada
52
Rosihan Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, hal.100.
53
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hal.179
54
xxxiii
ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik juga,
tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah, tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim dan
yang hadis. Tidak ada perbedaan antara yang menyembah dan yang disembah,
antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Penjelasan mengenai
mengapa terlihat dua jika antara makhluk dan khalik itu bersatu? Oleh ibn ‘Arabi
dijelaskan bahwa manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi
memandang keduanya bahwa keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan
makhluk dari sisi yang lain.55 Tokoh lainnya yang tergolong dalamtasawuf falsafi adalahal-Jilli (1365 M.) dan ibn Sabi’in (1217-1218 M.).
B. TAREKAT QADIRIYAH NAQSHBANDIYAH (TQN) 1. Latar Belakang dan Pendiri
Menelusuri sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah
(TQN) di dunia Islam merupakan suatu pekerjaan yang tidak mungkin, karena
tidak dikenalnya jenis tarekat tersebut. Namun, kehadiran TQN di Indonesia tentu
tidak terlepas dari sejarah perkembangan kedua tarekat yang digabungkan itu,
yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqshabandiyah. Kedua tarekat tersebut
merupakan dua tarekat besar di Dunia Islam.56 Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat
tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis zikir dan
metodenya. Di samping keduanya juga memiliki kecenderungan yang sama, yaitu
55
Rosihan Anwar dan Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawuf, hal.145-152.
56
menekankan pentingnya syariat dan menentang faham Wihdatul Wujud.57
Karena Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah (TQN) merupakan gabungan
dua tarekat besar, berikut adalah penjelasan garis besar kedua tarekat tersebut;
Pertama, Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qodir Jailani
(wafat 561 H./1166 M.) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad
Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zangi Dost Jailani. Sedangkan nama lengkap
al-Jailani adalah Muhy al-Din Abu Muhammad Abd al-Qadir ibn Abi Shalih Zangi
Dost Musa ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid Muhammad ibn Daud ibn Musa
ibn Abdillah ibn Musa al-Jun ibn Abd al-Muhshin ibn al-Hasan al-Mutsanna ibn
Muhammad al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib (r.a.).58 Syaikh al-Jailani Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Syaikh
Abdul Qadir juga dikisahkan mempunyai karomah yang menambah yakin para
penganutnya. Di antara kisah karomah tersebut ialah, Syaikh Abdul Qadir sejak
dilahirkan pada siang hari bulan puasa menolak untuk menyusu, baru menyusu
setelah waktu buka puasa.
Ajaran-ajaran Syaikh Abdul Qadir yang diberikan dalam ribath yang
dipimpinnya diteruskan oleh anak-anaknya tetap hidup dalam zawiyah-zawiyah,
tempat untuk melatih diri dalam kehidupannya. Dari zawiyah-zawiyah inilah
lambat laun terbentuk suatu komunitas muslim penganut ajaran syaikh Abdul
Qadir di bidang tasawuf, yang kemudian dikenal dengan Tarekat Qadiriyah.59 Ajaran tarekat Qadiriyah, melalui dua tahapan, tahapan pertama berlangsung
singkat sedangkan tahapan kedua berlangsung lama dan selalu dalam pantauan
57
Shohibul Wafa Tajul Arifin, Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah.
58
Harun Nasution, et.al., Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah, hal. 59.
59
xxxv
guru, karena berupa perjalanan panjang nan berat. Tahapan pertama, pertemuan
guru (syaikh) dan murid (artinya penempuh jalan tarekat, bisa juga disebut sâlik),
murid mengerjakan sholat sunah muthlaq dua rakaat diteruskan membaca surah
al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid
duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan
lafaz Laailaha Illa Allah, dan infahna binafhihi minka kemudian dilanjutkan
dengan al-Quran Surah Al-Fath ayat 10. Setelah itu, guru mendengarkan kalimat
tauhid (Lâ Ilâha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut
benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai
murid, berdoa dan minum. Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini
memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun, karena murid akan menerima
hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya,
menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih
dirinya (mujâhadah-riyadhah).60
Amalan-amalan tarekat ini adalah mengucapkan kalimat tauhid, zikir “Laa
ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (jahar) yang disebut nafi istbat.
