SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Faktultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu
Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Nur Wachidah
(1111013000037)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
i
Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum. September 2015.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi pembaca melalui tulisan mereka terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Metode yang digunakan ialah kualitatif dengan teknik analisis isi. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan pragmatik. Sumber data dalam penelitian ini ialah persepsi pembaca dalam tiga skripsi, satu tesis, dan empat tulisan dalam jurnal mengenai novel Ayat-Ayat Cinta.
Hasil penelitian menunjukan adanya persepsi positif dan ada pula kritisme pembaca. Kritisme pembaca terkait dengan tokoh Fahri yang digambarkan begitu sempurna iman dan akhlaknya. Namun demikian, novel AAC juga memiliki banyak nilai positif bagi pembaca, yaitu: mengenai nilai pendidikan dan nilai agama yang terkandung dalam novel AAC.
Keberagaman persepsi yang dikemukakan oleh pembaca menunjukkan bahwa novel AAC lebih banyak nilai positif bagi pembaca. Persepsi tersebut dapat memberikan implikasi terhadap pembelajaran terkait dengan nilai pendidikan dan nilai agama yang diungkapkan. Para siswa akan mendapatkan motivasi mengenai arah hidup, tidak mudah putus asa dan mudah untuk bersyukur serta tidak berburuk sangka atas segala ketentuan Allah.
ii
Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Jamal D. Rahman, M. Hum. September 2015.
The issues discussed in this research is how the readers perception through their writing to the novel Ayat-Ayat Cinta created by Habiburrahman El Shirazy and its implications in learning Indonesian language and literature at schools. This research use qualitative method with content analysis techniques. The approach used is pragmatic approach. The data source used in this study is perception of the readers which consists of three essays, one thesis and four articles in journals about the novel Ayat-Ayat Cinta.
The results showed a positive perception and there is also criticism of the reader. Reader criticism related to Fahri figures depicted so perfect faith and moral. However, novel AAC also has many positive value for readers, namely: the value of education and religious values contained in AAC novel.
The diversity of perceptions suggested by readers show that the novel AAC more has positive value for readers. These perceptions may have implications in learning that is related to the value of education and religious values were disclosed. The students will get motivation regarding the direction of life, not easily discouraged, and easy to be grateful and not prejudiced for any provision of God.
iii
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
baginda Nabi besar Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya.
Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Amanat menuntut ilmu dalam
perguruan tinggi telah sampai, ditandai dengan penulisan skripsi ini sebagai syarat
untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis mengalami banyak proses dalam
penulisan skripsi ini, tetapi penulis tetap yakin dalam usaha dan optimis dalam
doa bahwa segala yang dimulai harus diakhiri, begitu juga dengan penulisan
skripsi ini, harus selesai. Segala proses yang dijalani menjadi nikmat tersendiri
bagi penulis, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Alhamdulillah, terima kasih atas rida-Mu ya Allah.
Penulis tidak terlepas dari berbagai pihak yang tanpa lelah memberikan
dorongan dan motivasi baik secara moril maupun materil. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan berdoa semoga nikmat sehat dan kebahagiaan
selalu menyertai perjalanan hidup berbagai pihak yang membantu dalam
penulisan skripsi ini:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang
telah mempermudah dan memperlancar dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan semangat dalam penyusunan dan
proses skripsi ini.
3. Dona Aji Karunia, M.A., selaku Sekretaris jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan sekaligus juga Dosen Penasehat Akademik yang
memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.
4. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang tanpa bosan
mencorat-coret skripsi penulis untuk memberikan saran, kritik yang lebih
semangat kepada penulis tanpa bosan. Terima kasih sedalam-dalamnya,
Pak.
5. Segenap dosen pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
khususnya seluruh dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah memberikan semangat dan segala ilmu yang bermanfaat kepada
penulis, baik di dalam maupun di luar kelas.
6. Orang tua tercinta: Ayahanda (Alm) H.M.E Shodiqin yang selalu
menemani, mendoakan dan meridai. Terima kasih selalu hadir, aku
merasakannya. Gadismu kini akan memasuki tahap hidup yang
sebenarnya, Pak. Jangan pernah pergi. Ibunda tercinta, Karisah. Terima
kasih untuk segala doa yang tak pernah putus, semua terselesaikan
dengan lancar atas rida darimu, Ma. Setiap menatapmu aku selalu
mendapat tambahan semangat dan keyakinan untuk menyelesaikan yang
telah kumulai. Terima kasih tiada terkira.
7. Mas (Dedy, Uji, dan Anto) serta Mba (Wulan dan Irma) tersayang yang
selalu mendoakan, memberikan dorongan semangat dan menjadi motivasi
bagi penulis serta memberikan bantuan moral dan materil yang tiada henti
kepada penulis. Tidak lupa pula, pada dua malaikat penghibur (Aliza dan
Raihana), terima kasih telah menghadirkan keceriaan dalam kehampaan
serta kepada seluruh keluarga besar Syahlan Ilyas dan Mulyawikarta,
terima kasih atas segala semangat dan doanya yang melulu untuk penulis.
8. Para Cecuruts (Mira, Banat, Muthia, Anissa, Indri, Aidah, Nona, dan
Isma) yang saling menyemangati dan menghibur dengan berbagai tingkah
serta memberikan kritik dan saran kepada penulis. Prosesnya selalu
bersama kalian, perjalanan mencari referensi sampai bimbingan akan
menjadi kenangan tak terlupakan dalam sanubari penulis. Terima kasih
karena selalu menyemangati dalam berbagai kondisi dan menampung
segala keluh kesah, tanpa lupa memberi solusi.
9. Para Kartun 11 (Vesti, Eneng, Pungky, Niar, Hevy, Irma, Dean, dan MBF)
yang selalu memberikan pengetahuan, semangat dan doanya agar skripsi
canda tawa, agar penulis tidak jenuh untuk menyelesaikan skripsi ini.
Lebih dikhususkan kepada Muhammad Nur Akbar yang sama-sama
sedang berproses. Terima kasih untuk terus ada, mendoakan, menguatkan
dan memotivasi penulis agar skripsi ini segera terselesaikan dan lanjut
menggapai cita serta selalu memberikan penyegaran kepada penulis.
Terima kasih.
