BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Intrinsik Novel AAC
7. Amanat
tentang bagaimana sikap kita kalau menghadapi persoalan tersebut.62 Sesuatu yang menjadi pendirian, sikap, atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya, dengan kata lain merupakan pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.63
58
Ibid.,h. 266.
59
Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, (Jakatra: PT SUN, 2004), h. 112.
60
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasino, 2008), h. 138.
61
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 64.
62
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 89.
63
Amanat dapat dikatakan ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita.64
Jadi, amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang terkait dengan masalah yang ada di dalam cerita. Amanat dalam cerita bisa secara tersirat dan juga tersurat. Biasanya pesan tersebut didapatkan setelah pembaca memaknai keseluruhan cerita. Setiap pembaca memiliki amanat yang berbeda ketika membaca satu bacaan yang sama, hal tersebut dikarenakan sifat karya sastra ialah berbeda-beda makna.
B. Pendekatan Pragmatik
Pengarang sebagai pencipta sebuah karya sastra pasti mempunyai ide-ide sebelum menciptakan suaru karya. Dalam penyampaian ide-idenya tersebut sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Abrams mengemukakan dalam komunikasi antara sastrawan dan pembaca tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu: karya satra, sastrawan, semesta, dan pembaca. Untuk itu terdapat empat pendekatan dalam kajian karya sastra, yaitu :65
1. Pendekatan objektif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastra. Memandang pada karya sastra dapat dilpeaskan dari siapa pengarang dan lingkungan serta zamannya. Sehingga karya sastra dapat dianalisa berdasarkan strukturnya sendiri.
2. Pendekatan ekspresif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada penulis. Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan.
3. Pendekatan mimetik ialah kajian sastra yang menitik beratkan terhadap imitasi atau tiruan pembayangan dunia kehidupan nyata.
64
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 64.
65
4. Pendekatan pragmatik ialah suatu pendekatan yang memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca sekalu penyambut karya sastra. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila bermanfaat bagi publiknya, seperti: menyenangkan, memberi kenikmatan atau mendidik.66
Istilah pragmatik merujuk pada efek komunikasi yang sering sekali dirumuskan dalam istilah Horatius: seniman bertugas untuk docere dan
delectare, memberi ajaran dan kenikmatan, sering kali ditambah lagi movere,
menggerakan pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab. Seni harus menggabungkan sifat dulce et utile, bermanfaat dan manis. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakan untuk bertindak oleh karya seni yang baik.67
Kecenderungan pragmatik yang diungkapkan oleh Sydney ialah Like Sidney’s, is ordered toward the audience, a ‘pragmatic theory’, since it looks at the work of art chiefly as a means to an end, an instrument for getting something done, and tends to judge its value according to its success in
achieving that aim.68 Menurut Sidney kecenderungan utama dari pragmatik
adalah untuk memahami karya sastra sebagai sesuatu yang dibuat dengan tujuan menghasilkan tanggapan yang diperlukan bagi pembacanya dan untuk memperoleh aturan-aturan dan penilaian dari kebutuhan dan permintaan yang masuk akal dari pembaca di mana karya sastra itu ditujukan.
Tujuan yang dibuat dalam membaca sastra haruslah bermanfaat dan memiliki nilai positif bagi pembacanya. Hal itu dikarenakan karya sastra harus mengandung dua unsur yaitu bermanfaat dan menarik. Manfaat tersebut didapatkan pembaca bergantung pada penilaian dan kebutuhannya terhadap suatu karya.
Pendekatan pragmatik merupakan sebuah pendekatan untuk mengapresiasi sastra yang berlandaskan pada pendapat pembaca. Menurut Sahnon Ahmad pembaca menggunakan imajinasinya dan memahami sebuah
66
Yudiono KS, Telaah Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31.
67
Teeuw, op. cit., h. 51.
68
M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, (United States of America: Oxford University Press, 1980), h. 15.