Selain itu, dalam setiap selesai melaksanakan sholat lima waktu diwajibkan
membaca istighfar tiga kali atau lebih, shalawattiga kali, Laa Ilaha Illa Allah 165
kali.61 Pendiri tarekat Qadiriyah yakni Syekh Abdul Qadir Jilani memberikan syarat-syarat zikir, yaitu selain berzikir dengan hentakan keras dan suara kencang,
pezikir harus dalam keadaan wudhu sempurna, agar cahaya zikir dapat diraih
60
Arrusodo, Tarekat Qadiriyah. diakses pada 03 Maret 2004, dari;
//www.sufinews.com/in-dex.php?subaction=showfull&id=1078317640&archive=&start_from=&ucat=8&go=tarekat.
61
dalam batin pezikirnya, dan hati mereka menjadi hidup dengan cahaya tersebut
seperti kehidupan abadi ukhrawi.62
Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia berasal dari Mekah. Tarekat
Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa,
seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa
Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid
kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama
paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang
berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar
Tarekat Qodiriyah tersebut. Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad
ke-19, terutama ketika terjadi pemberontakan dalam menghadapi penjajahan
Belanda.63
Kedua, Tarekat Naqshabandiyah. Nama tarekat ini dinisbatkan kepada
seorang sufi yang hidup antara tahun 717 H./1317 M.–791 H./1389 M, Syaikh
Muhammad Bahauddin Naqsyabandi di kota Bukhara, wilayah Uzbekistan
sekarang.64
Mengenai teknis zikir, tarekat ini membedakan dirinya dengan tarekat lain.
Zikir yang dipraktikkan adalah zikir diam (khafi; tersembunyi, qalbi; dalam hati).
Jumlah hitungan zikir yang mesti diamalkan lebih banyak daripada kebanyakan
62
Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Segala Rahasia, penerjemah Anding Mujahidin, (Jakarta: Laksana Utama 2004), Cet. I, hal. 127.
63
Arrusodo, Tarekat Qadiriyah.
64
xxxvii
tarekat lain. Dua zikir dasar Naqsyabandiyah, biasanya diamalkan pada pertemuan
yang sama adalah zikir ism al-dzat (mengingat yang Haqiqi) dan zikir tauhid
(mengingat ke-Esaan). Yang pertama terdiri dari pengucapan Asma Allah
berulang-ulang dalam hati ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Zikir Tauhid (juga zikir tahlil atau
zikir nafyi wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan
nafas, kalimat Lâ Ilâha Illa Llah, yang dibayang-kan seperti menggambar jalan
(garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke
hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung
bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang
dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah dihujamkan dengan
sekuat tenaga dengan membayangkan jantung itu mendenyutkan asma Allah dan
membara.
Zikir dapat dilakukan secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Para
penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan zikir secara sendiri-sendiri,
tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syaikh cenderung ikut serta secara
teratur dalam perte-muan-pertemuan yang dilakukan secara berjamaah.
Demikianlah garis besar singkat dua tarekat besar yang mendasari Tarekat
Qadiriyah Naqshabandiyah (TQN). Setelah melihat garis besar kedua tarekat yang
mendasari Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah bukan berarti tarekat ini akan
mempu-nyai amalan yang sama dengan kedua tarekat induk yang mendasarinya.
penggabungan dan modifikasi yang sedemikian ini memang suatu hal yang sering
terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah.65
Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib
Sambas (1802-1872 M.) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath al ‘ârifîn.
Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat.
Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid tarekat Qadiriyah di samping juga mursyid
dalam tarekat Naqshabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya
dari sanad Tarekat Qadiriyah. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti
dari sanad mana beliau menerima baiat Tarekat Naqsabandiah.66 Syaikh Ahmad Khatib tidak mengajarkan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah secara terpisah,
tetapi dalam satu kesatuan yang diamalkan secara utuh sekalipun kedua tarekat
yang mendasarinya itu mempu-nyai metode tersendiri, baik dalam aturan-aturan
kegiatan, prinsip-prinsip maupun cara pembinaannya.67
Tujuan dari tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah adalah,
Ilahî Anta Maqshûdî Waridlôka Mathlûbi A’thînî Mahabbataka wa Ma’rifataka.68
Artinya, “Ya Tuhanku ! hanya Engkaulah yang ku maksud, dan
keridhaan-Mu lah yang kucari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan ma’rifat kepada-Mu.”