10.Teman-teman mahasiswa/i FITK angkatan 2011 khususnya mahasiswa
PBSI kelas A yang telah membantu penulis dengan berbagai cerita,
pendapat, saran dan kritiknya berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
11.Teman-teman kelompok PPKT SMP Negeri 91 Jakarta (Aidah, Nahla,
Mimay, dan Gema) yang selalu memberi dukungan semangat dan motivasi
dalam diskusi antara PPKT dan skripsi. Alhamdulillah, keduanya
terselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih tiada terkira untuk semua pihak yang
tidak bisa disebutkan satu per satu, tanpa mengurangi rasa hormat dan ungkapan
terima kasih sedalamnya serta doa. Ungkapan kata dan cucuran terima kasih
memang tidak cukup membalas apa yang sudah diberikan oleh kalian semua.
Semoga Allah senantiasa memberikan nikmat sehat, rizki, ilmu dan segala
kebahagiannya pada kalian.
Penulis mengakui dan menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh pada
kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Cibubur, 13 Oktober 2015
vi
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ... i
ABSTRAC ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Batasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORETIS ... 8
A. Hakikat Karya Sastra ... 8
1) Pengertian Novel ... 9
2) Jenis-Jenis Novel………. 10
3) Unsur Intrinsik Novel ... 11
B. Pendekatan Pragmatik ... 21
C. Teori Persepsi….…………..………. 29
D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra ... 30
E. Penelitian yang Relevan ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36
B. Subjek dan Objek Penelitian ... 38
C. Fokus Penelitian ... 38
D. Teknik Pengumpulan Data ... 39
E. Teknik Analisis Data ... 40
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 41
A. Struktur Intrinsik Novel AAC ... 41
1. Tema……… 41
2. Alur……….. 42
3. Tokoh dan Penokohan……… 44
4. Latar………...……… 50
5. Sudut Pandang………..… 55
6. Gaya Bahasa……… 56
7. Amanat………... 57
B. Deskripsi Persepsi Pembaca ... 59
C. Analisis Persepsi Pembaca ... 59
a Nilai Positif……… 61
1. Nilai Pendidikan ... 61
a. Pendidikan Sabar ... 61
b. Nilai Pendidikan dan Kajian Intertekstual ... 64
2. Nilai Agama ... 65
a. Transformasi Nilai Agama ... 65
b. Nilai Agama ... 69
c. Aspek Religi ... 72
d. Perbandingan Religiusitas Tokoh Muallaf ... 72
3. Gaya Bahasa ... 75
4. Dampak Novel AAC Terhadap Pluralisme Agama 77 b Nilai Negatif (Kritisme Pembaca)……….. 79
D. Implikasi terhadap Pembelajaran di Sekolah ... 83
A. Simpulan ... 86
B. Saran ... 87
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Biografi Habiburrahman El Shirazy………... 92
Lampiran 2 : Sinopsis Novel Ayat-Ayat Cinta……… 97
Lampiran 3 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)……… 100
Lampiran 4 : Lembar Uji Referensi………. 105
1
Karya sastra hadir tidak hanya menyuguhkan permasalahan atau konflik
yang ada dalam masyarakat saja tetapi karya sastra juga dapat memberikan
hiburan serta memberikan manfaat bagi pembacanya. Manfaat tersebut dapat
dicermati melalui isi kandungan yang terdapat dalam keseluruhan cerita.
Dengan manfaat yang terkandung dalam karya sastra, maka diyakini bahwa
karya sastra mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam,
memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang
diyakini baik dan berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Secara historis pengarang hanya satu, bersifat faktual, karena itu, dapat
mati dan dimatikan.Sebaliknya, pembaca bersifat fiksional, mereka lahir terus,
kematiannya selalu digantikan oleh pembaca lain, dan selalu lebih mutakhir
dengan pembaca terdahulu. Roh dan reinkarnasi karya sastra ada dalam
pembaca.1 Dalam pandangan tersebut, maka setiap pembaca pasti memiliki
suatu sisi makna yang menarik dari bacaan yang sama. Dari sisi tersebutlah
peranan pembaca terhadap karya sastra menjadi menarik untuk dikaji atau
ditelaah.
Peran pembaca yang terlihat dominan dalam komunikasi sastra ini
memperlihatkan bahwa pendekatan terhadap karya sastra tidak dapat hanya
memperlihatkan pada teksnya saja, tetapi juga harus memberi tempat pada
pembacanya, yaitu dalam proses berinteraksi dengan teks sastranya.2
Peran pembaca karya sastra menjadi penting karena pembaca dengan latar
belakang yang berbeda akan menghasilkan bacaan yang berbeda pula. Kondisi
tekstual suatu karya sastra akan berkaitan dengan penerimaan pembaca. Setiap
pembaca pasti memiliki manfaat yang berbeda ketika membaca bacaan yang
1
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Mei, 2006), h. 323.
2
sama. Penelitian ini mengkaji manfaat dari segi pembaca karena merupakan
hal yang tidak dapat dikesampingkan dengan begitu dapat terlihat bagaimana
persepsi dari pembaca terhadap sebuah karya sastra dan manfaat apa yang
menarik bagi mereka setelah membaca karya tersebut.
Membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang
diterima oleh anak manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran,
motivasi atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu, karena yang mengubah seseorang tentulah orang itu sendiri.3 Namun,
membaca sastra bisa menjadi suatu alternatif untuk mengemukakan nilai-nilai
atau manfaat yang terdapat di dalamnya. Setiap nilai-nilai yang dikemukakan
oleh pembaca pasti berbeda, tergantung dari sisi yang mana yang ingin
diapresiasi. Setiap nilai tersebut juga dimaksudkan untuk memberitahukan
hal-hal positif yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau terkadang
memberikan hal negatif yang tidak baik untuk dilakukan.
Mengapresiasi dari segi pembaca dapat diketahui berbagai pendapat
mengenai satu bacaan yang sama, jadi suatu bacaan itu memiliki makna dan
manfaat yang luas, tergantung dari segi mana pembaca ingin menonjolkannya.
Penelitian ini akan mengetahui bagaimana persepsi pembaca dalam
mengapresiasi novel Ayat-Ayat Cinta (AAC).4
Sebuah novel mempunyai dunianya sendiri, dengan mekanisme dan
realitasnya sendiri dan dalam membacanya, kita memang merasakan adanya
jarak antara kenyataan dalam sebuah novel dengan diri kita sendiri. Atau
mungkin ada keadaan lain, di mana diri kita seakan menjadi satu dengan novel
yang kita baca.5 Pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak akan
lepas dari imajinasi dan kenyataan di sekitarnya. Novel Ayat-Ayat Cinta
diapresiasi baik oleh pembacanya, karena menang dalam novel tersebut
terkandung banyak manfaat dan juga menghibur pembaca.
3
Moctar Lubis, Sastra dan Tekniknya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 18.