karya sastra. Proses pemahaman tersebut bukan sekadar rentetan peristiwa yang disambung-sambungkan, tetapi peristiwa yang dirasai dan dihayati oleh tokoh yang berada dalam peristiwa. Makna dari pengalaman bergantung pula pada emosi, wawasan dan nilai yang dibawa oleh individu. Pengalaman membekalkan kekuatan dan kesatuan kepada peristiwa yang dihidangkan dan menyiratkan sesuatu tentang kehidupan secara umum.69
Jausz dan Iser mengatakan adanya perkembangan mengenai penelitian
sebuah karya. Keterangan tentang arti suatu karya “ditanyakan” kepada
penulisnya. Dan bila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat dicari pada riwayat hidup penulisnya. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang mempunyai maknanya sendiri, dan ini dapat ditemui melalui analisis karya itu sendiri. Dari sini berkembang mengenai adanya pemberian suatu karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca musti menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti. Arti yang ditemui dalam teks itu bukanlah arti teks itu semata-mata, tetapi arti yang dikongkretkan oleh pembaca. Arti suatu teks ada dalam interaksi antara teks dan pembaca.70
Pandangan terhadap sastra dari sisi konsumennya, dalam masyarakat Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Hal ini dapat dibaca pada sejumlah data teksual yang antara lain terbaca pada ekspresi tekstual yang memperlihatkan fungsi-fungsi sastra di dalam masyarakat. Di antaranya ialah sebagai sarana menyampaikan ajaran (moral atau agama), untuk kepentingan politik pemerintah dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan yang lain.71 Untuk itulah, masing-masing pembaca biasanya mendapatkan dan menyimpulkan makna yang berbeda meskipun bacaannya sama. Hal tersebut berkaitan pula dengan emosi dan latar belakang pembaca.
69
Shahnon Ahmad, Sastera Pengalaman, Ilmu, Imaginasi dan Kitarannya, (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1994), h. 72.
70
Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 143-144.
71
Siti Chamamah Soeratno, dkk.,Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, Maret, 2002), h. 136.
Pembaca menjadi salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah karya sastra. Suatu karya sastra memiliki nilai, untuk itulah pembaca pasti mengapresiasi sebuah karya sastra. Apresiasi sastra merupakan pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu.
Grove mengungkapkan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan pemahaman atau pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Squire dan Taba mengungkapkan bahwa sebagai suatu proses apresiasi sastra melibatkan tiga unsur, yakni: a) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. b) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga berperan dalam memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. c) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya.72
Sejalan dengan hal tersebut, ketika pembaca mengapresiasi sebuah karya sastra maka hal yang ia lakukan ialah memberikan penilaian terhadap karya tersebut. Dalam memberikan penilaian itu pembaca melibatkan pengetahuan yang ia miliki dan emosi yang ia bawa secara subjektif. Emosi itu dapat berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk maupun emosi yang berubungan dengan isi atau gagasan yang menarik dan lucu. Penilaian dalam hal ini berkaitan dengan penemuan makna oleh pembaca yang memberikan kejelasan makna atau manfaat terhadap suatu karya sastra.
Tujuan penulisan karya sastra yang diungkapkan oleh Horace dan Sydney ialah advised that ‘the poet’s’ aim is either to profit to please, or to blend in one the delightful and the useful’. The context shows that Horace held
72
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: CV Sinar Baru, 1987), h. 34-35.
pleasure to be the chief purpose of poetry, for the recommends the profitable merely as a means to give pleasure to the elders, who, in contrast to the young aristocrats, ‘rail at what contains no serviceable lesson’.To the overwhelming majority of Renaissance critics, as to Sir Philip Sidney, at the moral effect was the terminal aim, to which delight and emotion were auxiliary and the optimistic moralist believed with James Beattie that if poetry instructs, it only
pleases the more effectually.73
Horace memberitahu bahwa tujuan dari karya sastra adalah untuk mengambil pelajaran atau untuk menyenangkan atau untuk menggabungkan pengajaran dan penggunaan. Menurut Philip Sydney, efek moral adalah tujuan selanjutnya sedangkan mengajarkan dan emosi adalah tujuan pembantu dan orang yang berpegang teguh pada kemoralan percaya pada James Beattie bahwa karya sastra hanya menyenangkan secara tepat.
Dari pendapat Horace dan Sydney dapat dikatakan bahwa dalam membaca sastra pasti akan mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga, emosi pembaca juga akan terlibat di dalamnya, tetapi megajarkan apa yang didapatkan bukanlah tujuan utama. Setidaknya pembaca mempunyai wawasan baru setelah membaca suatu karya sastra.
Pembaca menyerap teks itu ke dalam kesadaran mereka dan membuatnya menjadi pengalaman mereka sendiri. Kesadaran pembaca yang ada akan membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap ke dalaman tertentu agar dapat menerima dan memproses sudut pandang asing yang dihadirkan dalam teks ketika pembacaan terjadi.74 Karena dalam membaca sebuah karya sastra, pembaca seperti melakukan sebuah perjalanan yang belum pernah dilakukannya sehingga mereka mendapatkan suatu pengetahuan baru yang juga dikaitakan atas pengetahuannya terdahulu. Sehingga perjalanan tersebut akan menjadi pengalaman baru bagi para pembaca.
Manusia berusaha mengolah dan menyusun berbagai rangsangan dari kehidupan itu menjadi sesuatu yang dapat dirasakan, dibayangkan dan
73
M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, (United States of America: Oxford University Press, 1980), h. 16.