Dalam doa tersebut bagi sâlik TQN wajib dibaca dua kali sehari. Kandungan
doa ini ada tiga:
1. Taqorrub terhadap Allah swt., ialah mendekatkan diri kepada Allah dalam jalan uIwaniyah yang dalam hal ini dapat dikatakan tak ada sesuatu pun
65
Kharisudin Aqib, al Hikmah, hal. 46.
66
Shohibul Wafa, Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah.
67
Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, hal. 49.
68
xxxix
yang menjadi tirai penghalang antara âbid dan ma’bud, antara kholiq dan makhluk.
2. Menuju jalan mardhotillah, ialah menuju jalan yang Allah swt. rela. Dalam segala gerak-gerik manusia diharuskan mengikuti atau mentaati perintah Tuhan dan menjauhi atau meninggalkan larangannya. Hasil budi pekerti menjadi baik, akhlak pun baik dan segala hal ihwal-nya menjadi baik pula, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun yang berhubungan dengan sesama manusia atau dengan makhluk Allah.
3. Kemahabbahan dan kema’rifatan kepada Allah swt.. Rasa cinta dan
ma’rifat terhadap Allah “dzat laisa kamitslihi syaiun” yang dalam
mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati. Kalau telah tumbuh mahabbah, timbullah berbagai macam hikmah di antaranya membiasakan diri dengan selurus-lurusnya dalam hak dlohir dan bathin, dapat pula mewujudkan “keadilan” yakni dapat menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran dari mahabbah datang pula belas kasihan ke sesama makhluk di antaranya cinta pada nusa bangsa beserta agamanya. Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah ini adalah salah satu jalan buat membukakan diri supaya tercapai arah tujuan tersebut.69 Setelah Syaikh Sambas belajar pendidikan agama dasar di kampungya,
untuk meneruskan studinya beliau berangkat ke Mekah pada usia sembilan belas
tahun dan menetap di sana hingga wafatnya pada tahun 1289 H./1872 M. Di
Mekah beliau belajar ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf, dan mencapai posisi
yang sangat dihargai di antara teman-temannya, dan kemudian menjadi tokoh
yang sangat berpengaruh di Indonesia. Di antara gurunya adalah Syaikh
Muhammad Arsyad al-Banjari (w.1812 M.), dan Ahmad Khatib Sambas
merupakan murid yang sudah sampai tingkat tinggi dan diangkat sebagai Mursyid
Kammil Mukammil.70
2. Jaringan TQN di Indonesia
Pada abad 19 M Tarekat Syattariah sudah tidak diterima oleh masyarakat
Jawa karena dianggap membuka pemikiran-pemikiran bid’ah, yang akhirnya
69
A.Shohibulwafa, Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah.
70
mengalami kemerosotan pendukung. Hal ini membuat keberadaan Tarekat
Qadiriyah Naqshabandiyah yang mulai masuk pada abad tersebut menjadi mudah
diterima di pulau Jawa. Selain itu, kemudahan tersebut kemungkinan besar juga
karena kemasyhuran kedua tarekat yang mendasarinya (Tarekat Qadiriyah dan
Tarekat Naqshabandiyah) yang sudah dikenal sejak puluhan bahkan ratusan tahun
yang lalu.71
Syaikh Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan
syaikh-syaikh besar lainnya yang bukan pengikut tarekat seperti Syaikh Tolhah
dari Cirebon, danSyaikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, di mana
mereka berdua pernah menetap di Mekah.72 Pada tahun 1970, ada 4 tempat penting sebagai pusat Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah di pulau Jawa
yaitu;
1 Rejoso(Jombang) di bawah bimbinganSyaikh Romli Tamim.
2 Mranggen(Demak) di bawah bimbinganSyaikh Muslih.
3 Suryalaya (Tasikmalaya) di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Shahibul
Wafa Tajul Arifin(Abah Anom).