4
Singkatan dari penulis untuk penyembutan novel Ayat-Ayat Cinta.
5
Bahasa yang digunakan dalam novel mudah dimengerti mulai dari
kalangan remaja, dewasa sampai orang tua. Novel tersebut juga memiliki
banyak manfaat setelah kita membacanya. Banyak persoalan juga yang
terdapat di dalamnya tetapi imbang dengan manfaat yang diterima.Selain itu
novel Ayat-Ayat Cinta merupakan “sebuah novel pembangun jiwa”. Dari kalimat tersebut juga sudah terlihat bahwa novel Ayat-Ayat Cinta ingin
memberikan suatu sumbangsih positif dalam jiwa-jiwa pembaca dan ingin
membangun nilai-nilai keIslaman dalam diri pembaca.
Novel tersebut bukanlah bacaan yang terlalu berat apabila diajarkan
sebagai bahan sastra untuk siswa dan siswi SMA.Novel tersebut memiliki
energi positif terkait dengan pesan-pesan yang terdapat di dalamnya dan juga
baik diajarkan kepada para siswa dan siswi. Novel AAC juga bercerita
mengenai pluralisme yaitu kemajemukan yang ada dalam masyarakat, seperti
keragaman agama, bangsa dan sifat manusia, sehingga pembaca tahu
bagaimana bersikap dalam perbedaan.
Manfaat sastra pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi antara
sastrawan dan masyarakat pembacanya. Karya sastra selalu berisi pemikiran,
gagasan, kisah-kisah dan amanat yang dikomunikasikan kepada para pembaca.
Pembaca harus bisa mengapresiasi karya sastra untuk mengetahui makna apa
yang terdapat dalam karya tersebut.
Hubungan antara pembaca dengan teks sastra bersifat relatif, teks sastra
selalu menyajikan ketidakpastian, sementara pembaca mesti aktif dan kreatif
dalam menentukan keanekaan makna teks sastra tersebut.
Pendidikan memiliki kedudukan yang penting dalam rangka meningkatkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya bertumpu
mengajarkan siswa pada teori pembelajaran saja, namun juga bagaimana sikap
dan perilaku yang baik. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal
mempunyai peranan penting dalam membina pendidikan akhlak dan
menciptakan peserta didik yang bermoral, salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan pembelajaran sastra. Melalui pembelajaran sastra siswa akan
Salah satu alternatif untuk dapat menanamkan mengenai nilai-nilai yang
baik di sekolah adalah dengan memberikan pembelajaran apresiasi sastra,
karena bagi banyak orang karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan
pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk.6
Penulis akan menganalisis mengenai persepsi para pembaca dalam
berbagai tulisan. Tulisan tersebut diambil dari beberapa skripsi, tesis dan
jurnal terkait persepsi pembaca terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy. Penulis akan mengkaji persepsi-persepsi pembaca.
Dengan pengkajian tersebut akan diketahui persepsi apa saja yang diberikan
terhadap novel Ayat-Ayat Cinta. Mengapa persepsi mengenai Ayat-Ayat
Cinta? Karena Ayat-Ayat Cinta merupakan salah satu novel yang langsung
memiliki tempat tersendiri di hati pembacanya, memiliki banyak konflik
dalam cerita dan banyak amanat serta pesan yang disimpulkan oleh pembaca
melalui keseluruhan cerita dalam novel tersebut. Selain itu, novel Ayat-Ayat
Cinta merupakan novel popular yang menjadi pelopor mengenai konflik cinta
dan keIslaman, disajikan dengan cerita dan bahasa yang lebih kekinian.
Sehingga menginspirasi penulis lain di era 2000-an untuk menulis novel
dengan tema yang serupa. Setelah novel Ayat-Ayat Cinta muncul, banyak
novel lain yang bernafaskan cinta dan Islam, seperti novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abaidah El Khalieqy, Kasidah-Kasidah Cinta karya
Muhammad Muhyidin, Surga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, dan
Air Mata Tuhan karya Aguk Irawan.
Menurut tabloid Bintang pada tahun 2008, Ayat-Ayat Cinta yang sejak
dirilis tahun 2004 sudah dicetak ulang lebih dari 30 kali dan terjual lebih dari
600 ribu eksemplar.7 Para pembaca terbukti masih sangat menikmati novel
Ayat-Ayat Cinta, terbukti dengan antusias mereka menyambut dan menanti
novel Ayat-Ayat Cinta 2 yang masih belum dicetak tetapi sudah terbit dalam
cerita bersambung di koran Republika.
6
Melani Budianta, dkk.,Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi),(Magelang: IndonesiaTera, 2003), h. 19.
7“
Setiap pembaca pasti memiliki pemikiran yang berbeda dalam menanggapi
setiap bacaan yang dibaca. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pesan
apa yang paling menarik dan banyak menyentuh hati, sehingga masing-masing
pembaca mengapresiasikannya dalam sebuah tulisan.
Sebuah karya sastra tidak akan terlepas dari karya itu sendiri,
pengarangnya, lingkungan di luar karya itu dan juga pembaca karya tersebut.
Pembaca karya sastra merupakan komponen sastra yang tidak dapat
dikesampingkan. Melalui pendekatan pragmatik maka kita akan mengetahui
pesan dan hal menarik serta nilai apa yang didapat oleh pembaca karya sastra.
Salah satunya dengan melakukan pendekatan pragmatik kepada pembaca,
sebuah karya sastra akan menjadi bernilai.
Hal yang membedakan penelitian yang penulis lakukan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya adalah karena pada penelitian-penelitian kali tidak hanya
diungkapkan mengenai unsur intrinsik tetapi juga mengenai kajian penulis,
yaitu persepsi pembaca dalam tulisannya terhadap novel AAC. Dari persepsi
pembaca juga akan diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.
Setiap novel pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Namun,
terlepas dari kekurangan dan kelebihannya novel Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy merupakan karya yang cukup positif untuk dibaca,
terutama oleh kalangan muda, apalagi bila dibandingkan dengan kebanyakan
novel (remaja) yang beredar dewasa ini, yang kurang memberikan kontribusi
positif terhadap character construction para remaja dan anak muda kita.8
Penulis ingin mengetahui bagaimana persepsi pembaca terhadap novel
AAC. Penelitian ini berjudul “Persepsi Pembaca terhadap Novel Ayat-Ayat
Cinta Karya Habibirrahman El Shirazy dan Implikasinya pada Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah
yang ada adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pelajaran yang melibatkan sastra di bidang pendidikan.
2. Karya sastra memiliki banyak nilai yang bermanfaat untuk pembelajaran
di sekolah.