74
Rachmat Djoko Pradopo, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss), h. 120.
dipahami sehingga maknanya dapat ditangkap. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang mengalami pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya.75 Pemahaman atas bayangan pembaca tersebut terjadi karena adanya rasa empati yang memungkinkan pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu.
As a result the audience gradually receded into the background, giving place to the poet himself, and his own mental powers and emotional needs, as
the predominant cause and the even the end test of art.76 Sebagai hasilnya,
pembaca secara berangsur-angsur menyusut ke latar belakang, memberikan tempat pada karya sastra dalam dirinya dan kekuatan-kekuatan mentalnya sendiri dan kebutuhan emosional, sebagai sebab utama. Itulah mengapa masing-masing pembaca memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu karya sastra, karena setiap pembaca memiliki latar belakang dan kebutuhan emosional yang berpeda pula dalam menanggapi atau memaknai suatu karya sastra.
Pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap pembaca.77 Untuk itulah, pendekatan karya sastra kepada pembaca tidak dapat dikesampingkan dan merupakan hal yang penting. Karena pembaca akan menilai sebuah karya sastra.
Peran pembaca yang terlihat dominan dalam komunikasi sastra ini memperlihatkan bahwa pendekatan terhadap karya sastra tidak dapat hanya
75
Yus Rusyana, Kegiatan Apresiasi Sastra Indonesia Murid SMA Jawa Barat, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 7.
76
M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, (United States of America: Oxford University Press, 1980), h. 21.
77
Nyoman Kutha Ratna,Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 72.
memperlihatkan pada teksnya saja, tetapi juga harus memberi tempat pada pembacanya, yaitu dalam proses berinteraksi dengan teks sastranya.78
Pendekatan pragmatik berarti memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pembaca yang sama sekali tidak mengetahui proses penulisannya diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis. Karena sejatinya pembaca tidak pernah mati, pembaca akan selalu hadir bergantian dan memiliki penilaian yang berbeda terhadap sebuah karya sastra.
Secara umum pendekatan pragmatik adalah sebuah pendekatan yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Pendekatan pragmatik adalah salah satu ilmu kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi karya tersebut. Keberadaan unsur pembaca dalam kehidupan bersastra mendapatkan tempat yang utama. Upaya meneliti sastra secara pragmatik merupakan salah satu sambutan terhadap karya tersebut.
Fungsi terpenting pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayaan karya sastra. Pembaca memungkinkan untuk menampilkan makna secara tidak terbatas, baik pembaca sezaman maupun pembaca dalam konteks sejarah. Pembaca juga yang memungkinkan untuk mengungkapkan khazanah cultural dan multicultural.79
Semua proses pembacaan dalam karya sastra melibatkan dua aspek,
yakni: pembaca dan interpretasi atau penafsiran guna “menemukan makna”
yang dimaksudkan dalam objeknya. Arti atau makna tentu sangat luas cara melihat dan membacanya. Objek dalam konteks studi kesusastraan tidak hanya pada persoalan karya saja atau penafsiran yang bertumpu pada persoalan tekstualitas.80 Pesan-pesan dan keseluruhan nasihat yang terdapat
78
Siti Chamamah Soeratno, dkk., Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, Maret, 2002), h. 138.
79
Ibid.
80
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra (Dasar-Dasar Memahami Fenomena Kesusastraan), (Jakarta, CAPS, 2012), h. 194.
dalam sebuah karya sastra akan tetap hidup meskipun karyanya sudah tidak ada. Keseluruhan manfaatnya telah diadopsi ke dalam jiwa dan pikiran subjek penikmat sehingga menjadi kekayaan baginya, sebagai manfaat abadi.
Karya sastra dan masyarakat pembaca mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu: a) karya sastra dan masyarakat, b) karya sastra dan pembaca. Pengertian pertama mengacu pada sosologi sastra, masyarakat sebagai kenyataan, sedangkan pengertian kedua mengacu pada resepsi sastra, pembaca sekaligus kenyataan dan rekaan. 81
Pada waktu menghadapi suatu teks, pembaca sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal pembaca yang senantiasa berubah-ubah atau latar belakang pengetahuan yang berlain-lainan, akan menghasilkan penerimaan yang berlain-lainan pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam proses membaca terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya yang selanjutnya melahirkan variasi-variasi bagi teksnya.82
Pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai alat untuk menyampaikan tujuan atau maksud tertentu kepada pembaca. Penilaian terhadap karya sastra terutama ditujukan pada tujuan atau fungsi yang hendak disampaikan kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama dan lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut.
Kegiatan apresiasi sastra akan tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya.
81
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Juli, 2010), h. 528.
82
Siti Chamamah Soeratno, dkk.,Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, Maret, 2002), h. 137.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka objek penelitian yang diteliti ialah mengenai persepsi pembaca terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dengan begitu peneliti dapat mengetahui manfaat apa yang diapresiasi oleh pembaca setelah membaca novel AAC.
