• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENDIDIKAN KRITIS (A)HISTORIS

3.2 Perubahan Teks Tragedi Kemanusiaan 1965 setelah Orde Baru

3.4.1 Ambivalensi dan Sikap “Hanya Sekedar Tahu”

Pada saat terjadi ketegangan penarikan buku-buku teks sejarah kurikulum

bertanggung jawab penuh. Bambang Sudibjo, menteri Pendidikan Nasional yang

menjabat pada saat itu, mengambil keputusan untuk kembali ke kurikulum 1994.

Bagi sekolah yang menggunakan kurikulum 2004 dalam pendidikan sejarahnya,

harus kembali ke kurikulum 1994. Tentunya kebijakan ini dilakukannya dengan

alasan tidak sesuai lagi dengan semangat Reformasi 98.

Posisi guru menjadi semakin tidak jelas karena diombang-ambing oleh

kurikulum yang harus berubah-ubah, jadi tidak heran saat mereka merasa jenuh

pula untuk mengganti-ganti bahan ajar yang sudah ada. Tugas guru sejarah juga

akan semakin berat karena mereka hanya diberi satu sampai dua jam mata

pelajaran selama seminggu. Pada saat Orde Baru yang mengikuti kurikulum 1994,

mata pelajaran sejarah tetap bisa diperjuangkan dua jam pelajaran dalam

seminggu, namun sekarang beberapa sekolah dari hasil data, hanya mendapat satu

jam pelajaran saja. Padahal untuk memproduksi sebuah pengetahuan, guru

membutuhkan waktu lebih supaya bisa memberi persepsi tentang peristiwa

sejarah yang tidak hanya menghafal. Hal ini juga dikeluhkan oleh salah satu guru

dari hasil wawancara:

“…kelas 2 – kls 3, kelas IPA itu hanya 1 jam, Bahasa 2 jam, IPS 3 jam. Nah, yang bisa leluasa, idealnya klo sejarah paling tidak 2 jam untuk semua kelas, tapi kalau kelas 10 itu cuma 1 jam itu ya dapat dibayang kan ketika mungkin lokal

ruanganya jauh-jauh jalan menuju kelasnya, paling pol efektif pelajaran itu paling bagus ya mungkin cuma setengah jam, jadi kalo setengah jam itu buat apa kan agak repot”

Idealnya, di waktu yang tidak banyak itu guru sejarah juga mereproduksi

pengetahuan dari ilmu yang sudah ada dan memberi persepsi yang sama persis

tertuliskan di buku. Sebagai akibatnya, guru hanya mereduksi makna pengetahuan

menjadi sekedar “memindahkan” yang sudah ada. Beberapa guru yang

diwawancarai mengetahui wacana-wacana lain yang sudah ada. Seperti contohnya

dari pendapat guru di Sekolah Menengah Atas Negeri Yogyakarta:

“Jadi tidak ada pergeseran substansi pada masa orde baru maupun masa reformasi gampangnya begitu, tidak ada perubahan subsansial. Jadi tetap di buku itu harus ditulis G30S / (garis miring) PKI misalnya seperti itu. Padahal kan ada wacana lain, Gestok dan seterusnya, Gestapu dan seterusnya. Tidak ada wacana lain, tidak ada wacana substansial perubahan , misalnya ya dibuku-buku itu disebutkan dijelaskan bahwa Tragedi 65 itu memang coup nya PKI. Tidak ada wacana lain. Padahal kalau dari buku-buku sejarah lain misalnya dari desertasinya Hermawan Sulistyo yang kemudian diterbitkan itu, kan di situ banyak sekali wacana, ee.. bukan banyak sekali,, paling tidak ada 6, sory paling tidak ada 5 wacana tentang tahun 65 itu. Sebenarnya pemicu tahun 65 itu siapa?, ada versinya Benedict Anderson, versinya… macem-macem lah.. versi – versi Indonesianis gitu… memang tidak semua versi misalnya Sukarno Sebagai dalang, PKI sebagai dalang, Suharto sebagai dalang, CIA sebagai dalang, kemudian agen rahasia Inggris dan sebagaianya, memang tidak ada yang exact yang pasti siapa yang sebenarnya menjadi penyebap keributan itu. Tetapi kalau di tarik dari semua versi- versi itu, saya kok percaya bahwa, saya makin mendapat pemahaman , peristiwa itu yang saya menganggap justru Partai Komunis Indonesia itu sebagai korban, Partai Komunis Indonesia itu sebagai pelaku sekaligus korban. Nah sekarang wacana Orde Baru sampai sekarang, komunisme , PKI itu kan pelaku jadi pantas untuk di persalahkan, pantas untuk di pesalahkan. Dan di buku-buku pelajaran itu tidak ada

discourse, tidak ada wacana lain kecuali ini adalah percobaan kudeta mau menggulingkan pemerintah Indonesia, dan tidak ada konstelasi misalnya pristiwa itu terjadi dalam ketegangan perang dingin.”

Dari pendapat guru diatas, bisa dilihat dia mengetahui secara kritis

mengenai polemik wacana Tragedi Kemanusiaan 1965. Kekritisan memang akan

menciptakan disiplin intelektual yang dibutuhkan, mampu mengajukan

pertanyaan atas bacaan, penulisan, buku dan teks. Namun saat ditanya mengenai

bagaimana mereka menuturkan versi-versi alternatif kepada para murid,

jawabnya;

“ya saya sih mendukung adanya penulisan-penulisan alternatif ya mbak, tapi memang kurikulum yang saya coba lakukan adalah, kurikulum pemerintah versi materi-materi yang di tetapkan pemerintah dalam kurikulum ya saya berikan. Cuma menurut saya itu terlalu kurus, terlalu apa ya? Ibarat kita ini peternak kambing, peternak lembu setiap hari kita ini hanya kasih mereka itu rumput kering dan jerami. Jadi bisa anda bayangkan betapa kurang berkaidahnya asupan seperti ini, kalau kambing dan lembu yang kita pelihara hanya kita beri rumput kering dan jerami, bisa kita bayangkan kualitas produk kita. Nah, ini kan pendidikan ini kan bukan hanya pengajaran, kalau para siswa itu hanya diberi materi yang.. apa namanya… materi materi itu ada bahaya maksud saya hanya sekedar pelatihan menjadi bodoh, stupidifikasi. Kalau tidak hati-hati seperti itu.”

Dalam wawancara diatas, guru sejarah terlihat mengetahui banyak versi

alternatif dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965, namun saat dihadapkan

dengan transisi pengetahuan kepada para murid, dia tidak berani mengambil

resiko untuk memberikan versi tersebut dalam proses pengajaran. Pendidikan

melakukan bentuk pedagogi yang netral, guru sejarah seolah-olah dihadapkan

pilihan untuk mengambil posisi kanan atau kiri, hitam atau putih. Yagn terjadi

dalam pengambilan data tulisan ini adalah, hal ini terjadi hanya di Sekolah

Menengah Umum Negeri. Agaknya mereka memiliki bentuk dan isi yang

berhubungan erat dengan kekuasaan di masyarakat, yang membentuk sistem di

Dokumen terkait