3. Berbagai pendapat pembaca terhadap novel Ayat-Ayat Cinta.
4. Manfaat apa yang ditemukan dalam mengkaji persepsi pembaca.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah, maka penulishanya membatasi
persepsi dalam tiga skripsi9, satu tesis dan empat tulisan dalam jurnal sehingga
tulisan yang di luar dari batasan tersebut bukanlah menjadi kajian penulis,
seperti blog, majalah, dan koran (media cetak). Dengan demikian, penulis
membatasi judul pada “Persepsi Pembaca terhadap Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habibirrahman El Shirazy dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah.”
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana persepsi para pembaca melalui tulisan mereka terhadap novel
Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy?
2. Apakah implikasi dari persepsi-persepsi tersebut pada pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian
ini adalah:
9
1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi pembaca melalui tulisan mereka
terhadap novel Ayat-Ayat Cintakarya Habiburrahman El Shirazy. Pesan,
nilai dan hal menarik apa yang paling banyak pembaca dapatkan setelah
membaca novel tersebut yang kemudian mereka apresiasi dalam sebuah
tulisan.
2. Untuk mengetahui hal atau manfaat apa yang dapat diajarkan kepada siswa
berdasarkan persepsi tulisan tersebut.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup
aspek teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis:
a. Diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dalam bidang
kesusastraan melalui studi pragmatik sastra.
b. Diharapkan dapat memberi referensi dalam penelitian pragmatik.
2. Manfaat Praktis:
a. Diharapkan dapat mengetahui tanggapan apa saja yang paling banyak
dituliskan oleh pembaca terkait novel Ayat-Ayat Cinta.
b. Diharapkan dapat memberikan pembelajaran setelah peserta didik
mengetahui persepsi pembaca dan menambah wawasan pengetahuan
8
A. Hakikat Karya Sastra
Kata sastra berakar dari kata Cas yang berarti memberi petunjuk,
mengarahkan, mengajar. Akhiran –tra biasanya menunjukan alat atau sarana. Sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
intruksi atau pengajaran. Sedangkan kata susastra adalah kata ciptaan Jawa
dan Melayu. Kata itu mengandung arti pustaka, buku atau naskah.1 Dapat
dikatakan bahwa sastra merupakan alat yang dapat digunakan sebagai media
mengajar.
Rene Wellek dan Austin Warren menuliskan bahwa sastra adalah suatu
kegiatan kreatif, sebuah cabang seni.2 Sastra adalah segala sesuatu yang
tertulis atau tercetak. Sastra adalah karya imajinatif.3 Fungsi utama sastra yang
hakiki menurut Horace adalah menghibur dan mendidik (dulce et utile).
Umumnya karya sastra selalu memenuhi salah satu dari kedua fungsi tersebut
atau kedua-duanya.4 Kalau suatu karya sastra berfungsi sesuai dengan
sifatnya, kedua segi tadi (kesenangan dan manfaat) bukan hanya harus ada,
melainkan harus saling mengisi.5 Dengan begitu, sebuah karya sastra haruslah
menghibur dan bermanfaat bagi pembacanya.
Sastra merupakan media komunikasi, yang melibatkan tiga komponen,
yaitu: pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai pesan itu
sendiri dan penerima pesan, yakni pembaca karya sastra.6 Ketiga komponen
tersebut saling melengkapi, pengarang yang menulis sebuah karya sastra,
1
A.Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Bandung: Firma Ekonomi, 1984), h. 23.
2
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 3.
3
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 3.
4
karya sastra sebagai media komunikasi dan pembaca sebagai penikmat dan
penilai sebuah karya sastra.
Jadi, berdasarkan definisi tersebut karya sastra merupakan sebuah
karya yang memiliki dua hal yang saling melengkapi, yaitu menghibur dan
bermanfaat. Karya sastra juga tidak dapat dipisahkan dari pengarang, sastra
dan pembaca. Dengan pengertian tersebut, maka sebuah karya sastra dapat
pula dijadikan sebagai media untuk mengajarkan atau memberikan informasi
kepada pembacanya. Sebuah karya sastra dibuat oleh pengarang dengan
maksud menghibur dan memberikan manfaat kepada pembacanya. Karena
dalam sebuah karya sastra terdapat nilai-nilai atau pelajaran yang didapatkan
oleh pembaca. Pada penelitian kali ini, jenis karya sastra yang akan dikaji
ialah mengenai persepsi pembaca dalam novel Ayat-Ayat Cinta.
1) Pengertian Novel
Novel merupakan cerita yang melukiskan suatu peristiwa yang luar
biasa dari kehidupan tokoh cerita, dan peristiwa itu menimbulkan
krisis/pergolakan batin yang mengubah perjalanan nasib tokohnya.7 Novel
is a little gallant history, which must contain a great deal of love. A novel
is a kind of abbreviation of a romance.8 Novel merupakan sebuah cerita
bagus yang berisi banyak cinta. Sebuah novel adalah singkatan dari cinta.
Menurut Abrams, istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari
istilah novel dalam bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam bahasa
Inggris berasal dari bahasa Itali, yaitu novella (yang dalam bahasa Jerman
novella). Novella diartikan sebagai sebuah barang baru yang kecil,
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.9 Menurut
Nurgiyantoro, istilah novella atau novella mengandung pengertian yang
sama dengan novelet (dalam bahasa Inggris novelette) yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun
tidak terlalu pendek.
7
Widjojoko,Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 41.
8
Jeremy Hawthorn, Studying the novel: an introduction, (USA, Routledge, 1985), h.5.
9
Ada juga yang mengemukakan bahwa kata novel berasal dari kata
Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru.
Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra
lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul
kemudian.10 H.B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita
mengenai salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian
yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan
terjdinya perubahan nasib pada manusia.11
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan suatu cerita fiksi yang termasuk ke dalam prosa rekaan yang
menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan
latar secara tersusun sehingga menyuguhkan sebuah cerita dan dalam
novel pula terjadi beberapa perubahan nasib yang dialami oleh
tokoh-tokohnya. Permasalahan yang terdapat dalam novel juga lebih rumit
dibandingkan dengan cerita pendek.
2) Jenis-Jenis Novel
Novel dilihat dari segi mutu dibedakan atas novel literer dan novel
popular. Murphy menggolongkan novel atas novel picisan, absurd, dan
horror. Berikut ini beberapa pengertian dari jenis-jenis novel, yaitu: 12
a) Novel popular, merupakan jenis sastra popular yang menyuguhkan
problematika kehidupan yang berkisar pada cinta asmara yang
bertujuan menghibur. Novel tersebut popular pada masanya dan
banyak penggemarnya, khususnya di kalangan remaja. Contohnya:
Puspa Indah di Taman Hati (Edi D. Iskandar), Badai Pasti Berlalu
(Marga T.)
b) Novel literar, novel yang bermutu sastra atau disebut juga novel serius.