Perlu diketahui bahwa pembaca yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitian ini ialah para penulis tesis, skripsi dan tulisan dalam jurnal. Para penulis tersebut ialah pembaca yang telah membaca novel Ayat-Ayat
Cinta dan kemudian menuliskan manfaat atau hal menarik yang mereka
dapatkan ke dalam tulisan-tulisan mereka. Sehingga peneliti memaksudkan pembacanya ialah para penulis dalam tesis, skripsi dan tulisan dalam jurnal.
C. Teori Persepsi
Pengertian persepsi menurut Jalaludin Rakhmat ialah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyampaikan informasi dan menafsirkan pesan.83 Bimo Walgito mengungkapkan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif pemegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya, tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus.84
Kamus besar psikologi mendefinisikan persepsi ialah suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan indra-indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada di lingkungannya.85 Persepsi menurut KBBI online ialah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu.
Persepsi mempunyai sifat subjektif karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga tiap individu memiliki
83
Jalaludin Rahkmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 51.
84
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 2002), h. 87.
85Haryanto, “Pengertian Persepsi Menurut Ahli”, diunduh dari
http://belajarpsikologi.com/pengertian-persepsi-menurut-ahli/, pada Selasa, 15 Desember 2015, pukul 17.00.
tafsiran yang berbeda pada satu objek yang sama. Dengan demikian, persepsi merupakan pemberian tanggapan, perasaan, dan prasamgka oleh individu terhadap objeknya. Tanggapan tersebut dapat berupa sikap, pendapat dan tingkah laku. Tanggapan pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika ia menghadapi suatu rangsangan. Jadi, berbicara mengenai persepsi tidak terlepas dari sikap.
Persepsi juga diartikan sebagai suatu sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman mendetai, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka terhadap fenomena tertentu.Melihat sikap seseorang terhadap sesuatu, maka akan diketahui bagaimana persepsi atau tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Dari definisi di atas, diketahui bahwa cara pengungkapan sikap melalui: pengaruh atau penolakan, penilaian, suka atau tidak suka, dan kepositifan atau kenegatifan suatu objek.
Penelitian persepsi pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap suatu teks. Persepsi atau tanggapan pembaca terhadap teks dapat positif dan negatif. Persepsi pembaca yang bersifat positif, pembaca akan merasa senang, gembira dan pembaca dapat memproduksi atau menciptakan hal baru yang bernilai negatif pada karya tersebut. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif, pembaca akan sedih, jengkel atau akan memproduksi hal baru yang bernilai negatif pada karya tersebut.
Setiap pembaca memiliki persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu karya sastra. Perbedaan persepsi tersebut berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, pendidikan, dan kemampuannya dalam menanggapi karya sastra. Dengan memahami persepsi pembaca, kita dapat mengetahui bagaimana persepsi pembaca dalam menanggapi novel AAC.
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 1 butir 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.86
Undang-Undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 3, Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.87
Hasan Lambulung mengemukakan bahwa pengajaran ialah pemindahan pengetahuan kepada orang lain yang belum mengetahui.88 M. Usman Najati mengemukakan bahwa pengetahuan yang dipindahlan diperoleh dari dua jenis sumber, yaitu: Ilahi dan manusiawi. Kedua jenis pengetahuan ini saling melengkapi dan pada hakikatnya berasal dari Allah. Pengetahuan yang berasal dari manusia ialah pengetahuan yang dipelajari dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, juga dalam usahanya menelaah dan memecahkan berbagai problem yang dihadapinya, atau melalui pendidikan dan pengajaran setelah penelitian ilmiah.89
Pendidikan merupakan suatu sarana sebagai usaha manusia dalam membina atau membimbing diri menuju kepribadian dan pengetahuan yang lebih baik. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Pendidikan adalah suatu proses bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lain dalam rangka pencapaian kedewasaan dalam rangka pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk pelestarian nilai-nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat.
86
Anas Salahudin dan Irwanto Alkriencieie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 41.
87 Ibid. 88 Ibid.,h. 62. 89 Ibid.
Setiap guru wajib untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang di dalamnya terdapat materi ajar, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pembelajaran serta karakter apa yang diharapkan dalam pembelajaran tersebut. Setiap guru tidak hanya diwajibkan untuk memahami kompetensi yang dirancang dalam RPP tetapi juga diharapkan terampil dan kreatif dalam mengolah bahan ajar dan proses pembelajaran.
Sastra dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Proses apresiasi dalam karya sastra melibatkan tiga unsur penting, yaitu:90 kognitif, emotif dan evaluatif. Aspek kognitif terkait dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam memahami unsur-unsur yang terdapat