4 Pagentongan(Bogor) di bawah bimbinganSyaikh Thohir Falak.73
Secara garis besar, perkembangan TQN di Indonesia sebagai berikut;
Perkembangan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Jawa Tengah berpusat di
71
Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, hal. 102-103.
72Sejarah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah, http://www.cybermq.com/index.php?pus-taka/detail/15/1/pustaka-220.html.
xli
Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Pesantren ini didirikan oleh
Kiai Abdul Rahman pada tahun 1905, lalu dilanjutkan oleh putranya, Kiai Muslih,
yang merupakan mursyid dari dua silisilah. Pertama, Kiai Asnawi Banten dan
Kiai Abdul Latif Banten. Kedua, Mbah Abdur Rahman Menur, utara Mranggen
yang dibaiat oleh Ibrahim al-Barumbuni (Brumbung). Salah satu murid Kiai
Muslih, Kiai Abu Nur Djazuli telah menyebarkan TQN di Brebes. Mengenai TQN
di Madura, seorang khalifah dari Syaikh Sambas dari Madura bernama Ahmad
Hasbullah. Kiai Ahmad Hasbullah telah sukses mengembangkan TQN di luar
pulau Madura yaitu Rejoso, yang berpusat di Pesantren Darul Ulum yang
didirikan oleh Kiai Tamin dari Madura. TQN diperkenalkan oleh menantu beliau,
Kholil yang mengambil baiat dari Ahmad Hasbullah di mekah. Dari Khalil
kemudian diteruskan oleh putra sendiri yaitu Kiai Romly Tamim, dan diteruskan
oleh Kiai Mustain Romly. Sesudah itu, TQN ditreruskan oleh Kiai Rifai Romly
(w.1994), yang menerima ijazah dari saudaranya Mustain Romly. Kepemimpinan
TQN diteruskan oleh K.H Dimyati Romly yang menerima ijazah dari Kiai Romly
dan Kiai Mustain Romly.74
Sedangkan perkembangan TQN di Banten, khalifah dari Syaikh Abdul
karim Banten untuk daerah asalnya ialah Kiai Asnawi dari Caringin.
Keturunannya, Kazim meneruskannya di daerah Menez kemudian diteruskan oleh
putranya Ahmad. Sementara itu, Kiai Asnawi juga membentuk khalifah dari
Cilegon, Abdul Latif bin Ali. Adapun TQN di daerah Bogor dikembangkan oleh
Kiai Fala, yang salah seorang khalifah dari Syaikh Karim banten. Di antara murid
74
Syaikh Sambas dari Sumatra adalah H. Ahmad Lampung, sedangkan khalifah
Syaikh Sambas dari Palembang adalah Muhammad ma’ruf bin Abdullah khatib.
Selain dari Lampung dan Palembang, khalifah Syaikh Sambas lainnya adalah
H.Muhammad Ismail bin abdul Rahim al-Bali dan Muhammad Ali dari
Lombok.75
Penggambaran tentang struktur silsilah TQN yang dikembangkan oleh
khalifah-khalifahnya di Indonesia secara garis besar, sebagai berikut;
75
xliii
= Panah yang dituju menunjukkan silsilah dari guru mursyid ke murid
3. Amalan-amalan
Semua tarekat pasti menggunakan dasar utama al-Quran dan Hadis. Karena
dua dasar utama tersebut merupakan dasar agama Islam. Selain menggunakan
dasar al-Quran dan Hadis, juga didasarkan pada perkataan ulama al-‘Ârifîn dari
kalangan salaf al-Shâlihîn. Mengenai ajaran TQN, setidaknya ada empat ajaran
pokok dalam tarekat ini, yaitu ajaran tentang kesempurnaan suluk, adab para
murid, zikir, dan muraqabah.76 Keempat ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan dalam kehidupan para pengikut tarekat Qadiriyah
Naqshabandiyah. Ajaran-ajaran tersebut juga membentuk identitas diri yang
membedakan antara pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran yang
bersifat teknis, seperti tata cara dalam berzikir, muraqabah, dan bentuk-bentuk
upacara ritualnya. Kemudian, selain amalan-amalan yang berhubungan dengan
sesama manusia juga terdapat amalan lainnya berupa teknis berzikir, khataman,
manaqib, dan tawashul.
a. Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam ajaran TQN adalah suatu keyakinan
bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah), adalah jika berada dalam tiga dimensi keislaman, yaitu Islam,
76
Iman, dan Ihsan. Ketiga term tersebut sangat populer dengan istilah syariat,
tarekat dan hakikat.77
b. Adab Para Murid
Kitab yang sangat populer di kalangan sunni juga di kalangan pesantren
salaf yang menjadi rujukan bagi sebagian besar tarekat adalah Tanwir al-Qulub fi
Muammalati ‘allam al-Guyûb karya Muhammad Amin Kurdi di samping
kitab-kitab rujukan yang lain, di dalam kitab-kitab tersebut diuraikan panjang lebar tentang
adab bagi murid, juga dijelaskan pentingnya memperbaiki adab, dan ini
merupakan unsur ajaran pokok yang ada dalam mazhab tasawuf. Secara garis
besar, seorang murid atau pun ahli tarekat harus menjaga empat adab, yaitu adab
kepada Allah, kepada syaikh (guru, mursyid), kepada ikhwan, dan adab kepada
diri sendiri.78
a). Adab kepada Allah. Yaitu dengan cara mensyukuri setiap nikmat
pemberian Allah setiap waktu dan kesempatan, tidak bersembunyi dari seseorang
kecuali ada uzur. Tidak menunda pemberian kepada orang yang meminta pada
waktu lain. Tidak sekali-kali menolak orang-orang yang meminta-minta, kecuali
karena hikmah, bukan karena kikir dan bakhil. Berusaha mengeluarkan
(menjauhi) kecenderungannya kepada selain Allah. Mengutamakan kepentingan
saudaranya sesama muslim dengan apa yang dimilikinya. Menjauhi sesuatu yang
77
Kharisudin Aqib, al Hikmah, hal. 61.
78
xlv
diagungkan (diperebutkan) oleh kebanyakan manusia, termasuk di dalamnya
adalah berbuat yang tidak jelas hukum-nya.79
b). Adab kepada mursyid. Usaha murid ke arah kesempurnaan itu
merupakan perjuangan batin yang dilakukan di bawah bimbingan pembimbing
ruhani, murid di hadapan pembimbing ibarat mayat di tangan pemandinya.
Menjadi tugas sang pem-bimbinglah untuk memperhitungkan sifat-sifat si murid,
untuk menjadikannya memi-liki sifat rendah hati, selalu bertaubat, menjaga lisan,
berpuasa, dan perbuatan-perbuatan lainnya, juga samadi, membaca doa,
mengulang-ulang terus menerus per-mohonan yang mengisi hari-hari bagi si calon
sufi.80
Dengan demikian, keberadaan pembimbing sangat dibutuhkan. Oleh karena
itu murid harus benar-benar beradab kepada Syaikh. Secara garis besar ada 10
macam aturan yang harus dijalani murid, dari sepuluh aturan itu lima di antaranya
dapat dikatakan sebagai doktrin bagi tindakan sosial murid tarekat, sedangkan
yang lainnya berlaku bagi tindakan spiritual para murid, yaitu berhubungan
dengan rabithah dan washilah.81Sepuluh aturan itu sebagai berikut:
1. Seorang murid harus memiliki keyakinan, bahwa maksud dan tujuan
suluk-nya tidak mungkin berhasil tanpa perantara gurunya.
2. Seorang murid harus pasrah, menurut dan mengikuti bimbingan guru dengan rela hati.
3. Jika murid berbeda pendapat dengan guru, baik masalah kulliyat maupun juzi’yyat, masalah ibadah maupun adat, maka murid harus selalu mengalah dan menuruti pendapat gurunya karena i’tirad
79
Kharisudin Aqib, al Hikmah, hal. 67.
80
H.L Beck dan N.J.G. Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1998), Jilid I, hal. 62.
81
(menentang) guru itu meng-halangi berkah dan menjadi su ul
khatimah.