Novel literar menyajikan persoalan-persoalan kehidupan manusia
10
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung:Angkasa, 1986), h. 164.
11
Purba, op. cit., h. 63.
12
secara serius. Dalam novel serius, pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan
diungkapkan sampai ke inti kehidupan yang bersifat universal.
Contohnya: Harimau-Harimau (Muchtar Lubis), Pada Sebuah Kapal
(Nh. Dini), Telegram dan Stasiun (Putu Wijaya).
c) Novel picisan¸ isinya cenderung mengeksploitasi selera dengan
suguhan cerita yang mengisahkan cinta asmara yang menjurus ke
pornografi. Novel ini mempunyai ciri bertemakan cinta asmara yang
berselera rendah ceritanya cenderung cabul, alurnya datar, jalan
ceritanya ringan, dan mudah diikuti pembaca, menggunakan bahasa
yang aktual, bertujuan komersil. Contohnya: novel karya Motinggo
Busye.
d) Novel absurd, sejenis fiksi yang ceritanya menyimpang dari logika
biasa. Irasional, realitas, bercampur angan-angan dan mimpi.
Tokoh-tokoh ceritanya “antiTokoh-tokoh” seperti orang mati bisa hidup kembali,
mayat dapat berbicara dan lain-lain. Contohnya: novel Ziarah (Iwan
Simatupang) yang mengisahkan seorang dokter di daerah pedalaman
Papua yang menurut warga sekitar bahwa dokter itu bisa
menyembuhkan dan menghidupkan orang yang sudah mati. Sobar
(Putu Wijaya).
e) Novel horor, cerita yang melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat
horor, seperti drakula penghisap darah, hantu-hantu yang gentayangan
dan berbagai keajaiban supranatural yang berbaur dengan kekerasan,
kekejaman, kekacauan, dan kematian.
3) Unsur Pembangun Novel
Unsur Intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud,13 menjadi kesatuan
yang bulat dan berjudul. Selain itu, ada tokoh-tokoh, ada tempat tertentu
yang menjadi area bergeraknya tokoh-tokoh dan ada pula juru cerita yang
mengisahkan kisahnya tersebut.14 Dapat dikatakan bahwa unsur intrinsik
ialah unsur yang terdapat di dalam sebuah karya sastra itu sendiri, yang
berasal dari dalam karya tersebut. Unsur intrinsik terdiri atas:
1. Tema sering disebut sebagai ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pemikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat
utama dalam cerita.15 Menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang
dikandung oleh sebuah cerita. Menurut Hartono dan Rahmanto, tema
merupakan gagasan dasar yang menopang sebuah karya sastra.16
Menurut Brooks dan Warren tema adalah dasar atau makna suatu
cerita atau novel,17 suatu yang menjadi pokok persoalan atau suatu
yang menjadi pemikiran. Tema disampaikan melalui jalinan cerita.18
sebuah persoalan tertentu. Tema merupakan persoalan tertentu yang
hendak dikemukakan atau diutarakan pengarang kepada pembaca.
Adanya inti persoalan dalam cerita nanti akan dijabarkan melalui
unsur-unsur intrinsik dalam novel.19
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menemukan tema
sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak
hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar dalam sebuah karya.
Untuk menemukan sebuah tema dalam cerita, maka harus dibaca
13
Burhan Nurgiyantoro,Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 23.
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 67.
17
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 125.
18
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 88.
19
secara menyeluruh cerita tersebut, setelah itu barulah ditafsirkan ide
ceritanya.
2. Plot/Alur ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat
dari awal sampai akhir cerita.20 Struktur rangkaian kejadian dalam
cerita disusun secara logis. Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang
disebut alur.21A plot is in ordered, organized sequence of events and
actions. Plots in this sence are found in novels rather than in ordinary
life; life has stories, but novels have plot and stories.22Sebuah plot
merupakan kesatuan antara kejadian dan tindakan. Plot dalam hal ini
merupakan kehidupan baru; kehidupan memiliki cerita, tetapi novel
mempunyai plot dan cerita.
Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama
membentuk alur yang menggerakan jalannya cerita melalui rumitan ke
arah klimaks dan selesaian.23 Menurut Abrams plot ialah struktur
peristiwa-peristiwa yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian
berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek
artistik tertentu. Menurut Stanton plot merupakan urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang
lain.24 Pada prinsipnya menurut Brooks alur ialah struktur gerak yang
terdapat dalam fiksi atau drama.25
Jadi, plot atau alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa cerita
yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan sebab dan akibat.
Peristiwa-peristiwa tersebut tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa yang
Jeremy Hawthorn, Studying the novel: an introduction, (USA, Routledge, 1985), hlm 53.
23
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: IndonesiaTera, 2003), h. 86.
24
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 113.
25
satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa
yang lain itu akan menjadi sebab timbulnya peristiwa berikutnya dan
seterusnya sampai akhir cerita. Terdapat beberapa tahapan plot
menurut Aristoteles, yaitu: awal (beginning), tengah (midle) dan akhir
(end).26
a) Tahap Awal dalam sebuah cerita dapat pula disebut sebagai tahap
perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah
informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan
dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya berupa
penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat,
suasana alam, waktu kejadian, pengenalan tokoh cerita dan
lainnya.27 Menurut Brooks dan Warren, permulaan atau eksposisi
merupakan proses penggarapan serta memperkenalkan informasi
penting kepada para pembaca.28
b) Tahap Tengah dalam sebuah cerita dapat pula disebut sebagai
tahap pertikaian atau konflik. Pada tahap ini ditampilkan adanya
pertikaian atau konflik yang lebih meningkat dari sebelumnya
sehingga membuat semakin menegangkan. Konflik yang
dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi
dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau konflik yan terjadi
antar tokoh. Dari konflik tersebut nantinya akan muncul klimaks
yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas
tertinggi.29 Menurut Brooks dan Warren, pertengahan atau
komplikasi merupakan kejadian yang membangun atau
menumbuhkan suatu ketegangan serta mengembangkan suatu
masalah yang muncul dari sesuatu yang disajikan dalam cerita. 30
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 127.