4. Murid harus berlari dari semua yang dibenci gurunya dan turut membenci apa yang dibenci gurunya.
5. Jangan tergesa-gesa mengambil ta’bir (mengambil kesimpulan) atas masalah-masalah seperti; impian, isyarat-isyarat, walaupun murid lebih ahli dari gurunya dalam hal itu.
6. Merendahkan suara di majlis gurunya, jangan memperbanyak bicara dan tanya jawab dengan gurunya, karena itu akan menjadi sebabnya
mahjub.
7. Kalau mau menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu.
8. Jangan menyembunyikan rahasia di hadapan guru.
9. Murid tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali yang sekedar dapat dipahami oleh orang-orang yang diajak bicara. 10.Jangan menggunjing, mengolok-olok, mengumpat, memelototi,
mengkritik, dan menyebarluaskan aib guru kepada orang lain.82
Apa saja yang disampaikan mursyid benar-benar diterima oleh murid
dengan hidmat dan tidak ada yang bertanya, apalagi sampai mempermasalahkan
sesuatu yang menurutnyakurang pas. Hal ini setidaknya ada tiga faktor penyebab,
yaitu;
Pertama, keawaman murid dan penghormatan berlebihan kepada Guru. Kedua, metode bimbingan guru yang bersifat doktrinal, sehingga murid merasa lebih baik sami’na wa atha’na.
Ketiga, baik guru maupun murid lebih mementingkan segi-segi praktis bagi tindakan keagamaan mereka.83
Sami’na wa atha’na yang dilakukan murid tidak bisa dikatakan bahwa
tindakan murid tersebut adalah ketinggalan jaman yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan model pendidikan modern, yang menganjurkan murid untuk tampil
kritis, kreatif dan adanya interaktif antara guru dan murid. Sedangkan dalam dunia
tarekat kedudukan murid di hadapan guru ibarat seorang pasien di hadapan dokter
spesialis, yang mana kemungkinannya justeru pasien sendiri itu tidak mengetahui
82
Kharisudin Aqib, al-Hikmah, hal. 68-70.
83
xlvii
penyakit-penyakit yang dideritanya sehingga dokter spesialislah yang akan
memberi informasi tentang penyakit pasien dengan sesungguhnya dan
mengobatinya. Murid dan guru dalam tasawuf juga bisa diibaratkan dengan
seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengan psikolog. Pasien psikolog
maupun pasien dokter spesialis hanya bisa “diam” dan harus mentaati segala
perintah dan larangan-larangan yang diberikan kepadanya tanpa harus
membantah, walaupun bagi pasien anjuran atau larangan yang diberikan itu
sungguh berlawanan dengan pemahamannya.
c). Adab sesama ikhwan. Hubungan murid dan ikhwan harus dijaga, tidak
pantas seseorang yang sama dalam “pencarian” cita-cita mulia dicampuri dengan
pertikaian. Oleh karena itu, murid harus mempunyai pedoman adab kepada
ikhwan. Adab sesama ikhwan sebagai berikut:
1. Hendaknya menyenangkan ikhwan dengan sesuatu yang
menyenangkan, dan jangan mengistimewakan dirimu sendiri.
2. Jika bertemu, hendaknya bersegera mengucapkan salam, mengulurkan tangan (mengajak berjabat tangan), dan bermanis-manis kata dengan mereka.
3. Menggauli dengan akhlak yang baik, yaitu memperlakukan mereka sebagaimana kamu suka diperlakukan.
4. Merendahkan hati kepada mereka.
5. Usahakan agar mereka rela (suka), pandanglah bahwa mereka lebih baik dari dirimu.
6. Berlemahlembutlah dalam menasehati ikhwan jika kamu melihat mereka menyimpang dari kebenaran.
7. Perbaikilah prasangkamu kepada mereka. 8. Jika minta izin (keringanan), maka kabulkan.
9. Jika ada pertikaian antara sesama ikhwan maka damaikanlah di antara keduanya.
10.Jadikanlah kalian teman dalam semua keadaan.
11.Hendaklah kalian memberi tempat duduk kepada ikhwan dalam majlis. 12.Hendaknya membatasi berpaling dari mereka, dan mendukung mereka