29
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 145
30
c) Tahap Akhir dalam sebuah cerita dapat juga disebut sebagai tahap
peleraian. Tahap peleraian merupakan sebuah tahap yang
menimbulkan reaksi dari klimaks. Jadi bagian ini berisi (misalnya)
bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita. Dalam teori klasik yang berasal
dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua
macam kemungkinan: kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad
end).31 Brooks dan Warren mengemukakan bahwa tahap akhir atau
resolusi ialah sesuatu yang memberi pemecahan terhadap alur.32
3. Tokoh dan Penokohan istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya,
pelaku cerita. Penokohan atau karakterisasi menunjuk pada sikap dan
sifat para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita.
Penokohan juga berkaitan dengan bagaimana pengarag
menampilkan tokoh dalam ceritanya dan bagaimana
tokoh-tokoh tersebut.33 Tokoh cerita (character) menurut Abrams adalah
orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan.34 Menurut Sudjiman, tokoh
merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita.35
Penokohan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi
tindakan-tindakan tertentu.36 Penokohan adalah cara pengarang dalam
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 92
34
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 165.
35
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: IndonesiaTera, 2003), h. 86.
36
menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita.37 Terdapat beberapa cara memperlihatkan penokohan: a) cara
analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan
tokohnya secara langsung. b) cara dramatik adalah cara pengarang
yang tidak mengisahkan apa dan siapa tokohnya secara langsung,
tetapi dengan menggunakan hal-hal lain, yaitu: 1. Gambaran tentang
tempat atau lingkungan sang tokoh, 2. Percakapan tokoh itu dengan
tokoh lain, 3. Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh lain tentang
dirinya.38 Tokoh-tokoh cerita dalam fiksi dapat dibedakan dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu
dilakukan. Di antaranya adalah:39
a) Tokoh dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh
dalam sebuah cerita, yaitu: tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan Tokoh
tambahan adalah tokoh yang sedikit hadir dalam cerita, tidak
dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.40
b) Tokoh dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd
& Lewis tokoh protagonis adalah tokoh yang memberikan simpati
dan empati bagi pembaca, tokoh yang dikagumi yang salah satu
jenisnya secara popular disebut sebagai hero-tokoh yang memiliki
37
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 61.
38
Widjojoko, loc cit.
39
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 176.
40
nilai dan norma yang ideal bagi pembaca. Sedangkan tokoh
antagonis dapat disebut juga sebagai tokoh „lawan‟ dengan tokoh
protagonist, secara langsung ataupun tidak langsung. Tokoh
antagonis menimbulkan ketegangan dan konflik dalam cerita
khususnya ketegangan dan konflik yang dialami oleh tokoh
protagonis.41
c) Tokoh berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan atas tokoh sederhana (simple and flat character) dan tokoh bulat (complex
and round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
memiliki satu sifat-watak tertentu saja, ia tidak memiliki sifat dan
tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar,
monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan
tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja
memiliki watak tertentu yang diformulasikan, namun ia dapat pula
memampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan
mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Tingkah lakunya
sering tak terduga dan memberikan efek kejutan bagi pembaca.42
4. Latar atau setting adalah lingkungan tempat, waktu dan suasana peristiwa terjadi.43 Segala keterangan mengenai waktu, ruang dan
suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.44 Latar berfungsi sebagai
pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan
membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan.45
Menurut Abrams disebut juga sebagai pengertian tempat,
hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: IndonesiaTera, 2003), h. 20.
45
peristiwa yang diceritakan.46 Latar memberikan pijakan cerita secara
kongkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi.47 Tempat dan waktu yang dirujuk
dalam cerita bisa merupakan sesuatu yang faktual atau imajiner.48
Macam-macam latar:
a) Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tenpa nama jelas.49
b) Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah „kapan‟ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau waktu berlatar sejarah.50
c) Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap serta spiritual.51
5. Sudut Pandang pengisahan yang menerangkan siapa yang bercerita. Pusat pengisahan ini penting untuk memperoleh gambaran tentang
kesatuan cerita.52 Sudut pandang merupakan kedudukan atau posisi
pengarang dalam cerita tersebut atau posisi pengarang menempatkan
46
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Maret, 2005), h. 217.
47
Ibid., h. 216.
48
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 60.
dirinya dalam cerita tersebut. Apakah ia terlibat langsung dalam cerita
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.53
Menurut Abrams ialah cara atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah
strategi, teknik dan siasat yang dipilih oleh pengarang utuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya.54 Jadi, dapat dikatakan bahwa
sudut pandang merupakan cara pengarang dalam bercerita, apakah ia
terlibat langsung dalam cerita atau tidak. Terdapat beberapa sudut
pandang dalam penggambaran cerita, yaitu:55
a) Sudut Pandang Orang Ketiga: “dia”. Pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang „diaan‟ terletak pada seorang narator
yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut
pandang orang ketiga “dia” dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu “dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba
tahu) dan “dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator
mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang
tokoh).56
b) Sudut Pandang Orang Pertama: “aku”. Pengisahan cerita yang
menggunakan sudut pandang „akuan‟ terletak pada seorang narator
yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang orang
pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “aku” (tokoh utama) dan “aku” (tokoh tambahan).57
c) Sudut Pandang Campuran. Penggunaan sudut pandang ini lebih
dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang
53
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 96.
54
satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan
pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.58
6. Gaya Bahasa adalah sebuah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(pemakai bahasa).59
Menurut Aminuddin gaya ialah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya menggunakan media bahasa yang indah
dan harmonis serta mampu menuansakan makna yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.60
Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk mencipta nada
atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang mampu
memperlihatkan hubungan dan interaksi antar tokoh.61
Gaya bahasa dalam karya sastra memilki fungsi utama yaitu fungsi
komunikatif. Sastra khususnya fiksi dapat dikatakan sebagai dunia
dalam kata. Apapun yang dikatakan pengarang atau sebaliknya
ditafsirkan oleh pembaca mau tidak mau harus bersangkut paut dengan
bahasa. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi
adegan yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan,
maupun harapan. Jadi, dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa gaya
bahasa merupakan cara pengarang dalam menggunakan atau memakai
bahasa ketika bercerita.
7. Amanat merupakan pemecahan atau jalan keluar dalam menghadapi persoalan. Pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang
tentang bagaimana sikap kita kalau menghadapi persoalan tersebut.62
Sesuatu yang menjadi pendirian, sikap, atau pendapat pengarang
mengenai inti persoalan yang digarapnya, dengan kata lain merupakan
pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.63
58
Ibid.,h. 266.
59
Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa, (Jakatra: PT SUN, 2004), h. 112.
60
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasino, 2008), h. 138.
61
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 64.
62
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 89.
63
Amanat dapat dikatakan ajaran moral atau pesan yang hendak
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya.
Amanat akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam
keseluruhan isi cerita.64
Jadi, amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang
terkait dengan masalah yang ada di dalam cerita. Amanat dalam cerita
bisa secara tersirat dan juga tersurat. Biasanya pesan tersebut
didapatkan setelah pembaca memaknai keseluruhan cerita. Setiap
pembaca memiliki amanat yang berbeda ketika membaca satu bacaan
yang sama, hal tersebut dikarenakan sifat karya sastra ialah
berbeda-beda makna.
B. Pendekatan Pragmatik
Pengarang sebagai pencipta sebuah karya sastra pasti mempunyai
ide-ide sebelum menciptakan suaru karya. Dalam penyampaian ide-idenya tersebut
sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya.
Abrams mengemukakan dalam komunikasi antara sastrawan dan pembaca
tidak akan terlepas dari empat situasi sastra, yaitu: karya satra, sastrawan,
semesta, dan pembaca. Untuk itu terdapat empat pendekatan dalam kajian
karya sastra, yaitu :65
1. Pendekatan objektif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada karya
sastra. Memandang pada karya sastra dapat dilpeaskan dari siapa
pengarang dan lingkungan serta zamannya. Sehingga karya sastra dapat
dianalisa berdasarkan strukturnya sendiri.
2. Pendekatan ekspresif ialah kajian sastra yang menitik beratkan pada
penulis. Memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin
pengarang yang bersangkutan.
3. Pendekatan mimetik ialah kajian sastra yang menitik beratkan terhadap
imitasi atau tiruan pembayangan dunia kehidupan nyata.
64
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 64.
65
4. Pendekatan pragmatik ialah suatu pendekatan yang memandang makna
karya sastra ditentukan oleh publik pembaca sekalu penyambut karya
sastra. Karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila
bermanfaat bagi publiknya, seperti: menyenangkan, memberi kenikmatan
atau mendidik.66
Istilah pragmatik merujuk pada efek komunikasi yang sering sekali
dirumuskan dalam istilah Horatius: seniman bertugas untuk docere dan
delectare, memberi ajaran dan kenikmatan, sering kali ditambah lagi movere,
menggerakan pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab. Seni harus
menggabungkan sifat dulce et utile, bermanfaat dan manis. Pembaca kena,
dipengaruhi, digerakan untuk bertindak oleh karya seni yang baik.67
Kecenderungan pragmatik yang diungkapkan oleh Sydney ialah Like Sidney’s, is ordered toward the audience, a ‘pragmatic theory’, since it looks at the work of art chiefly as a means to an end, an instrument for getting
something done, and tends to judge its value according to its success in
achieving that aim.68 Menurut Sidney kecenderungan utama dari pragmatik
adalah untuk memahami karya sastra sebagai sesuatu yang dibuat dengan
tujuan menghasilkan tanggapan yang diperlukan bagi pembacanya dan untuk
memperoleh aturan-aturan dan penilaian dari kebutuhan dan permintaan yang
masuk akal dari pembaca di mana karya sastra itu ditujukan.
Tujuan yang dibuat dalam membaca sastra haruslah bermanfaat dan
memiliki nilai positif bagi pembacanya. Hal itu dikarenakan karya sastra harus
mengandung dua unsur yaitu bermanfaat dan menarik. Manfaat tersebut
didapatkan pembaca bergantung pada penilaian dan kebutuhannya terhadap
suatu karya.
Pendekatan pragmatik merupakan sebuah pendekatan untuk
mengapresiasi sastra yang berlandaskan pada pendapat pembaca. Menurut
Sahnon Ahmad pembaca menggunakan imajinasinya dan memahami sebuah
66
Yudiono KS, Telaah Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31.
67
Teeuw, op. cit., h. 51.
68
karya sastra. Proses pemahaman tersebut bukan sekadar rentetan peristiwa
yang disambung-sambungkan, tetapi peristiwa yang dirasai dan dihayati oleh
tokoh yang berada dalam peristiwa. Makna dari pengalaman bergantung pula
pada emosi, wawasan dan nilai yang dibawa oleh individu. Pengalaman
membekalkan kekuatan dan kesatuan kepada peristiwa yang dihidangkan dan
menyiratkan sesuatu tentang kehidupan secara umum.69
Jausz dan Iser mengatakan adanya perkembangan mengenai penelitian
sebuah karya. Keterangan tentang arti suatu karya “ditanyakan” kepada
penulisnya. Dan bila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat dicari pada
riwayat hidup penulisnya. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang
melihat karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang mempunyai maknanya
sendiri, dan ini dapat ditemui melalui analisis karya itu sendiri. Dari sini
berkembang mengenai adanya pemberian suatu karya untuk dapat
memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca musti menggunakan
imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti. Arti yang
ditemui dalam teks itu bukanlah arti teks itu semata-mata, tetapi arti yang
dikongkretkan oleh pembaca. Arti suatu teks ada dalam interaksi antara teks
dan pembaca.70
Pandangan terhadap sastra dari sisi konsumennya, dalam masyarakat
Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Hal ini dapat dibaca pada sejumlah data
teksual yang antara lain terbaca pada ekspresi tekstual yang memperlihatkan
fungsi-fungsi sastra di dalam masyarakat. Di antaranya ialah sebagai sarana
menyampaikan ajaran (moral atau agama), untuk kepentingan politik
pemerintah dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan yang lain.71 Untuk
itulah, masing-masing pembaca biasanya mendapatkan dan menyimpulkan
makna yang berbeda meskipun bacaannya sama. Hal tersebut berkaitan pula
dengan emosi dan latar belakang pembaca.
69
Shahnon Ahmad, Sastera Pengalaman, Ilmu, Imaginasi dan Kitarannya, (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1994), h. 72.
70
Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 143-144.
71
Pembaca menjadi salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah karya sastra. Suatu karya sastra memiliki nilai, untuk itulah pembaca
pasti mengapresiasi sebuah karya sastra. Apresiasi sastra merupakan
pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kenikmatan
yang timbul sebagai akibat dari semua itu.
Grove mengungkapkan bahwa apresiasi mengandung makna
pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan pemahaman atau
pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.
Squire dan Taba mengungkapkan bahwa sebagai suatu proses apresiasi sastra
melibatkan tiga unsur, yakni: a) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan
intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif. b) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca
dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang
dibaca. Selain itu, unsur emosi juga berperan dalam memahami unsur-unsur
yang bersifat subjektif. c) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan
memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah sesuai-tidak
sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam
sebuah karya.72
Sejalan dengan hal tersebut, ketika pembaca mengapresiasi sebuah
karya sastra maka hal yang ia lakukan ialah memberikan penilaian terhadap
karya tersebut. Dalam memberikan penilaian itu pembaca melibatkan
pengetahuan yang ia miliki dan emosi yang ia bawa secara subjektif. Emosi itu
dapat berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk maupun emosi yang
berubungan dengan isi atau gagasan yang menarik dan lucu. Penilaian dalam
hal ini berkaitan dengan penemuan makna oleh pembaca yang memberikan
kejelasan makna atau manfaat terhadap suatu karya sastra.
Tujuan penulisan karya sastra yang diungkapkan oleh Horace dan
Sydney ialah advised that ‘the poet’s’ aim is either to profit to please, or to
blend in one the delightful and the useful’. The context shows that Horace held
72
pleasure to be the chief purpose of poetry, for the recommends the profitable
merely as a means to give pleasure to the elders, who, in contrast to the young aristocrats, ‘rail at what contains no serviceable lesson’.To the overwhelming majority of Renaissance critics, as to Sir Philip Sidney, at the moral effect was
the terminal aim, to which delight and emotion were auxiliary and the
optimistic moralist believed with James Beattie that if poetry instructs, it only
pleases the more effectually.73
Horace memberitahu bahwa tujuan dari karya sastra adalah untuk
mengambil pelajaran atau untuk menyenangkan atau untuk menggabungkan
pengajaran dan penggunaan. Menurut Philip Sydney, efek moral adalah tujuan
selanjutnya sedangkan mengajarkan dan emosi adalah tujuan pembantu dan
orang yang berpegang teguh pada kemoralan percaya pada James Beattie
bahwa karya sastra hanya menyenangkan secara tepat.
Dari pendapat Horace dan Sydney dapat dikatakan bahwa dalam
membaca sastra pasti akan mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga,
emosi pembaca juga akan terlibat di dalamnya, tetapi megajarkan apa yang
didapatkan bukanlah tujuan utama. Setidaknya pembaca mempunyai wawasan
baru setelah membaca suatu karya sastra.
Pembaca menyerap teks itu ke dalam kesadaran mereka dan
membuatnya menjadi pengalaman mereka sendiri. Kesadaran pembaca yang
ada akan membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap ke dalaman tertentu
agar dapat menerima dan memproses sudut pandang asing yang dihadirkan
dalam teks ketika pembacaan terjadi.74 Karena dalam membaca sebuah karya
sastra, pembaca seperti melakukan sebuah perjalanan yang belum pernah
dilakukannya sehingga mereka mendapatkan suatu pengetahuan baru yang
juga dikaitakan atas pengetahuannya terdahulu. Sehingga perjalanan tersebut
akan menjadi pengalaman baru bagi para pembaca.
Manusia berusaha mengolah dan menyusun berbagai rangsangan dari
kehidupan itu menjadi sesuatu yang dapat dirasakan, dibayangkan dan
73
M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, (United States of America: Oxford University Press, 1980), h. 16.
74
dipahami sehingga maknanya dapat ditangkap. Dalam mengapresiasi sastra,
seseorang mengalami pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya.75
Pemahaman atas bayangan pembaca tersebut terjadi karena adanya rasa
empati yang memungkinkan pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak
hati dalam karya itu.
As a result the audience gradually receded into the background, giving
place to the poet himself, and his own mental powers and emotional needs, as
the predominant cause and the even the end test of art.76 Sebagai hasilnya,
pembaca secara berangsur-angsur menyusut ke latar belakang, memberikan
tempat pada karya sastra dalam dirinya dan kekuatan-kekuatan mentalnya
sendiri dan kebutuhan emosional, sebagai sebab utama. Itulah mengapa
masing-masing pembaca memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu karya
sastra, karena setiap pembaca memiliki latar belakang dan kebutuhan
emosional yang berpeda pula dalam menanggapi atau memaknai suatu karya
sastra.
Pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya
sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga
manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya
sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap
pembaca.77 Untuk itulah, pendekatan karya sastra kepada pembaca tidak dapat
dikesampingkan dan merupakan hal yang penting. Karena pembaca akan
menilai sebuah karya sastra.
Peran pembaca yang terlihat dominan dalam komunikasi sastra ini
memperlihatkan bahwa pendekatan terhadap karya sastra tidak dapat hanya
75
Yus Rusyana, Kegiatan Apresiasi Sastra Indonesia Murid SMA Jawa Barat, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 7.
76
M.H. Abrams, The Mirror and The Lamps, (United States of America: Oxford University Press, 1980), h. 21.
77
memperlihatkan pada teksnya saja, tetapi juga harus memberi tempat pada
pembacanya, yaitu dalam proses berinteraksi dengan teks sastranya.78
Pendekatan pragmatik berarti memberikan perhatian utama terhadap
peranan pembaca. Pembaca yang sama sekali tidak mengetahui proses
penulisannya diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis. Karena
sejatinya pembaca tidak pernah mati, pembaca akan selalu hadir bergantian
dan memiliki penilaian yang berbeda terhadap sebuah karya sastra.
Secara umum pendekatan pragmatik adalah sebuah pendekatan yang
ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra
dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Pendekatan pragmatik adalah salah
satu ilmu kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai
penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Pembacanyalah yang
menghidupkan sebagai proses konkritasi karya tersebut. Keberadaan unsur
pembaca dalam kehidupan bersastra mendapatkan tempat yang utama. Upaya
meneliti sastra secara pragmatik merupakan salah satu sambutan terhadap
karya tersebut.
Fungsi terpenting pembaca adalah kemampuannya untuk
mengungkapkan kekayaan karya sastra. Pembaca memungkinkan untuk
menampilkan makna secara tidak terbatas, baik pembaca sezaman maupun
pembaca dalam konteks sejarah. Pembaca juga yang memungkinkan untuk
mengungkapkan khazanah cultural dan multicultural.79
Semua proses pembacaan dalam karya sastra melibatkan dua aspek,
yakni: pembaca dan interpretasi atau penafsiran guna “menemukan makna”
yang dimaksudkan dalam objeknya. Arti atau makna tentu sangat luas cara
melihat dan membacanya. Objek dalam konteks studi kesusastraan tidak
hanya pada persoalan karya saja atau penafsiran yang bertumpu pada
persoalan tekstualitas.80 Pesan-pesan dan keseluruhan nasihat yang terdapat
78
Siti Chamamah Soeratno, dkk., Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, Maret, 2002), h. 138.
79
Ibid.
80